Sejarah Penulisan Hadis

Penulisan hadis (ilustrasi).
Penulisan hadis (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, Ilmu hadis telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam hingga saat ini.

Bahkan, khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis dibandingkan kitab lainnya, seperti tafsir. Hal ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadis dalam Islam.

Bersama Alquran, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk kehidupan umat manusia. Apa yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Alquran maka hal itu akan diuraikan dengan gamblang dalam sebuah hadis. Karena, pada dasarnya, hadis merupakan perkataan, ajaran, serta perbuatan Rasulullah SAW.

Berbeda dengan Alquran yang telah ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW, hadis lebih banyak dihafal oleh sahabat daripada ditulis.

Bahkan, ada pendapat yang menyatakan bahwa Nabi SAW sendiri pernah melarang para sahabat untuk mencatat hadis-hadis, sebagaimana riwayat yang diterima dari Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit yang tercantum dalam Taqyid al-Ilm karya Ibnu Abdul Barr. Larangan ini dimaksudkan agar sahabat fokus pada Alquran.

Namun, larangan ini, menurut sebagian ulama, tidak ditujukan kepada semua sahabat, tetapi khusus kepada para penulis wahyu karena kekhawatiran bercampurnya ayat-ayat Alquran dan hadis.

Karena itu, pada keterangan lain, disebutkan bahwa Nabi SAW mengizinkan menulis hadis, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib.

Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H saat Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah menduduki jabatan khalifah (717-720 M).

Sebab, menurut Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bila tidak dikumpulkan dan dibukukan secara sendiri, hadis itu berangsur-angsur akan hilang.

Apalagi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat banyak sahabat dan para penghafal hadis semakin berkurang, baik karena meninggal dunia maupun berpindah tempat sesuai dengan perkembangan wilayah kekuasaan Islam.

Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis dari para ulama penghafal hadis.

Di antaranya adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya adalah ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar).

Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis.

Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis.

Di antaranya adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa'id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma'mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza'i di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.

Bercampur dengan fatwaPenulisan hadis pada masa ini masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin. Hal ini terlihat dalam kitab al-Muwatta' yang disusun Imam Malik.

Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW).

Tetapi, ada pula yang memasukkannya dalam kategori al-jami' (kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela) atau al-mu'jam (kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan). Fase penulisan hadis yang terakhir ini baru berkembang pada akhir abad ke-2 H.

Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi' at-tabi'in (generasi sesudah tabiin) yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin.

Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad (periwayatan) yang disebut al-musnad.

Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi, hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudlu' (palsu).

Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu'aim bin Hammad al-Khaza'i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah.

Setelah itu, muncul pula upaya para ahli hadis untuk memilah hadis yang sahih saja dan menyusunnya sesuai dengan topik permasalahannya. Upaya ini dimulai pada abad ke-3 H yang lebih dikenal sebagai abad pembukuan hadis (tadwin) karena pada abad ini muncul ulama-ulama hadis terkemuka yang membukukan hadis secara sistematis.

Para ulama hadis pada masa ini di antaranya adalah Imam Bukhari yang menyusun kitab Sahih al-Bukhari, Imam Muslim menyusun kitab Sahih Muslim, Imam Dawud menyusun kitab Sunan Abi Dawud, Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmizi menyusun kitab Sunan at-Tirmizi, Imam an-Nasa'i menyusun kitab Sunan an-Nasa'i, dan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba'i al-Qazwini atau Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibn Majah.

Keenam kitab hadis tersebut di kalangan mayoritas ahli hadis disebut dengan Kutub as-Sittah (Kitab Hadis yang Enam).
Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama hadis ketika menempatkan Kitab Hadis yang Enam dalam jajaran Kutub as-Sittah.

Sebagian ulama hadis menyatakan, Kitab Hadis yang Enam itu adalah Sunan Ibn Hibban yang disusun oleh Ibnu Hibban al-Busti. Sebagian lainnya menempatkan al-Muwatta' karya Imam Malik sebagai Kitab Hadis yang Enam.

Kegiatan penyusunan dan pembukuan hadis ini terus berlanjut sampai abad ke-4 dan ke-5 H walaupun pemerintahan Islam sering berganti dari suatu dinasti Islam kepada dinasti Islam lain dan ibu kota negara sering berpindah dari satu kota ke kota lainnya.

Para ulama hadis pada abad ke-4 dan ke-5 H masih berlomba menghimpun dan membukukan hadis melalui berbagai cara yang dianggapnya tepat. Karena, mereka menganggap keberadaan Kutub as-Sittah belum dapat meliput segala hadis Nabi SAW, baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun kelengkapan sanad dan matannya (teks hadis).

Di antara ulama hadis pada abad ini, ada yang mengikuti sistematika yang digunakan ulama pada abad sebelumnya, seperti penyusun kitab Kutub as-Sittah.

Ada pula ulama yang melakukan kritik terhadap hadis yang dihimpun ulama sebelumnya, baik kritik matan maupun sanad. Selanjutnya, pada zaman modern sekarang ini, banyak pula telaah terhadap kitab hadis dan ilmunya, baik di Timur maupun di Barat.

Redaktur : Chairul Akhmad
Sumber : Dok Rep/Dia

No comments: