[REVIEW] Aceh Tempo Doeloe Dalam Kesaksian Orang Asing

[REVIEW] Aceh Tempo Doeloe Dalam Kesaksian Orang Asing Saya seorang coastal engineer yang telanjur terpapar dengan cerita agungnya sejarah Aceh dan Kesultanan Aceh zaman dulu


Judul: Sumatera Tempo Doeloe (dari Marco Polo sampai Tan Malaka)
Penulis : Anthony Reid
Tebal : 424 halaman
Penerbit: Komunitas Bambu
Peresensi: Syamsidik


+++

Perjalanan saya mencari literatur terkait bencana tsunami di masa lalu di Sumatera, khususnya Aceh, telah mempertemukan saya dengan sebuah buku yang ditulis oleh Anthony Reid pada tahun 1995. Buku dengan jumlah halaman 424 halaman ini merangkum kesaksian beberapa pengelana di abad-abad ke-16 hingga awal Abad ke-20. Beberapa antologi yang dinukilkan di dalam bab-bab buku tersebut cukup menggelitik dan tak lazim dengan ukuran cerita arus-utama tentang sejarah Aceh. Setidaknya yang sempat saya pelajari sampai dengan bangku SMA. Buku versi terjemahan bahasa Indonesia ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu tahun 2010 dan dicetak kembali tahun 2014.
Di bagian pengantarnya, Anthony Reid secara gamblang mengingatkan bahwa tulisan yang dirangkum dalam buku ini tidak biasa dan sewajarnya memicu banyak pihak untuk terus menggali pengetahuan tentang Sumatera itu sendiri. Saya bukan seorang sejarawan. Saya hanya seorang Insinyur Teknik Pantai (coastal engineer) yang menekuni bidang tsunami dan telanjur terpapar dengan cerita agungnya sejarah Aceh dan Kesultanan Aceh zaman dulu.
Tujuan saya menulis beberapa cuplikan dari buku tersebut di sini hanya ingin memberikan pertanyaan kepada para sejarawan Aceh, sejauh mana kita akan menjawab sejarah yang ditulis ini. Lalu akhirnya saya berharap ada kesepakatan bersama di antara kita untuk menjaga budaya dan khazanah kita secara adil dan mencerdaskan peradaban Aceh saat ini dan di masa yang akan datang.
Cerita Perang Suci Aceh terhadap Batak
Salah satu Bab dalam buku ini menceritakan bagaimana peperangan yang terjadi di sekitar tahun 1539 antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Batak telah dianggap sebagai perang suci oleh Aceh kala itu. Tulisan ini ditulis oleh Fernao Mendez de Pinto seorang antropolog Portugis yang melakukan perjalanan ke beberapa wilayah di Sumatera.  Bab ini cukup menggelitik bagi saya mengingat percampuran darah di keluarga saya. Benarkah ada perang serupa di masa itu? Lagi-lagi seorang coastal engineer ini hanya bisa membaca dengan penuh tanda tanya berharap ada sejarahwan yang mau menjawab.
Perang itu disebutkan oleh de Pinto dipicu oleh penolakan Pangeran di Batak untuk meninggalkan agama Hindu dan memeluk Islam. Sempat terjadi gencatan senjata di antara kedua belah pihak karena perang yang imbang dan berminggu-minggu telah membuat keduanya kelelahan. Tapi, di waktu yang lain dan tak diduga-duga, Raja Aceh menyerang Batak dan memusnahkan desa-desa.  Diduga ada sekitar 35.000 jiwa serdadu Batak yang tewas kala itu, dan sekitar 15.000 di pihak Raja Aceh. Pertempuran dikisahkan sebagai pertempuran yang sangat sengit dan memakan waktu sekitar 23 hari. Berbagai taktik peperangan yang rumit digunakan oleh kedua belah pihak untuk saling memusnahkan satu sama lain.  Dalam bagian ini juga diceritakan bagaimana Aceh menjalin hubungan yang memperkuat angkatan militernya dengan Kerajaan Luzon di Filipina dan Turki. Meskipun perang akhirnya dimenangi oleh Aceh, ini hanya memaksa Kerajaan Batak untuk bergeser dari wilayah aslinya ke wilayah lain yang disebut dengan Panaju.   Menarik juga membaca bahwa Raja Batak saat itu masih berharap bala bantuan perang yang akan membantunya yang berasal dari Pedir (Pidie saat ini) dan dari Pasai. Tidak begitu jelas, apakah tentara yang dimaksud adalah tentara kerajaan Pedir dan Pasai asli atau bukan.
De Pinto mensifatkan Raja Aceh pada masa itu sebagai Raja yang lalim. Siapakah Raja Aceh yang dimaksud? Saya mencoba mencari-cari di Internet tentang pemerintah Aceh sekitar tahun 1539 tersebut. Akhirnya saya menemukan nama ini, Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahar (1539-1571). Wikipedia yang mungkin agak hambar sebagai sumber rujukan turut menuliskan bagaimana Sultan Alauddin menyeret Sultan Johor ke Aceh dan kemudian membunuhnya sesampai di Aceh. Tapi pertanyaannya adalah selalim apakah  beliau?
Meragukan cerita kejamnya Raja-Raja Aceh
Di beberapa bagian dari buku ini, Penguasa Aceh masa-masa abad ke-12 hingga ke-16 adalah Raja yang kejam dan lalim. Salah satu bagian lain yang cukup membuat saya tersentak dari buku ini diberi judul oleh Anthony Reid dengan “Kekejaman Iskandar Muda”. Tulisan bagian ini ditulis oleh  Augustin De Beaulieu. Tulisan De Beaulieu ini diterjemahkan oleh Melchisedech Thevebot dari tulisan aslinya yang berjudul Memoir de voyage aux indes Orientales du General Beaulieu dresses par luy-mesme. Sebagai salah satu pengagum sang Sultan, tentu saya sulit menerima kisah-kisah yang disajikan tentang karakter Sultan Iskandar Muda yang saya ketahui sebagai Sultan yang adil, gagah perkasa, dan berwibawa.  Saya pelajari dari cerita-cerita sejarah lainnya bahwa Sultan yang adil ini sanggup menghukum anaknya sekalipun karena sang anak dinilai telah melanggar Hukum pada saat tersebut. Akibat penghukuman tersebut, Beliau merasa tertekan dan justru jatuh sakit akibatnya. Tapi, apa kata de Beaulieu tentang Sultan Iskandar Muda kita?
Dalam bagian awal dari tulisan tersebut, de Beaulieu mensifatkan Sultan Iskandar Muda sebagai pribadi yang mampu menghukum mati orang hanya karena perkara-kara kecil, seperti mencabut ranting pohon bambu yang beliau pelihara di lingkungan istana. Sultan juga disebutkan akan mampu membunuh Saudara nya dari Pedir (Pidie yang sekarang) hanya takut jikalau sewaktu-waktu saudaranya tersebut mengambil alih kekuasaan beliau. Meskipun ada pengadilan saat itu, De Beaulieu menceritakan bahwa tanpa sebab yang jelas sekalipun Sultan dapat menghukum siapa saja yang ada di Aceh kala itu. Beliau disebutkan mengirimkan pasukan saat berperang dengan menjadikan keluarga para pasukan sebagai jaminan agar pasukan tersebut dapat berperang secara maksimal dan tidak menjadi desertir. Andaikan pasukan tersebut tidak cukup berprestasi maka nyawa sanak keluarga prajurit lah yang menjadi taruhannya. Keluarga prajurit tersebut dapat ditangkap atau bahkan dihukum mati akibat perilaku atau prestasi buruk si prajurit ketika di medan perang.
Dalam Bab berjudul Hari Raya Idul Adha 1637 yang ditulis oleh Peter Mundy, seorang pengelana Inggris yang berkunjung ke Aceh  sekitar 10 hari, cerita tentang Sultan Iskandar Thani. Sultan disebut memiliki balatentara perempuan yang jumlahnya ratusan. Seluruh tentara perempuan tersebut disebutkan mencukur rambutnya dan tidak mengenakan penutup kepala apapun. Pada saat-saat peristiwa besar seperti upacara adat dan kenegaraan, para tentara perempuan tersebut berdiri di sisi sang raja dengan kepala yang gundul dan tak berpenutup. Saya bertanya, benarkah ini?
Bab-bab lain yang “mengganggu”
Ada sejumlah bab-bab lainnya yang menurut saya cukup mengusik jika ditilik dari judul dan isinya. Misalnya, judul “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara tahun 1290-an”, “Seorang Perempuan Dicabuli di Pantai”,  dan “Kehidupan Sosial di bawah pemerintahan Para Ratu”. Bab-Bab tersebut adalah di antara Bab-Bab yang secara khusus bercerita tentang Aceh yang direkam oleh pengelana Eropa di masa-masa sejak kontak pertama Aceh dengan Eropa sampai dengan sebelum pecahnya perang Aceh.
Setengah bagian lain dari Buku ini menceritakan banyak hal yang tidak kalah menariknya dengan kisah-kisah dari Aceh. Namun bagian tersebut menceritakan tentang wilayah-wilayah seperti Minangkabau, Deli, Palembang, dan Bengkulu. Isinya menurut saya relatif tidak se-kontroversial bab-bab yang ada hubungannya dengan cerita tentang Aceh. Misalnya, tentang Minangkabau,  di sana diceritakan bagaimana penyambutan yang begitu megah dan ramah diberikan kepada Thomas Stanford Raffles, pendiri Negara Singapura, yang berkunjung ke wilayah Minangkabau pada sekitar tahun 1818. Memang, jika ditinjau dari perbandingan waktu yang bercerita tentang Aceh, Bab-Bab yang menceritakan wilayah-wilayah lain ini agak sedikit mendekati zaman-zaman “modern” seperti cerita Richard Burton dan Nathaniel Ward yang menuliskan tentang Batak Toba di sekitar tahun 1824. Bandingkan dengan cerita Aceh yang kurun waktunya berbeda hampir lebih dari 200 tahun lebih awal. Mungkin saja waktu yang digunakan saat para pengelana tersebut bercerita tentang wilayah-wilayah ini turut menentukan “tone” cerita yang disajikan. Sekali lagi, saya benar-benar tidak bisa memastikan semua hal ini.

Pertanyaan-Pertanyaan

Pada akhir membaca buku ini, muncul pertanyaan-pertanyaan besar akan citra budaya dan pemerintahan Aceh di antara Abad ke-13 hingga Abad ke-18 yang diceritakan dalam buku ini. Penasaran saya  juga tertuju kepada para Sejarawan Aceh, apakah mereka sudah sempat membaca buku ini? Jika sudah, kira-kira adakah “nota pembelaan” yang dapat disampaikan untuk menerangkan keagungan budaya Aceh di masa-masa tersebut? Tetapi jika belum, rasanya saya sarankan sangat agar para sejarawan Aceh mau membeli dan membaca buku ini. Buat saya, mungkin harga buku ini menjadi agak mahal karena seharga 140 ribu rupiah dan tak ada cerita satu kata pun tentang bencana atau malah tentang tsunami. Ah sudahlah, paling tidak ini menambah satu koleksi buku plus koleksi kebingungan yang akhir-akhir ini memang sering terkoleksi sengaja atau tidak sengaja. Selamat berburu jawaban para pembaca sekalian!

Syamsidik adalah Peneliti Tsunami di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala.

No comments: