Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah

Dalam Islam, ilmu bersandar pada dalil.
Dalam Islam, ilmu bersandar pada dalil.

Al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah merupakan dua orang ulama yang memiliki peranan besar dalam sejarah peradaban Islam.

Salah satu yang menjadi bukti peran mereka adalah pembelaan mereka atas pemikiran Islam dari serangan-serangan filsuf yang destruktif.

Al-Ghazali merumuskan pembelaannya dalam karyanya, Tahafut al- Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), sementara Ibn Taimiyyah menyusun karya ban tahannya terhadap serangan-serangan filsafat Islam dalam Dar’ Ta’arud al-Aql wa al-Naql au Muwafaqah Shahih al-Manqul li Sharih al-Ma’qul (menepis anggapan bahwa akal dan naql bertentangan, atau kepastian sesuainya manqul yang shahih dan akal yang sharih).

Dalam kedua karya tersebut, al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah telah berhasil menguraikan dengan sangat ilmiah kesalahan-kesalahan keilmuan yang terjadi di kalangan filsuf.

Maka dari itu, menggali lebih jauh konsep ilmu mereka akan mengantarkan kita pada sebuah timbangan untuk menentukan benar dan tidaknya sebuah pemikiran. Baik al-Ghazali ataupun Ibn Taimiyyah, kedua-duanya jauh dari sikap skeptis atau relativis terhadap kebenaran.

Dalam kedua karya mereka, di samping karya-karya mereka yang lain, mereka membangun teori-teorinya di atas sebuah keyakinan bahwa kebenaran itu ada, tidak sulit untuk didekati sebagaimana diasumsikan oleh kaum skpetis, demikian juga tidak relatif adanya sebagaimana diyakini oleh kaum relativis.

Jika al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah menganggap kebenaran relatif, tentu mereka tidak akan menyusun karya ilmiah sampai beribu-ribu jumlahnya, dan tidak akan menguras tenaga untuk membantah asumsi para filsuf yang destruktif.

Dalam kaitan ini, Ibn Taimiyyah pernah menyatakan: Sesungguhnya ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul.

Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah penukilan yang benar (al-naql al-mushaddaq) dan penelitian yang akurat (al-bahts almuhaqqaq). (Majmu‘ Fatawa Syekh al- Islam Ahmad ibn Taimiyyah, jilid 6, hlm. 388)

Dengan definisi ini, Ibn Taimiyyah mengakui dua jenis keilmuan; ilmu keagamaan dan keduniaan. Ilmu yang pertama mutlak harus bersandar pada apa yang dibawa oleh Rasul, sedangkan yang kedua tidak harus selalu dirujukkan pada Rasul.
Al-Ghazali sendiri, setelah menguraikan bermacam-macam definisi dan jenis ilmu, ia sampai pada kesimpulan bahwa pada intinya ilmu itu mengandung tiga unsur, yaitu: keyakinan, mengerjakan, dan meninggalkan.

Aspeknya juga bisa dalam hal keagamaan ataupun keduniaan, yang diungkapkan oleh al-Ghazali dengan syar‘iyyah dan ghair syar’iyyah. Yang jelas, ilmu itu dapat menuntun seseorang untuk meyakini sesuatu yang benar dan salah, mengerjakannya atau meninggalkannya (Abu al-Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya` Ulumuddin, Mesir: Maktabah Mesir, 1998, juz 1, hlm. 27).

Ini bisa dijadikan standar acuan bahwa Islam tidak mengakui adanya dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah.

Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logisempiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah.

Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.

Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni.

Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama.

Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filsuf Muslim di abad pertengahan Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat juga dari pendapat Ibn Taimiyyah tentang thuruq al-’ilm (saluran-saluran ilmu).

Menurut Ibn Taimiyyah, thuruq al-’ilm itu ada tiga: khabar, akal dan indera. Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati (Dar` Ta’arud al-Aql wa al-Naql, jilid 1, hlm. 178 dan jilid 7, hlm. 324).

Terhadap teori kasyf (iluminasionisme), Ibn Taimiyyah menyatakan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilham tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat.

Karena selain sama-sama berasal dari Allah SWT, khabar ini juga di sampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi.

Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah SWT kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika berben turan dengan ilham yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan (Dar` Ta’ârud, jilid 8, hlm. 46).

Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hakim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissi (indera), wahmi (intuisi), dan aqli (akal).

Menurut al-Ghazali, ketika hakim wahmi itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmi dari orang yang dikuatkan oleh Allah SWT dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah SWT disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haq (Mi’yâr al-’Ilm fî Fann al-Mantiq, hlm. 2-3). Al-Ghazali tidak menyebutkan kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya.

Dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filsuf melalui Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu.

Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah hakim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.

Uraian ini menguatkan pernyataan Ibn Taimiyyah sebelumnya bahwa ilmu yang bermanfaat itu adalah yang datang dari Rasul SAW. Artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu, tidak boleh bertentangan dengan yang dibawa oleh Rasul saw (agama).

Meminjam penjelasan al-Attas, menurutnya, hubungan antara kedua kategori ilmu pengetahuan, antara ilmu agama dan dunia, sangat jelas.

Yang pertama menyingkap rahasia Being dan Eksistensi, menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, dan menjelaskan maksud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus membimbing yang kedua.

Jika tidak, ilmu pengetahuan kedua ini akan membingungkan manusia dan secara terus menerus menjebak mereka dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan yang meragukan dan salah.

Mereka yang dengan sengaja memilih cabang tertentu dari kategori kedua dalam upaya meningkatkan kualitas diri mereka, al-Attas menegaskan ulang, harus dibimbing oleh pengetahuan yang benar dari kategori pertama (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Pendidikan al-Attas, hlm. 158).

Nashruddin Syarief MPd
Redaktur : Chairul Akhmad

No comments: