Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Mereformasi Pendidikan Islam

Syekh Sulaiman ar-Rasuli (tengah).
Syekh Sulaiman ar-Rasuli (tengah).

Rosita Budi Suryaningsih
Ulama ini lahir 10 Desember 1871 di Nagari Canduang, Koto Laweh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Namanya adalah Muhammad Sulaiman bin Muhammad Rasul.

Ia dikenal dengan nama Sulaiman ar-Rasuli. Ada pula yang memanggilnya dengan sebutan "Inyiak Canduang". Inyiak dalam bahasa Minang berarti kakek atau yang dituakan karena ia menguasai ilmu yang tinggi.

Ia terlahir dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Angku Mudo Muhammad Rasul dan ibunya Siti Buliah. Kakeknya juga seorang ulama yang disegani di kampungnya. Dengan lingkungan keluarga seorang ulama, membuatnya sudah akrab dengan pendidikan agama sejak kecil.

Ia juga berguru pada beberapa  ulama terkemuka di Sumatra Barat, antara lain, Syekh Muhammad Arsyad bin Syekh Abdurrahman al-Khalidi di Batu Hampar, Syekh Abdussamad Tuanku Samiak Ilmiyah di Agam, Tuanku Kadi Salo, Syekh Mohammad Ali Tuanku Kolok di Kabupaten Tanah Datar, dan Syekh Abdullah Halaban.

Pada 1903, ia pergi ke Makkah untuk berhaji dan menuntut ilmu ke beberapa ulama terkemuka  selama 3,5 tahun. Ulama yang menjadi gurunya, di antaranya, adalah Syekh Ahmad Khatib, Syekh Mukhtar 'Atharad as-Shufi, Syekh Usman al-Sirwaqi, Syekh Muhammad Sa'id Mufty al-Syafe'i, Syekh Nawawi Banten, Syekh Ali Kutan, Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Said Ahmad Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan Said Babasil.

Lama menimba ilmu agama, membuatnya ahli dalam ilmu fikih. Sepulangnya dari Makkah, ia konsisten mengajarkan Mazhab Syafi'i dan mempertahankan iktiqad ahl al-sunnah wa al-jamaah. Ia dicintai oleh murid-muridnya yang diajarnya secara mandiri di Surau Baru Canduang.

Selain cara mengajarnya yang membuat para murid terkagum-kagum dalam penguasaan ilmu, kemampuannya dalam ilmu agama membuat kawan-kawannya sesama ulama, termasuk ayah Buya Hamka, menghormatinya.

Ia juga selalu memegang sikap demokratis dan terbuka pada ide baru yang positif. Salah satunya adalah ide untuk melakukan pola belajar ilmu agama. Metode belajar secara halaqah, diubahnya menjadi model belajar baru. Tepatnya pada 1926, surau tempatnya mengajar berganti menjadi sebuah Madrasah Tarbiyah Islamiyah.

Langkah yang dilakukannya dalam mereformasi sistem pendidikan di Minangkabau merupakan fondasi bagi pengembangan basis perjuangan rakyat setempat.

Perubahan yang dilakukannya ini  dipandang sebagai modal untuk mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia agar bisa memperkuat kaum cendekiawan dan ulama, yang mampu mengorbankan semangat rakyat dalam melawan penjajah.

Ke depannya, langkah perubahan ini diikuti oleh ulama-ulama lain yang sepaham dengannya, yang kemudian melahirkan banyak cendekiawan cerdas dan pahlawan nasional dari Sumatra Barat.

Dua tahun kemudian, ia mendirikan Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) dan menjadi ketuanya. Pada 28 Mei 1930, ia menggagas musyawarah besar di MTI Canduang lalu membentuk organisasi yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI) sebagai pengganti PMTI, yang bertugas untuk mengelola semua madrasah yang berada di bawah naungannya.

Dalam musyawarah tersebut ditetapkan 10 orang ulama pendiri organisasi ini. Ia kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai direktur pendidikan. Sejak itu, model madrasah seperti ini kemudian menjamur di seluruh antero tanah Minang. Konsep baru ini banyak diterima dan pendidikan Islam di Sumatra Barat pun semakin berkembang dengan pesat.

Setelah Indonesia merdeka, PTI berkembang fungsinya menjadi partai politik dengan nama Partai Islam PERTI dan ia menjadi Penasihat Tertinggi. Sulaiman ar-Rasuli juga menggagas berdirinya Mahkamah Syariah di Sumatra Tengah dan ia didaulat sebagai ketuanya. Ia juga bertindak sebagai penasihat untuk gubernur militer Sumatra Tengah di masa itu.

Bagi masyarakat Minangkabau, ia menorehkan sebuah keputusan penting yang menjadi panduan pelaksanaan adat minang hingga sekarang . Ia menggagas Kongres Segi Tiga Pada 1954 yang digelar di Bukittinggi. Acara ini dihadiri oleh tokoh adat, ninik-mamak, alim ulama, dan cendekiawan Minangkabau.

Salah satu hasil kongres adalah menyepakati bahwa harta warisan atau pusaka tinggi tetap dibagi menurut adat, sedangkan harta pencarian atau pusaka rendah dibagi menurut syariah. Ia menjadi salah satu tokoh adat dan agama yang dihormati oleh kaumnya.

Tahun 1956, ia menghadiri Muktamar Ulama Seluruh Indonesia (MUSI) di Palembang dan dipercaya sebagai ketua salah satu komisi yang bertujuan untuk menentang komunis.

Pada pemilu pertama 1955, Sulaiman ar-Rasuli terpilih menjadi anggota konstituante. Pada sidang pertama dewan ini, ia terpilih menjadi ketua sidang.

Dalam menjalankan tugas politiknya, ia tetap mengenakan model pakaian yang selama ini ia pakai sebagai ulama, yaitu mengenakan sarung dan sorban.

Dalam usianya yang semakin senja, ia tak berhenti melakukan dakwah dan tarbiyah. Ia tetap aktif berdakwah dalam pertemuan majelis taklim, juga mengajar para santrinya di MTI Canduang. Setahun sebelum ia meninggal, ia meresmikan berdirinya Universitas Ahlussunnah (UNAS) di Bukittinggi dengan satu fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah pada 1969.

Pada Sabtu, 1 Agustus 1970, Syekh Sulaiman ar-Rasuli berpulang dalam usia 99 tahun. Selain jejak yang tertoreh dalam model pendidikan Islam dan adat Minang, ia juga menelurkan berbagai karya yang menjadi pedoman belajar agama.

Antara lain, Siraj fil Isra' wal Mi'raj (mi'raj Nabi), Tasmaratul Qulub Ihsan fi Wiladah Saidil Insan (Maulid Nabi), Dawaul Qulub fi Qish shah Yusuf wa Ya'cub (sejarah Nabi), Risalah A1 Aqwalul Wasithah fidz dzikir war Rabithah (tasawuf), A1 Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran (ilmu tafsir), Al-Jawahirul Kalamiyah (ushuluddin), Sabilus Salamah fi Wirid Saidiyah Usman, Kisah Muhammad Arif (Tasawuf), dan Al-Aqwal al-Mardhiyah.

No comments: