Belajar Sejarah dari Bangladesh

Sebelum bernama Bangladesh, negara ini dikenal sebagai Pakistan Timur dan menjadi  bagian dari India sejak kemerdekaannya diproklamirkan pada tahun 1947. Setelah melaui proses perjuangan fisik dan politik yang tidak mudah, sejak tahun 1971 Pakistan Timur menjadi negara merdeka dengan nama Bangladesh. Meski sebagian besar penduduknya Muslim (89%), para pemimpin Bangladesh yang dimotori oleh Sheikh Mujibur Rahman mendeklarasikan kemerdekaan negaranya - tanggal 26 Maret 1971 - dengan bentuk negara sekuler, bukan negara agama.

Nampaknya, pilihan bentuk negara yang sekuler ini tidak diterima begitu saja oleh sayap Islam garis keras. Mereka pun melakukan perlawanan ppolitik melalui gerilya dengan menggunakan alat konstitusional yang terlembaga: partai politik. Setelah melalui tarik ulur diplomasi politik, alhasil, pada amandemen ke-2 konsitusi 1972, gerakan ini berhasil meng-golk-an cita-cita mereka yakni menambahkan kata “bismillahirrahmanirrahim” pada preambule konstitusinya. Simple memang, namun inilah target politis yang ‘cukup’ sebagai penanda berakhirnya era ’sekularisme’ di negeri tersebut. Praktis, sejak saat itu, ide negara sekuler sebagaimana dicita-citakan oleh founding fathers mereka akan pemisahan agama dan negara, kian laun semakin menguap.

Pergumulan dan tarik ulur formalisasi ide agama dalam negara ini pun terjadi di Nusantara, jauh sebelum Indonesia berdiri. Pada akhir jaman Majapahit, tepatnya kekuasaan Raja Brawijaya V, perbedaan ide gerakan Islam terjadi antara para Wali yang dimotori oleh Sunan Kalijaga dengan Sunan Gresik. Sunan Kalijaga menginginkan jika Islam Nusantara, masuk dan menjadi cara hidup dan budaya dalam masyarakat, sebaliknya Sunan Gresik lebih menekankan kepada formalisasi agama melalui negara. Kejadian serupa ditemukan pada era kemerdekaan 1945. Piagam Jakarta masih ’seperti adanya’ bahkan menjelang proklamasi dibacakan. Atas bujukan Mr Ketut Pudja sebagai wakil dari Sunda kecil, Bung Hatta akhirnya menghapus tujuh kata terakhir -“mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi Para Pemeluknya” – dari Sila 1 Piagam Jakarta dengan dasar pemikiran menjunjung tinggi heterogenitas Indonesia. Pada masa transisi di era 1950-59,  upaya politik juga dilakukan melalui badan konstituante yang pada akhirnya gagal karena intervensi Bung Karno dengan diluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.

Setelah mati suri di era orde Baru, gerakan ini hidup kembali dan bertransformasi ke dalam institusi politik (partai). Pada tahun 1999-2002, upaya penghidupan Kembali Piagam Jakarta gencar dilakukan dalam perhelatan yang konstitusional, baik dalam sidang paripurna maupun sidang tahunan. Gerakan ini didukung oleh 3 partai; PKS (ketika itu PK), PBB dan PPP. Diantara para vokalis partai tersebut, Najib Ahjad (PBB) dan Safriansah (PPP) adalah yang paling getol menyuarakan perlawanan ini sembari menyatakan niat partainya tidak akan pernah padam untuk merealisasikan cita-cita ini kedalam konstitusi negara (Risalah Sidang Paripurna MPR ke-6 (lanjutan), Sidang Tahunan MPR tahun 2002, 10 Agustus 2002, hlm. 743-744).

Setelah tidak mendapat dukungan eksekutif (dalam hal ini SBY) dan parpol lainnya dalam satu dekade terakhir, gerakan ini kini menggeliat kembali dengan memanfaakan lemahnya posisi tawar salah satu capres - Prabowo -  dalam Pilpres kali ini. Mereka mulai secara terang-terangan untuk menyatakan cita-cita lamanya; formalisasi agama dalam negara. Dengan masuknya kelompok ini ke dalam barisan pendukung paket ini, alhasil PraHaRa pun dikerumuni oleh 3 kelompok ‘penyamun’; mereka yang bernafsu untuk berkuasa – dimotori oleh Golkar, barisan yang sakit hari (Mahfud MD, Roma Irama, Ical) dan mereka yang menginginkan Indonesia sebagai negara agama - kalifah. Maka, tidak salah  jika pada saat koalisinya, Surya Dharma Ali menyebut bahwa pertarungan Pilpres kali ini adalah tarung drajat antara Islam vs Nasionalis. Islam yang mana? Tentu, Islam yang (agak) fundamentalis.

Kemanakah dukungan para Islam moderat dan minoritas harus diarahkan? Jika kita berfikir logis, tentu tidak sulit untuk dijawab. Tinggal, apakah kita dibutakan oleh kepentingan pribadi jangka pendek atau hanya terhibur oleh iklan atau tidak? Kini, masa depan Indonesia akan kita tentukan dalam hitungan hari. Bukan oleh siapa-siapa melainkan kita sekalian. Pilihannya adalah, apakah kita mau menjadi tuan rumah di negeri sendiri atau hanya menjadi musafir di bumi pertiwi ini.

Jika kita masih menafikan kecerdikan dan semangat mereka, nampaknya kita harus belajar banyak lagi dari apa yang telah dialami oleh bangsa Bangladesh.

Perth, 31 Mei 2014

Satwika S

No comments: