Tahafut Al-Falasifah, Kontroversi Ranah Filsafat

Sampul depan Kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali.
Sampul depan Kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali.

Karya Al-Ghazali ini menciptakan kontradiksi dalam pemikiran para filsuf tentang Tuhan dan alam semesta.
Filsuf termasyhur Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) mengkritik pemikiran filsuf Islam Ibnu Sina.

Karya kontroversial ini dibuat pada abad ke-11. Filsuf Muslim seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Al-Farabi (Alpharabius) di cela dalam buku ini. Karya itu berhasil mendongkrak pemikiran filosofi dan teologi Al-Ghazali yang beraliran Asy’ariyah.

Buku ini diawali dengan ringkasan pemikiran filosofis Islam milik Ibnu Sina berjudul Tujuan Filsuf (Maqasid al-Falasifah). Al-Ghazali menyatakan, seseorang harus menguasai gagasan para filsuf sebelum menolak ide-ide mereka. Tahafut disusun menjadi 20 bab.

Isi bab tersebut, antara lain, menyangkal doktrin prakeabadian dunia, menyangkal doktrin kekekalan setelah mati, menampilkan dalih atas dua pernyataan; Tuhan pencipta dunia versus dunia adalah ciptaan Tuhan, ketidakmampuan filsuf membuktikan keberadaan Sang Pencipta, menyangkal alasan bahwa langit bergerak, menyangkal doktrin bahwa surga adalah jiwa yang tahu fakta-fakta, dan menyangkal penolakan kebangkitan tubuh dan kenikmatan surga atau penderitaan neraka yang menyertainya.

Ghazali menyatakan, Ibnu Sina dan para pengikutnya telah keliru dalam 17 poin dengan melakukan bid’ah (ajaran sesat). Poin masing-masing dibahasnya tersendiri secara rinci dalam sebuah bab.

“Dalam ilmu metafisika, filsuf tidak menggunakan alat yang sama, yaitu logika yang mereka gunakan dalam ilmu lainnya, seperti astronomi, fisika, dan matematika,” kata Al-Ghazali.

Namun, di tiga bab lainnya, Ghazali menuduh mereka menjadi benar-benar religius. Di antara tuduhan yang ia lontarkan terhadap para filsuf adalah ketidakmampuan mereka membuktikan keberadaan Tuhan dan ketidakmampuan membuktikan ketidakmungkinan adanya dua dewa.

Tiga gagasan itu merupakan teori dari dunia praabadi. Ghazali menulis, Tuhan menciptakan dunia dalam waktu. Dan, segala sesuatu di dunia akan hilang seiring waktu, tapi Tuhan akan tetap ada.
Hanya Tuhan yang mengetahui karakteristik universal tentang suatu hal (baca: bentuk Platonis). Di hari akhir, hanya jiwa manusia yang dibangkitkan, bukan tubuhnya.

Buku ini menciptakan kontradiksi dalam pemikiran para filsuf tentang Tuhan dan alam semesta.

Dalam beberapa hal, pemikiran Ghazali dapat dilihat sebagai pendahuluan sebelum Immanuel Kant mengeluarkan kritik Pure Reason. Beberapa kalangan bahkan menggambarkannya sebagai kritik yang lebih tajam dan menentukan metafisika ketimbang Kant.

Membela occasionalism

Kerancuan Filsafat terkenal karena mengusulkan dan membela teori occasionalism Asy’ariyah. Al-Ghazali menulis, ketika api dan kapas mengalami kontak, kapas dibakar langsung oleh Tuhan bukan oleh api. Sebuah klaim yang ia bela dengan menggunakan logika.

Ia menjelaskan hal itu karena Tuhan biasanya dilihat secara rasional, bukan serta merta. Perilaku Tuhan biasanya menyebabkan peristiwa dalam urutan yang sama (sebab-akibat). Peristiwa itulah yang kita pahami sebagai hukum alam.

Namun, yang benar bukan hukum alam, melainkan hukum ketika Tuhan memilih untuk mengatur perilaku sendiri atau otonomi dalam arti sempit. Dengan kata lain, kehendak rasional.

Hal ini bukanlah elemen penting dari teori occasionalism. Occasionalism dapat mencakup posisi, perilaku Tuhan (dunia) dipandang tidak bisa ditebak. Dengan demikian, mempertahankan transendensi penting Tuhan.

Pada pemahaman ini, anomali seperti keajaiban adalah hasil perilaku Allah yang tidak biasa bagi kita. Dengan kebebasan-Nya yang transenden, Dia tidak terikat bahkan oleh alam sendiri. Mukjizat sebagai anomali dalam struktur rasional alam semesta tidak dapat terjadi karena hubungan Allah dengan dunia ini tidak dimediasi oleh prinsip-prinsip rasional.

Al-Ghazali menyatakan, dukungannya terhadap metodologi ilmiah didasarkan pada pengujian dan matematika saat membahas astronomi.

Setelah menjelaskan fakta-fakta ilmiah dari gerhana matahari dan gerhana bulan, ia menulis, “Barang siapa yang menyangkal teori tertentu dalam perdebatan, selayaknya berpegang pada pengujian, geometri, dan aritmatika yang tidak meninggalkan ruang untuk keraguan.”

Dalam pembelaannya terhadap doktrin Asy’ariyah bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu yang terbatas, Al-Ghazali mengajukan teori modal kemungkinan dunia dengan alasan dunia nyata adalah yang terbaik dari semua kemungkinan dunia yang mungkin dibuat Tuhan.

Teori tersebut paralel dengan Duns Scotus di abad ke-14. Namun demikian, tidak pasti apakah Al- Ghazali memiliki pengaruh pada Scotus. Keduanya mungkin dipengaruhi tulisan Metafisika Ibnu Sina.

Ibnu Rusyd menulis buku bantahan terhadap karya Al-Ghazali berjudul Kerancuan di Atas Kerancuan (Tahafut al-Tahafut). Dalam tulisannya, ia membela doktrin para filsuf dan mengkritik argumen Al-Ghazali. Penulisannya mengambil format dialog, yakni Ibnu Sina mengutip ayat-ayat Al-Ghazali dan kemudian menanggapinya.

Namun, teks ini tidak diterima dengan baik oleh umat Islam yang lebih luas. Pada abad ke-15, bantahan terhadap argumen Ibnu Rusyd ditulis seorang sarjana Turki Mustafa Ibnu al-Yusuf Bursawi yang juga dikenal sebagai Khwajah Zada. Ini sekali lagi menunjukkan kepada cendikiawan Islam tentang kelemahan pemahaman manusia dan kekuatan iman.

Sang filsuf pengelanaMuhammad al-Ghazali tetap menjadi salah satu cendikiawan paling terkenal dalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya sangat diperlukan dalam studi ilmu hukum, filsafat teologi, dan tasawuf.

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Tusi. Ia lahir pada 1058 atau 450 Hijriah di Tus, Iran.

Al-Ghazali mulai belajar di Tus dengan gurunya bernama Ahmad al-Radhakani. Di Jurjan ia menulis Al-Ta'liqah dari ceramah Abu al-Qasim Al-Ismaili al-Jurjani. Ia kembali ke Tus selama tiga tahun.

Setelah itu, pergi ke Nishapur, tempat ia bergabung dengan sekolah Nizhamiyah, dan belajar di bawah bimbingan Imam al-Haramain al- Juwaini selama delapan tahun.


Setelah kematian Al-Juwaini, al-Ghazali pergi ke kamp (al-Mu’askar) milik Nizam al- Mulk yang mendirikan sekolah Nizhamiyah.

Kamp ini terkenal sebagai tempat pertemuan bagi para sarjana yang berdebat mengenai ilmu Islam. Ia pun kuliah di sana antara 1091-1095.

Selama periode ini, al-Ghazali belajar filsafat sendiri dan menulis Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) dan muncul seolah-olah ia adalah sa lah satu dari mereka. Diikuti kemudian dengan karyanya Tahafut Al-Fa lasifah. Hampir semua cendikiawan cenderung menggeneralisasi dan mengatakan bahwa al-Gha zali memberikan pencerahan filsafat dalam buku ini.

Akhir karier al-Ghazali di Nizhamiyah, Baghdad, tak terduga. Keadaan ini kemudian dikenal sebagai “Krisis Spiritual” al-Ghazali. Setelah membahas metodologi para teolog Muslim (al-Mutakallimun), para filsuf, dan esoterics (al-Batiniyyah), ia memilih jalan sufi sebagai cara memperoleh pengetahuan pasti.

Meskipun metode ini memiliki prasyarat, kata Ghazali, kita harus meninggalkan semua hal yang bersifat duniawi. Kesehatan al-Ghazali memburuk dan dokter menyerah karena mereka menyadari sumber masalahnya bukan fisik.

Al-Ghazali kemudian membagikan kekayaannya dan pergi dari Baghdad untuk memulai perjalanan rohani yang berlangsung selama sekitar 11 tahun. Ia pergi ke Damaskus, Yerusalem, Hebron, Madinah, Makkah, dan kembali ke Baghdad, tempat ia berhenti sebentar.

Perjalanannya berlangsung sampai Jumadil Akhir 490 H atau 1097 M. Ia kembali ke Tus dan menghabiskan sembilan tahun dalam pengasingan hingga kematiannya pada Desember 1111 M. Karya-karya awal al-Ghazali berada di wilayah yurisprudensi. Dalam Al-Mankhul fi’ Ilm al-Ushul, ia mengabdikan bab untuk diskusi tentang sifat ilmu kalam.

Perlu dicatat, penggunaan Ghazali terhadap ilmu bersifat umum dan terbatas pada ilmu-ilmu alam atau fisik, mencakup semua subjek pengetahuan, termasuk syariah. “Ilmu pengetahuan tidak dapat didefinisikan. Ketidakmampuan kita untuk mendefinisikan (ilmu) tidak menunjukkan ketidaktahuan kita tentang ilmu yang sama,” katanya.

Ani Nursalikah

No comments: