Ghairah Putri Mandi

Ghairah Putri Mandi
Gunongan | Foto: Heri Juanda/The Atjeh
Sultan Iskandar Muda membangun taman penuh pesona. Keindahannya terasa hingga kini. Bernama Taman Putroe Phang. SAAT melangkah masuk gerbang Taman Putroe Phang, Banda Aceh, telinga langsung tergoda suara gemercik air. Ada sungai kecil yang membelah taman di sebelah kiri pintu masuk.
Tampak sebuah jembatan gantung di sungai ini. Di bawahnya ada pintu air. Rupaya dari sinilah gemercik itu berasal.
Tak hanya ritme air yang menghibur telinga, juga warna-warni bunga yang tumbuh subur di setiap sudutnya mampu menyegarkan mata. Hamparan rerumputan berundak-undak laksana bukit-bukit kecil begitu terasa meneduhkan suasana.
Pohon cemara yang mengelilingi taman juga seolah melambai pejalan kaki yang menapaki susunan batu alam tersusun melingkari kawasan. Suasana begini tentu membuat pasangan muda-mudi nyaman bersenda gurau. Suara tawa riang mereka ditingkahi kicauan burung yang hinggap di dahan-dahan di dalam taman.
Inilah Taman Putroe Phang. Setidaknya begitu nama yang tertulis di pintu masuknya. Berada di pusat Kota Banda Aceh, taman ini tak jauh dari Meuligoe Gubernur Aceh yang dulunya bekas istana Sultan Iskandar Muda.
Sebetulnya taman ini terhubung langsung dengan Meuligoe Gubernur. Simpulnya ada di tengah-tengah taman, yaitu sebuah bangunan yang dinamakan Pintô Khôp. Pintô Khôp inilah yang menjadi pintu penghubung taman ke meuligoe.
Untuk menuju Pintô Khôp harus menyeberangi dua jembatan. Pertama, jembatan gantung yang membelah Krueng Daroy, sedangkan satunya lagi jembatan mini yang panjangnya hanya sekitar tiga meter.
Di sebelah kiri Pintô Khôp ada lagi beberapa peninggalan taman, namanya Gunongan. Bangunan yang tingginya 9,5 meter itu berbentuk bunga yang dibangun tiga tingkat. Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan.
Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan menjadi lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.
Di sebelah kanan Gunongan ada bangunan yang disebut “Peterana” (artinya tempat duduk orang-orang terhormat). Bentuknya silinder berornamen kerawang motif jala. Batu ini berdiameter 1 meter dan tinggi 0.5 meter, bagian tengahnya berlubang. Konon di sanalah dayang-dayang membasuh rambut permaisuri sultan.
Jika kita merebahkan kepala di Peterana, tampak pemandangan berupa bentangan langit. Bila langit cerah, terlihat gugusan awan putih.
Sejatinya, tiga bangunan itu menjadi satu kesatuan. Namun, saat ini antara Pintô Khôp dan Peterana sudah terpisah jembatan. Sejarawan Aceh, Teuku Abdullah Sakti, menduga pemisahan area ini terjadi saat Belanda masuk ke Aceh.
“Mereka membuat jalan raya di dalam Kutaradja (Banda Aceh-red). Jadi, taman itu menjadi lebih sempit dan dipilah dalam beberapa bagian,” kata T.A. Sakti.
****
ADALAH Sultan Iskandar Muda yang memerintah sejak 1607-1636 yang membangun taman itu.
Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling berjaya pada masa Kesultanan Aceh. Iskandar Muda diperkirakan lahir sekitar tahun 1593 atau 1590 Masehi. Dia berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.
Menurut Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Iskandar Muda adalah keturunan Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan keluarga Raja Mahkota Alam.
Darul-Kamal dan Mahkota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam.
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Sultan ini adalah putra Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansur Syah, putra Sultan Abdul-Jalil. Abdul-Jalil adalah putra Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda. Daerah kekuasaannya semakin luas. Tak hanya itu, kerajaan tersebut memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.
Taman Gairah sendiri dibangun Sultan Iskandar Muda sebagai lambang cinta untuk permaisurinya. Bernama asli Kamaliah, dia disapa Putroe Phang karena berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Namun tidak ada referensi kuat tentang orang tua Putri Kamaliah dalam catatan sejarah Aceh.
Menurut sejarawan Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Teuku Abdullah Sakti, Putroe Phang dinikahi Sultan Iskandar Muda ketika menaklukkan semenanjung Malaka pada abad ke-17.
Awalnya, keluarga Istana Pahang bersama sekitar 10.000 penduduknya dibawa ke Aceh. Mereka merupakan tawanan perang. Sebagian besar tawanan tadi ditugaskan memperkuat pasukan Sultan Iskandar Muda.
Putri Kamaliah sendiri awalnya merupakan permaisuri Sultan Pahang Raja Abdullah. “Raja Abdullah menceraikan Putri Kamaliah agar bisa dinikahi Sultan Iskandar Muda. Sedangkan untuk Raja Abdullah diberikan saudari Sultan Iskandar Muda,” kata T.A. Sakti.
Kepada sang permaisuri, Sultan mempersembahkan sebuah taman. Rusdi, mantan Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, ini menyebutkan luas taman Putroe Phang mencapai 1000 depa (satu depa setara dengan 1,6-2 meter). Luas itu hanya untuk kawasan Pintô Khôp. Secara keseluruhan, disebutkan luas taman ini sampai ke lokasi Masjid Teuku Umar yang berjarak sekitar satu kilometer dari taman Putroe Phang.
Sebagai bukti, Rusdi menunjuk makam Meurah Pupok (Putra Sultan Iskandar Muda) di pemakaman Kherkoof yang letaknya berhadapan dengan Taman Poetroe Phang.
Keberadaan taman ini juga dikisahkan oleh Nuruddin Ar-Raniry dalam kitab Bustanul Salatin.
Pada zaman baginda-lah berbuat suatu bustan, ia-itu kebun, terlalu indah, kira sa-ribu depa luasnya. Maka di-tanami-nya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Di-gelar baginda bustan itu Taman Ghairah. Ada-lah dewala taman itu daripada batu di-rapati, maka di-turap dengan kapor yang amat perseh seperti perak rupa-nya, dan pintu-nya menghadap ka-istana, dan perbuatan pintu-nya itu berkop, di-atas Kop itu batu di-perbuat seperti biram berkelopak dan berkemunchakkan daripada sangga pelinggam, terlalu gemerlap sinar-nya berkerlapan rupa-nya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa.
Dan ada pada samatengah taman itu su-ngai bernama Darul-‘Ishki berturap dengan batu, terlalu jerneh ayer-nya, lagi amat sejok, barang siapa meminum dia sihat-lah tuboh-nya. Dan ada-lah terbit mata ayer itu daripada pehak raaghib di-bawah Gunong Jabalu’l-A’la, keluarnya daripada batu hitam/itu.
Nuruddin Ar-Raniry bernama lengkap Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Dia ulama penasihat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Syaikh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di Kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada 1637, ia datang ke Aceh, lalu menjadi penasihat kesultanan pada 1644.
Nuruddin memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Selama hidupnya, ia menulis kurang lebih 29 kitab.
Dua karyanya yang terkenal adalah Bustan al-Salatin (Taman Raja-Raja) dan Shiratal Mustaqim (Jalan yang Lurus).
Dari catatannya di Bustan al-Salatin itu, dia memberi nama persembahan Sultan Iskandar Muda sebagai Taman Ghairah. Namun tak dijelaskan mengapa dia menyebut Taman Ghairah. Masyarakat luas lebih suka menyebutnya Taman Putroe Phang, sama dengan Pemerintah Aceh yang secara resmi menamakannya Taman Putroe Phang.
Terlepas dari perbedaan penamaan itu, yang pasti taman ini adalah lokasi khusus sultan dan keluarganya. “Letaknya dengan istana raja pun hanya berbatas tanggul besar dan pagar bambu yang ditanami secara rapat membentuk benteng pertahanan,” kata Rusdi Sufi, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Kendati dibangun untuk Putroe Phang, kata Rusdi Sufi, taman ini juga sering digunakan keluarga kerajaan lainnya. “Para selir serta keturunan sultan menghabiskan waktu dalam taman itu. Bermain ditemani dayang-dayang serta mandi di Krueng Daroy,” katanya.
Krueng Daroy tak lain sungai kecil yang membelah taman hingga menyelusup ke bawah istana sultan.
Dahulunya, Krueng Daroy sangat jernih airnya. “Berdasarkan foto peninggalan Belanda, Pintô Khôp bersisian dengan Krueng Daroy, tidak seperti sekarang. Saat ini Krueng Daroy justru mengelilingi Pintô Khôp,” ujar Rusdi.
Sungai inilah yang menjadi tempat pemandian para perempuan istana. Putroe Phang beserta keluarga kerajaannya berenang, mulai dari Pintô Khôp hingga Peterana atau batu berukir. “Usai mandi, Putroe Phang keramas rambut di Peterana, baru kemudian bermain di Gunongan,” kata T.A. Sakti.
Pemandangan yang bisa bikin mata pria meleleh itu tentu saja dijaga ketat. “Karena itu, setiap sudut taman dijaga para pengawal kerajaan,” kata Rusdi.
Dilarang mengintip? Itu sudah pasti. “Hukumannya sangat berat. Kepala bisa dipenggal,” begitu kata Beaulieu dalam buku Kerajaan Aceh, karya Denys Lombard. Beaulieu adalah utusan Raja Louis XII dari Prancis yang datang ke Aceh pada 1620. Namun, hingga kini belum ditemukan catatan tentang hukuman penggal kepala akibat mengintip putri mandi.
****
LANGIT mulai mendung saat The Atjeh meninggalkan Taman Putroe Phang. Pengunjung masih datang silih berganti. Beberapa pasangan yang tadinya asyik bercengkerama di bawah pohon dekat Pintô Khôp mulai mencari bangunan untuk berteduh.
Peterana dan Gunongan tampak berdiri kokoh dari kejauhan. Warna putihnya tampak mencolok di antara rerumputan hijau yang terpotong rapi. Ada kursi santai tak jauh dari kedua bangunan itu. Pohon cemara yang dibonsai kian membuat lokasi itu menawan.
Dua wanita berpakaian muslimah mengabadikan bangunan indah ini dari berbagai sisi dengan kamera digitalnya.[] Majalah The Atjeh

No comments: