Benarkah Budi Utomo Pelopor Kebangkitan Bangsa?

MT Kahin menyatakan bahwa Sarekat Islam merupakan gerakan politik pertama di Indonesia, tapi mengapa seolah Budi Utomo yang dianggap berpengaruh?
Benarkah Budi Utomo Pelopor Kebangkitan Bangsa? (1)
Budi Utomo, Kebangkitan, Hari Kebangkitan, Sarekat Islam, SI, Boedi Oetomo
SEMUA pelajar di Indonesia pasti mengingat bahwa tanggal 20 Mei merupakan salah satu tonggak kebangkitan bangsa Indonesia untuk melawan penjajah.
Tanggal tersebut adalah peringatan hari Kebangkitan Nasional dengan Budi Utomo sebagai pelaku utama dan pertama.
Sampai hari ini, Budi Utomo yang dicetuskan pada 20 Mei 1908 banyak diklaim sebagai sebuah organisasi yang dianggap membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia untuk melawan penjajah.
Klaim tersebut terus tumbuh dan berkembang di seluruh alam pikiran bangsa Indonesia. Bahwa Budi Utomo (BU) adalah organisasi yang terlahir dari beberapa siswa School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) yang dipimpin oleh dr. Soetomo ini menjadi bahan hafalan dalam pelajaran sejarah.
Pengaruh organisasi ini begitu meluas sehingga mampu membangkitkan semangat nasionalisme bukan saja di Jawa, namun juga di Sumatera dan seluruh daerah Indonesia.
Klaim tersebut bisa ditemukan hampir di semua diktat buku pelajaran sejarah nasional Indonesia dari berbagai macam penerbit seperti Intan Pariwara, Erlangga, Yudhistira dan lainnya. (Pembahasan mendalam mengenai Budi Utomo dapat ditelusuri di buku Akira Nagazumi, berjudul “The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of Budi Utomo, 1908-1918”, diterjemahkan dengan judul “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-1918” oleh Pustaka Utama Grafiti tahun 1989)
Hingga pada akhirnya kita dibuat percaya dan mengakui bahwa tanggal dan bulan itulah yang paling tepat untuk memperingati bangkitnya Indonesia sekaligus awal mula perjuangan kemerdekaan melewati jalur organisasi dan diplomasi.
Sejumlah pertanyaan yang layak dikemukakan, benarkah lahirnya semangat kebangkitan dan nasionalisme tersebut dipelopori oleh BU? Tidak adakah peran organisasi lain yang juga menjadi tonggak sejarah penting bagi kebangkitan bangsa ini?
Tersembunyi atau Disembunyikan?
Dr Ahmad Mansur Suryanegara pada tahun 1969 pernah menulis sebuah artikel “Benarkah 20 Mei Sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Hari Kebangkitan Sarekat Dagang Islam 16 Oktober 1905 Lebih Meyakinkan”.
Artikel sederhana tersebut memuat beberapa fakta yang bisa jadi mematahkan klaim bahwa Budi Utomo (BU) adalah organisasi nasional pertama di Indonesia.
Fakta yang ada tersebut ia perluas lagi dalam bukunya “Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam buku tersebut, ia mengungkapkan bahwa berdirinya BU atas prakarsa pemerintah kolonial Belanda sebagai balance of power terhadap berdirinya Djamiat Choir. BUsebenarnya mencanangkan ideologi Nasionalisme Jawa sebagai tandingan dari nasionalisme ala Djamiat Choir yang terpengaruh oleh gerakan Nasionalisme Timur Tengah.
Seorang ahli sejarah, Vlekke, juga mengungkapkan bahwa BU digerakkan oleh para bupati yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kolonial dibantu oleh kaum bangsawan Jawa dan pejabat pemerintah yang lain.
Tentunya, para bupati dan bangsawan tersebut bersikap sangat loyal terhadap Belanda. (Lihat: Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 391)
Jika demikian, mungkinkah pimpinan BU dapat berpihak kepada kebangkitan nasional yang berjuang mengakhiri penjajahan sementara mereka adalah pihak yang sangat dekat dengan penjajah dan mendapat dukungan mereka?
Nagazumi juga menguak beberapa hal terkait adanya BU dalam perjuangan melawan Belanda. Menurutnya, BUpada dasarnya tidak pernah berkembang luas dan menjadi organisasi massa yang besar di Indonesia. Hal lain yang menyebabkan BU tidak berkembang di seluruh Indonesia adalah karena ia masih bersifat kedaerahan. Salah satu program BUyang utama berbunyi “de harmonische ontwikkeling van land en volk van Java en Madura” (kemajuan yang harmonis bagi nusa Jawa dan Madura).
Dengan demikian, program tersebut mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau tersebut yang mencakup juga masyarakat Sunda yang kebudayaannya mempunyai kaitan dengan Jawa namun jelas mengabaikan masyarakat di pulau lain seperti Sumatra dan Kalimantan.
Dalam kongres BU di Jogjakarta, 11-12 Oktober 1909, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo memberikan usulan agar BU memperluas keanggotaan sehingga tidak hanya terbatas dari bangsawan Jawa semata, tetapi terbuka bagi semua “Anak Hindia” yang lahir, hidup dan akan mati di tanah Hindia.
Usulan tersebut ditolak oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat. Sikap yang Jawasentris dalam tubuh BU masih terlihat pada kongresnya di Bandung tahun 1915. Ketika itu, R. Sastrowidjono yang terpilih sebagai ketua meminta hadirin yang hadir untuk menyerukan Leve pulau Djawa, Leve bangsa Djawa, LeveBudi Utomo (Hidup pulau Jawa, Hidup bangsa Jawa, Hidup Budi Utomo). Dalam kongres itu juga diputuskan bahwa BU berusaha untuk mengekalkan dan menguatkan agama Jawa, suatu ajaran yang berorientasi kejawen dan kebatinan dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Sikap yang tidak mendukung cita-cita persatuan Indonesia tersebut masih terus dipelihara sampai usia BU mencapai 20 tahun.
Pada kongresnya di Surakarta tahun 1928, BU memutuskan menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia dengan bersikeras menjadikan organisasi itu tertutup bagi segenap suku bangsa Indonesia lainnya walaupun hanya sebatas anggota. Hal ini karena BU hanya dikhususkan bagi bangsawan Jawa bukan untuk suku bangsa Indonesia lainnya seperti non-Jawa dan suku Jawa non-bangsawan. (Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku “Api Sejarah”)
Jikalau Budi Utomo hanya dikhususkan untuk bangsawan Jawa, berarti organisasi ini sama halnya dengan organisasi kedaerahan lainnya yang tumbuh berkembang di Indonesia zaman pra-kemerdekaan seperti Minangkabausche Bond (1910), organisasi Sundanese (1914), Sarekat Sumatra, Sarekat Minangkabau dan Jong Minahasa (1918). (Baca: Michael Francis Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; The Umma below the Winds, London: Routledge Curzon, 2003)
Dengan kata lain, organisasi yang ada tersebut terbukti tidak efektif dan masih mementingkan kedaerahan sehingga tidak berusia lama dikarenakan ketika itu Indonesia memerlukan penyatuan atas dasar persamaan tanpa ada perbedaan baik suku, ras dan strata dalam masyarakat.
Lalu mengapa hari lahirnya BU dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia? Tidakkah lebih tepat jika dijadikan sebagai hari kebangkitan kembali kaum feodal Jawa?*
Budi Utomo, Kebangkitan, Hari Kebangkitan, Sarekat Islam, SI, Boedi Oetomo Pergerakan Islam, Tonggak Pemersatu Bangsa
Dengan paparan di atas, rasanya kurang tepat jika BU dianggap sebagai organisasi modern pertama di Indonesia yang mampu menggerakkan kesadaran berbangsa dan berpengaruh luas di seantero Nusantara.
Beberapa buku sejarah perlulah dijadikan rujukan agar kita bisa lebih adil alam menelaah. Fakta sejarah yang mengungkap bahwa jauh sebelum BU berdiri, bangsa Indonesia telah mengenal pondok pesantren dengan gerakan tasawwuf-nya perlu dipertimbangkan.
Pesantren sudah dikenal sebagai benteng pertahanan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan yang diajarkan di dalamnya. Bahkan, pesantren mampu mengikuti arus dan perubahan metode gerakan perjuangan melawan penjajah. Jika sampai akhir abad ke 19 perjuangan melawan penjajah diwarnai dengan pemberontakan mengangkat senjata, pesantren yang dipimpin oleh ulama selalu berada di garis terdepan yang membuat penjajah kewalahan dan berpikir keras untuk menghukum para ulama.
Sederat nama seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien adalah diantara pemimpin yang mampu memporak porandakan kekuatan penjajah. Barulah di awal abad 20 metode perjuangan melawan penjajah diubah dengan mendirikan beberapa organisasi kemasyarakatan yang merangkul semua elemen umat.
Para ulama tidaklah ketinggalan dengan perubahan tersebut, bahkan semakin aktif dan kreatif sampai akhirnya melumpuhkan kekuatan penjajah Belanda. Djamiat Choir, Sarekat Dagang Islam, Al-Irsyad, Muhammadiyah, Persyarikatan Ulama, Persatuan Islam dan Nahdlatul Ulama adalah sebagian dari sekian banyak organisasi yang berwarna kemasyarakatan dan keagamaan di awal abad 20.
Munculnya organisasi pergerakan terutama setelah tahun 1900 yang banyak dipimpin oleh para ulama tersebut bukanlah merupakan ‘hadiah’ dari penjajah yang mulai menerapkan politik etis yang terkenal dengan triloginya: edukasi, irigasi dan imigrasi. Bukan pula dikarenakan ‘kebaikan’ Belanda yang menerapkan sistem penjajahan berbeda dan lebih baik daripada bangsa-bangsa penjajah lainnya di Eropa. Namun, organisasi yang diikuti kesadaran untuk bangkit secara nasional tersebut muncul lebih karena adanya faktor pendukung lain, baik internal maupun eksternal.
Christopher Hitchens mengungkapkan bahwa Belanda menerapkan budaya yang ia sebut “as a model of highly evolved religious tolerance and political pluralism” (model toleransi beragama dan pluralisme politik yang sangat berkembang). Hal itu terbukti dengan daerah jajahan Belanda (Indonesia, Suriname dan Afrika Selatan) yang tidak dijajah dengan kekerasan dan kefanatikan. (Lihat: France Gouda, Dutch Culture Overseas: Colonial Practices in the Netherlands Indies, 1900-1942, Singapura: Equinox Publishing, 2008)
George McTurnan Kahin, professor di Universitas Cornell, dalam bukunya yang berjudul asli “Nationalism and Revolution in Indonesia”, menegaskan bahwa salah satu faktor penting bangkitnya kesadaran nasionalisme adalah persamaan agama. Islam yang kala itu dianut oleh lebih dari 90 persen bangsa Indonesia dan menyebar ke seluruh kepulauan menjadi simbol pemersatu bangsa Indonesia.
Beberapa perbedaan yang nampak dari berbagai macam suku bangsa menjadi hilang karena adanya perpaduan yang ditimbulkan oleh agama yang satu. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Islam bahkan menjadi lambang persaudaraan bagi seluruh rakyat untuk mengusir penjajah dari Indonesia.
Mengutip pernyataan W.F. Wertheim dalam bukunya “Effects of Western Civilization on Indonesian Society”, Kahin menyimpulkan bahwa kedatangan penjajah di Indonesia, baik Portugis maupun Belanda, telah menyatukan raja-raja di kepulauan Indonesia untuk memeluk Islam.
Faktor lain yang memunculkan kesadaran untuk bangkit adalah adanya gerakan reformasi di Timur Tengah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Adalah Jamaluddīn al-Afghānīy (w. 1314 H/1897 M) yang mempunyai pemikiran berpengaruh di tanah Mesir pada waktu itu. Ia berusaha memadukan agama dan ilmu sebagai landasan perjuangan lalu membangun solidaritas antar ummat Islam untuk melawan imprealisme Barat. Pemikiran al-Afghānīy tersebut diikuti oleh Muhammad ‘Abdūh (1265-1323 H/1849-1905 M)dan muridnya Rashid Ridha (1282-1354 H/1865-1935 M). Ide dan pemikiran mereka yang tertuang dalam majalah al-Urwah al-wutsqa dan al-Manār tersebut banyak mempengaruhi pergerakan Islam di Indonesia. Kedua jurnal ini bisa sampai ke tanah air melalui beberapa murid yang belajar ke Al-Azhar Mesir seperti syeikh Taher Jalaluddin yang kemudian menyebarkan ide tersebut kepada beberapa murid dan pengikutnya. (baca: Deliar Noer dalam “The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942”).
Organisasi pembangkit gerakan kesadaran nasional pertama yang lahir dan terus mendapat dukungan luas adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhoedi pada 16 Oktober 1905 di Surakarta. SDI mempunyai tujuan utama untuk menguasai pasar sehingga mampu menghimpun dana yang akan digunakan untuk gerakan kesadaran politik nasional.
Oleh sebab itulah, SDI dengan cepat mempunyai banyak pendukung baik dari kalangan karyawan pabrik bati sampai para pedagang di pasar. Apalagi dengan menamakan organisasinya dengan nama yang Islami dan dipimpin oleh seorang ‘haji’, menjadikan SDI memperoleh simpati umat Islam secara luas.
Setahun setelah SDI berdiri, lahirlah Sarekat Islam (SI) pada tahun 1906 atas prakarsa H. Samanhudi juga. Salah satu bukti bahwa SI berdiri tahun 1906 (bukan pada tahun 1912 seperti yang tertulis dalam beberapa buku sejarah) bisa dilacak dari anggaran dasar SI yang menyebutkan adanya keterkaitan pertama dengan wet-wet negeri Surakarta. Hal ini memberi pengertian bahwa SI telah didirikan di Surakarta jauh sebelum mendapat badan hukum pada 10 September 1912. (Pemaparan lebih jauh baca: Ahmad Mansur Suryanegara, “Api Sejarah” hal. 353-394; A.P.E Korver, “Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?”, Penerbit PT. Grafiti, 1985)
Pada perkembangan selanjutnya, SI mendapat simpati umat Islam secara luas tidak hanya di Surakarta. Bergabungnya HOS. Tjokroaminoto (1882-1934) dalam SI menambah kekuatan dan menarik simpati massa.
Dengan jajaran pimpinan yang kharismatik dan basis massa yang luas, SI semakin berani mengkritik penjajah dengan mengadakan National Congres Central Sarekat Islam yang pertama di gedung Concordia atau gedung Merdeka di Bandung pada 17-24 Juni 1916. Dalam kongres ini SI mempelopori penggunaan istilah nasional dalam masyarakat luas, dan menuntut Indonesia merdeka dengan istilah pemerintahan sendiri atau Zelf Bestuur. Maka tak heran jika Kahin menyatakan bahwa Sarekat Islam merupakan gerakan politik pertama di Indonesia. Gerakan kebangkitannya sangatlah menakjubkan bagi umat Islam dan tentu menjadi ancaman berbahaya bagi penjajah Belanda.
Tak heran jika keberadaan SI adalah starting point bagi munculnya pergerakan-pergerakan lain di Indonesia. (Lihat: Timur Jaylani, The Sarekat Islam Movement: Its Contribution to Indonesian Nationalism, tesis MA pada Islamic Studies di universitas Mc.Gill, Montreal Canada: 1959).
Keberanian HOS. Tjokroaminoto dalam menuntut pemerintahan sendiri dan membela hak-hak rakyat tidaklah sendiri. Di saat Surakarta dan Yogyakarta menjadi target gerakan kristenisasi oleh kolonial pada tahun 1912 dan semakin parahnya kemiskinan akibat sistem tanam paksa, muncullah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) untuk ikut serta mendirikan organisasi yang diberi nama Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912 sebagai gerakan social pendidikan. Target utama Muhammadiyah adalah anak-anak yatim piatu dengan mendirikan Panti Yatim Piatu.
Berdirinya Muhammadiyah mendapat respon sangat cepat dan luas tidak hanya di pulau Jawa, namun juga di luar pulau Jawa terutama di Sumatera Barat. Aktivitas Muhammadiyah bergulir dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan mengkhawatirkan pemerintah kolonial. Untuk itulah, Belanda berusaha menghentikan gerak kemajuannya dengan mengeluarkan Staat Blad no. 494 tahun 1923.
Isi Staat Blad itu antara lain: “Sebelum memperoleh izin tertulis dari pemerintah, suatu lembaga pendidikan yang tidak dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak dibenarkan melakukan aktivitas sekolahnya. Dan hanya abiturient sekolah pemerintah atau swasta yang bersubsidi, yang berhak mengajar di sekolah tersebut.”
Sebuah organisasi pergerakan yang berdiri setelah Muhammadiyah dan mendapat respon yang luas adalah Persatuan Islam (PERSIS) pada 11 September 1923. Lahirnya PERSIS dimulai dengan adanya diskusi yang cukup intensif di kota Bandung. Adalah H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus yang selalu memimpin diskusi untuk membincangkan banyak hal seperti perseteruan antara Djamiat Choir dan al-Irsyad, infiltrasi komunis dalam SI dan juga beberapa wacana yang ada dalam jurnal al-Munir dan al-Manar. PERSIS terus berkembang dan menjadi salah satu organisasi yang berpengaruh. Tokoh lain yang lahir dari organisasi ini adalah Mohammad Isa Anshary dan Muhammad Natsir.
Beberapa organisasi yang berdiri di awal abad ke-20 seperti yang dipaparkan di atas lebih bercorak modernis dan bertujuan sebagai pemurnian akidah dan ibadah dari bid’ah khurafat dan takhayyul. Gerak organisasi itu pun dipengaruhi oleh pemikiran Pan-Islamisme yang ada di Mesir. Maka, pada tahun 1926, dengan prakarsa KH. Hasyim Asy’ari, berdirilah Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 di Surabaya. NU berdiri untuk mempertahankan dan menyebarkan pemahaman kaum tradisionalis yang masih banyak dianut oleh masyarakat pedesaan dan kalangan pesantren. Dengan akar historis yang kuat dan luas, NU tidak kalah cepat dalam menerima respon masyarakat bukan saja di Jawa, namun juga di Sumatera dan Kalimantan. Dengan pemahaman yang tradisionalis dan pengaruh pesantren yang kuat, NU bahkan menjadi organisasi terbesar dibandingkan Muhammadiyah dan PERSIS. Maka tak heran jika NU mampu mendirikan partai sendiri setelah sebelumnya terjadi pergeseran dalam tubuh Masyumi.
Deislamisasi Sejarah Kebangkitan Bangsa
Menelaah beberapa sisi lain dari sejarah bangsa Indonesia, menjadikan kita tersadar bahwa peranan Islam dalam usaha mencapai kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Islam dengan dinamika para ulama yang ada di Indonesia terus berkembang dan menjadi faktor utama penyatu bangsa. Maka sudah sewajarnya jika sejarah yang mengungkap peran besar Islam dan ulamanya ditempatkan pada tempat yang semestinya dan tidak tersembunyidari kita sebagai Muslim.
Dengan adanya fakta-fakta sejarah tersebut, sudah sepantasnya kita mempertanyakan mengenai peran penting BU dalam kebangkitan bangsa.
BU yang terbukti tidak mendapat simpati yang luas dan bahkan sudah tidak ada wujudnya sampai sekarang, seharusnya tidak ditempatkan sebagai motor penggerak kebangkitan bangsa.
Sementara Sarekat Islam (SI) sebagai organisasi yang berani dan mendapat respon cukup luas seharusnya lebih sesuai untuk dijadikan contoh organisasi penggerak kebangkitan bangsa. Hal itu mengingat peran SI dalam kancah sejarah Indonesia yang tidak hanya berpengaruh pada kalangan bangsawan dan pegawai saja, namun juga menyentuh akar rumput rakyat Indonesia.
Namun hal itu tidak terjadi, setidaknya sampai saat ini. Sejarah kita hanya mengenal Budi Utomo sebagai organisasi besar dan seolah mempunyai pengaruh luas. Sebaliknya, SI seolah tidak mempunyai peran signifikan dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Sungguh hal tersebut sebagai salah satu usaha untuk ‘menyembunyikan’ fakta sejarah dan peran besar umat Islam di negeri Indonesia ini.

Imanuddin AF
Penulis adalah mahasiswa S2, IIUM dan Peneliti Islamic Studies Forum for Indonesia

Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar

No comments: