Suku Makeang Dalam Kajian Histori

Suku Makeang (bukan “Makian”), dahulu kala dikenal dengan penyebutan “Taba” (wilayah Timur) atauMakeang Dalam. Sementara bahasa mereka disebut bahasa Tabayama (Zulyani Hidayah,1996). Untuk wilayah Barat (Makeang Luar) menyebutnya Pulau ‘Moi’, bahasa mereka disebut bahasa Jetine atau Desite (G.R.E. Lucardie, 1980), kedua bahasa tersebut tergolong dalam bahasa Austronesia dan non- Austronesia (W. Ph. Coolhaas, 1926).

Suku Makeang adalah salah satu dari puluhan kelompok etnis yang ada di Moluccas/ Maluku (utara) saat ini. Sejak kapan sebutan Taba atau Moi untuk pulau Makeang, baik oleh penduduk setempat maupun oleh orang asing untuk menandai gugusan kepulauan atau suku, belum ada catatan tertulis tentang itu. Namun diperkirakan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa-Portugis sudah mengunakan sebutan kata tersebut ( Jacobs, 1971). Nampaknya penamaan untuk pulau Makeang dalam beberapa catatan sejarah sering berbeda penulisan/pengucapan terhadap pulau atau suku tersebut, ada yang sebut: Makyan (Francois Valentijn, 1724), Maquiem/Maqujem, (Tomi Pires, 1944) dan Makianners (D. G. Stibbe,1939), Makianese (de Clercq, 1890) namun belakangan banyak arsip Belanda mengunakan kata “Makian” (J. Paulus,1917), untuk menunjukan suku atau pulau tersebut, sehingga dalam penulisam kali ini penulis lebih mengunakan kata Makeang untuk menunjukan etnik yang di maksud.

Nama “Makian” memperlihatkan sebuah bentuk buruk dari sebuah nama pribumi ‘Waikiong’ (de Clercq,1890). Orang Ternate dan Tidore menyebut pulau ‘Mara(h)’. Asal mula kedua nama tersebut tetap kabur, meskipun berdasarkan spekulasi kesejarahan (Coolhaas,1923). Secara historis pulau Makeang termasuk wilayah Maluku, pulau rempah-rempah yaitu Gilolo, Ternate, Tidore, Moti, Makeang dan Bacan (Valentijn, 1724). Hingga pertengahan abad ke-17, Makeang memainkan peranan paling penting dalam perdagangan rempah di Maluku. Terdapat beberapa bukti historis perdagangan awal dengan pedagang Taibencu (Cina) sebelum orang Jawa, Arab dan Eropa tersebar di wilayah Maluku. Tempat persinggahan dan pusat perdagangan pertama kali adalah pulau Makeang, karena penduduknya telah berbudaya, beradab dan luwes. Orang Taibencu adalah orang pertama yang membeli cengkih secara borongan di pulau ini. (Jacobs, 1971).

Menurut orang Portugis, pulau Makeang memiliki pelabuhan yang terbaik yang merupakan tempat pertemuan pedagang-pedagang asing serta merupakan pelabuhan transit yang penting dalam perdagangan rempah, dibandingkan dengan pulau-pulau rempah lainnya. Makeang memproduksi cengkeh terbesar dan terbaik. Rumphyus, bahkan menyebut Makeang sebagai “tanah moyang cengkeh” dan tanah moyang ‘tjengkeh radja’. Masih menurut Pires, Makeang merupakan salah satu dari 3 pulau penting penyuplai makanan, selain Moti dan Tidore (Lucardie, 1980). Meskipun terdapat karakter-karakter unggul pada awal masa kolonial, dan barangkali sebagai akibat perselisihan terus menerus antara masyarakat bagian Timur dan Barat (Coolhaas, 1977). Makeang tidak pernah memperoleh kekuatan dan kekuasaan serta kecermelangan Kesultanan seperti Ternate dan Tidore. Makeang selalu menjadi “korban” persaingan antara kesultanan-kesultanan di sekitarnya demi supremasi di antara kekuatan-kekuatan kolonial karena kekayaan perdagangan rempah Maluku. Hingga pendudukan terakhir Belanda, Makian tunduk pada penguasa Ternate pada tahun 1608. Pada tahun 1655, Belanda yang memonopoli rempah-rempah, mengakhiri kebudayaan cengkeh Makeang dengan memusnahkan semua pohon rempah (Hongi-eksterpasi) di pulau tersebut.

Hanya sedikit yang diketahui tentang Makeang Barat dan Makeang Timur, begitu juga denga hubungan kultural dengan pulau-pulau atau kelompok lain selain Ternate. Menurut Kroniek van het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan), penguasa kuno Bacan yakin bahwa dirinya berasal dari bagian timur pulau Makeang melalui pulau Kasirute, secara tidak langsung kronikel ini juga menghubungkan sejarah dinasti Makeang Timur dengan sejarah Dinasti Misol dan Waigeo (Raja Ampat), pulau Banggai (antara Sulawesi dan pulau Sula), Loloda (Halmahera Barat Laut), dan Obi Siwa, Obi Lima di Seram (Coolhaas, 1926). Akan tetapi kronikel ini sebagian menjadi sebuah jenis propaganda politik untuk menjustifikasi klaim teritorial tertentu oleh Kesultanan Bacan. Yang juga diragukan adalah dugaan bahwa bagian tenggara Makeang telah didiami sejak tahun 1609, (Robidee van der Aa, 1872). Dugaan tersebut tidak sesuai dengan temuan Watuseke akan bukti bahasa yang mengindikasikan bahwa masyarakat Makeang Timur adalah penduduk pertama di pulau tersebut.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris). Bangsawan lokal empat kerajaan besar di Maluku telah melakukan aktifitas dagang bersama saudagar dari Arab, Cina, dan Jawa. Dalam aktifitas jual-beli rempah-rempah (Toeti Heraty, 2010), salah satunya yaitu buah cengkeh yang berasal dari Maluku (Paramita,1973). Hingga abad ke-16 produksi cengkeh masih terbatas di daerah ini (Rumphius,1750). Dari sumber Cina, India, dan Romawi kita mengetahui bahwa sejak paruh kedua millennium pertama sebelum Masehi cengkeh diperdagangkan di ‘pasar dunia’. Kemudian pada abad ke-3 SM cengkeh telah dikenal di Cina (Ch. Van. Fraassen, 1987).

Pada akhir abad ke-17, wilayah Gane dihuni oleh orang alifuru/alfour, karena banyak penduduk aslinya telah dikembalikan untuk mendiami kembali Moti dan Makeang setelah penaklukan Spanyol pada 1606. Gane tercatat karena keberlimpahan pohon sagu dan pinang, namun tempat pentingnya dalam lokasinya serta rute yang diambil oleh perompak Maba dan Patani. Orang Gane dan Saketa mengakui otoritas Sangaji Makeang yang tinggal di pulau Makeang. Pulau tersebut adalah wilayah terpenting bagi Kerajaan Ternate di “pinggiran”. Ia digambarkan di awal abad ke-17 sebagai pulau terpadat dengan panen cengkeh terbesar dan satu-satunya pelabuhan aman di Maluku. Sisi penting Makeang di Maluku disebutkan oleh fakta bahwa di tahun 1518 satu dari surat yang paling pertama dikirim dari Maluku pada raja Portugal adalah berasal dari Raja Makeang, yang bernama Lebai Husain. Meskipun ini hanya merujuk pada seorang penguasa merdeka di Makeang, ini tidak akan tetap dengan sumber-sumber yang menggambarkan sebuah pulau dengan seluruh unsur pada sebuah kerajaan sukses di Maluku. Dalam beberapa tradisi orang Makeang disebutkan di antara yang pertama dari empat kerajaan Maluku, selain Ternate, Tidore, dan Moti (Andya,1993).

Rumphius menyebutkan bahwa tak lama setelah kemunculan pertama Portugis di tahun 1512, cengkeh dari Makeang dibawa ke Hoamoal dan Hitu, semenanjung sebelah utara pulau Ambon. Pires mencatat di sekitar tahun 1515 bahwa cengkeh hanya tumbuh di Maluku, dimana dari situ cengkeh menuju Banda dan Ambon. cengkeh-lah yang membuat orang Makeang beserta pulaunya direbut, dan menguwasai sepenuhnya oleh kerajaan Ternate, berabad-abad lamanya. (Bandingkan juga dengan (Van. Fraassen, 1987).

Sekitar tahun 1520, pulau Makeang dibagi antara kekuasaan Ternate dan Tidore, dan beberapa tahu kemudian Tidore dipaksa menyerahkan klaimnya pada Ternate (semasa penaklukan orang Makeang lebih memilih bergabung dengan Kerajaan Tidore, yang lebih toleransi ketimbang Kerajaan Ternate). Pada 1606, setelah penaklukan Spanyol atas Ternate, seluruh pulau Makeang diberikan pada Tidore. Dua tahun kemudian Belanda membantu Ternate dalam penaklukan kembali Makeang, dan  pada 1648 klaim Ternate pada pulau tersebut yang didukung oleh Belanda kembali di akui oleh kerajaan Ternate dan Bacan.

Sejak itu banyak di antara penduduk Makeang terpaksa menghuni secara sementara, dan beberapa permanen, di pulau lainnya. Ketika beberapa telah meninggalkan pulau (migrasi secara tradisional) untuk mengamankan diri dari pergolakan politik yang terjadi antara Makeang, Ternate dan Tidore. Sebuah catatan kelompok baru yang berasal dari tahun 1662 adalah seluruh populasi pulau Kayoa berasal dari pulau Makeang. Ketidak stabilan politik adalah alasan utama yang diberikan bagi pemukiman ulang (bukan karena letusan gunung Makeang). Meskipun orang Makeang, telah melakukan migrasi keluar dari pulau mereka, namun kelompok tersebut selalu menjaga identitasnya dan menghubungkannya pada tanah airnya yang asli.

Pada 1662, pemukiman kembali di buka di Makeang setelah migrasi diantara: distrik Ngofakiaha dengan 400 pria dan Ngofagita dengan 170 pria (keduanya diperintah oleh Sangaji, sehingga mengindikasikan sisi pentingnya); Sabaleh, Talapao, Tapasoho, Bobawa, Ngofabobawa, dan Tagona dengan total 349 pria (seluruhnya di bawah kimalaha); penduduk dari kayoa dan sekitarnya di kepulauan Goraici dengan 160 pria. Penduduk Soma dan Tahane pergi untuk tinggal di Ngofakiaha, dan secara bersamaan mereka memiliki 260 pria. Alasan dari jumlah kecil tersebut adalah kehilangannya Tahane dari sebuah kora-kora dengan banyak pria muda melawan Spanyol. Beberapa desa lainnya disebutkan memiliki 50 pria lainnya, yang membuat total keseluruhan penduduk pulau Makeang 1389 jiwa pria (Wanita dan anak tidak dihitung karena data tersebut berasal dari data pajak yang hanya diperuntukan untuk pria dewasa).

Walaupun pemukiman telah dibuka kembali namun orang Makeang sering melakukan migrasi secara tradisional di pulau-pulau atau daratan yang terletak di sekeliling Pulau Makeang. Pada umumnya mereka bermigrasi ke arah selatan dengan titik  terjauh di sekitar Labuha, Pulau Bacan. Meskipun demikian, beberapa kelompok penduduk melakukan migrasi ke arah utara dan barat dengan titik terjauh di Gane, Halmahera bagian selatan, dan Pulau Moti (G.R.E. Lucardie, 1980).

Ikatan yang mencakup banyak pemukiman di pinggiran secara bersamaan adalah persepsi bersama yang masuk pada keluarga Maluku yang disucikan mitos. Demi kepentingan bangsa Eropa untuk memiliki serta menata “kepulauan yang rapih” yang mudah dikontrol oleh penguasa. Ketiadaan berbagai alasan yang lebih besar guna loyalitas membuat area ini jauh lebih mudah berubah pendirian dalam hubungan mereka dengan Ternate daripada area lainnya yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari sebuah keluarga sebagaimana yang ditegaskan oleh mitos.

Potensi tantangan pada status sentral Ternate dari “pinggiran” membuat beberapa raja yang dulunya penting bagi dirinya sendiri, serta memainkan peran regional misalnya; Banggai, butung, dan Gilolo adalah contoh dari kerajaan tersebut. Dalam urusan pemerintahan tradisional Ternate setelah dikolonisasi oleh keluarga Tomagola dan tomaitu dari Fala Raha. Dengan menghubungkan keluarga-keluarga berpengaruh di Ternate, wilayah-wilayah Ternate dan akses pada sumber kekuasaan yang sama membuat mereka pesaingsecara alamiah bagi dominasi sebagai sebuah pusat.

Sejak saat ini Makeang juga semakin tidak berarti. Pulau ini yang dahulu begitu penting dalam perdagangan di Maluku tidak lagi ada maknanya. Sejarahnya telah berakhir. Toh apa yang masih perlu disebutkan, sejarah dua abad pulau itu, penebangan pohon dimulai sehingga akhirnya jumlah penduduknya berkurang dan kehidupannya menjadi merana.  Dengan ketidak stabilan politik di Maluku (Ternate- Makeang) orang-orang Makeang telah bermigrasi dalam jumlah besar menuju Halmahera dan pulau-pulau berdekatan lainnya sejak dulu. Catatan-catan tua menyebutkan kehadiran orang Makian di Gane Galela, Bacan, Obi, Morotai, Gane, Maba, dan  Patani. Beberapa laporan yang ada mengenai Halmahera dan pulau-pulau yang berdekatan memperlihatkan pada kita bahwa kecenderungan migrasi telah berlangsung di antara orang Makeang.

Kini, wilayah utama migrasi orang Makeang ditunjukkan pada pulau Moti dan Kepulauan Kayoa  dan pulau Bacan serta bagian tenggara Halmahera. Pada hakikatnya migrasi penduduk Makeang ke arah selatan merupakan salah satu bagian dari tradisi tua  mereka. Keberadaan Kesultanan Bacan, reruntuhan keraton Kasiruta, keberadaan  Orang Bajo, jaringan perdagangan cengkeh Selat Malaka dan mitos 4 telur naga  Bikucagala atau  Biku Segara dari abad ke-9 M memiliki keterkaitan dengan keberadaan penduduk Makeang, terutama Makeang Timur. Akan tetapi migrasi yang bertujuan untuk perluasan lahan terjadi sejak pertengahan abad ke-19 dengan daerah migrasi utama berada di berbagai kepulauan seperti Bacan, Kayoa, Guraici, Lata-Lata, dan Pulau Kasiruta. (Bandingkan juga dengan karya A. B. Lapian, 1994).
Irfan A

No comments: