Fatimiyah, Penguasa Mesir Terlama

Masjid al-Hakim, Kairo, Mesir, peninggalan Dinasti Fatimiyah.
Masjid al-Hakim, Kairo, Mesir, peninggalan Dinasti Fatimiyah.

Kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan.
Dinasti Fatimiyah adalah penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghrib, Mesir, dan Syam (Suriah) dari 5 Januari 910 M hingga 1171 M oleh Abdullah al-Mahdi Billah. Ada pula sumber yang menyebutkan Fatimiyah didirikan pada Desember 909 M.

Negeri ini dikuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syiah. Pemimpinnya juga para imam Syiah. Mereka memiliki kepentingan keagamaan terhadap Ismailiyyun. Dinasti itu disebut pula dengan Bani Ubaidillah sesuai dengan nama pendiri dinasti.

Fatimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia. Setelah penaklukan Mesir sekitar 971 M, ibu kotanya dipindahkan ke al-Qahirah (Kairo) pada 969 M.

Di masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, Yordania, dan Hijaz.

Puncak ekspansi Fatimiyah terjadi pada 1057 M sampai 1059 M. Saat itu, Jenderal Turki Al-Basasiri bergabung ke Fatimiyah dan memproklamasikan kekhalifahan Fatimiyah di Baghdad, rumah kekhalifahan ortodoks.

Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudra Hindia. Hubungan perdagangan dan diplomatik bahkan hingga ke Cina pada masa Dinasti Song.

Fatimiyah fokus pada perdagangan jarak jauh karena kurangnya minat di bidang pertanian. Selain itu, sistem irigasi Sungai Nil belum diperhatikan.

Fatimiyah dengan cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan sebagai akibat dari propaganda luas Ismaili yang dijalankan dengan gerakan misionaris (dawat). Dawat, selama periode Fatimiyah, diorganisasi menjadi cabang pemerintah dengan fungsi, struktur, dan hierarki sendiri di bawah khalifah.

Kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Penganut Sunni bisa menduduki jabatan di pemerintahan sebagaimana Syiah.

Toleransi kepada non-Muslim, seperti Kristen dan Yahudi, berkembang. Mereka juga bisa mendapatkan kedudukan di pemerintahan berdasarkan  kemampuan masing-masing.

Mesir merupakan satu-satunya negara yang paling lama merasakan kekuasaan Fatimiyah. Ketegangan hubungan antara beberapa provinsi di barat laut Afrika dan Asia Barat dengan Kairo mempersulit dinasti ini melekatkan jejak-jejak kebudayaannya di daerah itu.

Karya seni unggulFatimiyah juga dikenal dengan karya seninya yang menakjubkan. Mereka  menciptakan keramik berkualitas tinggi yang berkilau.

Dalam sejarah budaya Mesir, Fatimiyah bersama dinasti sebelumnya, yaitu Iksidiyah dan Thulun, bisa dikatakan sebagai era Arab-Persia yang berbeda dengan era Persia-Turki pada periode Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk.

Pada  periode Fatimiyah, kebudayaan yang mendominasi adalah Persia. Elemen paling penting dalam populasi Mesir sepanjang abad pertengahan dan modern adalah orang-orang Koptik yang telah terarabkan.

Dari sisi politik, periode Fatimiyah menandai munculnya zaman baru, untuk pertama kalinya sejak periode Firaun menjadi penguasa penuh dengan kekuatan besar dan didasarkan atas prinsip keagamaan.

Kebangkitan dan kemajuan mereka dicapai berkat kemampuan militer para pemimpin pasukan serta posisi kekhalifahan Abbasiyah yang mulai melemah.

Masa keemasan Fatimiyah dimulai pada periode Al-Mu’iz dan memuncak pada masa Al-Aziz, periode kekuasaan Al-Muntashir. Seorang Persia yang mengunjungi negara ini pada 1046-1049 M adalah Nashir Khusraw.

Dia mengatakan pada masa kejayaannya, istana mempekerjakan 30 ribu orang. Dari jumlah itu, 12 ribu di antaranya adalah pelayan dan 1.000 orang merupakan pengurus kuda.

Universitas Al-AzharDi Kairo Dinasti Fatimiyah mendirikan perpustakaan besar dan perguruan tinggi. Yang paling terkenal adalah Darul Hikmah dan Al-Azhar. Ketika Nasir Khusraw mengunjungi Al-Azhar pada 1047 M, dia menemukan 317 profesor. Ada 9.758 siswa yang mempelajari ilmu logika, matematika, hukum, fisika, astronomi, dan teologi.

Al-Azhar memiliki koleksi 200 ribu manuskrip, di antaranya 2.400 Alquran, naskah tulisan tangan Ibnu Muglah dan ahli kaligrafi lainnya, serta salinan sejarah yang ditulis sejarawan termasyhur, Al-Tabari.

Semua kalangan dapat mengakses informasi dengan gratis di perpustakaan. Khalifah Al-Hakim menghabiskan dana yang besar untuk buku, beasiswa, dan pemeliharaan perguruan tinggi.

Al-Azhar adalah universitas pertama di Timur dan mungkin yang tertua sepanjang sejarah. Sampai saat ini, Al-Azhar masih bertahan sebagai salah satu lembaga pendidikan besar dunia Islam yang terus berkembang
Dinasti penguasa lautSupremasi Fatimiyah di laut dimungkinkan karena pengetahuan mereka tentang astronomi dan geografi.

Khalifah Fatimiyah sangat menyenangi ilmu pengetahuan sehingga mendorong penelitian di bidang astronomi dan geografi. Observatorium besar dibangun di Kairo, tempat para mahasiswa bisa mengikuti pergerakan bintang-bintang.

Militer Fatimiyah sebenarnya berasal dari suku Kutama Berber. Suku ini menjadi bagian penting dari militer Fatimiyah, bahkan setelah Tunisia mulai terpecah. Unit militer dibagi berdasarkan suku. Berber biasanya ditempatkan sebagai penembak atau kavaleri.

Suku Turki menjadi pasukan pemanah berkuda. Sedangkan, suku Afrika, Suriah, dan Arab umumnya bertindak sebagai infanteri. Pembagian tugas berdasarkan etnis masih bertahan selama berabad-abad di Mesir.

Angkatan Laut (AL) Fatimiyah adalah salah satu kekuatan AL yang paling tangguh. Mereka menguasai Laut Merah dan Mediterania Timur. AL digunakan untuk  memperluas kerajaan, juga bertugas melindungi garis pantai yang luas dan rute laut utama.

Perlindungan yang diberikan AL sangat mendorong perdagangan. Laut Kairo dengan cepat menjadi titik persinggahan utama antara Mediterania dan laut selatan.

Di bawah kepemimpinan Al-Mu’iz Lidinillah, militer Fatimiyah sangat kuat sehingga mampu menangkal beragam serangan. Saat itu, Bizantium dipimpin Nicephorus yang bertikai dengan Muslim pada 961 M. Dia berhasil menaklukkan Tartus, Al-Masaisah, Ain Zarbah, dan tempat-tempat lain.

Strateginya adalah memanfaatkan perseteruan antara penguasa Muslim. Lalu, dia mulai mencaplok wilayah kekuasaan Muslim perlahan-lahan. Dia menyerang desa-desa kecil, menghancurkannya, dan menguasainya. Al-Mui’iz  berhasil mendapatkan kekuasaan penuh perbatasan Irak dan Suriah. Militer Fatimiyah pun berhasil mengalahkan mereka.

Militer berdasarkan suku mulai mendatangkan masalah secara politik. Pada 1020 M terjadi kerusuhan serius antara tentara Afrika dan Turki. Pada 1060 M terjadi perpecahan di tubuh militer. Hal ini diperparah dengan kondisi Mesir yang dilanda kekeringan panjang dan kelaparan.

Sumber daya yang menurun menambah masalah dan memicu perang saudara. Militer dari suku Turki menguasai sebagian besar Kairo dan menyandera khalifah. Selain itu, militer dari suku Berber dan Sudan mulai menguasai bagian lain Mesir.

Pada 1072 M Khalifah Fatimiyah Abu Tamim Ma’ad al-Mustansir Billah yang berputus asa meminta bantuan Gubernur Acre, Palestina, saat itu, Jenderal Badr al-Jamali. Tentara Badr al-Jamali berhasil memadamkan perang saudara, tapi kerusuhan selama lebih dari satu dekade telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan Mesir.

Ani Nursalikah

No comments: