Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Ulama Pemberi Keteladanan
...hati yang ada di dalam diri ini seperti rumah. Jika dihuni oleh orang yang pandai merawatnya dengan baik maka akan tampak nyaman dan hidup. Tapi, jika tidak dihuni atau dihuni oleh orang yang tidak dapat merawatnya maka rumah itu akan rusak dan tak terawat.
Zikir dan ketaatan kepada Allah SWT merupakan penghuni hati. Sedangkan, kelalaian dan maksiat adalah perusak hati.”
Itulah salah satu wasiat yang pernah disampaikan oleh Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Habib adalah salah satu penyebar Islam di tanah Jawa. Dari wasiat itu terlihat bagaimana kedalaman hatinya.
Ia tak hanya pandai mengumbar jargon “jagalah hati”. Lebih jauh dari itu, ulama kelahiran Besuki, Jawa Timur, pada 16 Dzulhijjah 1285 H ini juga memberikan contoh lewat keteladanan hati dan sikapnya semasa hidup selama 91 tahun.
Habib Abu Bakar adalah ulama yang memiliki nenek moyang dari Hadramaut. Hadramaut pada masa lampau dikenal sebagai tempat yang banyak mengekspor ulama besar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Untuk membekali dirinya menjadi ulama besar, Habib Abu Bakar sempat berkelana ke Hadramaut.
Ia berhijrah ke sana tak lama setelah ayahnya meninggal. Tepatnya, saat usianya baru menginjak delapan tahun. Adalah sang nenek, Syaikhah Fatimah binti Abdullah ‘Allan, yang menganjurkan Abu Bakar untuk menyeberangi lautan menuju Hadramaut.
Kepergiannya ke Hadramaut ditemani oleh Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Di negara asal dan tempat tinggal Nabi Hud dan Saleh ini, kedatangan Abu Bakar disambut oleh pamannya, Al Habib Abdullah bin Umar Assegaf.
Tak lama kemudian, ia mulai menimba pengetahuan. Dari pamannya ia mendalami ilmu fikih dan tasawuf. Lewat pamannya, ia juga diajarkan untuk membiasakan diri bangun malam dan shalat Tahajud.
Selain kepada pamannya, Abu Bakar remaja juga menghabiskan waktunya dengan berguru ke sejumlah ulama terkenal di Hadramaut. Satu di antaranya adalah Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi yang menjadi guru pemerhati untuk Abu Bakar.
Dalam sejumlah kisah tertulis Habib Ali ini sempat menyebutkan jika di kemudian hari Abu Bakar akan menjadi salah satu ulama besar pada masanya.
Abu Bakar meninggalkan Hadramaut setelah berusia 17 tahun. Ia kembali ke tanah Jawa sambil didampingi oleh Al-Arifbillah al-Habib Alwi bin Saggaf as-Saggaf.
Tempat yang dikunjunginya adalah kota kelahirannya di Besuki, Jawa Timur. Hanya tiga tahun ia berada di sana. Ia kemudian hijrah ke Gresik. Di tempat ini ia kembali menimba ilmu dari para ulama.
Saat usianya baru menginjak 20 tahun, ia melakukan sebuah perjalanan spiritual yang sangat penting. Ia menepikan diri dari hiruk pikuk kehidupan duniawi. Ia melakukannya selama hampir 15 tahun. Hal tersebut dilakukan setelah adanya bisikan di dalam hatinya. Tanpa ragu ia melakukan proses tersebut.
Selama proses berkhalwat, Abu Bakar hanya mengabdikan diri dan beribadah kepada Sang Khalik. Ibarat ular yang hendak mendapatkan kulit terbaik maka perlu ada proses pengasingan diri dan puasa. Begitulah kiranya memahami proses pengasingan diri dari Abu Bakar saat usianya masih menginjak remaja.
Setelah 15 tahun berkhalwat, salah satu gurunya, Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, menyarankannya untuk keluar. Ia pun mengikuti saran sang guru. Setelah proses itu dilewati, ia melakukan ziarah ke sejumlah makam ulama. Setelah itu, ia mulai mengembangkan pengajian di Gresik.
Pengajian atau taklim yang dilakukannya itu dengan melakukan pembacaan kitab-kitab Salaf. Tercatat, lebih dari 40 kali kitab karya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, dikhatamkan. Setiap kali khatam kitab tersebut, ia selalu mengadakan jamuan makan kepada masyarakat luas.
Semasa hidupnya ia cukup aktif menyebarkan Islam melalui mimbar majelis taklim. Dalam setiap majelis, Abu Bakar selalu berpesan agar para pengikutnya selalu menjaga kebersihan hati. Sebelum wafat, ia sempat menunaikan puasa selama 15 hari. Tak lama setelah itu, ia pun pergi menghadap Sang Khalik pada Zulhijjah 1376 H.
Mohammad Akbar
Zikir dan ketaatan kepada Allah SWT merupakan penghuni hati. Sedangkan, kelalaian dan maksiat adalah perusak hati.”
Itulah salah satu wasiat yang pernah disampaikan oleh Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Habib adalah salah satu penyebar Islam di tanah Jawa. Dari wasiat itu terlihat bagaimana kedalaman hatinya.
Ia tak hanya pandai mengumbar jargon “jagalah hati”. Lebih jauh dari itu, ulama kelahiran Besuki, Jawa Timur, pada 16 Dzulhijjah 1285 H ini juga memberikan contoh lewat keteladanan hati dan sikapnya semasa hidup selama 91 tahun.
Habib Abu Bakar adalah ulama yang memiliki nenek moyang dari Hadramaut. Hadramaut pada masa lampau dikenal sebagai tempat yang banyak mengekspor ulama besar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Untuk membekali dirinya menjadi ulama besar, Habib Abu Bakar sempat berkelana ke Hadramaut.
Ia berhijrah ke sana tak lama setelah ayahnya meninggal. Tepatnya, saat usianya baru menginjak delapan tahun. Adalah sang nenek, Syaikhah Fatimah binti Abdullah ‘Allan, yang menganjurkan Abu Bakar untuk menyeberangi lautan menuju Hadramaut.
Kepergiannya ke Hadramaut ditemani oleh Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Di negara asal dan tempat tinggal Nabi Hud dan Saleh ini, kedatangan Abu Bakar disambut oleh pamannya, Al Habib Abdullah bin Umar Assegaf.
Tak lama kemudian, ia mulai menimba pengetahuan. Dari pamannya ia mendalami ilmu fikih dan tasawuf. Lewat pamannya, ia juga diajarkan untuk membiasakan diri bangun malam dan shalat Tahajud.
Selain kepada pamannya, Abu Bakar remaja juga menghabiskan waktunya dengan berguru ke sejumlah ulama terkenal di Hadramaut. Satu di antaranya adalah Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi yang menjadi guru pemerhati untuk Abu Bakar.
Dalam sejumlah kisah tertulis Habib Ali ini sempat menyebutkan jika di kemudian hari Abu Bakar akan menjadi salah satu ulama besar pada masanya.
Abu Bakar meninggalkan Hadramaut setelah berusia 17 tahun. Ia kembali ke tanah Jawa sambil didampingi oleh Al-Arifbillah al-Habib Alwi bin Saggaf as-Saggaf.
Tempat yang dikunjunginya adalah kota kelahirannya di Besuki, Jawa Timur. Hanya tiga tahun ia berada di sana. Ia kemudian hijrah ke Gresik. Di tempat ini ia kembali menimba ilmu dari para ulama.
Saat usianya baru menginjak 20 tahun, ia melakukan sebuah perjalanan spiritual yang sangat penting. Ia menepikan diri dari hiruk pikuk kehidupan duniawi. Ia melakukannya selama hampir 15 tahun. Hal tersebut dilakukan setelah adanya bisikan di dalam hatinya. Tanpa ragu ia melakukan proses tersebut.
Selama proses berkhalwat, Abu Bakar hanya mengabdikan diri dan beribadah kepada Sang Khalik. Ibarat ular yang hendak mendapatkan kulit terbaik maka perlu ada proses pengasingan diri dan puasa. Begitulah kiranya memahami proses pengasingan diri dari Abu Bakar saat usianya masih menginjak remaja.
Setelah 15 tahun berkhalwat, salah satu gurunya, Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, menyarankannya untuk keluar. Ia pun mengikuti saran sang guru. Setelah proses itu dilewati, ia melakukan ziarah ke sejumlah makam ulama. Setelah itu, ia mulai mengembangkan pengajian di Gresik.
Pengajian atau taklim yang dilakukannya itu dengan melakukan pembacaan kitab-kitab Salaf. Tercatat, lebih dari 40 kali kitab karya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, dikhatamkan. Setiap kali khatam kitab tersebut, ia selalu mengadakan jamuan makan kepada masyarakat luas.
Semasa hidupnya ia cukup aktif menyebarkan Islam melalui mimbar majelis taklim. Dalam setiap majelis, Abu Bakar selalu berpesan agar para pengikutnya selalu menjaga kebersihan hati. Sebelum wafat, ia sempat menunaikan puasa selama 15 hari. Tak lama setelah itu, ia pun pergi menghadap Sang Khalik pada Zulhijjah 1376 H.
Mohammad Akbar
No comments:
Post a Comment