Sejarah Salafisme di Indonesia
Gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832.
Ulama lain yang kritis terhadap adat Minang adalah Syaikh Ahmad Khatib, lahir di Bukittinggi pada tahun 1855. Pada usia 21 tahun, ia pergi ke Mekah dan menetap di sana untuk memperdalam pengetahuan agama Islam yang berpahamkan madzab Syafe’i. Ia mampu mengembangkan ilmunya sehingga diangkat menjadi Imam Madzab Syafe’i di Masjid Haram. Beliau adalah ulama yang cerdas, kritis, sekaligus toleran. Secara terang-terangan, Ia tidak menyetujui aliran Naqsabandiyah serta terhadap adat pembagian waris model Minangkabau yang memberikan waris kepada keponakan. Muridnya diberi kebebasan membaca buku termasuk tafsir Al Manar-nya Muhammad Abduh maupun tulisan kaum pembaharu lainnya dengan harapan bahwa murid akan memahami pikiran baru sehingga akan menentangnya. Tetapi yang terjadi adalah bahwa mereka justru menjadi pendukung pembaharuan tersebut seperti Syeck Muhammad Jambek, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, dan Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Sebagian murid lainnya yang berpegang pada Madzab Syafe’i antara lain Syeh Sulaiman Rasul, dan Hasyim Asy’ari yang pendiri Nahdatul Ulama.
Pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga yang kemudian berganti nama menjadi LIPIA ini memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran para ulama salafi. LIPIA adalah cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Pada awal tahun 1980 Imam Muhammad bin Saud University di Riyadh memutuskan membuka cabang ketiga di Indonesia. Pembukaan cabang baru di Indonesia ini terkait dengan gerakan penyebaran ajaran wahabi yang berwajah salafi ke seluruh dunia Islam yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi.
Hal ini, secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern, seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad, yang mengusung kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Saegijanto Padmo. Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Mata Ke Masa: Sebuah Pengatar. Humaniora. 19: 2. 2007. 154; & Deliar Noer, Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia Tahun 1840-1942. Jakarta: LP3ES. 1985.
Deliar Noer, Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia Tahun 1840-1942. Jakarta: LP3ES. 1985.
http://liputanislam.com/kajian-islam/sejarah/gerakan-salafi-kontemporer-3-dari-timur-tengah-hingga-indonesia. diakases 13 Desember 2013.
Saegijanto Padmo. Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Mata Ke Masa: Sebuah Pengatar. Humaniora. 19: 2. 2007.
A Jauhar F
No comments:
Post a Comment