Indonesia, Illuminati, dan Masa Depan Kita (4 dan 5)

presiden
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
*
Suharto tipe pemimpin yang sangat lihai. Banyak yang mengatakan sosoknya licin bagai belut yang berenang di dalam genangan oli. Dia memanfaatkan semua yang berada di sekelilingnya guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno, Suharto menggalang kekuatan militer, teknokrat kapitalistis, dan ormas keagamaan—dalam hal ini kebanyakan sayap Islam, dengan alibi untuk menghancurkan komunisme. Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah merangkul kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo menjadi sesepuhnya, dan di era 1980-an muncul tokoh sentral Islamophobia, murid Ali Moertopo, bernama Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan Suharto, dan digantikan dengan Exploitation de L’homee par L’homee, eksploitasi yang dilakukan elit negara terhadap rakyat kecil. Dan ironisnya, eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini.
Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM), rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri sebagai rezim fasis-militeristis. M.C.Ricklefs, sejarawan Australia yang banyak meneliti tentang sejarah politik di Indonesia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Suharto jauh lebih buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda.
“Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir elit dalam pemerintahan Suharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,” demikian Ricklefs.
Selain tiranik, Suharto juga telah menyuburkan sifat korup di dalam elit pemerintahan. Tidak main-main, salah satu tonggak “kegilaan” korupsinya sampai membangkrutkan salah satu firma konstruksi dan konsultan paling terhormat dan terbesar di AS, yakni Stone and Webster Engineering Company (SWEC). Salah seorang anggota keluarga Suharto meminta suap dengan terang-terangan kepada SWEC sebesar 150 juta dollar AS. Kasus ini ditulis oleh Steve Bailey di dalam Boston Globe edisi 15 Maret 2006 berjudul “The Bribe Memo dan Collapse of Stone and Webster” (hal.E1).
Kasus-kasus korup di era Orde Baru, dan kolusinya dengan dunia usaha, secara apik dipaparkan Yoshihara Kunio dalam “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” (LP3ES, 1990). Jika dianalogikan, Indonesia di era kekuasaan Orde Baru merupakan sebuah peti harta karun, yang dikuasai sepenuhnya oleh elit global (Washington), dan hanya sebagian kecil dari isi harta karun itu yang dibagikan kepada para penjaganya sebagai upah, yakni Suharto dan kelompoknya. Sedangkan pemilik aslinya yakni rakyat Indonesia, hanya disuruh menjadi penonton pameran kekayaan dan ‘kemajuan pembangunan’ yang terjadi di sekitarnya. Inilah Indonesia di era Orde Baru.
Bila kita melihat apa yang terjadi di belakang kudeta terhadap Presiden Soekarno, naiknya Jenderal Suharto, dan apa yang dilakukannya setelah berkuasa, maka akan terlihat sekali jika ada tangan-tangan yang sangat berpengaruh, didukung modal yang besar, jaringan global yang sangat kuat, yang bermain di sana.
Secara garis besar bisa dirinci sebagai berikut :
Pertama. Indonesia yang dahulu dikenal sebagai Nusantara, namanya sudah termasyhur sejak lama sebagai suatu kawasan yang sangat kaya raya. Nusantara sejak zaman purba sudah dikenal sebagai tanah yang menyimpan cadangan emas permata dalam jumlah yang teramat sangat banyak. Bukan hanya emas permata, namun belakangan juga diketahui menyimpan minyak bumi, timah, bauksit, gas alam, dan sebagainya. Tentu saja, hal ini membuat bangsa-bangsa lain ingin menguasai kawasan yang dianggap sebagai “Sekeping Tanah Surga yang ada di Bumi”.
Kedua. Dalam sejarahnya, elit kerajaan Mesir Kuno sudah mengetahui keberadaan Nusantara dan bahkan telah mengadakan kontak dagang dengan Barus. Tidak menutup kemungkinan jika mereka juga melakukan perdagangan emas permata. Kontak dagang ini terus berlanjut hingga kerajaan Mesir Kuno runtuh berganti dengan kerajaan-kerajaan lain. Di zaman Raja Sulaiman, raja yang juga Nabiyullah ini, tatkala membangun istananya yang teramat sangat megah, memerintahkan kepala arsiteknya bernama Abu Hiram pergi ke Nusantara untuk mengambil emas permata yang akan digunakan untuk mempercantik istananya.
Kita mengetahui jika pada kedua tonggak kerajaan ini—Mesir Kuno dan sisa Kerajaan paska Sulaiman—bercokol satu kekuatan gelap di mana setan dan iblis menjadi pemimpinnya, serta sihir menjadi ilmunya. Kita menamakannya sekarang dengan sebutan Kabbalah.
Di zaman mesir Kuno, para tukang sihir yang berada di belakang kekuasaan para Fir’aun merupakan para pendeta tertinggi Kabbalah. Mereka inilah yang bertarung melawan Nabi Musa a.s. Penyihir Kabbalis merupakan salah satu tonggak dari tiga tonggak penopang Fir’aun.
Di zaman kerajaan Nabi Sulaiman a.s., para setan dan jin di depan Sulaiman a.s. menunjukkan sikap tunduk, namun di dalam hati mereka selalu penuh dengan iri, dengki, dan dendam. Sudah menjadi sifat mereka untuk selalu demikian. Abu Hiram atau Hiram Abiff merupakan pemimpin gerakan persaudaraan rahasia Kabbalis, sekaligus kepala arsitek Haikal Sulaiman. Orang inilah yang menjejakkan kakinya ke Swarnadwipa—seperti yang diperintahkan Sulaiman—untuk mengambil emas permata.
Sebab itulah, kaum Kabbalis sudah mengetahui sejak zaman purba jika tanah Nusantara menyimpan kekayaan emas permata dalam jumlah yang sangat berlimpah. Nusantara telah dijadikan target kaum Kabbalis sejak lama. Dan sejarah telah memperlihatkan kepada kita jika Nusantara sejak dulu hingga kini memang menjadi target mereka.
Sejarah Kaum Kabbalis dan Nusantara
Kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab suci langit lainnya, semuanya telah mengisahkan fragmen penciptaan manusia dan mengapa Allah swt memerintahkan agar manusia turun dari surga ke bumi. Turunnya manusia ke bumi diikuti oleh iblis yang mendapatkan izin dari Allah untuk menggoda manusia dari jalan ketauhidan sampai dengan akhir zaman.
Sejarah juga telah memperlihatkan kepada kita bagaimana kebaikan dan kejahatan bertarung sepanjang kisah dunia. Para Nabi dan Rasul yang diutus Allah swt untuk menuntun manusia agar bisa hidup di jalan tauhid, selalu saja mendapat tentangan dan perlawanan dari barisannya Iblis yang sangat bernafsu agar manusia keluar dari jalan yang lurus itu.
Tipikal barisan iblis sepanjang sejarah selalu saja mengambil posisi berdekatan dengan lingkaran dalam kekuasaan. Iblis selalu berada di lingkaran elit penguasa. Tidak pernah sekali pun barisan iblis mengambil posisi di luar kekuasaan. Ini fakta dari zaman purba hingga sekarang. Dan kebalikannya, para Nabi dan Rasul nyaris selalu berada di sisi umat kebanyakan melawan penguasa lalim.
Dalam aksinya, kelompok iblis senantiasa menggunakan sihir sebagai senjatanya. Dan berbagai kumpulan sihir yang ada, disatukan ke dalam apa yang disebut sebagai Kabbalah, dengan sihir Babylonia sebagai induknya. Sebab itulah, barisan iblis dikemudian hari juga dikenal sebagai kaum Kabbalah.
Bagi yang ingin mengetahui sejarah mengenai asal muasal Kaum Kabbalah dan kaitannya dengan dunia kekinian, silakan membaca Eramuslim Digest edisi “Genesis of Zionism”. Di dalamnya, kita akan mendapatkan gambaran yang sangat jelas tentang hal ini.

Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
*
Nusantara telah lama dikenal oleh dunia sebagai wilayah yang teramat kaya. Dan bukan kebetulan jika kaum Kabbalis sudah mengadakan kontak dengan wilayah ini, baik di zaman Fir’aun maupun Raja Sulaiman. Wilayah yang oleh Profesor Arysio Santos des Nunes dianggap sebagai pewaris peradaban Atlantis ini menjadi primadona bangsa-bangsa imperalis seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan tentu saja kemudian Amerika Serikat.
Sejarah sudah memaparkan dengan gamblang betapa Nusantara yang kemudian namanya diubah menjadi Indonesia mengalami berbagai gejolak ekonomi maupun politis. Bung Karno yang sangat anti terhadap kaum imperialis ditumbangkan pada tahun 1965 dan diganti oleh ‘boneka globalis’ bernama Jenderal Suharto. Kekayaan Indonesia pun dihisap habis-habisan oleh asing, sedangkan Jenderal Suharto dan kroninya mendapat ‘recehan’nya sehingga mereka, keluarga, dan golongannya pun tumbuh menjadi elit baru di Indonesia.
Dan seperti nasib ‘boneka-boneka’ globalis lainnya, ketika sudah tidak lagi berguna maka dicampakkan, demikian yang dialami Suharto. Tahun 1997-1998 kaum Globalis melalui kaki tangannya mengguncang pasar moneter Asia Tenggara. Indonesia bergejolak. Dan akhirnya Suharto dipaksa menyerahkan kekuasaannya. Habibie naik, berkuasa sebentar kemudian diganti oleh Abdurahman Wahid, lalu Megawati, lalu Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang tidak dipaparkan dengan jujur oleh sejarah adalah apa yang terjadi di belakang setiap pergantian kekuasaan. Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto, lalu jatuhnya Suharto setelah berkuasa selama tigapuluh tahun lebih, bisa dijadikan cermin yang baik apa yang sesungguhnya terjadi. Rakyat selama ini dibohongi atas nama demokrasi dan isme-isme lainnya.
Naiknya Suharto dan Sistem yang Korup
Tahapan kudeta kaum globalis terhadap Presiden Soekarno sekarang sudah menjadi rahasia umum. Amerika sebagai kendaraan besar kaum globalis sudah berkali-kali mencoba membunuh sosok Bung Karno namun tidak berhasil, bahkan salah seorang agen CIA bernama Allan Pope berhasil ditangkap hidup-hidup.
Akhirnya kaum globalis merancang suatu kudeta sistematis yang telah dimulai pada tahun 1950-an dan puncaknya terjadi pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang ujung-ujungnya berhasil menumbangkan Soekarno dari kursi kekuasaannya.
Presiden AS Richard Nixon meluapkan kegembiraan atas jatuhnya Soekarno dengan menyebutnya sebagai “Terbukanya peti harta karun terbesar dari Asia”.
Jatuhnya Soekarno juga dirayakan besar-besaran dalam pertemuan tahunan (rahasia) kelompok Bilderberger tahun 1968, tanggal 26-28 April di Mont Tremblant-Canada. Dalam pertemuan tersebut, Rockefeller menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar bagi The New World Order”.
Setiap ada ‘boneka’ baru yang naik menjadi presiden, Amerika selalu mengutus orangnya untuk memberi petunjuk apa saja yang harus dilakukan boneka tersebut, sekaligus memperingatkannya jika boneka tersebut tidak mau patuh. John Perkins, mantan Bandit-Ekonomi, menulis hal ini dalam bukunya:
“Aku memasuki kantor presiden dua hari setelah dia terpilih dan memberinya ucapan selamat. Ia duduk di belakang meja besarnya sambil tersenyum lebar padaku seperti kucing Cheshire…
Aku merogoh saku dengan tangan kiri dan berkata: “Tuan Presiden, ada beberapa ratus juta dollar dalam sakuku untuk Anda dan keluarga jika Anda mengikuti permainan.., Anda tahu, berbaik-baiklah dengan teman-temanku yang menjalankan perusahaan minyak, perlakukan Paman Sam dengan baik.”
Lalu aku melangkah lebih dekat, merogoh tangan kananku ke saku yang lain, membungkuk di depan wajahnya, dan berbisik, “Di sini, ada pistol dan peluru dengan nama Anda—buat berjaga-jaga siapa tahu Anda ingin memenuhi janji kampanye Anda…”
Aku melangkah mundur, duduk, dan membacakan secarik daftar kecil untuknya, isinya nama presiden-presiden yang dibunuh atau digulingkan karena menentang Paman Sam: Dari Diem hingga Noriega—Anda pasti tahu, tindakan rutin.
Dia memahami pesanku dengan sangat baik!”
Patut digaris-bawahi: Setiap ada presiden dari ‘negara jajahan’ atau ‘client’ dari Washington, maka setiap itu pula Washington akan mengirim langsung utusannya kepada penguasa baru dan mengatakan hal-hal tersebut di atas. Tidak terkecuali di Indonesia, dimana sekarang ini pemerintahnya sudah terjerat batang lehernya dengan utang luar negeri kepada kaum globalis sebesar 3.000 triliun lebih! Angka ini terus melambung setiap harinya.
Jenderal Suharto merupakan pelayan yang sangat baik bagi kekuatan globalis yang hendak menjajah kembali Indonesia. Ini dikatakan dengan tegas oleh John Perkins. Selama tigapuluh tahun lebih masa kekuasaannya, Indonesia dirampok habis-habisan kekayaannya. Negeri yang sangat kaya ini dililit utang dengan jumlah luar biasa besarnya. Dan celakanya, utang-utang tersebut tidak sungguh-sungguh digunakan untuk membangun negeri, namun sebagiannya masuk ke dalam pundi-pundi Suharto, keluarga, dan kelompoknya.
Ketika Suharto sudah dianggap tidak berguna lagi. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an, Washington segera melancarkan operasi penggulingannya lewat krisis moneter. Suharto terguling, namun sayangnya sistem korup yang diciptakannya ternyata masih eksis.
Sejumlah tokoh Indonesia yang naik menggantikannya tidak mampu membasmi sistem korup yang sudah mengurat-akar sepanjang tigapuluh tahun pemerintahan Orde Baru. Bahkan korupsi makin menjadi-jadi. Ibarat kata, jika di masa Suharto korupsi dilakukan di bawah meja, maka sekarang ini mejanya ikut-ikutan dikorupsi!
Kisah Cakil, Ilusi Demokrasi
Turunnya Suharto disambut dengan penuh sukacita oleh hampir seluruh anak bangsa ini. Era keterbukaan dimulai. Demokrasi menjadi istilah ajaib yang mampu menyihir banyak kalangan. Partai politik pun bermunculan bagai jamur di musim penghujan. Bangsa Indonesia pun disibukkan setiap tahun dengan berbagai macam pemilihan umum, dari pemilihan tingkat kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislatif dan presiden. Bahkan di banyak tempat, pemilihan Ketua RT/RW juga dilakukan mengikut cara kampanye pemilihan umum.
Tampak dari luar, cara seperti ini dianggap sangat demokratis. Namun mereka lupa jika cara pemilihan seperti ini terlalu banyak menguras energi dari rakyat secara keseluruhan. Energi bangsa tersedot hanya untuk mengurusi pemilihan ini dan itu, jalan-jalan kota hingga kampung dipenuhi sampah visual berupa spanduk dan poster calon-calon kepala desa, legislatif, hingga presiden dan wakilnya. Kota metropolitan seperti Jakarta pun tak ubahnya kota pemulung yang dipenuhi pamflet dan spanduk yang bertebaran di sekujur tubuhnya.
Di era demokrasi seperti sekarang ini, partai politik merupakan gerbong utama menuju perubahan. Di atas kertas, yang dikatakan para aktivis parpol adalah perubahan bangsa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik. Namun pada kenyataannya, faktanya, yang terjadi hanyalah perubahan pada tingkat elit parpol. Yang tadinya hanya menghuni rumah kontrakkan, sekarang sudah punya belasan apartemen, kendaraan mewah, tanah berhektar-hektar, dan sebagainya. Yang seperti ini banyak.
Di sisi lain, aktivis parpol kelas bawah, hidupnya tidak pernah berubah. Mereka terus setia menjadi aktivis parpol dengan harapan hidupnya bisa ikutan berubah seperti para elit parpolnya. Mereka mengharapkan kenaikan tingkat dalam strata parpol. Selama mereka belum ‘naik kelas’, mereka memamah remah-remah, makanan sisa, dari uang yang bersliweran di sekitar elitnya. Ini faktanya.
Ada kisah seorang aktivis parpol yang sekarang sudah menjadi elit parpol, sebut saja namanya Cakil. Dalam tulisan berikut akan dipaparkan kisahnya. (Rizki Ridyasmara)

No comments: