Mencari Jejak Persembunyian Jepang di Glee Busot

Mencari Jejak Persembunyian Jepang di Glee Busot
Wartawan mengukur luas gua dengan membentangkan tangan | Foto: Zulkifli Anwar/
Sejak masa darurat militer hingga sudah delapan tahun lebih pascadamai Aceh, menurut Syakir, hampir tidak ada warga yang masuk ke gua tersebut.
DUA perempuan paruh baya itu baru pulang dari sawah. Keduanya menghentikan langkahnya di bibir jalan desa tersebut ketika melihat kami turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka, Senin, 20 Januari 2014 lalu. “Benar, ini Paloh Panyang,” keduanya serentak menjawab bersamaan anggukkan kepala.
Desa Paloh Panyang berada di Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Desa yang berjarak lebih kurang empat kilometer dari pusat kota Bireuen itu dikelilingi perbukitan pencakar langit. Rumah-rumah penduduk berjejer tidak jauh dari kaki bukit. Pepohonan tumbuh subur di setiap pekarangan rumah warga. Itu sebabnya Paloh Panyang hijau dan segar. Pemandangan hijau pekat juga tampak di areal sawah yang baru selesai ditanami bibit padi, sebelah kanan jalan desa.
Kedua perempuan itu langsung beradu pandang tatkala kami menanyakan lokasi Gua Busot di desa tersebut yang menjadi lokasi persembunyian serdadu Jepang kala perang masa silam. Sejurus kemudian salah satu dari mereka berkata, “Gua itu di Glee Busot, agak jauh dari sini,” ujarnya.
Kini masyarakat Paloh Panyang menyebut bukit lokasi gua Jepang itu “Glee Busot Leupee Siblah”. Disebut Glee Busot karena dulunya gua masa pendudukan Jepang tembus dari lereng bukit sebelah utara ke selatan. Disebut Leupee Siblah lantaran dulunya di lereng salah satu bukit desa tersebut ada bak leupee berukuran besar yang mati, kemudian sebelah atau satu bagian pohon itu tumbuh kembali.
“Jarang ada orang yang pergi ke gua itu,” sahut seorang nenek yang baru bergabung dengan dua perempuan tadi.
Nenek itu tadinya bersantai bersama seorang anak muda di teras sebuah rumah tepi jalan desa tersebut. “Memang ada gua di lereng Glee Busot, menurut cerita orang tua kampung ini, gua itu dulunya tempat meusom (sembunyi) Jepang,” ujar anak muda tersebut memastikan kebenaran informasi yang kami tanyakan.
Anak muda 33 tahun itu, Junaidi, mengaku baru sekali ke lokasi gua Jepang tersebut lebih lima tahun lalu. Ia menganggukkan kepala saat diminta bantuannya memandu kami ke lokasi gua.
“Harus bawa senter karena di dalam gua itu sangat gelap,” ujar Junaidi yang kemudian menghilang di balik daun pintu rumahnya dan muncul kembali dengan menggenggam sebuah senter.
Kami bergerak menelusuri jalan Desa Paloh Panyang. Lebih kurang dua kilometer dari rumah Junaidi, kami belok kiri masuk sebuah lorong dan berhenti depan sebuah rumah di ujung lorong yang berbatasan dengan kebun.
“Kita harus jalan kaki lewat kebun ini menuju ke kaki bukit,” ujar Junaidi. “Saya tunggu di mobil saja, tidak sanggup mendaki bukit karena nafas pas-pasan,” kata Ibrahim (58 tahun), warga Lhokseumawe yang ikut bersama kami.
Dikomandani Junaidi, saya bersama fotografer Zulkifli Anwar, dan pemilik mobil yang kami tumpangi, Bukhari, menapaki kebun yang sesak dengan pepohonan. Sekitar 200 meter berjalan, kami tiba di kaki bukit. Ada jalan setapak yang bertabur bekas tapak kaki sapi. Kami mengikuti jalan tersebut hingga mendaki lereng bukit yang terjal dari arah selatan.
Bukhari dan Zulkifli tertinggal di belakang. Belum sampai setengah lereng bukit, keduanya terpaksa berhenti mendaki lantaran nafas sudah memburu. “Kami istirahat sebentar,” kata Bukhari yang berperut buncit.
Pria berpostur pendek dan berbadan gempal ini berusaha keras mengatur pernafasanya yang seperti orang baru saja dikejar anjing galak.
Tak kurang tiga kali Bukhari terkapar sepanjang pendakian lereng bukit yang tertutup rumput tebal itu. Sesekali ia dipapah Zulkifli. Ketika berhasil mencapai puncak salah satu bukit, Bukhari pun tumbang. Muntah. Tiga kali muncrat isi perutnya. Wajahnya kini pucat pasi.
Kami mulai cemas dengan kondisinya. Zulkifli berusaha memijat kepala Bukhari agar ia merasa lebih baik. Pijatan Zulkifli ternyata mujur. Kondisi Bukhari sedikit membaik, namun masih butuh istirahat.
Saya dan Junaidi terus mendaki hingga tiba di puncak bukit paling tinggi. Berada di punggung bukit ini, menatap ke arah timur terlihat perkotaan Bireuen. Tampak gedung-gedung pemerintah, deretan pertokoan dan rumah-rumah penduduk. Akan tetapi pandangan mata kami ke arah lautan terhalang kabut. “Yang itu kawasan Juli,” ujar Junaidi menunjuk ke utara.
Sambil menikmati pemandangan indah, hembusan angin kencang di atas bukit  menyejukan badan. Keringat yang membuat baju lengket dengan badan, perlahan mengering. Lelah dan dahaga mulai menyingkir dan tubuh terasa bugar.
“Di bawah pohon jati itu guanya,” kata Junaidi membangkitkan semangat saya yang kemudian memanggil Zulkifli dan Bukhari segera merapat ke tempat kami berdiri.
Tak lama, Zulkifli dan Bukhari sudah bergabung. Setelah memastikan Bukhari mampu melanjutkan perjalanan, kami pun menyeret kaki tertatih-tatih menelusuri jalan di puncak bukit, lalu turun ke bukit yang lebih rendah di sebelah utara.
Berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam, Junaidi lantas menuruni lereng bukit yang tertutup ilalang tebal. Zulkifli, Bukhari dan saya mengekor dengan hati-hati agar tidak jatuh sebab bisa berakibat fatal, terguling-guling ke jurang. “Jangan sampai mati konyol dan gagal melihat gua Jepang,” kata Bukhari cemas.
“Di sini guanya,” terdengar suara Junaidi melengking. “Alhamdulillah, akhirnya tiba di lokasi  gua,” sahut Zulkifli berkacak pinggang di mulut gua.
Gua tersebut terpaut sekitar 20 meter dari puncak bukit. Mulut gua tertutup tumbuhan pakis hutan dan ilalang yang menjadi semak belukar di bawah pohon jati. Junaidi langsung menerobos masuk lantaran sudah tidak sabar ingin melihat ruangan gua di dalam perut bukit itu. “Ayo, masuk, aman,” Junaidi memberi perintah dari dalam gua.
Saya masuk paling belakang. Gelap dan mencekam. Sesekali muncul cahaya bergerak-gerak dari lampu senter Junaidi. “Aman, tidak ada binatang apapun,” Junaidi sudah berada di ujung lorong gua.
Tinggi ruangan gua dekat pintu masuk sama seperti ukuran badan saya, sekitar 168 centimeter.  “Bisa tolong sorot lampu senter kemari,” pinta saya sambil meraba dan menekan dinding gua dengan tangan kanan, lalu mencoba mencakar.
“Dindingnya tanah berlapis kapur, ya,” komentar saya. Sebenarnya saya sendiri masih bimbang, benar atau tidak lapisan itu kapur. Pastinya berwarna putih dan lengket ketika saya oles pada punggung jari tangan. Selain berkapur, sebagian dinding lorong gua juga berlumut dan berembun.
Kaki saya menginjak benda keras. Setelah saya raba, ternyata beberapa batu berlapis tanah. Lantai gua sendiri beralaskan tanah. Melangkah lebih  dalam, langit-langit gua tampak lebih tinggi dari bagian atap dekat pintu masuk. Tinggi lorong gua di bagian tengah lebih dua meter.
Di bagian tengah lorong gua, sebelah kiri ada kamar. Luasnya 8 x 7 jengkal tangan saya atau sekitar 165 cm x 150 cm. Di kamar ini ada pemandangan yang mencuri perhatian saya. Ketika kena sorot cahaya lampu senter, dinding kamar itu berkilau kerlap kerlip seperti berlian. Melihat itu, Junaidi, Zulkifli dan Bukhari ikut terpana.
Penasaran dengan dinding itu, saya coba mencakar. Keras sekali seperti karang. “Bisa minta bantu cari batu,” pinta saya. Tak lama Junaidi menyodorkan bongkahan batu sebesar dua kali gepalan tangan. Saya coba ketuk beberapa kali dan berharap bagian dinding terkelupas sedikit. Berhasil. Pecah dan terkelupas hingga jatuh. Belakangan saya ketahui lapisan dinding gua yang berkilau itu disebut ablak. Mulanya saya mengira semacam karang lantaran keras sekali.
Saya bergerak ke sebelah kanan dinding gua. Juga ada kamar, tetapi lebih kecil. Luasnya lima kali tiga jengkal tangan saya. Dindingnya tidak berlapis ablak. Sama seperti dinding lorong gua, tanah berlapis kapur. Kondisi serupa pada ujung gua. Bedanya, lorong ujung gua lebih luas, lebarnya sekitar 180 cm. Dalam lorong gua tersebut ada pula bak uroet yang menggantung seperti beberapa helai tali.
Puas mengecek tiap jengkal ruangan, kami mencoba mengukur panjang lorong  dari bagian ujung sampai ke mulut gua. “Tiga puluh tujuh langkah saya,” ujar Zulkifli yang dua kali mengulang pengukuran dengan cara seperti itu.
Setelah ke luar, kami bersantai di muka gua sembari membincangkan lapisan dinding kamar yang berkilau. Kami masih kagum dengan temuan tersebut.
Junaidi kemudian melangkah ke arah timur. Sekitar 15 meter, dia menghentikan langkahnya dan berseru, “Ini gua satu lagi”.
Informasi itu menggoda kami. Berjalan perlahan sambil memegangi rumput tebal di lereng bukit, kami merapat ke tempat Junaidi. Tampak mulut gua sangat sempit lantaran sebagian tertutup perdu bambu berukuran kecil. Batang bambu masing-masing sebesar pergelangan tangan orang dewasa. 
Junaidi membungkukan badanya dan berjalan dengan lutut, lalu masuk ke gua dengan sangat hati-hati agar tidak tergores duri ranting bambu yang tajam. Berhasil. Giliran saya menyusul, Zulkifli dan Bukhari mengekor dengan cara yang sama. Bukhari agak kesulitan masuk lantaran badannya lebar. Ia harus berjuang keras sebab sisa mulut gua hanya selebar badannya.
Dinding gua kedua tersebut tanah berlapis kapur dan sebagian berlumut. Atapnya juga sama. Kami tidak menemukan lapisan ablak seperti pada salah satu kamar dalam gua pertama tadi. Gua kedua yang kami masuki ini tidak memiliki kamar. Di ujung lorong gua tampak dua kelelawar menggantung pada bagian atap. Panjang lorong gua itu sekitar 8,5 meter, lebar lorong bagian tengah satu meter lebih. Tinggi lorong gua sama seperti gua pertama, lebih kurang dua meter.
Depan mulut gua ini ada pohon jati. Di atas mulut gua juga ada pohon jati yang masih berukuran kecil.
Ke arah timurnya, lebih kurang 15 meter dari mulut gua kedua, Junaidi menemukan bekas mulut gua ketiga. Akan tetapi sudah tertutup rapat dengan tanah. “Tidak bisa kita masuk, tertutup total,” ujar Junaidi.  
Junaidi kemudian menuruni lereng bukit lebih ke bawah lagi untuk mencari gua lainnya. “Nyo pat ka meuteume saboh teuk (ini sudah ketemu satu lagi),” teriak pemuda lajang itu.
Saya, Zulkifli dan Bukhari langsung menyusul. Masuk ke mulut gua ini harus membungkukan badan karena sempit. Lorong dekat pintu masuk juga sempit dan menjorok ke bawah.
“Ini lebih menarik dari dua gua sebelumnya, ada kamar-kamarnya. Lorongnya terbagi dua (dua lorong), satu belok kanan, satu ke kiri,” ujar Junaidi yang berada paling depan.
Lantaran ada dua lorong, kami memilih lorong sebelah kanan untuk sasaran pertama. Ujung lorong tersebut berkelok ke kiri. Ruangan ujung lorong lebih luas dari lebar lorong bagian tengah dan dekat pintu masuk. Di ujung lorong ada satu kelelawar menggantung pada atap gua. Panjang lorong ini dari bagian ujung sampai mulut gua sekitar 12 meter lebih.
Kami lantas masuk ke lorong satu lagi, sebelah kiri dari arah pintu masuk gua. Masuk ke lorong ini seperti menuruni dua anak tangga. “Dulunya mungkin di sini ada anak tangga, tapi sudah rusak,” kata Zulkifli diamini Junaidi. Lebar lorong ini sekitar 90 cm.
Terus melangkah ke dalam, kami menemukan kamar berukuran kecil di sebelah kanan lorong. Lebih ke dalam lagi, di bagian ujung ada kamar lebih besar, lebarnya sekitar dua meter. “Mungkin ini kamar komandan tentara Jepang, ruangannya lebih besar dari lorong gua,” komentar Junaidi.
“Ya, gua ini yang paling menarik dari dua gua sebelumnya, di sini banyak kamarnya,” Bukhari ikut berkomentar.
Panjang lorong tersebut lebih 20 meter dari pintu masuk gua. “Lebih panjang dari lorong dua gua tadi. Berada dalam gua ini kita merasa sedikit sesak, seperti kekurangan oksigen,” ujar Zulkifli. Junaidi dan Bukhari membenarkan.
Setelah ke luar dari gua itu, Junaini berkata, “Saya baru pertama kali masuk ke gua yang banyak kamar ini. Dulu saat saya datang pertama ke tempat ini, tidak menemukan gua ini, hanya masuk ke dua gua di bagian atas tadi (gua pertama dan kedua)”. Jarak dari gua paling bawah ke gua di bagian atas tadi lebih kurang 20 meter.
Tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Kami lantas mendaki ke puncak bukit untuk pulang ke pemukiman penduduk Paloh Panyang. Ketika tiba di puncak bukit tertinggi, kami berpapasan dengan seorang anak muda, Syakir, warga Paloh Panyang.
Syakir naik ke puncak bukit itu dengan sepeda motor tua dan membawa sebilah sabit (alat potong rumput untuk ternak). “Pulang darimana,” Syakir bertanya pada Junaidi. Kami melempar senyum dan menyalami anak muda 26 tahun itu agar cepat akrab.
“Kami baru saja melihat gua bersejarah,” kata saya. Syakir tampak agak kaget, lalu berkata, “Omin, hebat ureung droe neuh neu teujeut tamong lam guha nyan. Lon han teujeut tamong nye sidroe”.
Sembari bersantai, Syakir berbagi cerita kepada kami. Kata dia, dulunya sebelum masa darurat militer atau jauh sebelum tsunami, warga Paloh Panyang pernah berburu landak ke dalam gua Jepang tersebut.
“Awalnya kami pakai sua (obor), tapi sampai di dalam gua, apinya mati karena pengap seperti minim oksigen. Kemudian pulang ambil senter dan menyiapkan beberapa potongan batang pisang. Kami lempar ke dalam gua agar landak tersangkut dan bisa kami tangkap,” kata Syakir.
Sejak masa darurat militer hingga sudah delapan tahun lebih pascadamai Aceh, menurut Syakir, hampir tidak ada warga yang masuk ke gua tersebut. “Saya tidak berani masuk lagi ke sana, takut ada ular atau binatang liar lainnya,” ujar dia.
“Barusan kami sudah masuk tiga gua, tidak ada binatang liar. Yang ada di dalam dua gua, satunya ada dua kelelawar, satu gua lagi hanya satu kelelawar menggantung pada langit-langit gua,” kata saya.
“Aman, tidak ada yang membahayakan dalam gua itu,” timpal Junaidi.
Lantaran merasa senang berkenalan dengan kami yang baru keluar dari gua Jepang, Syakir minta foto bareng dengan latar belakang kota Bireuen di puncak bukit paling tinggi.
Syakir juga bersedia mengantar pulang Bukhari dan Zulkifli dengan sepeda motornya. Mereka menelusuri jalan setapak melingkari beberapa bukit sampai tiba di pemukiman penduduk. Saya dan Junaidi pulang dengan menuruni lereng bukit yang kami daki pertama tadi. Dari puncak turun sampai ke kaki bukit butuh 10 menit, karena kami  tidak berhenti berjalan dan sesekali berlari, namun tetap hati-hati agar tidak terpeleset.
***
Pulang dari gua Jepang itu, kami menjumpai salah seorang kakek di Paloh Panyang. Muhammad Daud akrab disapa Nek Daud, 84 tahun, mengatakan pasukan Jepang tiba di Bireuen sekitar tahun 1942. Salah satu komandannya, disebut Techo kala itu bermarkas di Mon Jambee, Bireuen.
“Lebih kurang setahun kemudian (1943), pasukan Jepang tiba di Paloh Panyang. Mereka mempekerjakan warga dari sejumlah desa secara bergiliran, termasuk dari Mon Jambe untuk menggali perut bukit menjadi gua dan membuat kurok-rok di bukit Paloh Panyang,” ujar Nek Daud.
Lokasi gua dipegunungan diyakini aman untuk persembunyian. Diperkirakan gua-gua tersebut digali dengan peralatan sederhana seperti  pahatan. Sepengetahuan Nek Daud ada tiga gua lebih di lereng bukit kawasan Paloh Panyang.
“Mulut gua Jepang itu arah kawasan Juli (sebelah utara bukit). Dulunya gua tersebut tembus ke sebelah Paloh Panyang (selatan bukit). Makanya glee (bukit/gunung) itu disebut Glee Busot (Gunung Tembus),” kata laki-laki renta itu.
Belakangan, kata Nek Daud, gua Jepang tersebut tidak tembus lagi ke sebelah selatan bukit. “Pernah terjadi gempa dasyat sekitar tahun 1967, mungkin itu salah satu lorong gua tidak tembus lagi,” ujarnya.
“Dulu ada beberapa potongan kayu pinus penyangga langit-langit gua, sekarang tidak ada lagi,” kata Nek Daud.
“Dulu juga ada ranjang terbuat dari besi dalam gua yang ada kamar-kamarnya, belakang tidak ada lagi,” ujar seorang pemuda saat berbincang dengan kami dan warga Paloh Panyang lainnya.
Di bukit lainnya yang lebih rendah dari bukit lokasi gua tersebut, kata Nek Daud, juga ada kurok-rok (bunker) peninggalan Jepang. Bukit itu saat ini menjadi lokasi latihan motor cross.
“Mestinya Pemerintah Bireuen memugar gua Jepang itu agar menjadi lokasi wisata sejarah,” Syakir berharap. “Gua bersejarah itu tentu penting untuk diketahui generasi Aceh saat ini dan masa akan datang”.[]

No comments: