Indonesia, Illuminati , dan Masa Depan Kita

kandidat
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
Apa kabar Indonesia? Hari-hari ini kasak-kusuk partai politik menjelang pemilihan presiden menjadi headline berbagai media massa di negeri ini. Ada yang menjagokan si A, ada pula yang menjagokan si B. Semuanya beralasan jika jagoannya masing-masing mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini masih sebagai sehelai kertas putih yang belum ditulisi. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini sekarang masih berwujud jabang bayi yang sama sekali belum menangggung beban dan dosa.
Sayangnya, Indonesia di hari ini tidaklah seperti itu. Indonesia di hari ini merupakan suatu negeri paling korup di dunia dengan utang luar negeri mencapai lebih dari 3.000 triliun rupiah(!). Angka ini bertambah setiap harinya.
Indonesia di hari ini bukan lagi negeri yang kaya raya, karena semua kekayaan negeri ini yang sangat luar biasa telah dikuasai oleh korporatokrasi asing, dimana para elit dunia seperti klan Rotschild dan Rockefeller berada di belakangnya.
Indonesia di hari ini miskin. Hanya para pemimpin dan pejabatnya yang kaya raya, sedangkan rakyatnya melarat.
Indonesia di hari ini adalah seorang gadis yang dahulunya sangat cantik rupawan, namun telah diperkosa dengan buas selama puluhan tahun tanpa henti.
Indonesia di hari ini adalah suatu negeri paria, dimana bangsanya menjadi kuli dan orang-orang asing menjadi tuannya.
Tidak ada satu pun manusia di Indonesia yang sanggup dan mampu mengeluarkan negeri ini dari lubang kutukan yang sangat parah seperti ini. Tidak Jokowi, tidak Prabowo, tidak Aburizal Bakrie. Tidak siapa pun.
Banyak kalangan yakin seyakin-yakinnya, hanya perang yang mampu mengubah negeri ini. Entah menjadi lebih baik atau sekalian hancur binasa.
Mengapa Indonesia yang dahulu sangat menggiurkan, bahkan dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, sekeping tanah surga yang dititipkan Tuhan di bumi, dan sebutan membanggakan lainnya, sekarang telah berubah menjadi suatu negeri yang teramat sangat menyedihkan?
Sejarah telah mencatatnya dengan tinta suram. Di tanah ini, iblis dan setan telah memenangkan pertempurannya melawan tentara kebajikan. Walau mungkin untuk sementara.

Indonesia, dulu dan kini
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari tujuhbelas ribu pulau yang tersebar mulai dari Asia Tenggara hingga Australia. Tigaratus etnis di sana menggunakan lebih dari duaratus limapuluh bahasa. Populasi Muslimnya terbesar jika dibandingkan negara lainnya…”
Kalimat di atas bukan keluar dari seorang Indonesia atau Indonesianis. Bukan pula hapalan anak sekolah dasar yang dicekoki gurunya di dalam kelas. Tapi berasal dari kesaksian seorang bandit ekonomi bernama John Perkins di dalam buku keduanya “The Secret History of The American Empire: Economic Hit Men, Jakals, and The Truth About Global Corruption” (2007) .
Jika kita mencari pandangan orang tentang Indonesia, maka ada ribuan bahkan jutaan pendapat tentang negeri ini. Semuanya mengatakan jika Indonesia negeri yang memiliki segalanya. Alamnya indah dan kaya raya, iklimnya sangat bersahabat, tanahnya sangat subur, penduduknya ramah tamah, dan berbagai keunggulan lainnya. Bahkan Arysio Santos Dos Nunes, profesor fisika nuklir asal Brasil, setelah meneliti tentang legenda Benua Atlantis selama hampir tigapuluh tahun menulis di dalam bukunya jika Indonesia ribuan tahun silam adalah pusat dari benua Atlantis.
Nusantara, nama lain dari Indonesia, sejak ribuan tahun sebelum masehi telah dikenal dunia. Dalam kitab Perjanjian Lama (Surat Raja-Raja I, 9: 26-8 dan 10: 10-3) dikisahkan jika Raja (Nabi) Sulaiman membangun banyak kapal di Ezion-Jeber, dekat Elot di tepi pantai Laut Kolzom, di negeri Edom. Sulaiman mengirim sebuah ekspedisi ke Ofir bersama dengan awak kapal Abu Hiram, kepala arsitek pembangunan Haikal Sulaiman. Ekspedisi itu pulang dari Ofir membawa membawa 420 talenta emas (1 talenta Attica setara dengan 26 pon, talenta attica besar sama dengan 28⅟₄ pon, dan 1 talenta Mesir/Corinthian setara 43⅟₂ pon ). Emas itu langsung diserahkan kepada Sulaiman. Bukan hanya emas, dari Ofir, Abu Hiram—dalam literatur Kabbalah sering disebut Hiram Abif—juga membawa banyak batu mulia dan kayu cendana. Di tahun 945 SM, Raja Sulaiman kembali mengirim ekspedisi untuk mencari emas di Ofir.
Dimanakah Ofir? Ofir merupakan nama sebuah pegunungan yang terletak di selatan Tapanuli dekat dengan Pasaman. Puncak pegunungannya dinamakan Talaman dengan ketinggian sekira 2.190 m, dan puncak lainnya bernama Nilam. Di timur Ophir terdapat Gunung Amas yang sampai sekarang dikenal sarat dengan timbal (Pb), besi (Fe), Belerang (S), dan nikel (Ni).
Selain Ofir, tahun 2.500 Sebelum Masehi, Barus—sebuah perkampungan kecil di pesisir barat Sumatera Tengah—juga telah dikenal hingga ke Mesir. Kerajaan Mesir Kuno melakukan kontak dagang dengan Barus untuk membeli Kapur Wangi (Kapur Barus) sebagai bahan dasar proses pembalseman mumi para raja (Firaun).
Masyarakat dunia sejak ribuan tahun silam telah mengenal Sumatera sebagai Tanah Emas. Sebab itu, pulau ini menyandang nama Swarnadwipa, atau Pulau emas. Banyak sebutan-sebutan lain, semisal dari Yunani, Cina, dan sebagainya yang artinya juga sebagai ‘Tanah Emas’. Itu baru dari Sumatera, belum lagi Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan lainnya yang masing-masing menyandang nama yang hebat-hebat karena kekayaannya.


Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
*
Kemashyuran kekayaan Nusantara telah dikenal dunia sejak ribuan tahun sebelum masehi. Bangsa-bangsa Eropa pun berdatangan, seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan lainnya. Niat bangsa-bangsa ini ke Nusantara tidak hanya berdagang namun juga untuk menguasainya sekaligus menyebarkan ajaran salib di tanah yang dianggap kafir ini. Kita mengenalnya dengan slogan Tiga G: Gold, Glory, dan Gospel.
Dimulailah masa-masa penuh kegelapan di Nusantara di mana Belanda dianggap sebagai bangsa yang paling lama mampu menjajah tanah yang kaya ini. Sejarah telah mencatat bagaimana akhirnya secara politis bangsa Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945. Secara aklamasi Soekarno diangkat menjadi presiden. Dan seorang Soekarno yang lebih dari 25 tahun masa hidupnya dijalani di belakang terali besi kaum penjajah sungguh-sungguh mengetahui jahatnya sistem kolonialisme dan imperialisme.
Soekarno menggariskan arah politik anti neo-kolonialisme dan anti neo-imperialisme, dengan bekerja keras agar Indonesia bisa mandiri. Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas, dalam kata pengantar buku John Perkins menuliskan, “Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi bagi MNC—Multi National Corporate—melalui UU No. 44/1960 yang berbunyi, “Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara.” …Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun. Tiga besar (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke negara-negara lain jika mereka menolak UU N0.44/1960 tersebut. Pada Maret 1963 Soekarno mengatakan, “Aku berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan aku akan batalkan semua konsesi jika Anda tidak mau memenuhi tuntutanku.”
Soekarno pada prinsipnya memang menentang korporatokrasi, sangat berbeda dengan Suharto yang malah menjadi pelayannya yang teramat sangat baik. Tak heran jika utang luar negeri di masa Soekarno hanya 2,5 miliar dollar AS, sedangkan di masa Suharto mencapai 100 miliar dollar AS (!). Sayangnya, sampai detik ini tak ada satu pun pemimpin Indonesia yang seperti Soekarno, menolak hegemoni korporatokrasi asing terhadap bangsa dan negara ini. Bahkan ketika anak biologis Soekarno, Megawati Soekarnoputeri menjadi presiden pun, dia dalam fakta politik-ekonominya lebih condong ke kiblatnya Suharto ketimbang Soekarno. Kasus penjualan gas alam Tangguh yang irasional ke Cina merupakan bukti paling jelas tentang hal ini.
Disebabkan Soekarno tidak mau tunduk pada kepentingan Nekolim inilah, akhirnya CIA menjatuhkannya dan menaikkan Jenderal Suharto menjadi presiden menggantikan Soekarno. Kejatuhan Soekarno dirayakan secara besar-besaran di Washington. Presiden Richard Nixon menyebutnya sebagai, “Upeti besar dari Asia Tenggara…”
“Bos Perkins, Charlie Illingworth mengingatkan bahwa Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Di mata Nixon, Indonesia ibarat real-estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina…,” demikian tulis Budiarto Shambazy.
Bagi yang ingin mengetahui sedikit tentang perbedaan arah politik-ekonomi Soekarno dengan Suharto, dan intervensi CIA serta korporatokrasi AS di Indonesia, silakan melihat film dokumenter “New Rulers of the World” dari John Pilger di Youtube yang terdiri dari enam episode. Film yang aslinya berbahasa Inggris itu sudah tersedia dengan terjemahan bahasa Indonesianya.
Begitu Soekarno jatuh, pada bulan November 1967, Jenderal Suharto mengirim satu tim ekonomi yang disebut banyak kalangan sebagai Mafia Berkeley, menghadap para CEO MNC seperti Rockefeller di Swiss, dan mengggadaikan hampir seluruh kekayaan alam Indonesia.
Pertemuan Mafia Berkeley-Rockefeller di Swiss
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “New Rulers of the World”, Mafia Berkeley ini atas restu Suharto menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeller cs. Mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Disertasi Doktoral Brad Sampson (Northwestern University-AS) menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis: “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi.
The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya. Di seberang meja, duduk orang-orang Suharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.”
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”
Masih dalam kutipan John Pilger, “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.” Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.”
“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka (dan sangat merugikan bangsa Indonesia). Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”
pemilu 
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
*
Pertemuan antara Mafia Berkeley-nya Suharto dengan para CEO Yahudi di Jenewa, Swiss, Nopember 1967, menghasilkan keputusan yang di luar akal sehat. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris), dengan pembagian laba untuk asing 99% dan Indonesia cuma 1%. Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro, yang seluruhnya berorientasi kapitalistis.
Orde Baru, Ciptaan Elit Yahudi
“Indonesia Baru” yang pro-kapitalisme telah dirancang elit dunia sejak era 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970) memaparkan, AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia setelah menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok intelektual yang berpikiran Barat.
Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap melayani kepentingan AS. Yang pertama didalangi berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan juga MIT. Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 , kelompok ini mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”
Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole—ekonom Harvard yang baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan—untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak “Bimbingan” dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dibimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Mantan Economic Hitmen, John Perkins, menyatakan jika Repelita sesungguhnya hanyalah rencana AS untuk bisa merampok, menjarah secara besar-besaran, dan menguasai Indonesia. Rencana ini disusun dalam tempo duapuluhlima tahun yang dibagi-bagi menjadi lima tahunan. “Keberadaan kita (Bandit Ekonomi, penulis) di sini tak lain untuk menyelamatkan negara ini dari cengkeraman komunisme (dalih, penulis). ….Kita tahu Amerika sangat tergantung pada minyak Indonesia. Indonesia bisa menjadi sekutu yang andal dalam hal ini (bekerjasama dengan rezim Jenderal Suharto, penulis). Jadi, sembari mengembangkan rencana pokok, lakukan apa saja semampu kalian untuk memastikan industri minyak dan segala industri lain pendukungnya—pelabuhan, jalur pipa, perusahaan konstruksi—tetap memperoleh aliran listrik sebanyak yang kita butuhkan selama rencana duapuluh lima tahun ini berjalan, ” demikian tulis John Perkins mengutip pernyataan bos-nya, Charlie Illingworth.
Sosok Jenderal Suharto di mata AS, disamakan dengan sosok Shah Iran, Boneka AS. “Kami berharap Suharto melayani Washington seperti halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa: Tamak, angkuh, dan bengis…” (John Perkins)
Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekerja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar, tidak secara terang-terangan,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965, bisa sedikit demi sedikit dipulihkan. Mereka inilah yang berada di belakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan penanaman modal asing dan ‘swasembada’ hasil pertanian. Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini. Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat, dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga menindas para petani yang bekerja di lapangan. Rakyat kecil tetap dalam penderitaannya dan tumbuh satu kelas baru di negeri ini yaitu kelas elit yang kaya raya berkat melayani Washington.
Pada April 1966 Suharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang terkenal: ”Go to hell with your aid!”
Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri. “Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.
Francis Raillon menulis, “Sepanjang 1972-1973 di sekitar Suharto terjadi rebutan pengaruh antara ‘kelompok Amerika’ melawan ‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani.” (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).
(Rizki Ridyasmara)

No comments: