Sultan Khairun memberi takanan pada Portugis (Katolik)?

1395727285806365669 
Tanggal 20 February 2014, saya di berikan sebuah buku: C.J. Bohm & Frits Pangeman, “Sejarah Gereja Katolik Maluku Utara 1534-2009” (Jogyakarta: Kanisius, 2010), oleh Pendeta Rudy Rahabeat. Dalam buku tersebut: Di uraikan bahwa “ Semasa kepemimpinan Sultan Khairun, telah memberikan tekanan kepada Portugis, dengan menyerang Halmahera Utara, mencari perhatian dari raja-raja sekitar serta mengirim pasukan sebanyak 30 perahu kora-kora, menyerang para pribumi yang ber-agama Katolik dan memakan koraban sebanyak 300 orang, pembunuhan secara keji, disertai pengancuran atas segala harta milik mereka, alasan inilah yang membuat Khairun di bunuh oleh Lopez de Mesquita”. hlm 100. Selain itu di halaman 34-35, juga terdapat sebuah peta yang mencantumkan 29 desa “kantong Kristen Katolik”. Di sisi lain, peta gambar yang terdapat dalam sumber: S. J. Adolf Heuken (2002), memberi keterangan yang berbeda bahwa peta “kantong Kristen Katolik”, yang dimaksud adalah wilayah kerajaan Moro, yang terletak di Halmahera bagian utara. Artinya bahwa belum tentu wilayah Moro adalah penganut agama Katolik, karena abad 16-17, banyak penduduk pribumi yang menganut agama Lokal, selain itu, penduduk yang bermukim di Soa-Sio Galela telah memeluk Islam.
Dibawah penulis sedikit menguraikan sumber yang berbeda, seperti apa yang diuraikan oleh C.J. Bohm & Frits Pangeman (2010). Sultan Khairun Jamil atau Hairun (1535-1570), juga disebut sultan Hair. Anak dari Sultan Bayanullah, dan ibu beretnis Jawa. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin arif, tegas, pemberani dan muslim yang taat serta toleran. Khairun menjadi sultan, usianya masih sangat muda, sehingga oleh Portugis dipandang remeh sebagai “anak muda” yang bisa dikendalikan namun kemudian ternyata anggapan itu salah besar. Beliau tumbuh dewasa dalam masa penuh gejolak dan bahkan menyaksikan berbagai macam tindakan orang Portugis terhadap masyarakat pribumi, saudara-saudaranya, serta intervensi Portugis dalam Kesultanan Ternate membuatnya sangat memahami benar berbagai macam problema serta banyak hal yang dapat dipelajari.
Khairun juga memperkuat kekuasaannya dengan perkawinan politik dengan meminang anak Sultan Tidore Amiruddin Iskandar Zulkarnain, Khairun mengikuti adat bersandar kepada wanita sebagai sarana menciptakan hubungan erat dengan keluarga-keluarga paling penting di kerajaannya, (Andaya, 1993). Cita-cita Khairun untuk menggalang sebuah Maluku yang kuat melalui pembentukan Konfederasi Ternate-Jailolo dan uni Ternate-Tidore, merupakan sebuah idealisme politik yang tidak mustahil untuk diimplementasikan. Tetapi, pikiran-pikiran brilian Khairun ini sukar dicerna kerajaan-kerajaan di Maluku pada masa itu. Pikiran-pikiran Khairun, mungkin merupakan idealisme yang absurd. Tetapi, situasi dan kondisi masa itu, Khairun telah menunjukkan dirinya sebagai seorang negarawan berpikiran maju melebihi para sultan Maluku yang sezaman dengannya, (Amal, 2010).
Sultan Khairun, dalam kesehariannya, berpakaian, berbicara mengunakan bahasa Portugis dengan lancar, dan memerintah kerajaannya dengan sebuah jaminan pemeliharaan kekelurgaan dan persahabatan yang baik dengan pejabat Portugis, (Jakobs, 1971). Saking toleransinya, orang Portugis yang saat itu gencar menyebarkan agama Kristen, dan keluar dari kesepakatan yang telah di sepakati oleh Gubernur Antonio Galvao (1537), Khairun memilih menyelesaikan dengan cara yang arif tanpa peperangan. Seperti apa yang di ceritakan oleh F. Valentijn (1724), bahwa Khairun adalah sosok pemimpin yang bijak dan membangun kerjasama bukan hanya di “Maluku” melainkan samapi di Siauw dan Aceh. Bahkan, dalam pemerintahan Gubernur Giorgio de Castro (1540), Benteng Nostra Senora del Rosario (pembangunan awal oleh Anthonio De Britto pada 1522), benteng ini kemudian diselesaikan berkat campur tangan dan bantuan Khairun.
Seorang Pastor Jesuit mengatakan bahwa penolakan Sultan Khairun menerima Kristen disebabkan oleh “faktor jasmaninya”. Khairun, awalnya sangat tidak menyetujui ekspansi Portugis, namun ia tidak bisa berbuat banyak karena benteng Portugis sangat, disamping itu Portugis adalah pembeli rempah-rempah yang baik, sehingga Khairun pada saat itu belum dapat mengambil suatu tindakan, (de Graaf, 1977). Khairun sendiri berhubungan erat dengan Franciscus Xaverius, tetapi tidak sampai terpengaruh olehnya. Kepada Xaverius ia pernah berkata, “baik Islam maupun Kristen mempunyai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, saya tidak perlu mengganti keyakinan saya dengan mengikuti keyakinan anda!” Bahkan, Khairun sempat mengirim puteranya, Babullah, untuk memasuki Sekolah Tinggi Jesuit Kolese Santo Paulus di Goa.
Bertolak dari uraian di atas, penulis melihat bahwa ada kekeliruan dalam penyajian karya C.J. Bohm & Frits Pangeman (2010). Seharusnya penulis juga memakai sumber PRIMER, (bukan) seperti di kutip buku F. Valentijn (1724) “dalam” karangan Rusli Andy Atjo. (yang tidak jelas karangannya tahun berapa (Lihat hlm 353), artinya “mereka” juga tidak memilik karya F. valentijn (1724), senagai pe,banding dalam penulisan. Yang sudah jelas karya F. Valentijn (1724), begitu detail menguraikan bagaimana persahabatan sultan Khairun dengan orang Portugis. Baik karya, Graaf, (1977) dan Jakobs, (1971), tidak menyebutkan bahwa ada pertempuran di zaman Sultan Khairun dengan menewaskan orang Portugis maupun Pribumi yang menganut Kristen seperti apa yang telah disebutkan di atas, yang telah memakan koranam yang begitu banyak. Khairun dalam berbagai sumber sejarah, dimana beliau selalu berhadapan dengan orang Portugis, dalam masaalah selalu mencari jalan keluar dengan tidak mengadakan perang, beliau selalu menginginkan kedamaian, hingga terbunuh dalam Benteng Nostra Senora del Rosario karena hadiri hajatan serimonial, dimana sehari sebelumnya Khairun-Portugis, telah melakukan sumpah untuk berdamai. 28 Februari 1570 atas perintah Kapten Portugis yang baru Diogo Lopes de Mezquita.
Di bawah ini kita akan melihat “kecerobohan” yang dilakukan Portugis. Setelah Sultan Bayan meninggal pada 1522, kericuhan mulai timbul, ketika intrik politik dikalangan Kesultanan Ternate dipengaruhi oleh Portugis terhadap pewaris tahta, yang mana setiap pengangkatan/pergantian sultan harus mendapat restu dari pihak Portugis. (Hasan, 2001). Pada 1535, Portugis di Ternate menurunkan Sultan Tabariji (1523-1535) dari singgasanganya, dan dikirimkan ke Goa dan memaksa memeluk agama Kristen dengan memakai nama Dom Manuel (Ricklefs, 2005). Babtisan juga terjadi pada sepupu pertama Sultan Jailolo dan memakai nama Antonio de Sa; kemudian ia diikuti oleh konversi Kolano Sabia, (salah satu anggota utama istana dan rumah tangga raja Ternate). Khairun sangat terusik oleh konversi ini sehingga ia datang ke benteng dan memohon keepada Sabia kembali untuk sadar akan apa yang ia lakukan, selain itu Khairun juga menegosiasi dengan cara damai pada pihak Portugis, namun Galvao keluar, dengan pedang di tangan, dan mengatakan kepada Khairun bahwa ia tidak akan menolak pembaptisan dan akan mengkristenkan sebanyak yang ia bisa. Meskipun banyak protes dari orang Ternate”. “Kolano” Sabia tetap dibaptis dan diberi nama Manuel Galvao. sementara di Bacan pada 1557 juga terjadi pembaptisan terhadap Sultan Bacan Allaudin I, yang dilakukan oleh Frater Antonio Caz (Arend, 2012). di Halmahera setela Kolano Mamuya menganut agama Kristen, Sangaji Sugala dan Sangaji Cowa dan sebagian penduduk Moro, mengikuti pimpinannya untuk memeluk agama Kristen yang di baptis oleh Pator Simon Vaz. (Kruger,1966).
Setelah konversi-konversi ini, Khairun mengadu pada Galvao bahwa sejak warganya pindah agama, mereka tidak patuh lagi dan ia sulit mencari orang untuk “memberikan pelayanan” baginya. Akan tetapi, Galvao menolak untuk mengambil lagkah penyelesaian. Kesuksesan Galvao yang paling luar biasa adalah konversi imam Arab” ke agama Kristen yang diduga sebagai keturunan Nabi Muhammad” (Andaya, 2009), bahkan dalam karya J.M. Baretta (1917), menyebutkan bahwa: Portugis mulai melakukan kekejaman dengan melempar ibu dari Khairun ke luar jendela dan tindakan ini menimbulkan pemberontakan besar yang dipimpin oleh Cata Bruno. Dalam sejarah pemberontakan ini terkenal dengan “Moluksche Vesper” (“Doa Malam Maluku”). Pengejaran berdarah terhadap semua orang Portugis dan Kristen mulai dilakukan. Namun dalam peristiwa ini dari kedua pihak sempat melakukan kesepakatan damai, akan tetapi tidak bertahan lama tepatnya 28 Februari 1570, dua hari menjelang acara kesepakatan damai, Sultan Khairun dibunuh.
Dalam karya Jacobs “A. Treatise on the Moluccas Sultan Khairun dan Galvao “awalnya persahabatan mereka bagitu baik yang tidak bisa di ukur dengan uang”, Kekecewaan Khairun muncul ketika orang Portugis di Ternate, melanggar berbagai kesepakatan yang telah dibuat, untuk tidak memaksa penduduk untuk memeluk agama Kristen-Katolik. Ketentuan-ketentuan ini cenderung untuk memperkuat Khairun membangun kekuatan dengan sering mengunjungi daerah taklukan dari Kerajaan Ternate dan memperkuat kekuatan Islam. Tidak kepada pembunuhan seperti yang terdapat dalam karya C.J. Bohm & Frits Pangeman (2010).
Priode 1522-1570, Portugis hadir dan membuat hubungan dengan Ternate dimana Portugis mengendalikan monopoli perdagangan cengkeh, mendapatkan tujuannya serta keuntungan yang luar biasa, pada kenyataannya monopoli pembelian cengkeh tidak efektif, dan tidak bertahan lama, karena “kesalahan” yang telah dilakukan sangat menrugikan pihak portugis, (van Fraassen, 1987). Portugis yang berhasil mengkristenkan banyak penduduk di Ternate, Bacan, Halmahera dan Morotai seakan-akan sia-sia. Dalam karya Andaya (1993), peperangan yang dilakukan baru di zaman pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583), beliau, melakukan Pemblokiran bantuan, pasukan dan bahan makanan serta pengiriman ekspedisi meyerang wilayah Moro-Halmahera, Bacan, dan Morotai. Bergerak menuju pantai Timur Halmahera dan sampai ke utara, dengan membunuh orang Portugis-Kristen yang mereka jumpai. Pulau Bacan pada 1571, berhasil dikuasai dan mengusir orang Portugis, Raja dan rakyatnya dipaksa untuk meningalkan agama yang mereka anut, baik Andaya (1993) maupun Baretta (1917), tidak menyebutkan berapa banyak kematian akibat dari penyerangan pasukan Babullah, kalaupun ada jumlah ini hanya spekulasi sejarah yang tidak akurat. Bahkan, Babullah juga member toeransi kepada ”garnisun” Portugis di dalam Benteng Nostra Senora del Rosario yang terdiri dari 400 orang, dan sebanyak 500 telah meninggal akibat penyakit karena kekurangan gizi. Babullah mengijinkan kapal dari Goa itu mendarat, membeli cengkih seperti biasanya dan membawa orang-orang Portugis yang masih ada meninggalkan pulau Ternate menuju Ambon dan Malaka. Dan Kristen pribumi yang diperkirakan sebanyak 400 orang, diberangkatkan ke wilayah Labuha dan menjadikan sebagai satu-satunya pemukiman Kristen di Pulau Bacan, dan hal ini tidak dilarang oleh Babullah. Ia kemudian mengirimkan sebuah surat ke pada raja Portugal dimana dia meminta agar keadilan ditegakan bagi mereka yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya, (Andaya 1993).
Dari uraian di atas, tidak bermaksud mengurui para pembaca, tapi setidaknya kedepan, dalam penulisan sejarah, hal yang terutama adalah persoalan kejujuran dalam interpertasi sumber yang kita temukan, serta membandingkan sumber yang ada. hal ini kiranya sangat penting untuk menuju suatu kesempurnaan dalam menulis, tanpa harus mengklaim siapa yang salah dan benar. Selain itu alangkah baiknya kepada Universitas Khairun, pihak kesultanan Ternate maupun pemerintah yang terkait, dapat membuat biografi khusus sultan Khairun, sehingga kedepan nanti dapat memudahkan masyarakat yang ingin mengetahui sosok Sultan Khairun.

irfan A

No comments: