Fathurrahman Kafrawi, Pejuang Pendidikan Agama

Fathurrahman Kafrawi.
Fathurrahman Kafrawi.

Nama Fathurrahman Kafrawi harum sebagai nama salah satu Menteri Agama RI pada masa-masa awal Indonesia merdeka.

Sebagai seorang yang tumbuh besar sebagai santri, sosok kelahiran Tuban Jawa Timur 10 Desember 1901 ini, pandai dalam ilmu agama, dan mengenyam berbagai lintas pendidikan di luar negeri.

Meski menjadi seorang politikus dan banyak mengutarakan berbagai ide untuk membangun bangsa ini, ia tetap tampil bersahaja. Bekal ini tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya, Kiai Kafrawi dan Ibu Aisyah.

Keduanya adalah santri tolan. Mereka berdua mengajarkan ilmu agama sejak Fathurrahman masih kecil. Pribadinya yang cerdas membuatnya ia cepat menguasai dasar-dasar ilmu agama dan tampil sebagai anak pandai.

Salah satu sikapnya yang patut diteladani adalah sejak kecil Fathurrahman ini tidak pernah membeda-bedakan siapa saja yang patut bergaul dengannya.

Contohnya, meski ia dan keluarganya berasal dari kalangan NU, ia tak segan untuk berteman dengan sesama saudara dari kalangan ormas lain seperti Muhammadiyah.

Kaya atau miskin juga tak pernah menjadi pertimbangannya untuk mencari kawan. Semua orang selalu diperlakukan sama dan bisa menjadi temannya.

Fathurrahman melanjutkan pengembaraan mencari ilmunya di Pesantren Jamsaren Solo, Jawa Tengah. Kecerdasannya kemudian mengantarkannya untuk bisa menimba ilmu di Makkah dan Mesir hingga 10 tahun lamanya.

Saat belajar di perantauan ini, ia menunjukkan tajinya dalam berorganisasi. Ia aktif dalam berbagai kelompok mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar Mesir. Ia pun pernah didaulat menjadi Ketua Jamaah al-Khairiyah at-Thalabiyah al-Azhariyah al-Jawiyah.

Selepas mengenyam pendidikan di Timur Tengah, ia kemudian belajar di Barat, tepatnya ke Leiden, Belanda. Satu tahun berikutnya ia habiskan waktunya juga untuk belajar di Prancis dan Inggris. Berbagai macam bahasa asing dan bidang ilmu pun mampu ia kuasai.

Kembali ke Tanah Air, Fathurrahman mengabdikan diri sebagai pejuang kemerdekaan dan pendidik.

Ia mendirikan Madrasah Hidayat Islamic School, yang tersedia dari tingkat dasar, menengah pertama, hingga menengah atas.

Ia juga berjasa dalam pendirian sekolah Islam di jenjang perguruan tinggi. Bersama dengan Abdul Kahar Muzakkir, ia bisa mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Pada 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta berbarengan pemindahan ibu kota negara dari semula Jakarta, ke Kota Gudeg itu.

Seiring dengan perkembangan STI yang semakin besar, pada 22 Maret 1948 nama STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Ia juga berhasil merintis lahirnya Perpustakaan Islam dan Poliklinik NU di Yogyakarta.

Dalam bidang politik, bersama teman-teman sejawatnya ia aktif dalam berbagai aksi menentang penjajahan, baik Belanda, Jepang, maupun Agresi Belanda kedua. Ia aktif mendukung organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, salah satunya Masyumi.

Kariernya sebagai politikus pun semakin gemilang. Pada 2 Oktober 1946, pada masa Kabinet Syahrir III, ia didaulat sebagai Menteri Agama, menggantikan HM Rasjidi. Ia menjadi orang NU kedua setelah KH Wahid Hasyim yang menyandang jabatan sebagai Menteri Agama.

Meski hanya dalam waktu singkat, hanya sekitar 10 bulan karena pada 26 Juli 1946 jabatannya sebagai Menteri Agama berakhir, namun ia banyak menorehkan kebijakan perbaikan struktur organisasi kementerian dan banyak berkontribusi dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia.

Ia bisa merevisi peraturan-peraturan yang terkait dengan pencatatan nikah, talak, dan rujuk (NTR) yang ditetapkan dalam UU No 22 Tahun 1946. Di dalam peraturan tersebut, ia menertibkan posisi penghulu, modin, dan sebagainya. Kebijakan lain yang diambilnya adalah yang menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.

Pada saat itu, mata pelajaran (mapel) agama memang telah berhasil dimasukkan ke sekolah-sekolah umum negeri dari tingkat sekolah rakyat hingga sekolah menengah atas.

Namun, pada kenyatannya, nilai mapel agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas. Pendidikan agama menjadi salah satu mata pelajaran yang tidak terlalu penting. Fathurrahman pun memperjuangkan hal ini dan akhirnya berhasil membuat mata pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti menjadi wajib di sekolah umum.

Ketika menjabat sebagai menteri Agama, Fathurrahman Kafrawi juga mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama No 5 Tahun 1947 tentang Tata Cara penetapan awal dan akhir Ramadhan, seperti yang dilakukan setiap tahunnya hingga sekarang.

Selain sebagai menteri Agama, ia juga pernah menyandang jabatan sebagai wakil ketua Konstituante 1957 hingga 1959 dan anggota MPRS sebagai wakil ulama.

Berbagai jabatan politik tersebut tak mengubah kepribadiannya yang semenjak kecil selalu bersahaja dan bergaul dengan semua orang. Ia pun menikah dengan Buchainah binti Hisyam yang berasal dari kalangan Muhammadiyah dan tinggal di Yogyakarta.

Setiap pulang dari Jakarta ke Yogyakarta, ia tak pernah menggunakan fasilitas istimewa sebagai pejabat. Ia tetap menggunakan kendaraan umum, biasanya kereta api, dan selalu akrab mengobrol dengan penumpang lainnya yang berasal dari berbagai kalangan.

Ia juga senang bergaul dengan para pemuka agama lain. Sering para pastor dan pendeta bersilaturahim ke rumahnya untuk membicarakan masalah-masalah sosial keagamaan. Fathurrahman selalu membuka pintu rumahnya bagi siapa saja yang ingin berdiskusi dengannya.

Ia mengembuskan napas terakhirnya pada 2 September 1969. Atas jasanya dalam merintis perguruan tinggi tertua di Indonesia, nama Fathurrahman Kafrawi diabadikan menjadi salah satu gedung Laboratorium Terpadu di UII Yogyakarta.


Rosita Budi Suryaningsih 

No comments: