SEJARAH SYIAH (Bagian 2: Bab 5 – 8)

BAB LIMA
Ekspansi Geografis Syi’ahisme Pelajaran Kedelapan Belas Ekspansi (Perluasan) Geografis Syi’ahisme

Tentunya pusat pertama Syi’ahisme adalah kota Medinah dan Syi’ah perintis di antara para sahabat Nabi (saw) tinggal di kota itu. Selama pemerintahan tiga khalifah pertama, Syi’ah sahabat berpencaran di berbagai kota dan wilayah, beberapa di antara mereka memegang kedudukan politik dan militer. Dalam hal ini Allamah Muhammad Jawad Mughniyyah menulis:

Syi’ah sahabat memainkan peran sangat penting dalam propaganda dan perkembangan Syi’ahisme. Setiap kali pergi, mereka menyeru umat terhadap Syi’ahisme dalam kerangka Al-Quran dan Sunnah dan kesabaran dan ketabahan, dan atas dasar persahabatan mereka dengan Nabi (saw), mereka memperoleh penghargaan tinggi dan dipandang oleh umat, dan perkataan mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat.[1]
Bahkan tempat seperti Jabal Amil (sekarang ini Libanon) yang adalah bagian dari Syam, lingkungan pengaruh Muawiyah, menjadi salah satu pusat penting Syi’ah oleh pengaruh sahabat Nabi (saw), Abu Dzar (al-Giffari).[2]
Selama paruh berikut kekhalifahan Utsman ibn Affan, banyak Syi’ah yang tinggal di berbagai wilayah Muslim sehingga nama Ali (a.s.) selalu disebut-sebut bagi kekhalifahan. Untuk alasan ini, Utsman mengirim permintaan kepada Ali (a.s.) selama berkumpulnya pemberontak di Medinah, meminta beliau untuk sementara waktu keluar dari Medinah dan pergi ke perkebunannya di Yanbu dengan harapan para pemberontak itu berkurang semangatnya.[3] Ada banyak Syi;ah di Irak terutama selama masa khalifah Utsman. Misalnya, ketika kaum Syi’ah Basrah – terlepas dari fakta bahwa kota itu berada di bawah pendudukan dan dipengaruhi oleh propaganda Pasukan Jamal (unta) – mendengar kabar bahwa Amirul Mukminin Ali (a.s.) bersama Muhajrin dan Anshar pergi menuju mereka, hanya tiga ribu orang dari suku Rabi’ah yang menertai Imam di Ziqar.[4] Keputusan mereka untuk menyertai Ali (a.s.) secara ideologis termotivasi, memandang Imam sebagai khalifah yang diangkat oleh Nabi (a.s.) sebagaimana dikatakan Balaizuri: “Di antara Syi’ah Ali ada orang-orang dari suku Rabi’ah.”[5]
Setelah Ali (a.s.) mengambil alih tampuk pemerintahan dan pergi ke Irak, ada pengaruh kuat yang luar biasa besarnya atas perkembangan Syi’ah di wilayah tersebut. Demikian juga, para penguasa dan gubernur Imam, kebanyakan adalah orang yang berada di antara Syi’ahnya, memiliki kontribusi luar biasa dalam penyebaran Syi’ahisme di berbagai tempat lainnya. Sebagaimana Sayyid Muhsin Amin katakan, “Kemanapun orang-orang terpecaya Ali (a.s.) pergi, orang-orang di sana akan menjadi Syi’ah.”[6]
Tentu saja, selama periode itu, di samping Syam yang secara total berada di bawah pengaruh Umayyah, wilayah lainnya, seperti Basrah dan utara Irak, juga condong kepada Utsman[7] atas dasar menetapnya para kerabat Utsman di sana, dan kecondongan ini di utara Irak berlangsung sampai akhir abad kedua Hijriah.
Mekkah juga memiliki kecondongan anti-Hasyimi dan anti-Alawi sejak masa Jahiliyah. Demikian juga, baik selama masa Jahiliyah maupun periode Islam, Tha’if sama dengan Mekkah. Suku-suku Quraisy lainnya selalu bersaing dengan Banu Hasyim dan tidak berkehendak untuk menerima kepemimpinan Banu Hasyim, dan ini merupakan salah satu alasan bagi oposisi Quraisy terhadap Nabi suci (a.s.). Penduduk Tha’if juga, seperti penduduk Mekkah, menolak ajakan Nabi (saw) meskipun mereka kemudian tunduk setelah menerima kekuasaan Islam.
Dari masa Hajjaj berkuasa, Syi’ahisme terbatas sampai Irak dan Hijaz. Selama periode itu, akibat dari tekanan yang keras dan kebrutalan Hajjaj, kaum Syi’ah keluar dari Irak dan menetap di wilayah-wilayah Muslim lainnya. Terutama di bagian timur daratan Muslim pada akhir abad pertama H, pusat-pusat Syi’ah di Irak lambat laun terbentuk. Di Khurasan, kaum Abbasiyyah mengambil keuntungan dari kecintaan umat terhadap keturunan Nabi (a.s.) dan melalui slogan “orang yang ditunjuk dari keturunan Nabi Muhammad (saw) ,” mereka merekrut banyak orang di seputar mereka dan menggunakan mereka dalam berjuang melawan Umayyah.
Berpencarnya Syi’ah selama periode Abbasiyyah sangatlah jelas. Di timur, selain Iran, kaum Syi’ah pergi ke Asia Tengah, India, dan Kaukasus, di antara yang lainnya, dan dengan tumbangnya dinasti Umayyah, kaum Syi’ah juga sanggup meraih pengaruh di barat, terutama di Afrika dimana pemerintahan Syi’ah Idris berdiri selama abad kedua H. Meskipun pemerintahan mereka adalah Zaidi, ia dapat juga dianggap sebagai landasan bagi berbagai usaha kaum Syi’ah. Tentu saja, hubungan mereka dengan ibukota (Baghdad) dan Medinah berkurang disebabkan adanya pemerintahan Aghlabi di Mesir yang dibentuk untuk menghadapi mereka.[8]
Dengan cara demikian, Syi’ahisme selama abad kedua H berkembang baik di timur maupun di barat dunia Muslim, dan di samping Khuzestan, wilayah pegunungan (wilayah di seputar jajaran pegunungan Zagros) dan Iran tengah, Syi’ahisme juga berkembang di wilayah-wilayah yang sangat jauh seperti Asia Tengah, sekarang Afganistan, Azerbaijan, Maghrib (Maroko), India, dan Tabaristan.[9]
Pelajaran Kedelapan Belas: Ringkasan
Pusat pertama Syi’ahisme adalah Medinah dan perintis Syi’ah dulu tinggal di kota ini. Selama periode pertama tiga khalifah, Syi’ah sahabat (para sahabat Nabi) berpencaran di berbagai kota dan wilayah dan menyeru umat kepada Syi’ahisme atas dasar Al-Quran. Pindahnya Ali (a.s.) ke Irak memiliki pengaruh yang sangat luar biasa atas Syi’ahisme di Irak.
Dari masa Hajjaj, Syi’ahisme melampauai wilayah Irak dan Hijaz. Selama periode Abbasiyyah, Syi’ah di timur, di samping Iran, juga menemukan jalan mereka menuju Asia Tengah, India, dan Kaukasus, dan di barat juga, dengan berdirinya pemerintahan Idrisi di Maghrib, landasan yang subur terbuka bagi pengaruh Syi’ahisme.
Wilayah-wilayah berpenduduk Syi’ah selama abad pertama H mencapai Hijaz dan Irak. Sehubungan dengan menetapnya para Imam maksumin (a.s.) dan Banu Hasyim di sana, Medinah merupakan kota pertama tempat berkumpulnya kaum Syi’ah.
Wilayah konsentrasi kedua Syi’ah di samping Medinah adalah Yaman, karena umat di sana memeluk Islam melalui tangan Ali (a.s.).
Pelajaran Kedelapan Belas: Pertanyaan
  1. Dimanakah pusat pertama Syi’ahisme? Bersekutu dengan siapakah awal dari perkembangan Syi’ahisme?
  2. Wilayah mana yang berpopulasi Syi’ah selama abad pertama Hijriah?
  3. Apa alasan di balik kecondongan orang-orang Yaman terhadap Syi’ahisme?
Pelajaran Kesembilan Belas
Konsentrasi Demografis Kaum Syi’ah
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, selama tiga abad pertama H, kaum Syi’ah berpencaran menyeberang dan hidup di berbagai bagian daratan Muslim. Namun demikian, konsentrasi demografis dan pusat Syi’ah berada di wilayah tertentu, yang selama abad pertama Hijriah tempat-tempat itu seperti Medinah, Yaman, Kufah, Barah, Mada’in, dan Jabal Amil. Selama abad kedua Hijriah, selain wilayah-wilayah ini, tempat-tempat seperti Qum, Khurasan, Tabaristan, Baghdad, Jabal, dan Afrika berada di antara wilayah yang secara demografis menjadi pusat Syi’ah. Sekarang kami akan menjelaskan wilayah-wilayah ini satu per satu.
1.Tempat-tempat Berpopulasi Syi’ah Selama Abad Pertama Hijriah
Selama abad pertama Hijriah, tempat-tempat berpopulasi Syi’ah terbatas sampai ke Hijaz, Yaman dan Irak. Warga wilayah-wilayah ini adalah Arab dan dipandang sbagai kaum Musliminin perintis. Syi’ahisme di Hijaz dan Yaman dapat dilacak kembali ke periode Nabi Suci (saw). Irak yang ditaklukkan setelah wafatnya Nabi (saw) juga menjadi daerah hunian suku-suku Yaman dan pemerintahan Hazrat Ali (a.s.) yang melajukan berkembangnya Syi’ahisme di tempat itu.[10]
a.Medinah
Nama Medinah (Madinah) adalah “Yatstrib” sebelum hijrah dan warga di sana terdiri dari dua suku Yaman, Aus dan Khasraj), yang dinamai kembali “Anshar” setelah kedatangan Islam (tepatnya setelah hijriah), dan tiga suku Yahudi, dengan nama Banu Qaynuqa, Banu Nadir dan Banu Quraydah. Ketika Rasul Mulia (saw) hijrah ke sana, namanya dirubah menjadi “Madinah an-Nabi” (Kota Nabi) dan atas dasar penyebutannya yang terus-menerus kata “Madinah” menjadi namanya seperti sekarang ini.
Medinah merupakan ibukota politik tiga khalifah pertama (Abu Bakar, Umar dan Utsman), dan kaum Quraisy yang merupakan musuh bebuyutan Keluarga Nabi (Ahlul Bait) pun tinggal di sana. Meski demikian, kaum Anshar tetap merupakan mayoritas warga Medinah yang selalu bersimpati kepada keturunan Nabi (saw) dan selama terjadi pertikaian politik, mereka berpihak ke Ahlul Bait. Kaum Syi’ah sahabat tinggal di kota tersebut yang secara terus-menerus menyampaikan kebenaran kepada umat. Jabir ibn Abdullah al-Anshari, seorang sahabat besar Nabi (saw), sementara bersandar pada majelisnya, berkelana ke jalan-jalan kecil di Medinah dan berkata:
Ali adalah sebaik-baiknya manusia. Barangsiapa yang tidak mau menerima kehendaknya menjadi kafir. Wahai golongan Anshar! Didiklah anak-anak kalian untuk mencintai Ali. Siapa saja di antara mereka yang tidak menerima cinta ini, maka kalian harus tanyakan ibunya mengenai janin.[11]
Jabir duduk di Mesjid an-Nabi dan berkata, “Wahai Baqir al-Ulum (Orang yang meluluh-lantakkan semua ilmu)! Dimana kalian?” Orang-orang berkata, “Jabir, engkau berbicara omong kosong.” Jabir pun menjawab, “Tidak, aku tidak bicara omong kosong. Sebenarnya Rasulullah (saw) berkata kepadaku: ‘Sepeninggalku, kalian akan menemui seseorang di antara keturunanku yang namanya akan sama dengan namaku dan wajahnya sama dengan wajahku. Dia akan membuka kepada manusia puluhan ilmu.’”[12]
Ketika beliau bertemu dengan Imam al-Baqir (a.s.) untuk pertama kalinya, beliau mengunjungi Imam dua kali setiap hari.[13] Abu Dzar al-Ghiffari berdiri di depan pintu Mesjid an-Nabi dan berkata:
Barangsiapa yang mengakui aku, telah mengenalku. Dan barangsiapa yang tidak mengenalku, ketahuilah bahwa aku adalah Abu Dzar al-Ghiffari, Jundab ibn Jnadah… Muhammad adalah pewaris ilmu Adam dan segala kebajkan para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib adalah pelaksana kehendak (wasi’) Muhammad dan pewaris ilmunya.[14]
Sementara itu, kebanyakan para anggota Banu Hasyim tinggal di kota itu dan mendapat penghormatan yang tinggi. Para Imam Maksumin (a.s.) juga tinggal di kota yang sama dan warga memanfaatkan pengajaran-pengajarannya. Khususnya, lingkaran studi Imam al-Baqir dan Imam ash-Shadiq (a.s.) meluas sampai sejauh Mesjid an-Nabi. Abu Hamzah ath-Thumail meriwayatkan:
Aku sedang duduk di Mesjid an-Nabi ketika seorang laki-laki menghampiri dan memberiku salam, dan bertanya tentang Abu Ja’far (Imam al-Baqir). Aku bertanya, “Apa urusanmu dengannya?” Dia menjawab, “Aku membuat daftar empat puluh pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Abu Ja’far.” Dia susah untuk menyudahi pernyataannya ketika Imam al-Baqir (a.s.) memasuki mesjid. Sejumlah orang dari Khurasan berkumpul mengelilinginya dan bertanya kepada Imam tentang ritual-ritual Haji.”[15]
Beberapa murid dari dua tokoh terkemuka seperti Aban ibn Tughlab juga memberikan pelajaran-pelajaran di Mesjid an-Nabi. Setiapkali Aban memasuki Mesjid an-Nabi, dia akan duduk di tempat Nabi (saw), memberi pelajaran-pelajaran kepada umat, dan meriwayatkan hadits kepada mereka. Imam ash-Shadiq (a.s.) berkata kepadanya, “Duduklah di Mesjid Medinah dan keluarkan fatwa-fatwa kepada umat karena aku menginginkan seseorang sepertimu terlihat di antara Syi’ahku.”[16]
b.Yaman
Sebelum penaklukkan Irak dan berdirinya Kufah, kaum Syi’ah tinggal di Yaman. Setelah Medinah, Yaman adalah tempat kedua Syi’ah Ali (a.s.) setelah wafatnya Nabi (saw) karena warga di sana memeluk Islam melalui Ali (a.s.). Ibn Shahr Asyub menulis:
Rasul Mulia (a.s.) mengutus Khalid ibn Walid ke Yaman untuk mengajak umat di sana kepada Islam dan terjadi kemudian bahwa Bara’ ibn Azib juga disertakan bersama pasukan Khalid. Khalid tinggal di sana selama enam bulan tetapi dia tidak mampu meyakinkan seorang pun untuk menjadi Muslim. Rasulullah (saw) tidak merasa senang mengenai perkara ini dan memanggil pulang Khalid, dan sebagai gantinya Nabi (saw) mengutus Amirul Mukminin Ali (a.s.). Ketika Imam tiba di sana, beliau melaksanakan shalat subuh dan membacakan kepada warga Yaman surat Nabi (saw). Semua anggota suku Hamdan pun menjadi Muslim dalam sehari dan setelah Hamdan seluruh suku di Yaman memeluk Islam. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi (saw). beliau melakukan sujud syukur.[17]
Rumah pertama yang ditempati Ali (a.s.) sewaktu berada di Yaman adalah rumah seorang wanita bernama Ummu Sa’ad Barzakhiyah. Di sana Imam memberikan pelajaran-pelajaran Al-Quran. Rumah tersebut kemudian dirubah menjadi sebuah mesjid dan diberi nama “Mesjid Ali.”
Terutama pada saat-saat terakhir Nabi (saw), orang dari suku Yaman yang berbeda-beda pergi ke Medinah untuk menemui Nabi (saw) dan dalam pembicaraan mereka dengan Nabi (saw), diperkenalkan Ali (a.s.) kepada mereka sebagai penggantinya,[18] dan karenanya fakta ini tetap ada dalam ingatan mereka.[19] Dan setelah Nabi (saw) wafat, mereka secara resmi tidak mengakui pemerintahan di Medinah dan menahan diri dari membayar zakat kepada Abu Bakar, khalifah para masa itu.[20] Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu puisi mereka,
Ketika Rasulullah berada di tengah kami, kami mematuhinya
Wahai manusia! Dimanakah kami dan dimanakah Abu bakar?
Jika Abu Bakar memiliki seorang anak bernama Bakar, akankah dia
Mewarisi kekhalifahan sepeninggalnya?
Aku bersumpah kepada jiwaku! Ini melelahkan.[21]
Selama kekhalifahan Ali (a.s.), di samping ratusan ribu orang Yaman yang menetap di Irak[22] dan ribuan orang yang dipandang sebagai bagian dari pasukan Imam, kebanyakan di antara orang-orang Yaman juga Syi’ah. Utsman dan para simpatisan Umayyah hidup tinggal di sana dalam jumlah yang sangat kecil dan bukti darinya adalah perlakuan Busr ibn Artat, sebagaimana perintah Muawiyyah terhadap mereka.[23] Ketika Busr bersama warga daerah-daerah yang bersimpatisan kepada kaum Quraisy dan Umayyah, dia tidak melakukan apa pun. Misalnya, dia melewati Mekkah dan Thaif, dia tidak berbuat apa pun terhadap kedua kota ini.[24] Tetapi ketika dia tiba di kota-kota Yaman seperti Arbab, San’a dan Hadramaut, dia terlibat dalam pembunuhan missal. Di San’a dia memenggal seorang orang mulia dari Iran. Dia tidak kenal ampun terhadap para wakil Ma’rab yang telah datang menaklukkan Oman sewaktu dia membunuh mereka semua. Ketika tiba di Hadramaut, dia berkata: “Aku ingin menyembelih seperempat dari penduduk kota ini.”[25]
Di Jaysan khususnya, yang menurut Ya’qubi, semua penduduknya adalah Syi’ah. Busr melakukan pembantaian besar-besaran.[26] Ibn Abil Hadid telah memperkirakan jumlah orang-orang yang dibunuh oleh Busr melampaui tiga ribu orang yang kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Yaman.[27] Ini menunjukkan bahwa populasi Syi’ah pada waktu itu telah dapat dipertimbangkan. Hazrat Amir (a.s.) mengutus Jariyah ibn Qudamah (as-Sa’di) dan Busr melarikan diri dari Yaman. Penduduk Yaman dan kaum Syi’ah di sana kemudian membunuh kaum Ustmani dan para simpatisan Umayyah dimana pun mereka ditemukan.[28]
Setelah kesyahidan Ali (a.s.), Yaman masih tetap secara demografis menjadi pusat kaum Syi’ah, dan ketika Imam Husain (a.s.) berangkat dari Mekkah ke Kufah, Ibn Abbas memperkirakan Imam tidak pergi ke Irak, tetapi ke Yaman “dimana ada Syi’ah dari ayahnya.”[29]
Harus dicatat bahwa permulaan berbagai kemenangan dan ekspansi daerah kekuasaan Muslim, Yaman (dan Jazirah Arab pada umumnya) telah mencapai batas geografisnya dan memainkan peran sekunder dalam masalah politik dan militer. Meskipun kedua kota Mekkah dan Medinah memiliki beberapa pengaruh sosial yang kuat atas dasar pendirian keagamaan mereka. Yaman, yang selama masa Nabi (saw) dianggap sebagai salah satu bagian paling penting dari daerah kekuasaan Islam, yang lokasinya kira-kira di satu sudut wilayah Muslim dan di ujung selatan setelah berbagai kemenangan kaum Muslimin di negara-negara tetangga. Dalam pandangan ini, semangat Syi’ahisme di sana dominan. Selama kebangkitan Abu Saraya pada akhir abad kedua, Ibrahim ibn Musa masuk ke sana tanpa menghadapi perlawanan lokal apa pun dan mendudukinya.[30] Dan pada akhirnya, sekte Zaidi hadir di Yaman. Bahkan sekarang, banyak warganya adalah Zaidiyyah.[31]
c.Kufah
Kufah adalah sebuah kota yang didirikan setelah kedatangan Islam oleh kaum Muslimin di sana. Kota kuno Hirah di dekat Kufah selalu dikuasai oleh Lakhmiyan.[32]
Pada 17 Hijriah Sa’ad ibn Abi Waqqas, panglima fron Iran, membangun kota ini atas perintah khalifah kedua (Umar) dan setelah itu, delapan puluh sahabat bermukim di sana.[33] Pada awalnya, kota Kufah lebih merupakan barak militer dan akomodasi bagi pasuan fron timur. Kebanyakan penduduknya adalah Muslim mujahidin yang mayoritas berasal dari suku Qahtani dan Yamani. Atas dasar ini, Kufah selalu bersuasana Qahtani dan Yamani.[34] Di antara para sahabat Nabi (saw), Anshar dengan asal-mula Yamani banyak bermukin di sana. Suku Khazraj, satu dari dua suku Anshar, memiliki sebuah kota kecil di sana. Yaqut Hamawi mengatakan, “Selama masa Ziyad (ibn Ubaydullah), banyak rumah-rumah yang terbuat dari batu bata adalah rumah-rumah (suku) Khazraj dan Murad.”[35]
Tentu saja, sejumlah orang non-Arab dan Iran juga tinggal di Kufah yang selama kekhalifahan Amirul Mukminin (a.s.), sibuk berdagang di pasar Kufah. Kalangan non-Arab ini yang termasuk dalam pasukan kebangkitan Mukhtar.[36]
Mengenai keutamaan Kufah, ada banyak hadits yang berkaitan dengannya, salah satu darinya adalah dari Ali (a.s.) (a.s.) ketika berkata:
Betapa baiknya kota Kufah! Tanahnya di sana menyukai kami dan kami pun menyukainya juga. Pada hari Kebangkitan, tujuh puluh ribu orang yang wajah-wajahnya seperti bulan purnama yang akan muncul di luar Kufah (pemakaman Kufah yang berlokasi di luar kota). Kufah adalah kota kami dan tempat serta naungan Syi’ah kami.
Imam ash-Shadiq (a.s.) berkata, “Ya Allah! Musuhilah orang yang memusuhi Kufah.”[37]
Catatan tentang Syi’ahisme di Kufah dapat dilacak kembali ke masa bahkan sebelum kepindahan Ali (a.s.) ke sana. Dua faktor yang dapat diidentifikasi untuk ini adalah, pertama warga Yaman di sana, mayoritas seperti yang telah kami katakan sebelumnya, bersimpati kepada keturunan Nabi (a.s.), dan satu hal lagi adalah keberadaan Syi’ah sahabat terkemuka seperti Abdullah ibn Mas’ud dan Ammar ibn Yasir. Ammar diutus oleh Umar sebagai gubernur dan ibn Mas’ud sebagai guru Al-Quran. Selama bertahun-tahun, Ibn Mas’ud mengajarkan ilmu fiqih dan Al-Quran kepada warga di sana.
Kita dapat mengamati pengaruh kuat dari pengajaran-pengajaran dari orang-orang terkemuka ini pada awal kekhalifahan Ali (a.s.). Khotbah Malik al-Asytar ketika orang-orang berbaiat kepada Imam menunjukkan semangat Syi’ahisme di antara umat, ketika Malik berkata:
Wahai manusia! Penerus dari para penerus ini dan pewaris ilmu para nabi…. adalah seseorang yang keimanannya kepada Kitabullah dan Nabi menjadi saksi untuk menjadi penghuni surge. Dialah seseorang yang tersempurnakan, keutamaannya dalam ilmu dan jasanya, orang-orang terkemudian dan pendahulu tidak meragukannya.[38]
Ketika Ali mengutus puteranya Hasan (a.s.) dan Ammar untuk meminta bantuan dari warga Kufah dalam berperang melawan kaum Nakhitun (orang-orang yang melanggar janji mereka) (dalam perang Jamal), sembilan ribu orang menyertai barisan Imam bahkan meskipun seseorang seperti Abu Musa al-Asy’ari, penguasa di sana, mencegah membantu Amirul Mukminin (a.s.).[39]
Dengan hijrahnya Ali (a.s.) ke Kufah pada 36 Hijriah dan bahkan lebih dulu dari itu, kota itu telah menjadi kota terpenting yang berpopulasi Syi’ah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Dr. Sayyid Husain Ja’fari kemudian mengatakan dalam hal ini:
Sejak masa ketika Ali (a.s.) pindah ke Kufah pada 36 H dan bahkan lebih awal dari itu, kota ini telah menjadi pusat utama berbagai gerakan, inspirasi, harapan, dan terkadang, mengkordinir berbagai perjuangan kaum Syi’ah. Di dalam dan di sekiat Kufah, serentetan peristiwa yang membangun sejarah awal Syi’ahisme terjadi. Berbagai peristiwa seperti persiapan pasukan Ali (a.s.) untuk perang Jamal dan Siffin; pengangkatan dan penurunan kekhalifahan Hasan ibn Ali (a.s.); kebangkitan Hujr ibn Uday al-Kindi; pembunuhan Husain (a.s.) dan para pendukungnya; dan gerakan Tawwabun bersama kebangkitan Mukhtar, berada di antara berbagai peristiwa ini. Dengan demikian, Kufah merupakan tempat ketiadaan harapan, kehilangan, dan bahkan pengkhianatan serta kegagalan dalam mencapai berbagai tujuan Syi’ah pada sebagian orang-orang yang tidak ingin melihat para keturunan Ali (a.s.) dalam kepengurusan masyarakat Muslim.[40]
Meskipun para pembunuh Imam Husain adalah orang-orang Kufah,[41] Syi’ah terkemuka pada masa itu sengsara dalam penjara Ibn Ziyad.[42] Di samping itu, dengan kesyahidan Muslim ibn Aqil dan Hani, kaum Syi’ah ditinggal tanpa panglima melawan musuh bebuyutan seperti Ibn Ziyad dan tidak mempunyai tandingan bagi kekuatannya. Setelah kesyahidan Imam Husain (a.s.), walau bagaimana pun, kaum Syi’ah segera menyadari dan melancarkan gerakan Tawwabun dan kebangkitan Mukhtar.
Kufah telah dikenal karena persahabatan dan kecintaan kepada Ahlul Bait (a.s.) dan permusuhan kepada Umayyah. Bahkan Mus’ab ibn az-Zubair berpura-pura mencintai keturunan Nabi (a.s.) untuk merebut hat orang-orang Kufah. Karenanya, ia menikahi puteri dari Imam Husain (a.s.).[43] Dengan berakhirnya abad pertama Hijriah, walau kemudian ada pusat-pusat berpopulasi Syi’ah, Kufah masih dianggap sebagai kota berpopulasi Syi’ah paling penting. Sementara menasehati para pendukungnya selama tahap awal kebangkitan melawan Umayyah, misalnya, Muhammad ibn Ali Abdullah ibn Abbas, pemimpin kebangkitan Abbasiyyah, berkata: “Tetapi (orang-orang) Kufah dan distrik-distriknya adalah Syi’ah Ali ibn Abi Thalib.”[44]
Selama abad kedua dan ketiga Hijriah, kebangkitan beberapa Thalibi juga terjadi di Kufah. Meskipun keberadaan kota penting seperti Baghdad selama periode Abbasiyyah, Kufah tidak kehilangan kepentingan politiknya dan kebangkitan paling masyhur kaum Allawi selama paruh kedua abad kedua H., yakni kebangkitan Ibn Thabathaba di bawah panji militer Abu Saraya dilancarkan di kota yang sama.[45] Karenanya, Umayyah mengawasi Kufah dari dekat dan individu-individu haus darah seperti Ziyad, Ibn Ziyad dan Hajjaj didisain untuk berkuasa di sana. Para penguasa di sana selalu diwajibkan untuk memusuhi kaum Alawi, dan dalam suatu peristiwa dimana seorang penguasa seperti Khalid ibn Abdullah al-Qasri memiliki sedikit belas kasih kepada kaum Syi’ah, ia akan dengan segera dipecat dan bahkan dipenjarakan.[46]
Sebagian dari aspek politiknya, Kufah juga dianggap sebagai kota berpopulasi Syi’ah paling penting dalam artian keilmuan dan budaya Syi’ah yang dominan di sana. Mayoritas murid Imam maksumin (a.s.) adalah kaum Syi’ah dari kota ini. Klan-klan terkemuka Syi’ah tinggal di Kufah. Mereka menawarkan pelayanan berjasa kepada budaya Syi’ah. Misalnya, dari masa Imam as-Sajjad (a.s.) hingga okultasi kecil (ghaibah as-sugra) orang-orang Rumah A’yan berada di antara para sahabat Imam maksumin (a.s.). Enam puluh ulama hadits terkemuka (muhadditsun) berasal dari klan ini. Para pendukungnya seperti Zurarah ibn A’yan, Hamran ibn A’yan, Bakr ibn A’yan, Hamzah ibn Hamran, Muhammad ibn Hamran, dan Ubayd ibn Zurarah – Ubayd juga yang pergi ke Medinah sebagai wakil orang-orang Kufah setelah wafatnya Imam ash-Shadiq (a.s.) untuk menghapus kesangsian mengenai masalah Imamah, sebelum kembali ke Kufah.[47]
Rumah Abi Syu’bah merupakan klan Syi’ah terkemuka lainnya di Kufah yang leluhurnya, Abu Syu’bah, telah meriwayatkan hadits dari Imam al-Hasan dan Imam Husain (a.s.). Najasyi menyatakan bahwa semua riwayat itu dapat dipercaya.
Demikian juga, Rumah Nahik juga merupakan salah satu klan besar Syi’ah di Kufah yang merupakan klan dari Abdullah ibn Muhammad dan Abdurrahman Samari.[48]
Di mesjid-mesjid Kufah, terutama di mesjid pusatnya, hadits-hadits dari Imam maksumin (a.s.) diajarkan di sana. Hasan ibn Ali Wasysya, seorang sahabat Imam ar-Rida (a.s.) berkata: “Aku melihat di Mesjid Kufah sembilan ribu orang yang sedang menyampaikan hadits dari Imam ash-Shadiq (a.s.).”[49]
d.Basrah
Basrah adalah kota yang didirikan oleh kaum Muslimin pada 17 Hijriah bersamaan dengan berdirinya Kufah.[50] Meskipun warga Basrah dikenal condong kepada Utsman dalam mendukung Aisyah, Thalhah dan Zubair, pada saat yang sama pasukan Jamal ada di Basrah, kaum Syi’ah di sana memeranginya dan sejumlah besar mereka mencapai kesyahidan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Syeikh Mufid, dari (suku) Abdul Qays saja, lima ratus Syi’ah Ali (a.s.) syahid.[51] Menurut Balazuri, tiga ribu orang laki-laki dari antara kaum Syiah suku Rabi’ah menyertai barisan Imam di Dhiqar.[52] Setelah perang Jamal, meskipun lingkungannya di Basrah condong ke Utsman, masih banyak Syi’ah yang tinggal di sana. Karenanya, ketika Muawiyah mengutus Ibn Hadrami untuk menciptakan kerusuhan di sana, ia memberitahukan kepadanya bahwa beberapa orang di Basrah adalah Syi’ah dan menasehatinya untuk menjauhi beberapa suku seperti suku Rabi’ah meskipun sejumlah besar dari kaum Utsmani, jika Ali (a.s.) tidak mengirim pasukan dari Kufah, melalui kerusuhan itu dia akan mengambil alih Basrah melalui kaum Ustmani.[53]
Selama peristiwa Karbala, Imam al-Husain (a.s.) juga menulis sepucuk surat kepada beberapa orang Basrah terkemuka. Di antara mereka, Yazid ibn Mas’ud Nashali yang menerima undangan Imam, menjawabnya secara positif kepadanya, mengumpulkan suku-suku dari Banu Tamim, Banu Sa’ad dan Banu Hamzalah, dan menyeru mereka untuk membantu Imam Husain (a.s.). Kemudian dia menulis sepucuk surat kepada Imam yang memberitahukan kepadanya mengenai kesiapan suku-suku ini. Tetapi ketika mereka sudah hendak menyertai barisan Imam, mereka mendengar kabar mengenai kesyahidan Imam.[54]
Selama kebangkitan Tawwabun, sebagaimana diriwayatkan oleh Mas’udi, sejumlah Syi’ah Basrah bersama dengan Syi’ah Mada’in juga menyertai pasukan Tawwabun. Tentu saja, ketika mereka tiba di tempat, perang sudah usai.[55]
Selama periode Umayyah, Syi’ah Basrah mengalami berbagai penderitaan di tangan para penguasa kejam dan haus darah seperti Ziyad dan Samarah ibn Jundab. Ziyad datang ke Basrah pada 45 H dan menyampaikan Batra.[56] Khotbah itu mengatakan:
Aku bersumpah kepada Allah bahwa aku akan memanggil untuk memperhitungkan penjagaan bagi kesalahan orang yang dijaga; kediaman bagi kejahatan musafir; dan kesehatan bagi dosa orang yang sakit hingga batas tertentu sehingga ketika salah seorang di antara kalian melihat yang lain, dia akan mengatakan bahwa Sa’ad sendiri adalah bukti dari Sa’ad itu bersalah. Dari pada itu, sadarilah kalau-kalau seseorang keluar pada malam hari karena aku akan menumpahkan darahnya… Jagalah lidah dan tangan kalian dariku agar aku tetap menahan lidah dan tanganku.[57]
Selanjutnya, Kufah juga menjadi berada di bawah kegubenuran dan pemerintahan Ziyad, dan dia tinggal selama enam bulan di Kufah dan enam bulan berikutnya di Basrah. Setiap kali dia berada di Kufah, dia akan menunjuk Samarah ibn Jundab untuk memerintah Basrah atas namanya. Samarah adalah seorang manusia yang kejam dan tidak pernah berhenti menumpahkan darah. Selama ketidakhadiran Ziyad (di Kufah), dia menyembelih delapan ribu orang.[58]
Dengan berlalunya waktu, semangat Syi’ahisme di Basrah menjadi semakin kuat sehingga selama permulaan kekuasaan Abbasiyyah, kebangkitan Alawi kedua – kebangkitan Ibrahim, saudara dari Muhammad Nafs az-Zakiyyah – terjadi di sana.[59]
e.Mada’in
Bertentangan dengan Kufah dan Basrah, Mada’in adalah sebuah kota yang telah ada bahkan sebelum kedatangan Islam dan ditaklukkan oleh Sa’ad ibnu Abi Waqqas pada 16 Hijriah selama kekhalifahan Umar ibn Khattab. Dikatakan bahwa Anusyrwan mendirikan kota ini dan nama Persianya adalah Tisfun yang dianggap sebagai salah satu ibukota Kekaisaran Sassanid. Taq-e Kisra[60] juga berlokasi di sana. Untuk alasan itulah ia terdiri dari tujuh tempat besar yang di antaranya sebesar sebuah kota, orang-orang Arab menyebutnya “Mada’in” yang adalah bentuk jamak dari “madinah” (kota) (bentuk jamak lainnya “mudun”). Tentu saja dengan berdirinya kota-kota baru seperti Kufah, Basrah, Wasit, Baghdad dan Samarra, kota ini lambat laun ditinggalkan.[61] Mada’in menjadi salah satu kota berpopulasi Syi’ah selama abad pertama, kedua dan ketiga Hijriah, dan alasan di balik ini adalah kekuasaan Syi’ah sahabat seperti Salman al-Farisi dan Huzaifah ibn Yaman di sana. Dan karena itu, warga Mada’in, dari permulaan, telah menerima Islam melalui tangan Syi’ah sahabat. Pada kebangkitan Tawwabun, nama-nama Syi’ah dari Mada’in dapat dicatat. Mas’udi berkata:
Setelah kesyahidan Sulaiman ibn Sard Khaza’i dan Musyayab ibn Najbah Fazari Abdullah ibn Sa’ad ibn Nufayl menduduki kepanglimaan Tawwabun. Dengan demikian, Syi’ah Basrah dan Mada’in, yang kira-kira lima ratus orang dan para panglimanya adalah Muhanna ibn Mukharammah dan Sa’ad ibn Huzaifah, dengan cepat datang ke fron dan secara sendiri-sendiri menyertai Tawwabun namun mereka gagal.[62]
Syi’ahisme selalu dominan di kota ini. Dalam hal ini, Yaqut Hamawi berkata, “Mayoritas penduduk Mada’in adalah Syi’ah Imamiyah.”[63]
f.Jabal ‘Amil
Jabal Amil adalah wilayah berpopulasi Syi’ah lainnya selama abad pertama Hijriah. Syi’ahisme warga tempat ini dimulai dari ketika Abu Dzar dibuang oleh Utsman ibn al-Affan ke Syam. Almarhum Sayyid Muhsin berkata:
Muawiyah juga membuang Abu Dzar ke pedesaan Jabal Amil. Abu Dzar sibuk dalam membimbing umat (di sana). Maka orang-orang di sana menjadi Syi’ah. Di pedesaan Sarfan dan Mays Jabal Amil, ada dua mesjid bernama “Mesjid Abu Dzar”. Bahkan selama masa Amirul Mukminin (a.s.), (warga) desa tertentu bernama “As’ar” adalah Syi’ah.[64]
Berkenaan dengan Syi’ahisme di sana, almarhum Muzafar juga mengatakan, “Asal usul Syi’ahisme di Jabal Amil dapat dilacak kembali pada sebutan mujahid (pejuang) di jalan Allah, Abu Dzar al-Giffari.”[65] Kird Ali juga mengatakan bahwa catatan Syi’ahisme di Damaskus, Jabal Amil dan selatan Libanon dapat dilacak kembali ke abad pertama Hijriah.[66]
Pelajaran Kesembilan Belas: Ringkasan
Akar dari Syi’ahisme dapat dilacak kembali bahkan sebelum kepindahan Ali (a.s.) karena mayoritas warga di sana dari suku-suku Yamani yang adalah Syi’ah. Di samping itu, Syi’ah sahabat terkemuka tinggal di sana.
Dengan hijrahnya Ali (a.s.) ke kota ini hingga akhir abad ketiga Hijriah, Kufah menjadi kota berpopulasi Syi’ah paling penting. Karenanya, selama abad kedua dan ketiga Hijriah, kebangkitan sejumlah Thalibi dilancarkan di sana, dan budaya Syi’ah selalu dominan di sana.
Meskipun ada semangat kecondongan kepada Utsmani di kota Basrah, ada juga Syi’ah Amirul Mukminin (a.s.) seperti suku Rabi’ah hidup di sana dan mereka berperang melawan para Sahabat Unta (pasukan Thalhah, Zubair, dan Aisyah). Dengan berlalunya waktu, pengaruh Syi’ahisme di kota Basrah menjadi semakin kuat.
Atas dasar berkuasanya Syi’ah sahabat terkemuka di sana seperti Salman al-Farisi dan Huzaifah ibn Yaman, Mada’in dipandang sebagai salah satu kota berpopulasi Syi’ah.
Melalui pembuangan Abu Dzar ke Syam, benih Syi’ahisme tersemai di wilayah Jabal Amil.
Pelajaran Kesembilan Belas: Pertanyaan
  1. Bagaimana Kufah menjadi kota berpenduduk Syi’ah?
  2. Adakah Syi’ah hidup di Basrah?
  3. Akar Syi’ahisme di Jabal Amil dapat dilacak kembali pada periode yang mana?
Pelajaran Kedua Puluh
2.Tempat-tempat Berpopulasi Syi’ah Selama Abad Kedua Hijriah
Pada permulaan abad kedua Hijriah, Syi’ahisme meluas melampaui perbatasan Jazirah Arab dan Irak yang meliputi seluruh daerah kekuasaan Muslimin. Mengingat berpencarnya kaum Syi’ah dan Alawi di berbagai wilayah Muslim, masalah ini dapat dibeda-bedakan. Dari masa Hajjaj ibn Yusuf, migrasi Syi’ahisme dan Alawiyyah ke berbagai wilayah lain telah dimulai. Migrasi-migrasi ini selanjutnya dipercepat selama abad kedua Hijriah melalui awal propaganda dan berbagai gerakan kaum Alawi. Setelah gagalnya kebangkitan Zaid di Kufah, puteranya Yahya bersama sejumlah pendukungnya pergi ke Khurasan.[67] Setelah beliau, kebangkitan Abdullah ibn Muawiyyah, seorang keturunan Ja’far ibn Abi Thalib ath-Thayyar, mencakup wilayah-wilayah seperti Hamedan, Qum, Rey, Qirmis, Isfahan, dan Fars, dan Abdullah sendiri tinggal di Isfahan. Abul Faraj al-Isfahani berkata, “Orang-orang terkemuka Banu Hasyim pergi menemui beliau dan beliau menunjuk masing-masing dari mereka untuk berkuasa di sebuah distrik. Bahkan Mansur dan Safah (yang kemudian menjadi dua khalifah pertama Abbasiyyah) telah bekerja sama secara diam-diam dengan beliau dan ini berlangsung sampai masa Marwan Himar dan munculnya Abu Muslim.”[68]
Selama periode Abbasiyyah, gerakan Alawi selalu muncul, konsekwensi nyata darinya adalah berpencar-pencarnya kaum Alawi di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Misalnya, setelah kebangkitan Muhammad Nafs az-Zakiyyah selama pemerintahan Mansur dan kekalahannya, keturunan-keturunan Imam al-Hasan (a.s) berpencar di berbagai tempat. Dalam hal ini, Mas’udi kemudian berkata:
Saudara-saudara dari Muhammad ibn Abdullah (Nafs az-Zakiyyah) berpencaran di berbagai tempat. Puteranya, Ali ibn Muhammad, pergi ke Mesir dimana beliau kemudian terbunuh. Puteranya yang lain, Abdullah ibn Muhammad pergi ke Khurasan dan dari sana pergi ke Sind dan terbunuh di sana. Putera ketiganya, Hasan ibn Muhammad pergi ke Yaman dan dihalang-halangi kemudian wafat pada saat berada di penjara. Saudaranya (Nafs az-Zakiyyah), Musa, pergi ke Mesopotamia. Saudara Nafs az-Zakiyyah yang lain, Yahya, pergi ke Rey dan dari sana pergi ke Tabaristan. Saudaranya yang satu lagi, Idris, pergi ke Maghrib. Saudaranya yang lain lagi, Ibrahim, pergi ke Basrah, di sana ia membentuk pasukan yang terdiri dari orang-orang Ahwaz, Fars dari kota-kota lain, namun kebangkitannya berakhir dalam kegagalan.[69]
Meskipun di antara mereka dikejar-kejar oleh agen-agen Abbasiyyah dan tidak sanggup tetap berada di satu tempat dan kemudian dibunuh, pengaruh kuat mereka tetap ada. Terkadang, anak-anak mereka tinggal di berbagai tempat lainnya. Misalnya, Abdullah putera Muhammad Nafs az-Zakiyyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Mas’udi, tidak sanggup untuk tetap berada di Khurasan dan setelah itu, ia pergi ke Sind.[70] Selain itu, penulis kitab Muntaqilah ath-Thalibiyyin, meriwayatkan bahwa putera dari Abdullah, Ibrahim, tetap berada di Khurasan dan memiliki dua orang anak bernama Qasim dan Muhammad.[71]
Demikian juga, ada sekelompok orang di Transoxiana yang berantai silsilah dari Irahim ibn Muhammad Nafs az-Zakiyyah.[72]
Sekarang kita akan meninjau kondisi kota-kota dan wilayah-wilayah yang dihuni kaum Syi’ah yang berjumlah besar selama abad kedua Hijriah.
a.Khurasan
Pada permulaan abad kedua Hijriah, gerakan para jurkam Banu Hasyim[73] dilancarkan di Khurasan dan karenanya banyak orang memeluk Syi’ahisme di sana. Ya’qubi meriwayatkan:
Ketika Zaid syahid, kaum Syi’ah di Khurasan berada dalam kerusuhan besar dan mengungkapkan keimanan mereka kepada Syi’ahisme. Para khatib secara terang-terangan menyatakan kekejaman dan tirani Umayyah terhadap keturunan Nabi (saw).[74]
Kondisinya tetap demikian sampai masa ketika Yahya ibn Zaid pergi ke Khurasan dan tinggal di sana untuk sementara waktu dalam penyamaran. Dan ketika ia bangkit, banyak orang berkumpul mengelilinginya. Mas’udi meriwayatkan, “Pada tahun ketika Yahya terbunuh, setiap bayi yang lahir di Khurasan diberi nama Yahya.”[75]
Tentu saja, dikarenakan kehadiran kaum Zaidi dan para jurkam Abbasi, Syi’ahisme dari orang-orang Khurasan berbau Zaidi dan Khaysani. Ini terutama benar mengingat fakta bahwa pada awalnya, Abbasiyyah membangun fondasi keabsahan mereka melalui suksesi Muhammad ibn Ali ke Abu Hasyim, putera Muhammad al-Hanafiyah. Sebagaimana Abul Faraj al-Isfahani menulis dalam menggambarkan Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah:
Dia adalah seorang Syi’ah dari Khurasan yang berpikir sebagai pewaris ayahnya yang mereka pikir adalah Imam. Pewarisnya yang berikutnya adalah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas sementara Muhammad ibn Ali mengangkat Ibrahim sebagai penggantinya. Dengan cara demikian suksesi di antara Abbasiyyah melembaga.[76]
Orang-orang Khurasan selalu menjadi pendukung Abbasiyyh, dan ketika dikotomi antara kaum Alawi dan Abbasiyyah terjadi, mereka menyisihkan yang lain. Misalnya, selama berperang melawan Muhammad Nafs az-Zakiyyah mayoritas tentara Abbasiyyah adalah orang-orang Khurasani yang berbicara dalam bahasa Persia. Abul Faraj al-Isfahani meriwayatkan:
Ketika Khudair Zubair, salah seorang panglima Muhammad Nafs az-Zakiyyah, datang ke medan tempur dari Medinah, orang-orang Khurasan berkata dalam bahasa Persia, “Khudair amad, Khudair amad” (Khudair datang, Khudair datang).”[77]
b.Qum
Qum telah menjadi salah satu kota berpopulasi Syi’ah terpenting sejak abad kedua Hijriah.Kota ini, sebagian dibangun setelah kedatangan Islam, didirikan oleh kaum Syi’ah dan Syi’ah bermukim dan bernaung di sana sejak awal sekali. Adalah Syi’ah Imamiyyah yang selalu ada di sana tanpa mengalami segala penyimpangan. Tidak hanya Sinyan yang pernah tinggal di sana tetapi juga Ghulah tidak menemukan peluang di sana, dan bahkan jika mereka memiliki kesempatan, orang akan menolak mereka.[78] Kebanyakan orang-orang di sana datang kepada Imam-imam Maksumin (a.s.) untuk belajar dari pribadi-pribadi besar ini, selalu menjaga hubungan dengan Imam-imam mereka.
Pada 82 Hijriah ketika pemberontakan Ibn Ash’ath melawan Hajjaj terjadi dan beliau melarikan diri ke Kabul,[79] sejumlah tentaranya juga Syi’ah seperti Abdullah, Ahwas, Na’im, Abdul Rahman, dan Ishaq, putera-putera Sa’ad ibn Malik ibn Amir al-Asy’ari, pergi ke distrik-distrik Qum setelah kekalahan Ash’ath. Ada tujuh desa di sana yang salah satunya dikenal sebagai “Kamandan”. Setelah saudara-saudara ini tinggal di desa ini, sanak saudara mereka menyertai mereka dan bermukim di tujuh di desa ini. Lambat laun, ketujuh desa ini bergabung dan semuanya menjadi “Kamandan”. Kamandan adalah bahasa Arab dan disingkat menjadi “Qum”.[80]
Sejak saat itu, Qum telah menjadi salah satu pusat konsentrasi paling penting Syi’ah, dan kaum Alawi khususnya, yang datang dari mana-mana dan bermukim di sana. Pada akhir abad kedua Hijriah, tibanya Fatimah Maksumah (saudari dari Imam ar-Ridha (a.s.), dianggap sebagai titik awal dari sejarah kota ini, membawa banyak berkah kepadanya.
c.Baghdad
Baghdad didirikan selama abad kedua Hijriah, 145 H. khususnya, oleh Mansur, khalifah kedua Abbasiyyah, dan segera menjadi pusat konsentrasi demografis kaum Syi’ah.[81] Fakta ini secara jelas terbukti pada arak-arakan pemakaman Imam al-Kazim (a.s.). Jumlah jamaah yang hadir secara serius menggelisahkan Abbasiyyah sehingga Sulaiman ibn Mansur, paman dari Harun ar-Rasyid, turut serta dengan bertelanjang kaki hanya untuk meredakan umat.[82] Baghdad dibangun di Irak dan kebanyakan orang Irak adalah Syi’ah. Meskipun Baghdad pada awalnya adalah kota militer dan politik, dengan berlalunya waktu pusat intelektual dunia Muslim berpindah ke sana dan Syi’ah kota-kota tetangga seperti Kufah, Basrah, Mada’in di antara lainnya yang bermukim di sana dan secara cepat membentuk sebuah populasi yang besar. Setelah okultasi kecil (ghaibah as-sugra), Baghdad menjadi pusat intelektual dan keagamaan bagi kaum Syi’ah yang dikembangkan di sana oleh pemerintahan Syi’ah al-Buyah (Buyeds), hingga suatu ketika Syeikh at-Tusi memindahkan pusat Syi’ah ke Najaf.
3.Tempat-tempat Berpopulasi Syi’ah Selama Abad Ketiga Hijriah
Perluasan geografis Syi’ahisme pada abad ketiga Hijriah dapat dibahas dan dipelajari dalam dua cara, pertama adalah melalui pembentukan negara-negara Syi’ah di wilayah-wilayah Muslim. Pada 250 Hijriah kaum Alawi di Tabaristan membentuk sebuah pemerintahan.[83] Selama paruh abad ketiga Hijriah berikutnya, keturunan-keturunan Imam Husain (a.s.) mendirikan pemerintahan Zaidi di Yaman. Pada 296 Hijriah Daulah Fatimiyyah didirikan di utara Afrika.[84] Pemerintahan-pemerintahan ini tidak berdasarkan pada asas-asas Syi’ah Imamiyyah, tetapi keberadaan mereka menunjukkan luasnya Syi’ahisme dan landasan yang subur bagi penerimaannya di wilayah-wilayah Muslim – sebuah kesempatan yang digunakan oleh Ismailiyyah dan Zaidiyyah.
Jalan kedua adalah melalui daftar wilayah-wilayah dimana para Imam maksumin (a.s.) menunjuk para wakilnya. Institusi perwakilan (wikalah) yang didirikan sejak masa Imam ash-Shadiq (a.s.) dan selama masa Imam al-Hadi serta Imam al-Askari (a.s.), aktifitas institusi ini telah mencapai puncaknya. Wilayah-wilayah yang diduduki para wakil Imam (a.s.) meliputi Ahwaz, Hamedan, Sistan, Bust, Rey, Basrah, Wasit, Baghdad, Mesir, Yaman, Hijaz, dan Mada’in.[85]
Tentu saja, Kufah, Qum, Samarra dan Naysabur dipandang sebagai kota-kota paling penting berpenduduk Syi’ah sampai akhir abad ketiga Hijriah, dan yang diajarkan di sana fiqih Syi’ah berdasarkan pada tradisi-tradisi dari Imam-imam maksumin (a.s.). Setelah abad ketiga. Walau bagaimana pun, Kufah dalam hal kepentingannya menurun dan digantikan oleh Baghdad, dan bersamaan dengan munculnya al-Buyah dan kehadiran tokoh-tokoh terkemuka seperti Syeikh al-Mufid, Sayyid Murtadha, Sayyid Radi, dan Syeikh at-Tusi, seminar keagamaan di Baghdad semarak.
Mengenai pengaruh Syi’ah di Baghdad selama abad keempat Hijriah, Adam Mitch (?) kemudian menulis:
Namun di Baghdad yang merupakan ibukota Islam dalam artian sesungguhnya dan dimana gelombang arus intelektual sedemikian kuat, semua mazhab pemikiran memiliki pengikut. Dari semua mazhab pemikiran ini, dua yang paling kuat dan tidak kompromis – Hanbali dan Syi’ah. Para pengikut Syi’ahisme berkonsentrasi terutama di seputar pasar Karakh dan hanya di akhir abad keempat, pemusatan ini mengarah ke jembatan besar di Bab at-Taq yang juga didiami mereka. Di tempat-tempat di barat Dajlah, khususnya Bab al-Basrah, Hasyimi (sadat Abbasiyyah) merupakan komunitas terbesar dengan permusuhan yang kuat terhadap Syi’ah.
Yaqut kemudian menulis: “Para warga distrik Bab al-Basrah, antara Karakh dan Qiblah, semuanya Sunni Hanbali. Tetapi orang-orang Karakh seluruhnya Syi’ah dan tidak ada Sunni yang bisa ditemukan di antara mereka.”
…Sebagaimana dicatat para sejarawan, masa pertama Syi’ah Baghdad berkumpul di Mesjid Baratha pada 313 Hijriah, hal ini dilaporkan kepada khalifah bahwa sekelompok orang berkumpul di sana yang secara kolektif menghujat khalifah. Khalifah memerintahkan agar mereka disergap pada hari Jumat ketika shalat Jumat, dan tiga puluh orang ditangkap dan dicari. Tembikar tanah liat (muhr) dengan nama Imam yang terkubur di sana ditemukan mereka… Pada 321 Hijriah, Ali ibn Yalbakh, panglima Turki, memerintahkan untuk mengutuk Muawiyyah dan Yazid di mimbar-mimbar. Massa pun rusuh dan Barbahari, pemimpin Hanbali dan para pendukungnya diidentifikasi sebagai orang-orang yang bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut. Atas dasar hasutan dan sikap kaum Hanbali terhadap masyarakat pada 323 Hijriah, diperintahkan agar dua orang Hanbali tidak boleh terlihat di mana pun di Baghdad, dan khalifah Abbasiyyah Radi mengeluarkan perintah agar pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Hanbali beserta hukuman-hukuman terkait ditunjukkan.[86]
Pelajaran Keduapuluh: Ringkasan
Selama periode Abbasiyyah, gerakan-gerakan Alawi secara terus-menerus muncul, akibatnya kaum Alawi berpencar-pencar ke berbagai wilayah. Karenanya, selama abad kedua Hijriah, Syi’ahisme melampauai perbatasan Jazirah Arabia dan Irak.
Perjalanan para jurkam Abbasiyyah ke Khurasan dimulai pada permulaan abad kedua Hijriah, dimana banyak orang yang pada awalnya memeluk Syi’ah kemudian lebih banyak diwarnai oleh pengaruh Kaysani.
Sejak abad kedua Hijriah, Qum telah menjadi salah satu kota paling penting berpenduduk Syi’ah. Kota ini dibangun oleh kaum Syi’ah dan Syi’ahisme di sana selalu bercirikan Itsna Asy’ariyyah Imamiyyah. Walaupun Baghdad adalah ibukota kekhalifahan Abbasiyyah, dengan pindahnya Syi’ah dari kota-kota tetangga seperti Kufah, Bsrah dan Mada’in, ia menjadi salah satu pusat konsentrasi demografis kaum Syi’ah.
Selama abad ketiga Hijriah, Kufah, Qum, Samarra, dan Naysabur dianggap sebagai kota-kota paling penting yang berpopulasi Syi’ah.
Pelajaran Kedua Puluh: Pertanyaan
  1. Nama wilayah-wilayah yang didiami oleh kaum Syi’ah selama abad kedua Hijriah.
  2. Pada periode apa Syi’ahisme di Khurasan dimulai?
  3. Jenis Syi’ah apa yang ada di Qum?
  4. Bagaimana Baghdad menjadi salah satu kota berpopulasi Syi’ah?
Pelajaran Kedua Puluh Satu
Syi’ahisme di antara Suku-suku Yang Berbeda-beda
Secara mendasar, Ali (a.s.) memiliki banyak Syi’ah (pendukung) dan simpatisan dari orang-orang Adnani di antara suku Qahtani, dan Syi’ahisme di antara orang-orang Qahtani secara besar-besaran berkembang pesat. Syi’ah utama yang merupakan para sejarawan dan tentara Amirul Mukminin (a.s.) adalah suku-suku Arab dari selatan (Yaman) dan Qahtani. Misalnya, Imam (a.s.) berkata di Rajzi salah satu arena perang di Siffin:
Aku adalah pemuda Quraisy – terpercaya, mulia, suci
dan seperti seekor singa – dengannya orang-orang terkemuka
dari Yaman berada di antara penghuni Najd dan Aden yang disukai.[87]
Demikian juga, setelah Nabi (saw) wafat, kebanyakan para pendukung Ali (a.s.) di antara para sahabat Nabi (saw) adalah anshar yang asal-muasalnya Qahtani, dan merupakan mayoritas orang-orang yang menyertai Ali (a.s.) dari Medinah menuju Perang Jamal.[88] Dalam jalur yang sama, ketika Imam Husain (a.s.) menuju Kufah, Abdullah ibn al-Abbas berkata kepadanya:
Jika orang-orang Irak seperti kalian dan ingin membantu kalian, kalian menulis (surat) kepada mereka, “Musuh akan mengusir kalian dari kota kalian. Lalu, kalian datang ke sini.” Sebagai gantinya, kalian pergi ke Yaman dimana ada gunung-gunung, benteng-benteng, dan kubu pertahanan yang tidak dimiliki Irak. Yaman adalah dataran yang luas dan ayah kalian memiliki Syi’ah di sana. Kalian pergilah ke sana dan setelah itu kirimlah para pengajar kalian ke tempat-tempat tetangga untuk mengajak umat datang kepada kalian.
Para sahabat Imam Husain (a.s.) dengan kekecualian Banu Hasyim dan beberapa Ghaffari, juga berasal dari suku-suku Yaman.[89] Sebagaimana Mas’udi katakan, “Dari antara para sahabat Nabi (saw), hanya empat orang yang mencapai syahadah di pangkuan Nabi (saw) dan keempat orang ini adalah dari Anshar.”[90]
Turunan Anshar ke suku-suku Yaman juga jelas.
Sebaliknya, para sesepuh Quraisy bermusuhan dengan Ali (a.s.) dan keturunannya (sebagaimana mereka bermusuhan dengan Nabi (saw), sedangkan para simpatisan Imam (a.s.) di antara mereka itu sedikit. Bahkan suku-suku yang dekat hubungannya dengan kaum Quraisy, seperti suku Thaqif dan orang-orang Tha’if yang adalah para pendukung Muawiyyah selama dan setelah Perang Siffin, selalu berada di barisan orang-orang yang menentang Ali (a.s.). Misalnya, ketika Muawiyah mengutus Busr ibn Arjat untuk menjarah kota Hijaz dan Yaman, begtu Busr mendekati Tha’if. Mughairah ibn Sub’ah datang menyambutnya seraya berkata, “Semoga Allah memberimu ganjaran yang menyenangkan! Aku mendengar kabar tentang kekejamanmu terhadap musuh dan keramahanmu terhadap sahabat.” Busr berkata, “Wahai Mughairah! Aku ingin menekan orang-orang Tha’if sehingga mereka berbaiat kepada Amirul Mukminin Muawiyah.” Mughairah berkata, “Wahai Busr! Kenapa engkau hendak melakukan kepada para sahabatmu apa yang engkau lakukan kepada musuhmu.”[91]
Juga sangat sedikit Banu Hasyim di antara Quraisy, seperti Muhammad ibn Abi Bakr dan Hasyim Mirqal, yang berada di pihak Amirul Mukminin (a.s.) meskipun dari klan Quraisy dan musuh Ali (a.s.), juga beberapa orang yang menyertai beliau. Misalnya, Khalid ibn Walid adalah salah seorang musuh Amirul Mukminin (a.s.), tetapi puteranya, Muhajir ibn Khalid berada di antara tentara Imam dalam perang Siffin. Hal lainnya adalah mengenai Abdullah ibn Abi Huzaifah, sepupu Muawiyah dari pihak ibu, yang adalah salah seorang Syi’ah Ali yang tulus dan akhirnya mencapai syahadah (kesyahidan) di tangan para agen Muawiyyah.
Ali (a.s.) mempunyai pengikut dan pendukung dari semua suku Yaman seperti suku Kindih, Naka’, Azd, Juhaynah, Himir, Bujaylah, Khat’am, Khuza’ah, Hadramaut, Mudhaj, Ash’ar, Tay, Sadus, Hamdan, dan Rabi’ah.[92] Tetapi di antara mereka, dua suku Hamdan dan Rabi’ah-lah yang memimpin. Orang-orang Hamdan yang memeluk Islam selama masa Nabi (saw) melalui usaha Ali (a.s.), selalu bersimpati kepada beliau (a.s.), dan dianggap sebagai di antara Syi’ah Imam yang tulus. Mas’udi berkata, “Selama Perang Siffin, tidak seorang pun dari antara mereka yang menjadi pasukan Muawiyyah.”[93]
Mengenai hamdan, Ali berkata:
Jika aku penjaga pintu surga, aku akan berkata kepada suku Hamdan,
“Masuklah dengan damai!
Muawiyyah menyimpan dendam yang besar terhadap orang-orang Hamdani. Suatu hari selama perang Siffin, dia pergi ke arena perang dan membacakan syair:
Aku tidak akan hidup kecuali aku mencabik-cabik
orang-orang dari (klan) Arbab, Yashkar dan Shabam (dari suku Hamdan).
Mereka adalah orang-orang yang adalah
musuh orang-orang Syam. Kebanyakan mereka adalah
orang besar, heroik, dan berani.
Kebanyakan mereka telah membunuh, melukai
dan membuat cacat. Yah, seperti inilah perang
orang-orang mulia yang gagah berani.
Kemudian membacakan bait syair kepahlawan ini:
Wahai Tuhan halal dan haram! Jangan anugerahkan kekuasaan
kepada orang-orang Syam.
Sa’id ibn Qays Hamdani menyerang Muawiyyah sambil maju melangkah memegang tombaknya, dan Muawiyyah melarikan diri ke tengah pasukan Syam. Dan dia mengirim Zul Kala’ (salah seorang panglima Syam) untuk menghadapi Sa’ad ibn Qays dan pertempuran ini berlangsung hingga malam hari. Akhirnya, orang-orang Syam menerima kekalahan dan melarikan diri. Pada saat yang genting ini, Amirul Mukminin (a.s.) membacakan syair ini untuk menyemangatkan orang-orang Hamdan:
Orang-orang berkuda dari Hamdan dari (suku) Syakir dan Syabam
Tidak surut di perang pagi hari.
Pembela kebenaran dan orang-orang besar, Sa’id ibn Qays, memimpin mereka.
Semoga Allah memberi ganjaran surga bagi (suku) Hamdan
Karena mereka semua memanah jantung musuh selama peperangan.[94]
Karenanya, kita dapat melihat syair-syair yang digubah oleh pasukan Syam terhadap Hamdan terutama selama perang Siffin. Misalnya, Amr ibn al-As tertuju kepada suku Hamdan pada salah satu hari di Perang Siffin berkata:
Ia akan menerima kematian dari suku ini;
satu hari Hamdan adalah kemenangan sedang pada hari lain
ia hanyalah kerangka. Suku Sadus juga seperti mereka;
seolah tidak menua, tetapi kita akan menghantam mereka
dengan pedang sehingga pulih keadaannya. Kita akan memperlakukan
(suku) Tamim dengan cara serupa, kecuali kalau mereka mengakui patuh.
Sejumlah wanita dari suku Hamdan juga menyemangatkan para pendukung dan tentara Amirul Mukminin (a.s.) selama Perang Siffin melawan Muawiyyah. Di antara wanita-wanita ini adalah Sawdah Hamdaniyyah dan Zurqa Hamdaniyyah, puteri-puteri Addi ibn Qays.[95] Sawdah tertuju kepada ayahnya berkata:
Dengan ini, Muawiyyah menyimpan dendam terhadap mereka. Dan setelah kesyahidan Ali (a.s.) mereka diperintahkan ke Syam. Mereka diminta untuk menjelaskan syair mereka dan mereka pun dicela.[96]
Suku Yaman kedua yang banyak Syi’ah Ali-nya adalah suku Rabi’ah. Misalnya, dalam menyebut satu demi satu Syi’ah Ali (a.s.) Burqa menempatkan bagian tertentu kepada para sahabat Ali (a.s.) dari suku Rabi’ah sementara menempatkan seluruh suku Yaman yang Syi’ah di bagian lain.[97]
Ketika Ali (a.s.) mendengar bahwa sejumlah suku Rabi’ah di Basrah mencapai syahadah di tangan pasukan Aisyah, beliau berkata:
Aku mengasihi Rabi’ah, Rabi’ah yang taat dan tunduk.[98]
Mas’udi juga berkata, “Ali telah banyak berbincang dengan Rabi’ah dan memuji-muji mereka karena mereka adalah para penolongnya dan pendukungnya dan juga pilarnya di antara pilar-pilar.” Di antara pernyataan Ali (a.s.) mengenai Rabi’ah adalah syair di bawah ini yang beliau bacakan selama Perang Siffin:
Orang yang berpanji hitam dan panji itu dikibarkan – begitu dikatakan kepada mereka
Untuk membawa panji itu ke depan,
Dia akan menyertai barisan untuk membawa tombak bagi kematian
Dan darah pun tertumpah dari mereka.
Semoga Allah menganugerahkan ganjaran kepada komunitas yang berperang
dalam peperangan, menyambut kematian, dan tidak pernah menentang kebaikan.
Mereka adalah orang-orang yang berpakaian baik dan berwajah molek, ketika suara-suara
lelaki di medan juang riuh rendah bersama-sama.
Aku merujuk kepada (suku) Rabi’ah. Ketika menghadapi sejumlah besar pasukan,
Mereka berani dan kuat.[99]
Ia adalah salah seorang sesepuh Rabi’ah, Jamil ibn Ka’ab Tha’labi yang dianggap sebagai salah seorang Syi’ah dan pendukung Ali (a.s.). Ketika dia ditangkap oleh Muawiyyah, lalu dikatakan kepadanya: “Berkah mana yang lebih besar dari berkah yang Allah berikan kepada kita atas seseorang yang dalam sejam membunuh sejumlah besar pendukung kami.”[100]
Shaqiq ibn Tsawr Sudusi juga berkata selama Perang Siffin sementara tertuju kepada suku Rabi’ah: “Wahai golongan Rabi’ah! Begitu Ali terbunuh, tidak aka nada alasan bahkan bagi seorang pun dari kalian untuk tetap hidup.”[101] Juga, setelah kematian Yazid, orang-orang Kufah mengusir gubernur Umayyah dari kota mereka dan menggantikannya dengan orang lain. Beberapa orang menyarankan Amr ibn Sa’ad menjadi Amir. Mas’udi meriwayatkan bahwa pada saat itu, wanita-wanita dari Hamdan, Kahlan, Anshar, Rabi’ah, dan Nakha memasuki mesjid pusat. Sambil menangisi Imam Husain (a.s.). mereka berkata: “Amr ibn Sa’ad membunuh Husain dan sekarang dia ingin juga menjadi amir kami?”
Denga pernyataan ini, mereka membuat orang menangis dan membujuk mereka untuk menolak Amr ibn Sa’ad.[102]
Pelajaran Kedua Puluh Satu: Ringkasan
Kebanyakan para pendukung dan Syi’ah Amirul Mukminin Ali (a.s.) berasal dari suku Qahtani dan Yamani.
Di antara para sahabat Nabi (a.s.), mayoritas simpatisan Ali (a.s.) berasal dari Anshar yang adalah dari suku-suku Yaman, dengan pengecualian Banu Hasyim dan beberapa orang Ghaffari.
Sebaliknya, para sesepuh dan bangsawan Quraisy memusuhi Ali (a.s.) dan keturunannya serta para pendukung di antara mereka sangat sedikit.
Di antara suku Yaman, dua suku Hamdan dan Rabi’ah terdepan dalam Syi’ahisme.
Pelajaran Kedua Puluh Satu: Pertanyaan
  1. Nama suku-suku yang lebih dominan dalam Syi’ahisme.
  2. Di antara suku-suku Yaman, suku mana yang terdepan dibanding dengan suku-suku yang ada dalam Syi’ahisme?
End Note Bab 5:
[1] Muhammad Jawab Mughniyyah, asy-Syi’ah fil Mizan (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1413 H), hlm.36-38.
[2] Sayyid Muhsin Amin, A’yan asy-Syi’ah (Beirut: Dar at-Ta’aruf Lil Matbu’at, n.d.), jld.1, hlm.25.
[3] Nahjul Balaghah, Fayd al-Islam, Khotbah 235.
[4] Ahmad ibn Yahya ibn Jabir Balazuri, Insab al-Asyraf, diteliti oleh Muhammad Baqir Mahmudi (Berut: Mansyurat Muassasah al-A’lami Lil Matbu’at, 1394 H), jld.2, hlm.237.
[5] Ibid.
[6] A’yan asy-Syi’ah, jld.1, hlm.25.
[7] Ibn Wadih, Tarikh al-Ya’qubi, edisi pertama (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1414 H), jld.2, hlm.178.
[8] Amir Ali, Tarikh-e Gharb va Islam (Sejarah Barat dan Islam), terj. Fakhr Da’I Gilani, edisi ketiga (Tehran: Intisyarat-e Ganjineh, 1366 H), hlm.241, 245; Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil Thalibiyyin (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.408.
[9] Di antara para sahabat Imam maksumin (a.s.) kita dapat menemukan orang-orang dari kota-kota dan wilayah-wilayah seperti Halab, Mesir, Mada’in, Qazwin, Rey, Kashan, Armenia, Sabat, Isfahan, Hamedan, Samarqand, dan Kabul. Rijal Najashi (Qum: Islamic Publications Office affiliated to Society of Teachers of the Islamic Seminary in Qum, n.d.), hlm.8-9, 66, 130, 161, 208, 233, 236, 290, 344, 367; Ibn Syahr Ashub Mazandarani, Ma’alim al-Ulama’ (Najaf: Mansyurat al-Matba’ah al-Haydariyyah, 1380 H), hlm.31.
[10] Lihat Sayyid Ja’far Syahidi, Tarikh-e Tahlili-ye Islam ta Payan-e Umawi (An Analytical History of Islam until The End of Umayyad Rule), edisi keenam (Tehran: Markaze Nashr-e Daneshgani, 1365 H), jld.2, hlm.137-138.
[11] Syeikh at-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rasul (Rijal Kasyi, diteliti oleh Sayyid Mahdi Raja’I Qum: Muassasah Al al-Bayt at-Turath, 1404 H), jld.1, hlm.237.
[12] Ibid., hlm.218
[13] Ibid., hlm.222.
[14] Ibn Wadih, Tarikh al-Ya’qubi, edisi pertama (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi.414 H). jld.2, hlm.171.
[15] Bihar al-Anwar, jld.46, hlm.357.
[16] Abul Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad ibn al-Abbas Najashi, Fihrist Asma’ Musanfa asy-Syi’ah (Rijal Najasyi) (Qum: Islamic Publication Office affiliated to the Society of Teachers of the Islamic Seminary in Qum, 1407 H), hlm.10.
[17] Ibn Shahr Asyub Mazandarani, Manqib Al Abi Thalib (Qum: Muassasah Intisyarat-e Allameh, n.d.), jld.2, hlm.129.
[18] Muhammad Husain Muzaffar, Tarikh asy-Si’ah (Qum: Mansyurat Maktabah Basirat, n.d.), hlm.122.
[19] Jabir ibn Abdullah al-Anshari meriwayatkan: “Sejumlah suku yang berbeda-beda dari yaman datang kepada Nabi (saw). Rasulullah (saw) berkata: “Aka nada orang-orang yang berhati lembut dengan iman yang kuat, Mansur (salah seorang sahabat Imam Mahdi (a.s.) bersama tujuh puluh ribu orang yang akan bangkit menolong penerusku dan penerus pelaksana kehendakku (wasi) bahkan sewaktu pedang-pedang mereka menebas (secara diagonal membelah tubuh) dengan bahan dari pohon palem.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah! Siapakah pelaksana kehendakmu itu?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang Allah Swt perintahkan (umat) untuk berpegang teguh ketika Dia berkata, “Berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (Surah Ali Imran, 3:103).’ Mereka bertanya, “Wahai Rasul Allah! Katakanlah kepada kami ‘tali’ ini.’ Beliau berkata, “Tali ini adalah pernyataan Allah ketika Dia berkata “… mereka selalu diliputi kehinaan kecuali jika mereka berpegang teguh kepada tali Allah dan tali manusia.” (Surah Al Imran, 3:112). Tali dari Allah adalah Al-Quran sedangkan tali dari manusia adalah pelaksana kehendakku (wasi)!’ Mereka bertanya, ‘Ya Rasulullah! Siapakah wasi’mu?’ Beliau menjawab, ‘Dia adalah orang yang Allah Swt berkata, “Agar jangan ada orang berkata, ‘Alas! Celakalah aku karena lalai terhadap (perintah) Allah.’” (Surah az-Zumar, 39:56).’ Mereka bertanya, “Apakah perintah Allah itu?” Beliau menjawab, “Dia adalah wasi’ku dan pembimbing umat kepadaku setelah aku wafat! Mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Dia yang telah mengutusmu dalam kebenaran! Tunjukkan dia kepada kami sebagaimana kami sungguh-sungguh ingin melihat dan mengenalnya?!” Beliau berkata, ‘Allah telah menunjukkannya bagi orang beriman. Jika kalian melihatnya dengan mata hati, kalian akan mengetahui bahwa sesungguhnya dia adalah wasi’ku sebagaimana dengan cara yang sama kalian mengenal Nabi kalian. Maka pergi dan periksalah di dalam shaf-shaf jamaah di Mesjid. Siapa saja yang menarik hati kalian kepadanya, dia adalah wasi’ku, karena Allah Swt, berfirman, “Maka jadikanlah hati sebagian manusia mencintai mereka.” (Surah Ibrahim, 14:37).’
Karenanya, Abu Amir Asy’ari dari suku Asy’ariyyah, Abu Izzah Khawlani dari Khawlaniyah, Utsman ibn Qays dari Bani Qays, Gharyah Dawsi dari suku Daws, dan Lahiq ibn Alafah, bangkit dan mereka memeriksa shaf-shaf jamaah di dalam mesjid. Mereka menggandeng tangan Ali (a.s.) dan membawanya kepada Nabi (saw) dan berkata, “Wahai Rasulullah! Ini adalah orang yang menarik hati kami terhadapnya dan condong kepadanya.’ Nabi (saw) berkata, “Segala Puji bagi Allah! Kalian mengenal pelaksana kehendak Nabi (wasi’) bahkan sebelum melihatnya.’ Lalu orang-orang Yaman menangis dan berkata: ‘Wahai Rasulullah! Kami melihat orang-orang, tetapi hati kami tidak tenang dengannya, ketika kami melihatnya (Ali), hati kami merasa tenang seolah kami telah melihat ayah-ayah kami.” Ibid., hlm.124-125.
[20] Tarikh al-Ya’qubi, jld.2, hlm.132.
[21] Syahab ad-Din Abi Abdullah Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buddan, edisi pertama (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, 1417 H), jld.3, hlm.158.
[22] Ibid, jld.7, hlm.161.
[23] Tarikh al-Ya’qubi, jld.2, hlm.197.
[24] Ibid.
[25] Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad Tsaqafi Kufi, al-Gharat, terj. Muhammad Baqir Kamare’I (n.p: Farhang-e Islam, n.d.), hlm.325, 331.
[26] Tarikh Ya’qubi, jld.2, hlm.199.
[27] Abdul Hamid ibn Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah (Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah, 1961), jld.2, hlm.17.
[28] Al-Gharat, hlm.333.
[29] Ahmad ibn Yahya ibn Jabir Balazuri, Insab al-Asyraf, diteliti oleh Muhammad Baqir Mahmudi (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami Lil Matbu’at, 1394 H), jld.3, hlm.161.
[30] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil at-Thalibiyyin 9Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.435.
[31] Tarikh asy-Syi’ah, hlm.132.
[32] Mu’jam al-Buldan, hlm.162.
[33] Tarikh al-Ya’qubi, jld.2, hlm.150.
[34] Mu’jam al-Buldan, hlm.161.
[35] Ibid.
[36] Rasul Ja’fariyan, Tarikh-e Tasyayu’ dar Iran az Aghaz ta Qarn-e Hasthume Hijri, edisi kelima 9Qum: Syirkat-e Chap wa Nashr-e Sazman-e Tablighat-e Islami, 1377 H), hlm.71.
[37] Ibn Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld.3, hlm.198.
[38] Tarikh al-Ya’qubi, jld.2, hlm.189.
[39] Insab al-Asyraf, jld.2, hlm.262.
[40] Sayyid Husain Ja’fari, Tasayyu’ dar Masir-e Tarikh, terj. Sayyid Muhammad Taqi Ayatullahi, edisi kesembilan (Tehran: Daftar-e Nasyr-e Farhang-e Islami, 1378 H), hlm.125.
[41] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, Murawwij adh-Dhahab, edisi pertama (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami lil Matbu’at, 1411 H), jld.3, hlm.73.
[42] Tarikh asy-Syi’ah, hlm.67.
[43] Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim ibn al-Qutaydah, al-Ma’arif, diteliti oleh Tsarwah Akkasah, edisi pertama (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1415 H), hlm.214.
[44] Fakhr telah meriwayatkan bahwa Muhammad ibn Ali berkata kepada para pendukungnya dan jurkamnya: “Tetapi ada Syi’ah Ali ibn Abi Thalib di Kufah dan distrik-distriknya. Orang-orang Basrah memberikan kesetiaan mereka kepada kelompok Utsmani, tetapi orang-orang Mesopotamia belum menjadi Muslim. Orang-orang Syam tidak akan mengakui siapa pun kecuali keturunan Abu Sofyan dan tidak mematuhi siapa pun kecuali Marwan. Tetapi orang-orang Mekkah dan Medinah lebih mengikuti garis Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu, tidak boleh dilupakan bahwa dari antara orang-orang Khurasan ada banyak individu yang aktif, berhati bersih dan berpikiran damai. Mereka tidak condong ke kelompok itu dan tidak juga mengikuti sekte-sekte yang berbeda-beda yang tidak ada hubungannya dengan keshalehan. Ibn Thabathaba’I, al-Fukhara fi Adab as-Sulthaniyyah (Mesir), hlm.104.
[45] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.424-431.
[46] Insab al-Asyraf, jld.3, hlm.233.
[47] Abu Ghalib Zurari, Risalah fi Al A’yan (Isfahan: Maktaba’ah Rabbani, n.d.), hlm.2-18.
[48] Fikhrist Asma’ Musanfa’ asy-Syi’ah (Rijal Najasyi), hlm.230.
[49] Ibid., hlm.232.
[50] Mu’jam al-Buldan, jld.2, hlm.340.
[51] Syeikh al-Mufid, Al-Jamal, edisi kedua (Qum: Maktab al-A’lam al-Islami (Publication Center), 1416 H), hlm.279.
[52] Insab al-Asyraf, jld.2, hlm.237.
[53] Al-Gharat, hlm.166.
[54] Sayyid Muhsin Amin, A’yan asy-Syi’ah (Beirut: Dar at-Ta’aruf Lil Matbu’at, n.d.), jld.1, hlm.590.
[55] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.109.
[56] Batra’ adalah bentuk gender wanita dari abtar yang berarti “tidak sempurna” atau “tidak lengkap”. Menurut hadits, setiap pernyataan yang tidak dimulai dengan nama Allah disebut abtar (tidak sempurna atau tidak lengkap). Karena Ziyad memulai menyampaikan khotbah tersebut tanpa menyertakan nama Allah, ia menjadi menjadi dikenal sesudah itu sebagai batra’.
[57] Tarikh-e Tahlili-ye Islam ta Payan-e Umawi, hlm.156.
[58] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Rustam Thabari, Tarikh al-Umam wal Muluk (Beirut: Dar al-Qamus al-Hadits, n.d.), jld.6, hlm.132.
[59] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.292.
[60] Taq-e Kisra: Konstruksi paling masyhur yang dibangun oleh raja-raja Sassanid dan diisukan bahwa istana ini dibangun oleh Khusro I sedangkan yang lainnya percaya bahwa ia adalah satu di antara istana lainnya yang dibangun oleh Syahpur, raja Sassanid I. (Penerj.).
[61] Mu’jam al-Buldan, jld.7, hlm.221-222; Murawwij adh-Dhahab, jld.1, hlm.267.
[62] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.109.
[63] Mu’jam al-Buldan, jld.7, hlm.222.
[64] A’yan asy-Syi’ah, jld.1, hlm.25.
[65] Tarikh asy-Syi’ah, hlm.149.
[66] Kird Ali, Muhammad, Khattat asy-Syam, edisi ketiga (Damaskus: Maktabah an-Nuri, 1403 H/1983), jld.6, hlm.246.
[67] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil Thalibiyyin (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.146.
[68] Ibid., hlm.157.
[69] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, Murawwij adh-Dhahab, edisi pertama (Beirut: Mansyurat Muassasah al A’lami lil Matbu’at, 1411 H), jld.3, hlm.326.
[70] Ibid.
[71] Abu Ismail ibn Nasir ibn Thabathaba, Muntaqilah ath-Thalibiyyin, terj. Muhammad Ridha Atha’I, edisi pertama (Masyhad: Intisyarat-e Astan-e Quds Radawi, 1372 H), hlm.207.
[72] Ibid.
[73] Harus dicatat bahwa istilah “Banu Hasyim” atau “Hasyimiyyah” pada waktu itu juga meliputi Abbasiyyah, karena mereka juga cucu keturunan Hasyim.
[74] Ibn Wadih, Tarikh Ya’qubi, edisi pertama (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1414 H), jld.2, hlm.171.
[75] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.149.
[76] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.123.
[77] Ibid., hlm.238.
[78] Rijal ibn Dawud (Qum: Mansyurat ar-Radi, n.d.), hlm.240, 270.
[79] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.149.
[80] Syahab ad-Din Abi Abdullah Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldan, edisi pertama (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, 1417 H), jld.7, hlm.88.
[81] Mu’jam al-Buldan, jld.2, hlm.361.
[82] Sayyid Muhsin Amin, A’yan asy-Syi’ah (Beirut: Dar at-Ta’aruf lil Matbu’at, n.d.), jld.1, hlm.29.
[83] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Rustam Thabari, Tarikh ath-Thabari, edisi kedua (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408 H), jld.5, hlm.365.
[84] Jalal ad-Din Abdurrahman Suyuti, Tarikh al-Khulafa (Qum: Intisyarat asy-Syarif ar-Radi, 1411 H), hlm.524.
[85] Lihat Sayyid Majid Pur Aqa’I, Tarikh-e Asr-e Ghaybat (Qum: Intisyarat asy-Syarif ar-Radi, 1411 H), hlm.524.
[86] Adam Mitch (?), Tamaddun-e Islami dar Qarn-e Chaharum-e Hijri (Islamic Civilation in the Fourth Century Hijri), terj. Ali Ridha Dhakawati Qaragzelu (Tehran: Muassaseh-ye Insyarat-e Amir Kabir, 1364 H), hlm.85-86.
[87] Ibn Shahr Asyub Mazandarani, Manaqib Al Abi Thalib 9Qum: Muassasah Intisyarat-e Allameh, n.d.), jld.3, hlm.178.
[88] Ahmad ibn Yahya ibn Jabir Balazuri, Insab al-Asraf, diteliti oleh Muhammad Baqir Mahmudi (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami lil Matbu’at, 1394 H), jld.3, hlm.161.
[89] Kalbi, Jumhurah an-Nasab (Beirut: Alam al-Kutub, n.d.), hlm.88.
[90] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, Murawwij adh-Dhahab, edisi pertama (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami lil Matbu’at, 1411 H), jld.3, hlm.84.
[91] Lihat Sayyid Ja’far Syahidi, Tarikh-e Thalibi-ye Islam ta Payan-e Umawi (An Analytical History of Islam till the End of Umayyad Rule), edisi keenam (Tehran: Markaz-e Nashr-e Daneshgahi, 1363 H), hlm.137.
[92] Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Burqa, Rijal al-Burqa (n.p.: Muassasah al-Qayyum, n.d.), hlm.37-40, Abdul Hamid Ibn Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabi, 1961), jld.3, hlm.193.
[93] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.99.
[94] Manaqib Al Abi Thalib, jld.3, hlm.170-171.
[95] Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Rabbih al-Andalusi, Al-Aql al-Farid (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, 1409 H), jld.1, hlm.335-337.
[96] Ibid., hlm.332.
[97] Ibid., hlm.335.
[98] Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Burqa, Rijal al-Burqa (n.p.: Muassasah al-Qayyum, n.d.), hlm.37.
[99] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.59.
[100] Ibid., hlm.60.
[101] Insab Al-Asraf, jld.2, hlm.306.
[102] Murawwij adh-Dhahab, hlm.98-99.
BAB ENAM
Pelajaran Kedua Puluh Dua
Serpihan-serpihan Dalam Syi’ahisme
Ada serpihan-serpihan besar dalam Syi’ahisme selama abad pertama dan kedua Hijriah, dan pada akhir abad kedua terjadi perpecahan besar di antara kaum Syi’ah. Karenanya, para anggota bangsa-bangsa dan wilayah yang berbeda-beda, berkenaan dengan Waqifiyyah, telah menyebut Syi’ah Imamiyyah yang percaya kepada Imamah Imam ar-Ridha (a.s.) sebagai Qat’iyyah dan Itsna Asy’ariyyah karena percaya kepada Imam ar-Ridha (a.s.) dan Imam-imam setelah beliau sampai Imam Zaman (a.f.s.).[1] Tentu saja, selama abad pertama Hijriah hingga 61 Hijriah (yaitu, hingga syahidnya Imam al-Husain (a.s.), serpihan-serpihan ini tidak terjadi dalam Syi’ahisme, meskipun Syahristani memandang sekte Ghullah Ssaba’iyyah yang muncul selama masa Hazrat Amir (a.s.) sebagai Syi’ah.[2] Sementara ini ada keraguan mengenai keberadaan seseorang bernama Abdullah ibn Saba’.[3] Bagaimana pun juga, menurut Rijal Kasyi, ada beberapa Ghalis (Syi’ah Ghullah) selama masa Ali (a.s.) yang diminta beliau untuk bertaubat, dan karena mereka tidak bertaubat, beliau memerintahkan eksekusi terhadap mereka.[4]
Imam Hasan dan Imam Husain (a.s.) memiliki kedudukan mulia dalam pandangan kaum Muslimin dan dianggap sebagai keturunan Nabi (saw). Selain Syi’ah, kaum Muslimin lainnya juga memandang mereka mulia dalam kekhalifahan. Karenanya, tidak ada keraguan mengenai masalah Imamah dan tidak ada perpecahan apa pun yang pernah terjadi selama masa hidup dua pribadi ini. Setelah Imam Husain (a.s.) syahid, kita menyaksikan perpecahan di dalam Syi’ahisme, dan beberapa dari sekte yang terpecah dari tendensi Syi’ahisme adalah sebagai berikut:
Kaisyaniyyah: Mereka percaya kepada Imamah Muhammad al-Hanafiyyah.
Zaidiyyah: Mereka percaya kepada Imamah Zaid ibn Ali.
Nawusiyyah: Mereka percaya kepada okultasi (ghaibah) Imam ash-Shadiq (a.s.) dan keberadaan Imam Mahdi (a.f.s.).
Fathiyyah: Mereka percaya kepada Imamah Abdullah ibn Aftah, putera Imam ash-Shadiq (a.s.)
Samtiyyah: Mereka percaya kepada Imamah Isma’il, putera Imam as-Shadiq (a.s.) yang lainnya.
Isma’iliyyah: Mereka percaya Imamah Isma’il, putera Imam ash-Shadiq (a.s.) yang lain.
Tafiyyah: Mereka percaya bahwa Imam ash-Shadiq (a.s.) mempercayakan Imamahnya kepada Musa ibn Taffi.
Aqmasiyyah: Mereka percaya bahwa Imam ash-Shadiq (a.s.) mempercayakan Imamah kepada Musa ibn Umran al-Aqmas.
Yarma’iyyah: Mereka percaya bahwa Imam ash-Shadiq (a.s.) mempercayakan Imamah kepada Yarma’ ibn Musa.
Tamimiyyah: Mereka percaya bahwa Imam ash-Shadiq (a.s.) mempercayakan Imamah kepada Abdullah ibn Tamimi.
Ju’diyyah: Mereka percaya bahwa Imam ash-Shadiq (a.s.) Imamah kepada seseorang bernama Abu Ju’dah.
Ya’qubiyyah: Mereka menolak Imamah Musa ibn Ja’far (a.s.) dengan mengatakan bahwa Imamah harus dipercayakan kepada orang lain selain putera-putera dari Imam ash-Shadiq (a.s.) dan tokoh pemimpin mereka adalah seseorang bernama Abu Ya’qub.
Mamturah: Mereka menggantungkan keputusan mereka mengenai Imam al-Kazim (a.s.), dengan mengatakan bahwa mereka tidak yakin jika Imam benar-benar mati atau tidak.[5]
Waqifiyyah: Mereka percaya bahwa Imam al-Kazim (a.s.) tidak mati dan bahwa dia akan tetap hidup sampai Hari Kiamat (a.s.).[6]
Tentu saja, beberapa dari sekte ini juga terpecah ke dalam sekte-sekte kecil. Misalnya, Kaysaniyyah memiliki dua kelompok mengenai Imamah Muhammad al-Hanafiyyah:
Beberapa percaya bahwa Muhammad al-Hanafiyyah adalah Imam setelah Imam al-Husain (a.s.) sementara kelompok lainnya berpendapat bahwa beliau dianggap sebagai Imam sepeninggal ayahnya, Ali ibn Abi Thalib (a.s.), dan setelah itu Imamah diturunkan kepada puteranya, Abu Hasyim sepeninggalnya, mereka kemudian terbagi ke dalam beberapa golongan:
Satu golongan percaya bahwa Abu Hasyim telah mempercayakan Imamah kepada Muhammad ibn Ali al-Abbasi. Golongan kedua meyakini bahwa Abu Hasyim telah mempercayakan Imamah kepada suadaranya, Ali ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Golongan ketiga berpendapat bahwa Abu Hasyim telah mempercayakan Imamah kepada keponakannya, Hasan ibn Ali. Golongan keempat percaya bahwa Abu Hasyim telah mempercayakan Imamah kepada Abdullah ibn Amru al-Kindi.[7]
Zaidiyyah juga terbagi ke dalam tiga golongan utama:
Jarudiyyah[8]: Mereka percaya bahwa setelah Nabi (saw), Ali (a.s.) adalah salah seorang khalifah yang layak tetapi Nabi (saw) memperkenalkan beliau kepada umat atas kekhalifahannya hanya melalui gambaran saja dan tidak melalui namanya, dan dikarenakan umat tidak mengenalnya secara benar, mereka memilih Abu Bakar dank arena demikian halnya, umat menjadi kuffar.
Sulaimaniyyah:[9] Mereka percaya bahwa Imamah ditetapkan melalui konsultasi (syura) dan bahwa Imamah dari orang yang berhak (mafdul) sementara orang yang berhak (afdal) itu hadir atau ada, maka diperbolehkan. Dengan melalui pikiran demikian mereka membuktikan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan umat berbuat kesalahan ketika tidak memilih ‘orang yang paling berhak’ (yaitu Ali a.s.), tetapi kesalahan mereka tidak sampai ke tingkat pelanggaran hukum (fisq). Juga, mereka mendeklarasikan Utsman sebagai kafir.
Batriyyah:[10] Keyakinan mereka sama dengan keyakinan Sulaimaniyyah dengan satu perbedaan saja bahwa mereka menggantungkan keputusan mereka mengenai Utsman.[11]
Isma’iliyyah juga terpecah ke dalam tiga golongan:
Satu golongan berpendapat bahwa Imam setelah Imam ash-Shadiq (a.s.) adalah Ismail yang tidak mati karena beliau hidup dan al-Mahdi yang dijanjikan.
Golongan kedua percaya bahwa Ismail mati dan Imamah dipindahkan ke puteranya, Muhammad, yang sedang dalam okultasi (ghaibah) dan akan muncul serta memenuhi dunia dengan keadilan dan persamaan.
Golongan ketiga, seperti golongan kedua, percaya kepada Imamah Muhammad ibn Ismail dengan satu perbedaan saja bahwa Muhammad mati dan Imamah tetap diturunkan kepada anak-cucunya.[12]
Tentu saja, kebanyakan dari sekte ini tidak berlangsung lama, dan mereka dengan berat hati dinamakan “sekte”. Agaknya, mereka merupakan golongan-golongan yang berangsur-angsur punah dengan kematian para pemimpin mereka secara berturut-turut, dan mereka tidak muncul dalam arena sosiopolitik. Di antara sekte-sekte ini, Kaisyaniyyah, Zaidiyyah dan Isma’iliyyah muncul dan tetap ada pada abad pertama, kedua dan ketiga Hijriah. Tentu saja, meskipun selama abad kedua Hijriah dan setelah kesyahidan Imam ash-Shadiq (a.s.), sekte Isma’iliyyah terpisah dari tubuh Syi’ahisme, tidak lagi muncul hingga pertengahan abad ketiga Hijriah, dan dalam kepercayaan mereka, Imam mereka sedang bersembunyi.[13]
Selama abad pertama Hijriah, setelah Syi’ah Imamiyyah dan sebelum munculnya Zaidiyyah, Kaisyaniyyah telah menjadi sekte yang sangat berpengaruh. Kaisyaniyyah muncul dan kemunculannya melalui kebangkitan Mukhtar. Meskipun kita tidak memandang Mukhtar sendiri sebagai seorang Kaysani, mayoritas pasukannya menganut Kaisyaniyyah.[14] Secara politik sekte ini berjuang sampai akhir abad pertama Hijriah, dan Abu Hasyim, Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah, yang adalah pemimpin sekte ini, untuk pertama kalinya menggunakan istilah “da’i” dan “hujjat” (bukti) untuk para pengajar. Selanjutnya, istilah ini digunakan oleh kelompok atau golongan lain seperti kaum Abbasiyyah, Zaidiyyah, dan Isma’iliyyah. Beliau juga merupakan seorang yang mendirikan “lembaga syi’ar” yang kemudian ditiru oleh Abbasiyyah.[15]
Ketika khalifah Umayyah Sulaiman Abdul Malik merasa terancam oleh Abu Hasyim, dia mengundangnya ke Syam dan meracuninya. Ketika Abu Hasyim menyadari bahwa ini adalah akhir baginya, dia pergi Hammah, sebuah kediaman sepupu-sepupu Abbasiyyah, mendeklarasikan Muhammad ibn Ali al-Abbas sebagai penggantinya, dan memperkenalkan penggantinya kepada para pengajar dan pasukannya.[16] Dari sana, Banu Abbas memangku kepemimpinan atas para pengikut Kaisyaniyyah dan memfokuskan aktifitas mereka di Khurasan. Sebagaimana Abul Faraj al-Isfahani berkata:
Orang-orang Khurasan percaya bahwa Abu Hasyim adalah pengganti ayahnya dan ayahnya mewariskan hak suksesi (was ayah) dari ayahnya (yakni Ali a.s.). Dia kemudian menunjuk Muhammad ibn Ali al-Abbasi sebagai penggantinya dan yang kemudian mengangkat puteranya sendiri, Ibrahim sebagai Imam. Dengan cara demikian, mereka membuktikan hak suksesi Banu Abbas.[17]
Bahkan Syahristani percaya bahwa Abu Muslim al-Khurasani telah menjadi Kaisyani sejak awal tetapi setelah kemenangan Abbasiyyah, mereka membangun legitimasi berdasarkan pada dugaan hak atas suksesi leluhur mereka, Abbas, dari Rasulullah (saw) sendiri.
Dalam meninjau kembali, kemunculan sosiopolitik Kaisyani dapat ditemukan pada kebangkitan Abdulah ibn Muawiyyah, seorang keturunan Ja’far ibn Abi Thalib at-Tayyar. Sebagaimana Syahristani mengatakan:
Sejumlah Kaisyani percaya kepada hak suksesi Abdullah ibn Amru al-Kindi dan ketika mereka menemukan dia berbuat pengkhianatan dan kebohongan, mereka pun percaya kepada Imamah Abdullah ibn Muawiyyah ibn Abdullah ibn Ja’far at-Tayyar… Ada perbedaamn serius atas persoalan Imamah antara para sahabat Abdullah ibn Muawiyyah dan para sahabat serta pengikut Muhammad ibn Ali.[18]
Di samping Kaisyaniyyah, sekte kedua yang aktif dalam arena sosiopolitik adalah Zaidiyyah, yang muncul setelah kebangkitan Zaid dan sekte Syi’ah yang paling berpolitik. Dari semua sekte Syi’ah, Zaidiyyah yang paling dekat dengan ajaran-ajaran Ahlus Sunnah. Misalnya, di samping mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, Batriyyah Zaidiyah juga tidak memandang Thalhah, Zubair dan Aisyah sebagai kafir.[19] Atas dasar ini, banyak fuqaha Sunni menyetujui kebangkitan Muhammad Nafs az-Zakiyyah yang adalah seorang Zaidi.[20] Mas’ar ibn Kudam, seorang pemimpin Murji’ah, telah menulis surat kepada Ibrahim, saudara Muhammad Nafs az-Zakiyyah, untuk datang ke Kufah.[21] Abu Hanifah, Imam mazhab pemikiran Hanafi turut serta dalam kebangkitan Muhammad Nafs az-Zakiyyah, menyemangatkan umat untuk mendukung pemimpin kebangkitan.[22] Mengenai sekte Zaidiyyah Batriyyah, Sa’ad ibn Abdullah Asy’ari al-Qummi mengatakan, “Mereka mencampur perwalian (walayah) Abu Bakar dengan Umar.”[23] Khususnya, menyangkut ilmu usuluddin, mereka mengikuti Mu’tazilah dan mengenai cabang-cabang agama (furu’addin), mereka mengikuti Abu Hanifah sedangkan yang lainnya mengikuti Syafi’i.[24]
Mazhab pemikiran Zaidi dalam pengertian Syi’ahisme pada umumnya, tidak jauh berbeda dari akidah Sunni. Atas dasar inilah beberapa kebangkitan Zaidi seperti Muhammad Nafs az-Zakiyyah dan saudaranya, Ibrahim, sejumlah ulama Sunni dan tokoh-tokoh terkemuka turut berpartisipasi. Demikian juga, Syi’ah yang berpartisipasi dalam kebangkitan Zaidi berkemungkinan berpendapat bahwa para pemimpin kebangkitan kaum Alawi ditunjuk oleh para Imam maksumin (a.s.) dan mungkin berpencarnya kaum Syi’ah serta jauhnya mereka dari Imam zamannya merupakan alasan di balik semua ini. Akhirnya, hanya kaum Zaidi yang tetap bersama para pemimpin mereka. Misalnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Mas’udi, Ibrahim ibn Abdullah, saudara Muhammad Nafs az-Zakiyyah, telah berperang yang berakhir hanya dengan empat ratus orang Zaidi di pihaknya yang kesemuanya terbunuh.[25]
Sekte ketiga yang muncul dan aktif dalam arena sosiopolitik adalah sekte Isma’iliyyah. Sekte ini terpisah dari tubuh Syi’ahisme selama paruh kedua abad kedua Hijriah. Maka sampai akhir abad ketiga Hijriah, mereka tidak banyak muncul di tengah umat dan para pemimpin mereka tetap bersembunyi sampai 296 Hijriah, yakni tahun kemunculan Abdullah al-Mahdi, khalifah pertama Fatimiyyah di Afrika Utara. Atas dasar inilah fase-fase evolusioner sekte ini sepenuhnya tidak diketahui. Nawbakhti yang hidup selama abad ketiga Hijriah menghubungkan aktifitas-aktifitas awal mereka dengan kaum Ghullah dan para pengikut Abil Khattab.[26]
Kepercayaan mereka juga tetap berada dalam lingkaran ambiguitas. Dalam hal ini, Mas’udi kemudian menulis:
Para teolog skoalastik (mutakallimun) dari beraneka sekte – Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah, dan Khawarij – telah menulis tentang sekte dan reputasi berbagai atas berbagai keberatan terhadapnya… Tetapi tidak ada di antara mereka yang telah mengungkapkan penentangan terhadap doktrin-doktrin sekte Qaramatah (Isma’il). Ada juga orang-orang yang telah menulis menentangnya seperti Qudamah ibn Yazid an-Nu’mani, Ibn Abdak al-Jurjani, Abil Hasan Zakaria al-Jurjani, Abdullah Muhammad ibn Ali ibn ar-Razzaq at-Ta’I al-Kufi, dan Abu Ja’far al-Kalabi. Masing-masing mereka menggambarkan keyakinan orang-orang yang tersesat. Kemudian yang lainnya tidak membahas masalah ini. Selain itu, para pengikut sekte ini tidak menghiraukan pernyataan-pernyataan para penulis ini, tidak juga menegaskannya.[27]
Inilah alasan kenapa para pengikut sekte ini telah dirujuk dengan nama-nama yang berbeda-beda dalam wilayah yang berbeda-beda pula. Dalam hal ini, Khwajah Nizam al-Mulk telah menulis:
Mereka telah disebutkan dengan nama-nama yang berbeda-beda di setiap kota dan setiap provinsi; “Isma’li” di Halab dan Mesir; “Saba’I” di Qum, Kashan, Tabaristan, dan Sabzawar; “Qarmati” di Baghdad dan Mesopotamia: “Khalafi” di Rey; dan di Isfahan…[28]
Sebelum berdirinya Daulah Fatimiyyah, kaum Isma’iliyyah kurang aktif dalam perjuangan politik, dan sebagai gantinya berfokus pada menarik perhatian umat kepada mereka, syi’ar, pelatihan, dan pendidikan. Karenanya, kita menyaksikan perjalanan para pemimpin Isma’iliyyah, seperti Muhammad ibn Isma’il, Abdullah ibn Muhammad, Ahmad ibn Abdullah, dan Husain ibn Ahmad, ke wilayah-wilayah seperti Rey, Nahavand, Damavand, Suriah, jabal Qandarahar, Naysabur, Dayla,, Yaman, Hamedan, Istanbul, dan Azerbaijan dimana mereka mengirim para pengajar dan juru syi’ar ke sana.[29]
Dengan pertimbangan atas dasar inilah kaum Qarmati (Qarmatiyan) menunjuk “Isma’iliyyah” bagi diri mereka. Dengan adanya perluasan, mereka berusaha sebaik mungkin agar Abbasiyah tidak sanggup memadamkan api kedurhakaan mereka.[30]
Pada 296 Hijriah Daulah Fatimiyyah, berdasarkan pada sekte Isma’iliyah, didirikan di Afrika Utara dan sebagian wilayah Muslim yang luas dilepaskan dari pengaruh lingkungan Abbasiyyah.
Pelajaran Kedua Puluh Dua: Ringkasan
Sekte-sekte Syi’ah terkemuka muncul selama abad pertama dan kedua Hijriah, dan berbagai perpecahan dapat terlihat dalam Syi’ahisme telah terjadi setelah akhir abad kedua Hijriah. Karenanya, bertentangan dengan Waqifiyyah, kaum Syi’ah Imami yang percaya kepada Imamam Imam ar-Ridha (a.s.) disebut Qat’iyah dan Itsna Asy’ariyyah.
Tidak ada perpecahan di dalam Syi’ahisme selama masa Imam al-Hasan dan Imam Husain (a.s.) atas dasar maqam tertinggi mereka.
Kebanyakan sekte-sekte yang disebutkan di dalam kitab-kitab mengenai bangsa-bangsa dan agama-agama dengan berat hati dinamakan “sekte”. Agaknya, mereka adalag golongan-golongan yang pada akhirnya punah dengan kematian para pemimpin dan pelopor mereka secara berturut-turut.
Tetapi sekte-sekte yang telah muncul dalam arena politik adalah Kaisyaniyyah, Zaidiyyah dan Isma’iliyyah.
Pelajaran Kedua Puluh Dua: Pertanyaan
  1. Dari period ke periode mana sekte-sekte muncul di dalam Syiahisme?
  2. Nama sekte-sekte yang muncul dalam arena sosiopolitik?
  3. Dalam artian usul dan cabang (furu’) agama, jalan dan cara mana yang diikuti sekte Zaidiyyah?
Pelajaran Kedua Puluh Tiga
Faktor-faktor di Balik Perpecahan Dalam Syi’ahisme
Nama-nama dua belas Imam (a.s.) yang diberkati telah tercatat dalam hadits-hadits Nabi dan kaum Syi’ah telah mempelajari nama-nama mereka sebelum secara pribadi melihat mereka. Sebagaimana Jabir ibn Abdullah, seorang sahabat Nabi yang taat (saw) meriwayatkan:
Ketika ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian,”[31] diturunkan. Aku bertanya, “Ya Rasulullah! Kami mengenal Allah dan RasulNya dan kami menaati mereka, tetapi siapakah ulil amri yang ketaatan kepadanya disebutkan oleh Allah bersamaan dengan ketaatan kepadaNya dan kepadamu?” Beliau berkata, “Ulil amri adalah para penggantiku dan para pemimpin sepeninggalku, yang pertama darinya adalah Ali ibn Abi Thalib, dan setelah dia, Hasan dan kemudian Husei; setelah dia, Ali ibn Husain; dan setelah dia adalah Muhammad ibn Ali yang dikenal dalam Taurat sebagai “Baqir” (orang yang membelah sesuatu hingga berkeping-keping) dan engkau akan melihatnya. Begitu engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku kepadanya. Setelah dia adalah ash-Shadiq, Ja’far ibn Muhammad, dan setelah itu Musa ibn Ja’far yang diikuti oleh Ali ibn Musa, setelah dia adalah Muhammad ibn Ali; setelah dia adalah Ali ibn Muhammad dan setelah itu Hasan ibn Ali, dan setelah dia adalah puteranya yang akan memiliki nama dan julukan yang sama dengan namaku. Dialah yang akan menaklukkan timur dan barat dunia. Dia akan tersembunyi dari penglihatan manusia – sebuah okultasi yang panjang atas dasar itu manusia akan meragukan Imamahnya kecuali orang-orang yang hatinya dianugerahi Allah dengan keimanan yang kuat…[32]
Jabir itu juga yang duduk di Masjid an-Nabi dan berkata: “Wahai Baqir al-Ilm (orang yang membelah ilmu berkeping-keping)! Dimanakah engkau?” Orang-orang yang mendengarnya berkata, “Jabir, bicaramu omong kosong.” Beliau menjawab, “Aku tidak bicara omong kosong. Agaknya, Nabi (saw) telah memberitahuku bahwa “engkau akan bertemu dengan seseorang dari keturunanku yang nama dan penampilannya menyerupaiku yang akan membelah ilmu berkeping-keping.”[33]
Para Imam maksumin (a.s.) juga membuktikan kebenaran mereka dengan menunjukkan keajaiban dan ketakjuban. Terlepas dari ini, serangkaian alasan yang dan faktor yang menyebabkan beberapa Syi’ah berbuat kesalahan mengenai masalah (Imamah) dan sejumlah darinya menyimpang dari jalan yang lurus. Faktor-faktor ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
  1. Penindasan
Setelah 40 Hijriah terjadi penganiayaan dan penindasan yang keras atas para keturunan Nabi (saw) dan para pengikut mereka. Tekanan ini menghalangi beberapa Syi’ah untuk menjalin hubungan dengan para Imam mereka untuk memperoleh keakraban dengan mereka.
Selama paruh kedua abad pertama, terutama setelah 72 Hijriah dan kalahnya Ibn Zubair yang anti Syi’ah, Hajjaj ibn Yusuf berkuasa atas Irak dan Hijaz selama dua puluh tahun, secara brutal menindas, membunuh dan memenjarakan kaum Syi’ah, mengusir mereka dari irak dan Hijaz.[34] Imam as-Sajjad (a.s.) menerapkan taqiyyah dan beliau hanya dapat mengungkapkan ajaran-ajaran Syi’ah hanya dalam ruang lingkup doa (munajat). Selama masa itu sekte Kaisyaniyyah pun muncul.
Walaupun Imam al-Baqir dan Imam ash-Shadiq (a.s.) menikmati kebebasan relatif dan mampu menyiarkan asas-asas dan ajaran-ajaran Syi’ah, ketika khalifah Abbasiyyah memangku kekuasaan, dia memfokuskan perhatiannya kepada Syi’ah. Dan ketika dia mendengar kabar kesyahidan Imam ash-Shadiq (a.s.), dia menulis sepucuk surat kepada gubernur di Medinah yang memerintahkan kepadanya untuk mengenali dan memenggal pengganti Imam ash-Shadiq (a.s.). Imam ash-Shadiq (a.s.) menunjuk lima orang sebagai “penggantinya” – Abu Ja’far al-Mansur, Muhammad ibn Sulaiman, Abdullah, Musa, dan Hamidah.[35] Imam al-Kazim menderita di dalam penjara untuk waktu yang lama. Pada awalnya, khalifah Abbasiyyah Musa al-Hadi memenjarakan Imam dan membebaskannya setelah beberapa waktu. Empat kali Harun menangkap Imam dan mencegah kaum Syi’ah untuk mengunjunginya.[36] Syi’ah tetap dalam pembuangan dan tanpa seorang wali yang menjadi pembuka jalan bagi para juru syi’ar Isma’iliyyah dan Fathiyyah. Pada waktu itu, kaum Syi’ah tidak memiliki seorang pun untuk menghapus berbagai keraguan. Kontro kekuasaan Abbasiyyah dan pengawasannya atas berbagai kegiatan Imam Musa al-Kazim (a.s.) sehingga bahkan Ali ibn Isma’il, keponakan Imam, menyampaikan informasi mengenai beliau.[37]
Ya, kebanyakan kaum Syi’ah pada waktu itu tidak yakin apakah Imam al-Kazim (a.s.) masih hidup atau tidak. Sebagaimana Yahya ibn Khalid Barmaki katakan:
Aku menumbangkan agama raffidi (orang yang tak sepakat) (merendahkan kaum Syi’ah) karena mereka berpikir bahwa agama tanpa Imam tidak akan bertahan dan terus hidup, sementara kini mereka tidak mengetahui apakah Imam mereka masih hidup atau tidak.”[38]
Selama gerakan kesyahidan Imam al-Kazim, tidak ada seorang Syi’ah pun yang hadir di arena. Masalah ini tampaknya menjadi alasan kenapa Wakifiyyah mengingkari kematian Imam kendati isu-isu finansial lebih menyumbangkan kepada munculnya sekte ini.
Ya, para Imam maksumin (a.s.) berada di bawah pengawasan Abbasiyyah terus-menerus. Mereka bahkan memaksa Imam al-Hadi (a.s.) dan Imam al-Askari (a.s.) untuk tinggal di kota militer Samarra agar dapat mengawasi mereka terus-menerus. Setelah kesyahidan Imam al-Askari (a.s.), Abbasiyyah memenjarakan pasangan dan wanita-wanita tanggungannya dengan maksud mencari tahu pengganti Imam (Imam Zaman, Imam Mahdi (a.f.s.)). Bahkan Ja’far ibn Ali, dikenal sebagai Ja’far al-Khaddab (Ja’far Pendusta) bertindak menentang saudaranya sendiri, Imam al-Askari (a.s.). Karenanya, ajaran-ajaran Ghullah berkembang melalui Nasiriyyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Nasir Fihri. Sejumlah dari mereka berkumpul mengitari Ja’far dan setelah tu dia mulai mengklaim dirinya bagi Imamah.[39]
2.Taqiyyah (Berpura-pura)
Taqiyyah (berpura-pura) berarti pengungkapan dari apa yang bertentangan dengan kebenaran ketika ada rasa takut atas hilangnya nyawa seorang Muslim. Ini diambil dari hukum-hukum terdahulu dan hukum Islam sebagaimana diperintahkan baik melalui teks maupun akal. Misalnya, orang beriman di antara keluarga Firaun (mu’min al Fir’awn) menyimpan imam secara diam-diam karena takut pada Firaun dan orang-orangnya. Di antara para sahabat Nabi (saw), Ammar ibn Yasir menerapkan taqiyyah atas dasar siksaan dan penganiayaan terus-menerus terhadapnya oleh kaum musyrikin Mekkah. Ketika beliau sedang menangis (bertaubat) di sisi Nabi (saw) karena perbuatannya itu, Nabi (saw) berkata padanya: “Kamu harus melakukan hal serupa jika mereka menyiksamu lagi.”[40]
Karena Syi’ah selalu berjumlah sedikit, mereka mempraktekkan taqiyyah agar tetap bertahan dan menyelematkan hidup mereka. Cara ini merupakan tanggungjawab bagi pelestarian mazhab Syi’ahisme. Sebagaimana Dr. Samirah Mukhtar al-Laythi menulis:
Di antara faktor kontribusi bagi keberlangsungan gerakan Syi’ah adalah taqiyyah dan propaganda sembunyi-sembunyi, yang memberikan peluang untuk lahirnya kembali gerakan Syi’ah melangkah ke depan di antara perhatian para khalifah Abbasiyah dan para gubernurnya.[41]
Tetapi di lain pihak, taqiyyah telah menjadi penyebab perpecahan di dalam Syi’ahisme karena kaum Syi’ah menyembunyikan keimanan mereka disebabkan rasa takut kepada para tiran pada masanya. Bahkan para Imam (a.s.) berbuat demikian. Atas dasar keadaan yang menindas, para Imam suci (a.s.) bagaimana pun juga menahan diri dari secara eksplisit mendeklarasikan keimamahannya. Masalah ini terlihat dengan jelas dalam dialog antara Imam ar-Ridha (a.s.) dan beberapa pengikut Waqifiyyah:
Ali ibn Abi Hamzah yang adalah seorang Waqifi, bertanya kepada Imam ar-Ridha (a.s.): “Apa yang terjadi terhadap ayahmu?” Imam menjawab: “Dia meninggal dunia.” Ibn Abi Hamzah berkata: “Siapa yang ditunjuk sebagai pengganti setelahnya?” Imam menjawab: “Aku.” Dia berkata: “Lalu apakah engkau harus ditaati?” Imam menjawab: “Ya.” Ibn Siraj dan Ibn Makari (dua orang Waqifi) bertanya: “Apakah ayahmu telah menetapkannya bagimu?” Imam ar-Ridha (a.s.): “Celakalah kamu! Tidak ada perlunya aku katakan, dia telah menunjukku. Apakah engkau ingin aku pergi ke Baghdad dan berkata kepada Harun, ‘Aku adalah seorang Imam yang harus ditaati?’ Demi Allah! Aku tidak memiliki kewajiban seperti ini.” Ibn Abi Hamzah berkata: “Engkau mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah diungkapkan oleh siapa pun di antara leluhurmu.” Imam berkata: “Demi Allah! Leluhur terbaikku, disebut Nabi, mengungkapkannya ketika ayat diturunkan dan Allah memerintahkannya untuk menyampaikan pesan (risalah) kepada kerabat terdekat.”[42]
Selama masa Imam al-Baqir (a.s.), sejumlah Syi’ah meninggalkan kepercayaan mereka kepada Imamahnya, atas dasar praktek taqiyyah yang berkaitan dengan berbagai persoalan, dan mereka pun mengikuti Zaidiyyah Batriyyah.[43]
Sementara itu, beberapa orang yang tidak dapat memahami kebijaksanaan taqiyyah menuduh para Imam suci (a.s.) berbuat salah karena secara eksplisit tidak mengungkapkan keimamahan mereka. Mereka terjerumus ke dalam radikalisme dan ekstrimisme. Motif ini mengkontribusi kemunculan Zaidiyyah.
Karenanya, ketika tekanan dan penindasan berkurang dan ada beberapa peluang bagi para Imam maksumin (a.s.) untuk membuktikan Imamah mereka, pertumbuhan kelompok Syi’ah sedikit. Selama masa Imam ash-Shadiq (a.s.) ketika ada kesempatan baik dan Imam memiliki kebebasan berbuat di tengah konflik antara Umayyah dan Abbasiyyah, kita melihat sedikitnya jumlah perpecahan yang terjadi, tetapi setelah kesyahidannya ketika tekanan dan penindasan khalifah Abbasiyyah al-Mansur muncul, sekte-sekte Nawusyah, Isma’iliyyah, Khatabbiyah, Qaramatah, Samtiyyah, dan Fathiyyah muncul.[44]
Selama masa Imam ar-Ridha (a.s.), keadaan sekali lagi longgar dan bahkan selama kekhalifahan Harun, Imam menikmati kebebasan beraktifitas. Pada masa itu, sejumlah tokoh terkemuka Waqifiyyah seperti Abdurrahman ibn Hajjaj, Rafa’ah ibn Musa, Yunus ibn Ya’qub, Jamil ibn Dibaj, Hamad ibn Isa, dan lain-lainnya meninggalkan keimanan mereka dan percaya kepada Imamah Imam ar-Ridha (a.s.).
Demikian juga, setelah kesyahidan Imam, Imam al-Jawad (a.s.) masih berusia muda, sedikit terjadi perpecahan di dalam Syi’ahisme dikarena berbagai usaha Imam ar-Ridha dalam memperkenalkan puteranya sebagai penggantinya.
3.Ambisi Bagi Kepemimpinan
Setiapkali ada tekanan dan para Imam maksumin (a.s.) mempraktekkan taqiyyah bagi pelestarian fondasi Syi’ahisme dan perlindungan nyawa kaum Syi’ah, munafikin, orang-orang haus kekuasaan di dalam barisan Syi’ah, kendati banyak yang tidak percaya kepada agama, mereka mengambil keuntungan dari kondisi ini. Misalnya, dalam menjawab salah seorang sahabat yang bertanya tentang kontradiksi hadits, Imam ash-Shadiq (a.s.) berkata: “Ada orang-orang yang ingin memiliki dunia dan memperoleh kepemimpinan dengan cara menafsirkan hadits kami secara pribadi (takwil).”[45]
Atas dasar ini, selama abad kedua Hijriah dan setelah berkembangnya Syi’ahisme dan juga setelah kesyahidan Imam ash-Shadiq, Imam al-Kazim dan Imam al-Asykari (a.s.), orang-orang munafik (oportunis) dan rakus kepemimpinan berkembang-biak di tengah kaum Syi’ah dan sekte-sekte yang berbeda-beda pun didirikan demi kepentingan finansial dan politik. Sepeninggal Imam al-Baqir (a.s.), Mughayrah ibn Sa’id mengklaim bahwa beliau adalah Imam dan beliau telah ditunjuk oleh Imam as-Sajjad (a.s.) dan Imam al-Baqir (a.s.). Oleh karenanya, para pendukungnya dinamakan pengikut Mughairiyyah.
Setelah kesyahidan Imam ash-Shadiq (a.s.) sekte Nawusyiah dan Khatabiyyah muncul, yang pendirinya menggunakan nama Imam ash-Shadiq (a.s.) dan puteranya Ismail menarik perhatian umat terhadap mereka. Ibn Nawus adalah pendiri Nawusiyah; para pengikutnya menyangkal kematian Imam ash-Shadiq (a.s.) dan menganggapnya sebagai al-Mahdi. Para pengikut Khatabiyyah menyangkal kematian Isma’il, putera Imam ash-Shadiq (a.s.), dan memperkenalkan pemimpin mereka sebagai Imam setelah dua pribadi ini wafat.[46]
Puncak motif atau kepentingan finansial dapat ditemukan dalam sekte tertentu setelah kesyahidan Imam al-Kazim (a.s.). Yunus yang adalah salah seorang sahabat Imam al-Kazim (a.s.) meriwayatkan bahwa ketika Abul Hasan Imam al-Kazim (a.s.) wafat, masing-masing perwakilannya memperoleh kepemilikan dan harta berlimpah. Karenanya, mereka menggantungkan keputusan mereka mengenai Imam dan menyangkal kematiannya. Misalnya, Ziyad Qanadi telah menyimpang tujuh puluh ribu dinar sedangkan Ali ibn Hamzah tiga ribu dinar. Yunus kemudian menulis:
Ketika aku melihat bahwa kondisi dan kebenaran menjadi jelas kepadaku dan juga, aku mempelajari persoalan-persoalan Imamah Hazrat Ridha (a.s.), aku mulai menyiarkan kebenaran dan mengajak umat kepada Imam. Dua orang ini mengejarku, dan bertanya: “Kenapa engkau menyeru umat kepada Imamah Ridha? Jika niatmu adalah untuk memperoleh uang, kami akan membuatmu kaya” dan mereka menawarkan sepuluh ribu dinar kepadaku tetapi aku menolak. Mereka menjadi marah kepadaku dan mengungkapkan permusuhan serta pertikaian kepadaku.[47]
Sa’ad ibn Abdullah al-Asy’ari juga berkata:
Setelah kesyahidan Imam al-Kazim (a.s.), para pengikut sekte Hasmawiyyah percaya bahwa Imam al-Kazim (a.s.) tidak mati dan tidak pernah dipenjara akan tetapi beliau berada dalam okultasi dan beliaulah al-Mahdi. Pemimpin mereka adalah Muhammad ibn Basyir yang mengklaim bahwa Imam ketujuh menunjuknya sebagai penggantinya, bahwa cincin dan segala yang umat butuhkan dalam berbagai urusan agama dan dunia telah diberikan kepadanya; bahwa semua hak prerogative telah diberikan kepadanya; dan bahwa beliau memangku kedudukan Imam. Maka, beliau menurut dugaan orang adalah Imam setelah Imam al-Kazim (a.s.) dan pada saat itu bahwa Muhammad ibn Basyir ini begitu hendak menemui ajalnya menunjuk puteranya, Sami’ ibn Muhammad sebagai penggantinya, diduga bahwa ketaatan kepadanya adalah kewajiban sampai munculnya al-Kazim (a.s.). Beliau juga mendesak umat untuk memberikan kepada Sami’ ibn Muhammad apa saja yang mereka ingin berikan di jalan Allah. Orang-orang ini dijuluki sebagai “mamfurah”.[48]
4.Keberadaan Orang-orang Bermental Lemah
Ada individu-individu pengecut di antara Syi’ah yang ketika mereka melihat keajaiban dari Imam zaman mereka, akal mereka tidak dapat mencernaknya dan mereka pun mulai mengungkapkan kepercayaan-kepercayaan berlebihan meskipun faktanya bahwa Imam-imam suci itu sendiri dengan keras memerangi kepercayaan-kepercayaan semacam ini. Sebagaimana diriwayatkan dalam Rijal Kasyi, tujuh puluh orang berkulit hitam bermukim di Basrah mengungkapkan kepercayaan berlebihan mereka mengenai Ali (a.s.) setelah Perang Jamal.[49] Unsur-unsur oportunis dan haus kepemimpinan juga memanfaatkan semangat umat ini, menyesatkan mereka dan membiarkan mereka melakukan hal-hal yang menguntungkan mereka. Misalnya, Abil Khattab mendirikan sekte Khatabiyyah, memperkenalkan Imam ash-Shadiq (a.s.) dalam kedudukan kenabian, menduga keras dianugerahkan kepadanya oleh Allah, dan mengklaim dirinya sebagai Imam dan pengganti Imam ash-Shadiq (a.s.).[50] Juga, selama okultasi kecil (ghaibah sugra) Imam Zaman (a.f.s.), Ibn Nasir pada awalnya memperkenalkan dirinya sebagai “pintu” (medium) (bab) dan wakil Imam dalam menjelaskan hukum-hukum agama dan mengumpulkan dana keagamaan. Selanjutnya, beliau mulai mengklaim kenabian dan akhirnya hinga sejauh klaim ketuhanan.[51] Para pengikutnya juga menerimanya seperti ini. Oleh karenanya, adalah atas dasar mental pengikutnya yang lemah seperti inilah beliau membuat hal-hal semacam ini. Pada dasarnya sekte-sekte ekstrim (berlebihan) didirikan berdasarkan landasan semacam ini.
Kampanye Imam Maksumin Menentang Pandangan Ekstrim
Salah satu bahaya potensial yang mengancam Syi’ah di sepanjang sejarah adalah isu tentang kaum ekstrimis (ghali) dan penyusupan pandangan mereka ke kaum Syi’ah. Masalahnya adalah bahwa musuh-musuh dan lawan Syi’ah selalu menuduh mereka berbuat berlebihan dan fanatic berkaitan dengan Imam-imam mereka. Sehubungan dengan ini, kita tidak jauh mendalam berbicara tentang sekte-sekte ekstrim (ghullah), membahas berbagai pandangan mereka dan kepercayaan mereka. Tentu saja, harus dicatat bahwa ciri yang menonjol dan titik fokus semua sekte ekstrim ini adalah keberlebihan mereka berkaitan dengan hak para Imam dengan merendahkan Tuhan melalui peninggiaan maqam mereka ke maqam ketuhanan.
Keberadaan ghullah di antara kaum Muslimin disebabkan lebih daripada faktor-faktor luar ketimbang faktor internal. Melalui konfrontasi langsung dan berhadap-hadapan, musuh-musuh Islam tidak mampu menghantam Islam sementara Islam mencerahkan negeri-negeri mereka dan mengalahkan musuh-musuhnya. Karenanya, mereka memutuskan untuk menghantam Islam dari dalam. Maka, mereka menargetkan pada prinsp-prinsip penting Islam. Pendirian politik juga bukan tidak berkepentingan dalam mendorong, atau setidaknya bertoleransi, individu-individu semacam ini muncul di antara Syi’ah dan para pengikut Ahlul Bait Nabi (saw) hingga menyusupkan pandangan-pandangan orang semacam ini ke kaum Syi’ah, dan dengan perbuatan demikian, para pengikut Ahlul Bait dapat diduga sebagai ekstrimis dan di luar komunitas Muslim.
Meskipun tren ini dimulai sejak kekhalifahan Amirul Mukminin (a.s.) dan sejumlah unsur bermental lemah yang menganut berbagai pandangan ekstrim mengenai beliau (yang dieksekusi karena tidak mengakui berbagai pandangan mereka yang sesat).[52] Abdullah ibn Saba’ adalah salah seorang tokoh fiktif dan khayal. Orang pertama yang menyebutnya adalah sejarawan Thabari. Dia pada gilirannya, telah mendapatkan Ibn Saba’ ini dari Sayl ibn Umar, yang dikenal sebagai seorang pendusta dan telah sepakat disetujui oleh para ulama rijal.[53] Imam ash-Shadiq telah menyebutkan nama-nama sejumlah ketua ekstrimis (ghali) seperti Mughairah ibn Sa’id, Bayan, Sa’id Nahdi, Harits Shami, Abdullah ibn Harits, Hamzah ibn Ammar Barbari, dan Abul Khattab, dan Imam mengutuk mereka.[54] Sebagai akibat dari kutukan para Imam maksumin (a.s.), mereka menderita sakit dan siksaan serta terbunuh dalam keadaan mengenaskan. Sebagaimana Imam ar-Ridha (a.s.) katakan:
Banan berkata dusta mengenai Imam as-Sajjad (a.s.); Allah menjadikannya merasakan ketajaman pedang. Mughairah Ibn Sa’id telah berkata dusta mengenai Imam al-Baqir (a.s.) dan dia juga merasakan ketajaman pedang. Muhammad ibn Basyir berdusta mengenai Abul Hasan al-Kazim (a.s.) dan Allah Swt membuatnya tewas melalui pedang. Abul Khattab berkata dusta mengenai Abu Abdullah Imam ash-Shadiq (a.s.) dan dia pun terbunuh melalui pedang. Orang yang berkata dusta mengenaiku adalah Muhammad ibn Furat.[55]
Periode Imam Hasan al-Askari menjadi salah satu periode tren kaum ghullah memperoleh momentum optimal. Karena alasan inilah Imam telah mengutuk orang-orang seperti Qasim Yaqtini, Ali ibn Haskah Qummi, Ibn Baba Qummi Fihri, Muhammad ibn Nasir Numair, dan Fars ibn Hatam Qazwini yang dianggap berada di antara ketua dan pemimpin kaum ekstrim ini.[56]
Oleh karena itu, di wilayah-wilayah berpopulasi Syi’ah seperti Qum selalu ada wahana anti-akstrimisme dan kaum ekstrim tidak diizinkan bermukim di sana. Atas dasar ini, dalam menggambarkan karakter pribadi Husain ibn Abdullah Muharrar, Ibn Dawud telah berkata: “Dilaporkan bahwa selalu diusir dari kota Qum orang-orang yang diduga ekstrimisme.”[57]
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hajm, Abul Hasan Muhammad ibn Ahmad, putera dari Imam al-Kazim (a.s.), yang selama abad ketiga Hijriah, tinggal di Azerbaijan dimana beliau mendapat penghormatanyang tinggi, dengan keras menentang para pengajar darisekte-sekte ekstrim sehingga mereka diberikan sarana untuk membunuhnya dan mereka mengajak Mufallah Ghulam ibn Abi Saj, gubernur Azerbaijan untuk membunuhnya.[58]
Pelajaran Kedua Puluh Tiga: Ringkasan
Walaupun nama-nama dua belas Imam maksumin (a.s.) yang diberkati tercatat dalam hadits-hadits Nabi dan kaum Syi’ah akrab betul dengan nama mereka sebelum bertemu dengan mereka, serangkai alasan dan faktor menyebabkan beberapa Syi’ah berbuat kesalahan berkaitan dengan masalah (Imamah) an menyimpang dari jalan yang lurus. Di antara faktor ini adalah sebagai berikut:
  1. Pengawasan: Setelah 40 H ketika Umayyah memangku kekuasaan, pengawasan atas komunitas Syi’ah merupakan perintah harian. Masalah serupa terjadi selama periode Abbasiyyah, dan kondisi ini menyebabkan kaum Syi’ah tidak mampu memperoleh ilmu yang diperlukan mengenai para Imam mereka.
  2. Taqiyyah (berpura-pura): Taqiyyah dikontribusi untuk pelestarian mazhab Syi’ah. Namun demikian, ia juga menjadi salah satu faktor bagi munculnya perpecahan di dalam Syi’ahisme karena para Imam maksumin (a.s.) secara eksplisit menghindari pendeklarasian keimamahan mereka.
  3. Ambisi bagi kepemimpinan dan cinta dunia. Selalu ada orang-orang oportunis dalam barisan Syi’ah yang mengambil keuntungan dari suasana penindasan yang terjadi atas komunitas Syi’ah dan menciptakan sekte-sekte untuk meningkatkan kepentingan pribadi mereka.
  4. Adanya individu-individu yang bermental lemah. Orang-orang yang bermental lemah di antara kaum Syi’ah pikirannya tidak dapat dengan benar mencernak berbagai keajaiban yang mereka saksikan dari para Imam dan mulai menganut berbagai pandangan ekstrim atau berlebihan.
Persoalan ekstrimisme kaum ghullah adalah salah satu bahaya paling serius yang telah mengancam kaum Syi’ah. Para Imam maksumin (a.s.) selalu mengkonfrontir masalah ini, secara sering memberitahukan umat akan resikonya.
Pelajaran Kedua Puluh Tiga: Pertanyaan
  1. Apakah alasan di balik perpecahan di dalam Syi’ahisme?
  2. Bagaimana para Imam memerangi kecenderungan ekstrim?
Endnote Bab 6:
[1] Syahristani, Kitab al-Milal wan Nihal (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1364 H), jld.1, hlm.150.
[2] Ibid., hlm.155.
[3] Lihat Sayyid Murtadha al-Askari, Abdullah ibn Saba’ wa Asatir Ukhra, edisi keenam (1413 H/1993), jld.2, hlm.328-375. Ikhtisarnya versi berbahasa Inggris adalah Sayyid Murtadha al-Askari, Abdullah ibn Saba’ and Other Myths, terj. MJ. Muqaddas (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1984) (Penerj.)
[4] Syeik at-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), diteliti oleh Sayyid Mahdi Raja’I (Qum: Al al-Bayt ath-Thurat, 1404 H), jld.1, hlm.325.
[5] Syeikh at-Tusi, Ikhtiyyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), diteliti oleh Sayyid Mahdi Raja’I (Qum: Muassasah Al al-Bayt ath-Thurat, 1404 H), jld.1, hlm.325.
[6] Kitab al-Milal wan Nihal, hlm.150.
[7] Ibid., hlm.131-135.
[8] Mereka adalah para sahabat Zaid ibn Abi Ziyad yang lebih dikenal sebagai Abil Jarud. Karenanya, golongan mereka dinamakan “Jarudiyyah.”
[9] Pemimpin mereka adalah seseorang bernama Sulaiman ibn Jarir. Maka, golongan ini dikenal sebagai “Sulaimaniyyah.”
[10] Pemimpin mereka adalah seseorang bernama Kaythar an-Nawi Abtar. Maka golongan mereka diberi label “Batriyyah.”
[11] Kitab al-Milal wa Nihal, hlm.140-142.
[12] Muhammad Karim Khurasani, Tarikh va Aqa’id-e Firqih-ye Aqakhaniyyeh, ikhtisar dan disusun oleh Husain Husaini (Qum: Nashr al-Huda, 1377 H), hlm.2-3.
[13] Ibid., hlm.43.
[14] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, Murawwij adh-Dhahab, edisi pertama (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami lil Matbu’at, 1411 H), jld.3, hlm.91.
[15] Dr. Samirah Mukhtar al-Laythi, Jihad asy-Syi’ah (Beirut: Dar al-Jayl, 1396 H), hlm.87.
[16] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil ath-Thalibiyyin (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.124; Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih al-Andalusi, al-Aqd al-Farid (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, 1409 H), jld.4, hlm.438.
[17] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.123.
[18] Kitab al-Milal wa Nihal, hlm.135.
[19] Ibid., hlm.142.
[20] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.247.
[21] Ibid, hlm.314.
[22] Ibid.
[23] Sa’ad ibn Abdullah al-Qummi Asy’ari, Al-Maqalat wal Firaq, edisi kedua (Tehran: Markaz-e Intisyarat-e Ilmi va Farhang, 1360 H), hlm.10.
[24] Kitab al-Milal wa Nihal, jld.1, hlm.143.
[25] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.326.
[26] Abi Muhammad al-Hasan ibn Musa Nawbakhti, Firq asy-Syi’ah (Najaf: al-Mathba’ah al-Haydariyyah, 1936), jld.3, hlm.326.
[27] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, at-Tanbiyyah wal Asraf (Kairo: Dar as-Sawi Lil Tab wa Nasr wa Ta’lif, n.d.), hlm.341.
[28] Syasainameh (Tehran: Instisyarat-e Ilmi va Farhangi, 1364 H), hlm.311.
[29] Lihat Rasul Ja’fariyah, Tarikh-e Tasyayu’ dar Iran az Aghaz ta Qarn-e Hasytum-e Hijri, edisi kelima (Qum: Syirkat-e Chap wa Nasyr-e Sazman-e Tablighat-e Islami, 1377 H), hlm.207-209.
[30] Murawwij adh-Dhahab, jld.4, hlm.297.
[31] Surah an-Nisa, 4:59.
[32] Mahdi Pishva’I, Syakhsiyat-ha ye Islami-ye Syi’ah, edisi pertama (Qum: Intisyarat-e Tawhid, 1359 H), hlm.63 sebagaimana dikutip dari Tafsir Safi, jld.1, hlm.366; Kamal ad-Din wa Tamam an-Ni’mah dengan terjamahan Persia (Tehran), jld.1, hlm.365.
[33] Syeikh at-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), diteliti oleh Sayyid Mahdi Raja’I (Qum: Muassasah Al al-Bayt at-Turath, 1404 H), jld.1, hlm.218.
[34] Muhammad Husain Zain Amili, asy-Syi’ah fi Tarikh, terj. Muhammad Ridha Ata’I, edisi kedua (Masyhad: Bunyad-e Pazhuhesh-ha-ye Islami-ye Astan-e Quds-e Radawi, 1375 H), hlm.120.
[35] Abi Ali al-Fadl ibn al-Hasan Thabarsi, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda (Qum: Muassasah Al al-Bayt Li Ihya ath-Thurat, 1417 H), jld.2, hlm.13.
[36] Muhammad Husain Muzaffar, Tarikh asy-Syi’ah (Qum: Mansyurat Maktabah Basirati, n.d.), hlm.47.
[37] Ali ibn Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil ath-Thalibiyyin (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.414.
[38] Asy-Syi’ah fil Tarikh, hlm123.
[39] Syekh at-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), diteliti oleh Sayyid Mahdi Raja’I (Qum: Muassasah Al al-Bayt ath-Thurat, 1404 H), jld.1, hlm.325.
[40] Sayyid Muhsin Amin, A’yan asy-Syi’ah (Beirut: Dar at-Ta’aruf lil Matbu’at, n.d.), hlm.199.
[41] Dr. Ssamrah Mukhtar al-Laythi, Jihad asy-Syi’ah (Beirut: Dar al-Jayl, 1396 H), hlm.394.
[42] Ibid., hlm.763.
[43] Sa’ad ibn Abdullah al-Qummi Asy’ari, Al-Maqalat wal Firaq, edisi kedua (Tehran: Markaz-e Intisyarat-e Ilmi va Farhangi, 1360 H), hlm.75.
[44] Ibid., hlm.79.
[45] Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), jld.1, hlm.374.
[46] Ibid., hlm.80.
[47] Asy-Syi’ah fi Tarikh, hlm.123 sebagaimana dikutip dari Syeikh at-Tusi, al-Ghaybah, hlm.46.
[48] Al-Maqalat wal Firaq, hlm.91.
[49] Ketika Amirul Mukminin (a.s.) menghentikan Perang Jamal, tujuh puluh ribu orang berkulit hitam yang bermukim di Basrah datang kepada Imam dan berbicara kepadanya dalam logat mereka. Ali (a.s.) pun berbicara kepada mereka dengan logat mereka. Oleh karenanya, mereka mulai mengungkapkan pandangan-pandangan berlebihan mengenai Imam. Ali (a.s.) berkata kepada mereka, “Aku adalah hamba Allah dan makhlukNya.” Mereka tidak percaya dan bahkan bersikeras bahwa Imam sama dengan Tuhan. Maka, Imam meminta mereka untuk bertaubat kepada Allah karena menganut pandangan yang sesat, tetapi mereka menolak untuk bertaubat. Karenanya, mereka dieksekusi. Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), jld.1, hlm.325.
[50] Syahristani, Kitab al-Milal wa Nihal (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1364 H), jld.1, hlm.160.
[51] Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), jld.2, hlm.805.
[52] Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi), jld.1, hlm.325.
[53] Lihat Sayyid Murtadha al-Askari, Abdullah ibn Saba wa Asatir Ukhra, edisi keenam (1413 H/1993). Jld,2, hlm.328-375.
[54] Ibid., hlm.577.
[55] Ibid., hlm.591.
[56] Ibid., hlm.805.
[57] Rijal ibn Dawud (Qum: Mansyurat ar-Radi, n.d.), hlm.240.
[58] Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ib Sa’id ibn Hazm al-Andalusi, Jumhazah Insab al-Arab, edisi pertama (Beirut: n.p., 1403 H), hlm.63.
BAB TUJUH
Warisan Intelektual Syi’ah
Pelajaran Kedua Puluh Empat
Warisan Intelektual Syi’ah
Pentingnya penulisan dan penghimpuan (kompilasi) dalam hukum-hukum suci Islam dikenal semua orang. Karena, salah satu cara paling penting dalam memindahkan ilmu dan pelajaran adalah melalui tulisan. Masyarakat Arab, sebelum kedatangan Islam telah memperoleh sedikit manfaat dari berkah ini, dan hanya sedikit yang mampu membaca dan menulis.[1] Namun kebutuhan untuk mencatat (merekam) dan menuliskan ayat-ayat Al-Quran untuk pelajaran dan pengajaran segera dirasakan setelah misi Kenabian dan diterimanya wahyu. Sebagaimana Ibn Hisyam riwayatkan:
Sebelum Umar ibn al-Khattab menjadi Muslim, saudara perempuannya, Fatimah binti al-Khattab dan suaminya Sa’id ibn Zaid telah menjadi Muslim dan secara diam-diam serta menjauh dari perhatian Umar, Khabbab ibn Irt mengajarkan mereka Surah Ta Ha di atas lembaran kulit yang dinamakan sahifah.[2]
Di Medinah, Rasul Mulia (saw) telah mengumpulkan sekelompok Muslim yang mampu menuliskan wahyi ilahi. Amriul Mukminin Ali (a.s.), di samping menjadi juru tulis tetap wahyu, Nabi suci (saw) secara terus-menerus menjelaskan kepada beliau mengenai ayat-ayat yang jelas (muhkamat) dan ayat yang bersifat kiasan (mutasyabihat).[3] Ali juga telah menulis sebuah kitab berjudul “Sahifah al-Jami’ah” sebagaimana didiktekan oleh Rasulullah (saw), yang meliputi halal dan haram, amal-amal wajib dan dianjurkan (mustahab), dan juga hukum-hukum dan apa yang dibutuhkan manusia di dunia ini dan kehidupan mereka di akhirat.[4] Ada dua kitab lainnya, yang pertama “Sahifah”; mengenai hukuman (diyyat) dan kitab lainnya berjudul “Fara’id”, juga dinisbahkan kepada Imam.[5]
Para sahabat Nabi (saw) lainnya juga mengkompilasi himpunan perkataan dan tradisi beliau, yang mereka namakan “Sahifah”. Abu Hurairah telah diriwayatkan oleh Bukhari telah berkata:
Dari semua sahabat Nabi, aku memiliki paling banyak riwayat hadits Nabi dengan pengecualian dari Abdullah ibn Amru karena dia menulis apa saja yang dia dengar dari Nabi sementara aku tidak menuliskannya.[6]
Setelah Nabi (saw) wafat, bagaimana pun juga, khalifah kedua Umar ibn al-Khattab melarang penulisan hadits.[7] Perkara ini berlaku hingga masa Umar ibn Abdul Aziz selama paruh terakhir abad pertama Hijriah yang membatalkan larangan inidan beliau menulis kepada Abu Bakar ibn Hazm untuk mencatat penulisan hadits Rasulullah (saw).[8] Tugas ini tidak disadari sampai akhir paruh pertama abad kedua Hijriah karena menurut al-Ghazali, para penulis pertama kitab-kitab tentang hadits di antara Ahlus Sunnah adalah Ibn Jarih, Mu’ammar ibn Rasyid, Malik ibn Annas, dan Sufyan ats-Tsauri[9] yang berkaitan dengan paruh kedua abad kedua Hijriah dan tahun-tahun kewafatan mereka adalah 150, 152, 179, dan 161 Hijriah secara berturut-turut. Maka, proses ini tidak pernah berhenti di antara kaum Syi’ah, dan Syi’ah terkemuka di antara para sahabat Nabi (saw) seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari dan Abu Rafi’ al-Qibti menciptakan langkah-langkah perintisan di bidang penulisan dan kompilasi. Ibn Shahr Asyub mengatakan:
Ghazali percaya bahwa kitab pertama yang ditulis di dunia Muslim adalah kitab Ibn Jarih dengan karya-karya dan berbagai jenis tafsir yang diriwayatkan dari Mijahid dan Ata’ di Mekkah. Selanjutnya, kitabnya adalah kitab Mu’ammar ibn Rasyid San’ani di Yaman; kemudian, kitab Muwatta dari Malik ibn Annas di Medinah; diikuti dengan kitab Jami’ah dari Sufyan ats-Tsauri. Ini tidak bernar, namun demikian, karena kitab pertama di dunia Muslim ditulis oleh Amirul Mukminin (a.s.) yang menyusun Al-Quran. Setelah beliau, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, Asbagh ibn Nubatah, dan Abdullah ibn Abi Rafi’ juga membuat langkah-langkah dalam penulisan dan penyusunan. Dan setelah mereka, Imam Zainal Abidin (a.s.) menyusun Sahifah al-Kamilah.[10]
Ibn Nadim juga memandang catatan pertama tulisan di antara kaum Syi’ah sebagaimana dikaitkan dengan abad pertama Hijriah.[11] Mengingat kepastian Syi’ah dalam penulisan, penyusunan dan kompilasi karya-karya Kenabian, Dhahabi dalam menggambarkan kedudukan Aban ibn Taghlib kemudian mengatakan: “Jika kedapat-dipercayanya orang-orang seperti Aban tidak diterima karena kecondongannya kepada Syi’ahisme, maka banyak karya-karya Kenabian dan hadits yang binasa.”[12]
Karenanya, para fuqaha dan ulama hadits (Muhadditsun) Ahlus Sunnah, khususnya para pendiri empat mazhab pemikiran, di sambping menggunakan perantara Imam ash-Shadiq (a.s.), juga belajar dari muhadditsun Syi’ah dan menerima hadits dari mereka.[13]
Seemntara itu jumlah kitab-kitab yang ditulis oleh kaum Syi’ah selama tiga abad pertama Hijriah, penulis Wasa’il asy-Syi’ah telah berkata:
“Para ulama dan muhadditsun selama periode Imam-imam maksumin (a.s.), dari masa Mukminin (a.s.) sampai masa Imam Hasan al-Askari (a.s.), telah menulis enam ribu enam ratus kitab.”[14]
Syi’ah selama periode ini menciptakan prestasi luar biasa di berbagai bidang ilmu pengetahuan di masa itu seperti sastra, leksikografi (kamus), syair, sains Al-Quran (Ulum Al-Quran), tafsir, hadits, ushul fiqih. Teologi skoalastik (ilmu kalam), sejarah, akhlak hidup Nabi (sirah), rijal, dan etika. Mereka telah membuat banyak tulisan dan karya-karya sastra sementara terdepan di berbagai bidang. Abul Aswad Daw’ili, seorang penyair Syi’ah, adalah pendiri ilmu nahwu Arab.[15] Beliaulah yang pertama meletakkan titik-titik di salinan Al-Quran.[16] Kitab pertama tentang leksikografi (kamus) di antara Muslimin adalah Kitab al-Ayan yang ditulis oleh Khalil ibn Ahmad[17] yang menjadi salah satu ulama Syi’ah.[18]
Dalam bidang sirah dan berbagai perang Nabi (saw), kitab pertama ditulis oleh Ibn Ishaq, yang menurut Ibn Hajr, adalah seorang Syi’ah.[19]
Setelah memandang sekilas masalah ini, sekarang kami akan menjelaskan sedikit tentang ilmu hadits, fiqih dan teologi skoalastik dimana mazhab Syi’ah memiliki pembagian khusus, menjaga asas-asasnya dan prinsip-prinsipnya dalam bidang ini.
Hadits
Di samping Al-Quran, hadits atau sunnah merupakan sumber kedua fiqih Islam, artinya perkataan, perbuatan dan persetujuan diam para maksumin (a.s.). Ahlus Sunnah membatasi hadits hanya kepada perkataan, perbuatan dan persetujuan diam dari Nabi (saw). Syi’ah, namun demikian, memandang perkataan, perbuatan, dan persetujuan diam dari para Imam maksumin (a.s.) sebagai bukti (hujjah) dan kumpulan hadits.[20]
Sekarang kita akan meninjau karya-karya tentang hadits selama periode adanya Imam (a.s.) dalam empat kategori, yang terdiri dari empat fase:
Kategori Pertama
Berdasarkan pada pendapat Najasyi, kategori pertama pencatat hadits Syi’ah adalah Abu Rafi al-Qibri, Ali ibn Abi Rafi’, Rabi’ah ibn Sumi, Sulaym ibn Qays Hilali, Ashbag ibn Nabatah Majusyi’i, dan Abdullah ibn Hurr Ju’fi.[21] Mereka berada di antara parasahabat Amirul Mukminin, Imam Hasan dan Imam Husein (a.s.).
Kategori Kedua
Menurut beberapa ulama, ada dua belas orang yang telah menulis kitab dan risalah di antara sahabat Imam as-Sajjad dan Imam al-Baqir (a.s.),[22] di antaranya Aban ibn Taghlib. Beliau menduduki kedudukan khusus dalam pandangan para Imam maksumin (a.s.) sehingga Imam al-Baqir (a.s.) berkata kepadanya: “Di Mesjid Medinah engkau memberikan fatwa-fatwa kepada umat sebagaimana aku menginginkan orang-orang seperti kamu berada di antara Syi’ahku.”[23]
Najasyi berkata, “Aban ibn Taghlib, semoga Allah meridhainya, adalah salah seorang pelopor dalam berbagai bidang ilmu seperti Al-Quran, fiqih, hadits, sastra, kamus, dan nahwu.” Aban telah menulis tentang bidang-bidang ini seperti Tafsir, Gharib al-Quran dan Kitab al-Fadha’il.[24]
Demikian juga dengan Abu Hamzah ath-Thumali yang mengenainya Imam ash-Shadiq (a.s.) telah berkata: “Abu Hamzah adalah seperti Salman (al-Farisi) di zamanku.”[25] Di antara kitab-kitab dan risalahnya adalah Kitab an-Nawadir, Kitab az-Zuhud dan Tafsir al-Quran.[26]
Kategori Ketiga
Zaman Imam ash-Shadiq (a.s.) adalah periode kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan dalam masyarakat Muslim pada waktu kaum Syi’ah menikmati kebebasan. Menurut Syeikh al-Mufid, jumlah murid Imam ash-Shadiq (a.s.) kira-kira empat ribu orang.[27] Hasan ibn Ali Washa, seoang sahabat Imam ar-Ridha (a.s.) mengatakan bahwa dia telah melihat sembilan ribu orang ada di Mesjid Kufah yang kesemuanya meriwayatkan hadits dari Imam ash-Shadiq (a.s.).[28] Maka, selain jawaban-jawaban Imam terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, empat ribu kitab telah ditulis sebagai Al-Asl (Prinsip atau Esensi). Ada juga kitab-kitab lainnya, sebagian dari kitab-kitab tersebut, dalam berbagai bidang dan ilmu pengetahuan ditulis oleh para sahabat dan murid Imam ash-Shadiq (a.s.).
Kategori Keempat
Selama periode ini yang adalah setelah zaman Imam ash-Shadiq, banyak kitab-kitab tentang hadits ditulis.[29] Misalnya, Husain ibn Sa’id al-Kufi, seorang sahabat Imam ar-Ridha (a.s.), telah menulis tiga puluh kitab tentang hadits.[30] Muhammad ibn Abi Umair, sahabat Imam ar-Ridha (a.s.) lainnya, telah menulis sembilan puluh empat kitab sementara Safwan ibn Bajli, seorang sahabat Imam ar-Ridha (a.s.) dan Imam al-Jawad (a.s.), telah menulis tiga puluh kitab yang kebanyakan darinya memiliki sebutan Jami’ (koleksi, ikhtisar atau anthology). Penyusun hadits setelahnya seperti Thiqat al-Islam al-Kulayni, Syeikh Shaduq dan Syeikh at-Tusi telah memanfaatkan kitab-kitab ini dalam menuliskan himpunan-himpunan penyusunan kitab mereka masing-masing.
Pelajaran Kedua Puluh Empat: Ringkasan
Pentingnya penulisan hukum-hukum suci Islam banyak dikenal orang. Dengan diterimanya wahyu ilahi, kebutuhan akan pencatatannya dalam bentuk tulisan dirasa perlu, dan sejumlah juru tulis wahyu pun dikenal.
Amirul Mukminin (a.s.) dan sejumlah sahabat Nabi (saw) lainnya telah mengkompilasi beberapa himpunan hadits Nabi (saw) yang dikenal sebagai Sahifah.
Di antara Ahlus Sunnah, kitab-kitab pertama mengenai hadits terkait dengan paruh kedua abad kedua Hijriah karena khalifah kedua Umar ibn al-Khattab telah melarang penulisan hadits. Larangan ini di antara kaum Syi’ah, walau bagaimana pun, tidak ada, dan para penulis pertama di antara para sahabat Nabi (saw) adalah Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari dan Abu Rafi al-Qibti.
Syi’ah hingga zaman Imam Hasan al-Askari (a.s.) telah menulis enam ribu enam ratus kitab.
Kita akan meninjau karya-karya mengenai hadits yang ditulis oleh kaum Syi’ah selama seluruh periode adanya para Imam maksumin (a.s.) dalam empat kategori yang terdiri dari empat fase.
Kategori pertama: Para sahabat Amirul Mukminin, Imam Hasan dan Imam Husain (a.s.).
Kategori kedua: Para sahabat Imam as-Sajjad dan Imam al-Baqir (a.s.).
Kategori ketiga: Para sahabat Imam ash-Shadiq (a.s.).
Kategori keempat: Para sahabat Imam al-Kazim, Imam ar-Ridha, Imam al-Jawad, Imam al-Hadi, dan Imam Hasan al-Askari (a.s.).
Pelajaran Kedua Puluh Empat: Pertanyaan
  1. Bagaimana penulisan Al-Quran selama zaman Nabi (saw)?
  2. Apakah para sahabat Nabi tetap mencatat penulisan haditsnya?
  3. Pada periode mana para penulis pertama kitab-kitab mengenai hadits di antara Ahlus Sunnah?
  4. Siapakah perintis dalam penulisan di antara kaum Syi’ah?
  5. Berapa jumlah kitab yang ditulis oleh kaum Syi’ah hingga zaman Imam Hasan al-Askari (a.s.)?
  6. Kategori pertama ulama Syi’ah mengenai hadits (muhadditsun) adalah para sahabat dari para imam maksumin (a.s.)?
  7. Bagaimana penulisan hadits selama zaman Imam ash-Shadiq (a.s.)?
  8. Kitab-kitab tentang hadits secara kolektif dikenal sebagai Jami’ (koleksi, compendium atau anthology) pada periode mana?
Pelajaran Kedua Puluh Lima
Ilmu Fiqih
Totalitas amal perbuatan manusia, yang merupakan hubungannya dengan Allah dan para anggotanya, membutuhkan peraturan (hukum) yang mencakup ilmu fiqih. Hukum-hukum Islam memiliki kebermulaan ilahiah dari kehendak Tuhan. Tentu saja, kehendak Tuhan tidak pernah bergantung kepada perjanjian dan persetujuan. Ia berdasarkan pada hakikat dan kebahagiaan serta kesengsaraan sesungguhnya. Nabi Mulia (saw) adalah Rasul Allah dan titahnya merupakan titah Allah:
“Dan dia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. (Perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[31]
Dan berdasarkan pada ayat, “Patuhilah Allah dan patuhilah Rasul serta orang-orang yang diberi wewenang (ulil amri) di antara kalian.”[32] Bahwa ketaatan kepada ‘orang-orang yang diberi wewenang (ulil amri) – para pengganti sejati Nabi (saw) – telah ditempatkan bersama dengan ketataatan kepada Allah dan Rasul (saw). {Pernyataan para Imam maksumin (a.s.) tiada lain kecuali ilham dari Allah, dan seperti pernyataan Nabi (saw0, ketataan kepada mereka adalah wajib.
Aliran Fiqih Selama Periode Para Sahabat dan Tabi’in (Pengikut)
Kecuali setelah Nabi (saw) wafat ketika jalan yang benar Islam berubah dan umat menjauh dari para pengganti sejati Nabi (saw), mereka merujuk kepada para sahabat Nabi (saw) mengenai persoalan-persoalan dan masalah keagamaan. Tentu saja, sejumlah sahabat menjadi pelopor dalam perkara ini. Sebagaimana dikatakan Sa’ad, selama kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman ibn Auf, Muaz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’ab, dan Zaid ibn Tsabit, mengeluarkan fatwa-fatwa agama.[33] Para Imam maksumin (a.s.) dan sejumlah Syi’ah diantara sahabat seperti Abdullah ibn al-Abbas dan Abu Sa’id al-Khudri juga dikenal pada umumnya oleh Ahlus Sunnah sebaga para fiqaha dan sangat pakar tentang hukum Islam dan dirujuk oleh mereka.[34]
Tentu saja, dalam periode itu, kaum Syi’ah merujuk kepada para Imam maksumin (a.s.) dan para pemimpin Ahlul Bait (a.s.) dalam masalah-masalah fiqih dan ajaran-ajaran Islam pada umumnya. Maka, fiqih dan ijtihad,[35] sebagaimana digunakan hari ini, tidak ada. Tetapi setelah akhir periode sahabat, atas dasar munculnya berbagai persoalan baru dalam fiqih, sejumlah pengikut (tabi’in) (generasi setelah sahabat) terlibat dalam masalah-masalah fiqih dan istilah faqih (orang yang ahli dalam mbidang fiqih) ditujukan kepada mereka. Di antara mereka ada “tujuh fuqaha” Medinah.[36]
Aliran Fiqih Di Antara Syi’ah
Aliran fiqih di antara kaum Syi’ah berbeda dengan yang diberikan pada waktu ada para Imam maksumin (a.s.) dan ijtihadnya, maka pembahasan di antara Ahlus Sunnah tidak terjadi di antara kaum Syi’ah. Dapat dikatakan secara umum bahwa fiqih Syi’ah selama periode adanya para Imam maksumin (a.s.) sampai akhir okultasi kecil (ghaibah sugra) terjadi pada periode perampungan dan persiapan untuk ijtihad.[37] Dengan adanya para Imam maksumin (a.s.) tetap terbuka pintu ilmu dan dapat dicapainya sumber-sumber tekstual, kebutuhan akan ijtihad yang sebagian besar bergantung pada landasan intelektual, tidak banyak dirasakan kemudian.
Fiqih Syi’ah atas dasar ijtihad pertama didirikan oleh Ibn Abi Aqil Ummani (wafat di paruh pertama abad keempat Hijriah), seorang kontemporer dari al-Kulayni. Setelah beliau, Muhammad ibn Junayd Askari (wafat pertengahan abad keempat Hijriah) melangsungkan jalannya dan memperkuat keilmuannya tentang ijtihad dan deduksi fiqih (istinbath). Mereka dikenal sebagai “Qadimain” (dua senior). Syeikh al-Mufid (wafat 413 H) dan Sayyid Murtadha Alam al-Huda (wafat 436 H) juga mengikuti jalan ijtihad sampai tahap kejayaan melalui orang-orang besar ini. Sebagian dari kitab-kitab tulisan yang dapat dipercaya tentang hadits, At-Tahdib, dan Al-Istibsar, beliau juga berjuang untuk mengumpulkan kitab-kitab tentang fiqih dan ijtihad, penulisan kitab-kitan tentang fiqih seperti ini sebagaimana An-Nihayah, Mahsut dan Khilaf.
Tentu saja, ,bukan berarti bahwa ijtihad dan fiqih tidak pernah dibahas selama adanya Imam maksumin (a.s.). Namun demikian, beberapa orang tidak memiliki ,akses langsung ke para Imam maksumin (a.s.) dikarenakan lokasi dan kondisi tertentu. Maka, dalam hal ini, para Imam maksumin (a.s.) memberikan kepada umat suatu tolok ukur (criteria) sehingga dengan kriteriaitu dapat mengidentifikasi para fuqaha yang dapat mereka rujuk ketika dibutuhkan, berkait dengan ruang lingkup pendahuluan ijtihad dan menjawab telaah umat. Misalnya, dinyatakan dalam Maqbulah-nya Umar ibn Hanzalah bahwa beliau bertanya kepada Imam ash-Shadiq (a.s..) tentang dua orang di antara Syi’ah yang sedang berselisih mengenai persoalan agama seperti pertangunggjawaban dan hutang (dayn) serta warisan (mirath). Imam berkata, “Mereka harus mencari seseorang yang dapat meriwayatkan hadits kami, memberikan pendapat tentang apa yang kami nyatakan halal dan haram, dan mengetahui titah-titah kami (ahkam) karena aku menyatakan seseorang sebagai hakim dan juri di antara kalian.”[38]
Terkadang para Imam maksumin (a.s.) juga menunjuk orang tertentu sebagai rujukan kaum Syi’ah dalam masalah-masalah fiqih dan hukum agama. Misalnya, menurut Syeikh at-Tusi, Ali ibn Musayyab berkata kepada Imam ar-Ridha (a.s.): “Ada jarak yang jauh dan aku tidak dapat datang kepadamu setiapkali aku ingin datang. Padahal aku harus menanyakan tentang fatwa-fatwamu?” Imam menjawab: “(Kamu bisa bertanya) dari Zakariyyah ibn Adam sebagai orang yang aku percayakan dalam (urusan) agama dan dunia.”[39] Demikian juga, Imam al-Baqir (a.s.) memerintahkan Abdan ibn Taghlib untuk duduk di mesjid dan mengeluarkan fatwa-fatwa untuk umat.”[40]
Awal Ijtihad
Selama periode para Imam maksumin (a.s.) mereka mengajarkan murid-murid mereka mengenai prinsip fiqih (usul fiqih) dan aturan-aturannya dalam mendeduksi. Atas dasar ini, kitab-kitab yang dinisbahkan kepada para Imam maksumin (a.s.) telah ditulis oleh para ulama Syi’ah, misalnya, kitab Usul Al ar-Rasul yang ditulis oleh Hasyim Khwansari; Usul Asliyyah ditulis oleh Sayyid Abdullah ibn Muhammad Rida Husain; dan kitab Fusul al-Muhimmah tentang prinsip-prinsip para Imam (a.s.) yang ditulis oleh Muhammad ibn al-Hasan Hurr al-Amili.[41]
Dalam kitab-kitab tentang rijal, beberapa dari sahabat terkemuka para Imam maksumin (a.s.) telah digambarkan sebagai para fuqaha. Misalnya, Najasyi kemudian berkata mengenai Fadl ibn Syazan: “…Dia adalah salah seorang sahabat yang dapat dipercaya di antara fuqaha dan mutakkalimin (para teolog skoalastik).”[42]
Para Fuqaha Di Antara Para Sahabat Imam
Syeikh at-Tusi telah memperkenalkan delapan belas orang di antara para sahabt Imam al-Baqir (a.s.), Imam ash-Shadiq (a.s.), Imam al-Kazim (a.s.), dan Imam ar-Ridha (a.s.), sebagai para sahabat faqih Imam, menggambarkan mereka sebagai “para fuqaha di antara para sahabat Abu Ja’far (a.s.),” “para fuqaha di antara para sahabat Abu Abdullah (a.s.)”, dan “para fuqaha di antara para sahabat Abu Ibrahim dan Abul Hasan ar-Ridha (a.s.).”
Selanjutnya, Syeikh at-Tusi menambahkan bahwa kaum Syi’ah memiliki consensus pendapat mengenai otensitas hadits-hadits mereka dan pengakui kepakaran mereka dalam fiqih di antara para sahabat Imam maksumin (a.s.). Beliau kemudian memperkenalkan mereka ke dalam tiga kategori: Fuqaha di antara para sahabat Imam al-Baqir (a.s.) seperti Zurarah yang dikenal sebagai Kharbud, Barid, Abu Basir, Asadi, Fadil ib Yasir, dan Muhammad ibn Muslim at-Ta’ifi, di antara mereka yang paling terpelajar adalah Zurarah. Keenam orang ini juga dianggap di antara para sahabat Imam ash-Shadiq (a.s.).
Kategori kedua: Para fuqaha di antara para sahabat Imam ash-Shadiq (a.s.) seperti Jamil ibn Darraj, Abdullah ibn Maskan, Abdullah ibn Bakr, Hammad ibn Isa, dan Hammad ibn Utsman.
Kategori ketiga: Para fuqaha di antara para sahabat nImam al-Kazim (a.s.) dan Imam ar-Ridha (a.s.) seperti Yunus ibn Abdurrahman, Safwan ibn Yahya, Biya as-Sabiri Muhammad ibn Abi Umair, Abdullah ibn al-Mughairah, Hasan ibn Mahbub, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nasr.[43] Dalam bab tentang kabar-kabar (akhbar) dari fuqaha Syi’ah dan kitab-kitan yang mereka tulis, Ibn Nadim juga menyebutkan sejumlah fuqaha di antara para sahabat para Imam maksumin dengan mengatakan, “Mereka adalah syeikh-syeikh yang telah meriwayatkan fiqih dari para Imam.” Beliau kemudian menyebutkan mereka, yakni Salib ibn Abul Aswad, Ali ibn Gurrab, Abu Yahya Laith Muradi, Zuraiq ibn Zubair, Abu Salmah ibn Basri, Ismail ibn Ziyad, Abu Ahmad Umar ibn Ar-Radi, Dawud ibn Farqad, Ali ibn Ri’ab, Ali ibn Ibrahim Mualli, Hisyam ibn Salim. Muhammad ibn Hasan al-Attar, Abdul Mukmin ibn Qasim al-Anshari, Saif ibn Umayrah Nakha’i. Ibrahim ibn Umar San’ani, Abdullah ibn Maimun, Qadah, Rabi; ibn Madrak, Umar ibn Abi Ziyad Abzari, Zaikar ibn Yahya Wasiti, Abu Khalid ibn Amru ibn Khalid Wasiti, Harits ibn Abdullah Azadi Sistani, Abdullah Halabi, Zakariyya Mukmin, Tsabit Darari, Mtsna ibn Asad Khayyat, Umar ibn Adhinah, Ammar ibn Mu’awiyyah Dahni Abdi Kufi, Muawiyyah ibn Ammar Dahani, dan Hasan ibn Mahbub Sarad, masing-masing dari mereka memiliki sebuah kitab yang telah disebutkan.[44]
Pelajaran Kedua Puluh Lima: Ringkasan
Totalias amal perbuatan manusia membutuhkan aturan-aturan yang mencakup ilmu fiqih.
Sepeninggal Nabi suci (saw) ketika umat menjauh dari para pengganti yang benar, mereka merujuk kepada para sahabat Nabi (saw).
Dengan berakhirnya periode parasahabat, sejumlah fuqaha muncul di antara Ahlus Sunnah.
Namun kondisi fiqih di antara kaum Syi’ah berbeda karena para maksumin (a.s.) ada dan kebutuhan akan ijtihad tidak sedemikian dirasakan. Fiqih selama periode ini berada pada tahap persiapan untuk ijtihad. Sebenarnya, landasan fiqih berdasarkan pada ijtihad pertama dibahas para masa Ibn Abi Aqil Ummani selama abad keempat Hijriah.
Tentu saja, selama periode para Imam maksumin (a.s.) ijtihad juga dibahas. Berkali-kali para Imam maksumin (a.s.) mengajarkan cara-cara dan metode ijtihad kepada para sahabat mereka. Atas dasar inilah kitab-kitab mengenai prinsp fiqih (usul fiqih) diniasbahkan kepada pribadi-pribadi yang ditulis.
Syeikh at-Tusi telah memperkenalkan delapan belas orang di antara para sahabat Imam al-Baqir, Imam ash-Shadiq, Imam al-Kazim dan Imam ar-Ridha (a.s.) sebagai “para fuqaha di antara para Imam maksumin (a.s.).”
Pelajaran Kedua Puluh Lima: Pertanyaan
  1. Bagaimana kondisi fiqih selama periode sahabat, dan siapa yang dirujuk kaum Syi;ah dalam masalah fiqih?
  2. Bagaimana kondisi fiqih di antara kaum Syi’ah selama adanya para Imam maksumin (a.s.)?
  3. Bagaimana terjadinya awal dari ilmu fiqih terjadi di antara kaum Syi’ah?
  4. Berapa jumlah fuqaha di antara para sahabat para Imam maksumin (a.s.)?
Pelajaran Kedua Puluh Enam
Ilmu Teologi Skoalastik (Ilmu Kalam)
Ilmi teologi skoalastik (ilmu kalam) merupakan ilmu tentang totalitas ajaran-ajaran yang setiap Muslim harus imani. Dengan kata lain, ia merupakan ilmu yang berkaitan dengan pembahasan dan telaah mengenai berbagai prinsip agama (usul ad-din). Perbedaan pertama dalam prinsip agama atas persoalan Imamah segera muncul setelah wafatnya Nabi (saw). Syahristani berkata, “Perbedaan paling penting dalam Islam adalah perbedaan mengenai Imamah, dan tidak ada mengenai prinsip-prinsip lainnya dalam agama sehingga pedang (harus) dihunus.”[45] Nawbakhti juga berkata:
Rasullah wafat pada bulan Rabi;ul Awwal[46] sepuluh tahun setelah hijrah pada usia 63 tahun dan dengan 23 tahun misi kerasulan… pada waktu itu, ummat Islam terbagi ke dalam tiga golongan: Satu golongan bernama Syi’ah yang terdiri dari para pengikut Ali ibn Abi Thalib (a.s.) yang darinya semua pecahan Syi’ah terjadi. Golongan kedua mengklaim kepemimpinan dan kekuasaan adalah milik “anshar” dan kelompok ketiga condong kepada Abu Bakar ibn Abi Qahafah dengan mengatakan: “Nabi suci (sawa) tidak mengkhususkan orang tertentu sebagai pengganti, dan meninggalkan keputusan mengenainya kepada ummat.”[47]
Karenanya, selalu ada pembahasan dan perbedaan antara Syi’ah dan Muslimin lainnya mengenai persoalan Imamah.
Maka, perbedaan mengenai prinsip-prinsip dan asas-asas lainnya dalam urusan agama muncul selama paruh berikutnya abad pertama dan abad terkemudian Hijriah. Sebagaimana Syahristani katakan:
Perbedaan tentang prinsip-prinsip muncul selama harhari terakhir sahabat se[perti Ma’bad Jahanni, Ghilan Damishqi dan Yunus Aswari mengenai qadar, hubungan baik (khayr) dan buruk (sharr) dengan qadar. Wasil ibn Atta’, seorang murid Hasan al-Basari dan Amru ibn Ubaid, telah menambahkan berbagai hal terhadap persoalan qadar.[48]
Di antara sekte-sekte skoalastik (kalam) selama periode ini adalah Wa’idiyyah, Khawarij. Murji’ah, dan Jabariyyah.
Tentu saja, pembahasan ilmu kalam telah mencapai puncaknya ketika Wasil ibn Atta’ berpisah dari kelompok Hasan al-Basri dan pendiri sekte Mu’tazilah.[49] Dengan cara demikian, sebagian besar mazhab Mu’atazilah berdasarkan pada deduksi rasional, bertentangan dengan Ahli Hadits yang diberinama “Hashawiyyah”. Maka hingga masa akhir abad ketiga Hijriah, Abul Hasan al-Asy’ari berpisah dari mazhab Mu’tazilah dan terlibat dalam membela mazhab pemikiran Ahlul Hadits dalam kerangka rasional, dan mazhabnya menjadi terkenal kemudian sebagai mazhab Asy’ari.[50] Setelah itu, Mu’tazilah tidak mengalami kemajuan, dan tetap berhadapan dengan Ahlul Hadits hingga sekarang, teologi skoalastik resmi Ahlus Sunnah adalah skoalastik Asy’ariyyah.
Teologi skoalastik Syi’ah merupakan yang tertua di antara mazhab skoalastik Muslim. Ali (a.s.). para Imam maksumin (a.s.) diakui oleh kaum Syi’ah telah membahas persoalan-persoalan tentang akidah seperti tauhid, qadar dan kehendak bebas, dan Sifat-sifat Allah, dan jenis pembahasan ini telah dicatat dalam Nahjul Balaghah dalam bahasan Imam sendiri.
Pembahasan skoalastik tentang Imamah di antara Syi’ah, biar bagaimana pun, dengan segara dimulaisetelah Nabi (saw) wafat dalam membela hak Amirul Mukminin (a.s.) (atas persoalan Imamah dan Khalifah). Sebagaimana diriwayatkan oleh Syeikh ash-Shaduq, pertama membela hak Ali (a.s.) berkenaan dengan arsitek Saqifah yang terdiri dari dua belas orang di antara para sahabat terkemuka Nabi (saw). Beberapa hari setelah peristiwa Saqifah, mereka memperdebatkan Abu Bakar di Mesjid Nabi dan memojokkannya.[51] Setelah mereka, seseorang seperti Abu Dzar al-Ghiffari juga tidak diam melawan para perampas kekuasaan hak Amirul Mukminin (a.s.) hingga bats tertentu sehingga Utsman ibn al-Affan akhirnya meyakinkan untuk membuangnya ke Syam dan Rabzah.
Abdullah ibn Abbas, sepupuNabi (saw), murid dari Ali (a.s.), mufassir Al-Quran, ulama, dan bangsawan terkemuka Hasyimiyyah, adalah salah seorang pembela mazhab Syi’ah dan selalu memenangkan hak Ali (a.s.) hingga batas tertentu sehingga Umar ibn al-Khattab menekan kesalahan dengannya karena selalu berkata, “Hak kami selalu dirampas.” Ibn al-Abbas menjadi buta di usia tuanya dan suatu hari ia mendengar beberapa orang di suatu tempat tertentu mengucapkan bahasa yang menghina terhadap Amriul Mukminin (a.s.). Beliau berkata kepada puetranya Ali, “Peganglah tanganku dan bawa aku ke sana.” Ketika beliau di dekat mereka, beliau berkata kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang menghinaTuhan?! Mereka menjawab, “Tidak ada.” Beliau bertanya, “Siapa di antara kalian yang menghina Nabi?” “Tidak ada,” jawab mereka. Beliau bertanya, “Siapa di antara kalian yang menghina Ali?” Kali ini mereka menjawab, “Kami semua.” Beliau berkata, “Saksikanlah bahwa aku mendengar Rasulullah (saw) berkata, “Siapa saja yang menghina Ali, menghinaku, dan siapa saja yang menghinaku, menghina Allah. Dan siapa saja yang menghina Allah, akan dijerumuskan ke le kedudukan terbalik oleh Allah di api neraka.” Beliau kemudian kembali dan ketika berjalan, beliau bertanya kepada puteranya, “Bagaimana kamu memandang mereka?” Puteranya menjawab dengan syair berikut:
Mereka melihatmu dengan ‘pandangan pucat’
seperti hewan yang hendak disembilah pisau penyembelih.
Ibi al-Abbas berkata, “Teruskan.” Puteranya berkata:
Mereka terhina dan dipermalukan, mereka melihatmu
seperti makhluk yang tunduk di hadapan majikannya.
Ibn al-Abbas berkata: “Teruskan.” Puteranya menjawab, “Aku tidak bia mengatakan apa-apa lagi.” Ibn al-Abbas kemudian membacakan puisi ini:
Kehidupan mereka merupakan sumber kesengsaraan bagi kematian mereka
sedangkan kematian mereka merupakan sumber kehinaan bagi leluhur mereka.[52]
Di antara para sahabat Amirul Mukminin (a.s.), tokoh-tokoh terkemuka seperti Sa’sa’ah ibn Sawhan, Maytsam at-Tammar, Kumayl ibn Ziyad, Awis Qarni, Salim ibn Qays, Harith Hamdani, dan Asbagh ibn Nabatah, juga terlibat dalam membela hak Ali (a.s.), berebat dengan musuh-musuh Imam dalam hal ini.
Sementara itu, mengenai orang pertama di antara Syi’ah yang telah menulis kitab tentang teologi skoalastik, Ibn Nadim dan Ibn Shahr Asyub, memandang Isma’il ibn Maytsam at-Tammar sebagai penulis pertama tentang teologi skoalastik sebagaimana beliau telah menulis kitab Al-Imamah dan Al-Ishtisqaq atas persoalan ini.[53] Namun demikian, almarhum Sayyid Hasan Sadr memandang Isa ibn Rawdah sebagai penulis Syi’ah pertama mengenai teologi skoalastik.[54] Tentu saja, kitab tertua yang ada mengenai kalam Syi’ah adalah kitab Al-Aydah-nya Fadl ibn Sazzan an-Nayshaburi (wafat 260 H) yang berada di antara para sahabat Imam al-Hadi dan Imam al-Askari (a.s.).
Selama periode Imam ash-Shadiq (a.s.), ilmu ini, seperti ilmu-ilmu lainnya, juga tumbuh subur dan sejumlah muridnya seperti Hisyam ibn Hakam, Hisaym ibn Salim, Mukmin Taq, Fadal ibn Hasan, dan Jabir ibn Yazid Ju’fi, di antara yang lainnya, pakar dalam bidang ini yang menulis banyak kitab dan risalah dalam hal ini. Mereka membahas dan berdebat dengan para ulama mazhab lainnya.
Fadl ibn Syazan an-Nasyaburi berada di antara mutakkalimin (teolog skoalastik) terkemuka Syi’ah. Beliau bertemu Imam ar-Ridha (a.s.). Imam al-Jawad (a.s.) dan Imam al-Hadi (a.s.), dan menulis banyak kitab tentang masalah-masalah kalam, akidah dan mazhab-mazhab pemikiran yang menyimpang.[55]
Hasan ibn Nawbakhti (wafat 310 H), adalah salah seorang mutakkalimin Syi’ah dan di antara kitabnya adalah Firq asy-Syi’ah.[56]
Pelajaran Kedua Puluh Enam: Ringkasan
Teologi skoalastik (kalam) berkaitan dengan pembahasan tentang prinsip-prinsip agama (usul ad-din). Perbedaan pertama dalam agama atas persoalan Imamah yang segera muncul etelah wafatnya Nabi (saw) dan peristiwa Saqifah. Tetapi perbedaan tentang prinsip dan fundamental lainnya berkaitan dengan akhir abad pertama hijriah.
Pembahasan skoalastik (kalam) mencapai titik puncaknya setelah berdirinya mazhab pemikiran Mu’tazilah.
Kalam Syi’ah merupakan mazhab skoalastik tertua karena pembahasan skoalastik tentang Imamah dimulai segera setelah wafatnya Nabi (saw) atas dasar membela hak-hak Ali (a.s.).
Kitab pertama tentang kalam di antara Syi’ah ditulis oleh Isa ibn Rawdah sedangkan kitab tertua yang ada tentang kalam adalah Al-Aydah-nya Fadl ibn Syazan.
Kalam Syi’ah tumbuh subur selama periode Imam ash-Shadiq (a.s.) dan beberapa sahabatnya pakar mengenainya.
Pelajaran Kedua Puluh Enam: Pertanyaan
  1. Perbedaan pertama di antara Muslimin terjadi mengenai prinsip apa?
  2. Kapan dimulai pembahasan skoalastik di antara kaum Syi’ah?
  3. Kitab pertama Syi’ah mengenai kalam ditulis oleh siapa?
Endnote Bab 7:
[1] Abdurrahman ibn Muhammad ibn al-Khaldun, Al-Muqaddimah (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1408 H), hlm.417.
[2] Abu Muhammad Abdul Malik ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, n.d.), jld.1, hlm.344.
[3] Surah al-Imran, 3:7: “Adalah Dia yang telah menurunkan kepadamu Kitab. Sebagia darinya ayat-ayat yang jelas (muhkamat), yang merupakan induk al-Kitab, sedang sebagian lainnya metaforis (mutasyabihat).”
[4] Abul Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad ibn Abbas Najasyi, Fihrisi Asma Musanfa asy-Syi’ah (Rijal Najasyi) (Qum: Islamic Publication Office affiliated to the Society of Teachers of the Islamic Seminary in Qum, 1407 H), hlm.360, Abi Ali al-Fadl ibn al-Hasan Thabarsi, I’lam al-Wara’ bi A’lam al-Huda (Qum: Muassasah Al al-Bayt Li Ihya ath-Thurat, 1417 H), jld.1, hlm.536.
[5] Syeikh at-Tusi, Tahdib al-Ahkam (n.p.: Maktabah ash-Shaduq, 1376 H/1418 H), jld.1, hlm.338, 342.
[6] Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr Lil Taba’ah wa Nasr wa Tawzi, n.d.), jld.1, hlm.36.
[7] Asad haidar, Al-Iam ash-Shadiq wal Mazahib al-Araba’ah, edisi kedua (Beirut: Da al-Kutub al-Arabiyyah, 1390 H), jld.1, hlm.544.
[8] Shahih al-Bukhari, jld.1, hlm.36.
[9] Ibn Shahr Asyub, Mazandarani, Ma’alim al-Ulama (Najaf: Mansyurat al-Matba’ah al-Haydariyyah, 1380 H), hlm.2.
[10] Ibid.
[11] Ibn Nadim, Al-Fihris (Beirut: Dar al-Ma’rifah Ll Taba’ah wa Nashar, n.d.), hlm.307.
[12] Syam ad-Din Muhammad ibn Ahmad Dhahabi, Mizan alI’tidal 9Beirut: Dar al-Fikr Li Taba’ah wa Nasr wa Tawzi, n.d.), jld.1. hlm.4.
[13] Abdul Hamid ibn Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, diteliti oleh Muhammad Abul Fadl Ibrahim (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, 1378 H), jld.1, hlm.18.
[14] Muhammad ibn al-Hasan al-Hurr al-Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, edisi keenam (Tehran: Maktabah al_Islamiyyah, 1403 H), jld.20, hlm.49.
[15] Al-Fihrist, hlm.61.
[16] Bastani, Da’irah al-Ma’arif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, n.d.), jld.1, hlm.788.
[17] Al-Fihrist, hlm.63.
[18] Muhammad ibn Ali Ardebili, al-Gharawi al-Ha’iri, Jami’ ar-Ruwah (Qum: Mansyurat Maktabah Ayatullah al-Uzma al-Mar’asyi an-Najafi, 1403 H), jld.1, hlm.298.
[19] Syahaab ad-Din ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Tahrir Taqrib at-Tahdib, edisi pertama (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417 H/1997), jld.3, hlm.211-212.
[20] Syeikh Zain ad-Din Syahid at-Thani, Dhikra asy-Syi’ah fi Ahkam asy-Syari’ah, lithografi, hlm.4, Ar-Ri’ayah fi Ilm ad-Dirayah, edisi pertama (Qum: Mansyurat Maktabah Ayatullah al-Uzma al-Mar’asyi an-Najafi, 1408 H), hlm.50, 52.
[21] Fihrist Asma Musanfa asy-Syi’ah (Rjal Najasyi), hlm.4-9.
[22] Dua belas orang ini adalah, Bard al-Askar, Thabit ibn Abi Safiyah, Abu Hamzah at-Tumali, Thabit ibn Hormuz, Bassam ibn Abdullah Syarafi, Muhammad ibn Qais Bajli, Hujr ibn Za’idah Hadrami, Zakariyah ibn Abdillah Fiyad, Abu Juham al-Kufi, Husain ibn Thawir, Abdul Mu’min ibn Qasim al-Anshari, Abdul Ghaffar ibn Qasim al-Anshari, dan Aban ibn Taghlib. Lihat Abdurrahman Rabbani Syirazi, Muqaddimah Wasa’il asy-Syi’ah, edisi keenam (Tehran: Maktabah Islamiyyah, 1403 H), hlm.
[23] Fihrist Asma Musanfa asy-Syi’ah (Rijal Najasyi), hlm.10.
[24] Ibid., hlm.11.
[25] Ibid., hlm.115.
[26] A’alim al-Ulama, hlm.30.
[27] Syeikh al-Mufid, Al-Irsyad, terj. Muhammad Baqir Sa’idi Khurasani, edisi kedua (Tehran: Kitabufurushi-ye Islamiyyeh, 1376 H), hlm.525.
[28] Fihrist Asma Musanfa asy-Syi’ah (Rijal Najasyi), hlm.39-40.
[29] Abu Ali al-Fadl ibn al-Hasan Thabarsi, I’lam alWara’ bi A’lam al-Huda (Qum: Muassasah Al al-Bayt Li Ihya ath-Thurat, 1417 H), jld.1, hlm.535.
[30] Ma’alim al-Ulama, hlm.40.
[31] Surah an-Najm: 53: 3-4.
[32] Surah An-Nisa: 4: 59.
[33] Muhammad ibn Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, 1410 H), jld.2, hlm.267.
[34] Ibid., hlm.279, 285.
[35] Darivasi hukum fiqih yang digunakan kepada kondisi-kondisi baru atas dasar prinsip-prinsip umum yang ditarik dari Al-Quran dan Sunnah (penerj.).
[36] Ibn Sa’ad telah berkata: “Orang-orang yang telah dirujuk oleh umat di Medinah dan yang pernyataan-pernyataannya dipercaya oleh umat adalah Sa’id ibn Musayyah, Abu Bakar ibn Abdurrahman, Urwah ibn Zubayr, Abdullah ibn Abdullah ibn Utbah, Qasim ibn Muhammad, Kharijah ibn Zaid, dan Sulaiman ibn Sayyar, Ibid., hlm.23.
[37] Ayatullah Ibrahim Jannati percaya bahwa fiqih Syi’ah dari kedatanagn Islam sampai sekarang telah melalui delapan periode: Periode pertama: Periode kemunculan unsure-unsur ijtihad yang dimulai dari masa hijrah Nabi (saw) ke Medinah sampai 11 Hijriah. Periode kedua: Periode penemuan dan persiapan bai penerapan ijtihad yang dimulai dari wafatnya Nabi (saw) hingga akhir okultasi kecil (ghaibah sugra). Periode ketiga: Periode pemahaman aturan-aturan fundamental dan unsure-unsur umum dari ijtihad yang dimulai dari zaman Ibn Abi Aqil (wafat 329 H) hingga zaman Syeikh at-Tusi (wafat 460 H). Periode keempat: Periode penerapan unsure-unsur umum ijtihad dalam sumber-sumber tekstual yang dimulai dari zaman Syeikh at-Tusi hingga saman Nawadah Aw ibn Idris (wafat 598 H). Periode kelima: Periode perluasan argument mngenai persoalan-persoalan mengenai ijtihad yang dimulai dari zaman Ibn Idris hingga zaman Wahid Behbahani (wafat 1205 H). Periode keenam: Periode evolusioner ijtihad yang dimulai dari zaman Wahid Behbahani sampai zaman Syeikh al-Anshari (wafat 1281 H). Periode ketujuh: Periode pemikiran mendalam dalam masalah-masalah ijtihad yang dimulai dari zaman Syeikh al-Anshari sampai zaman Imam Khomeini. Periode kedelapan: Periode penerapan ijtihad dengan metodologi modern yang dimulai oleh Imam Khomeini; Ayatullah Ibrahim Jannati, Idwar-e Ijtihad, edisi pertama (Tehran: Sazman-e Intisyarat-e Kayhan, 1372 H), dimulai dari bab 2.
[38] Muhamamd ibn al-Hasan al-Hurr al-Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, edisi keenam (Tehran: Maktabah al-Islamiyyah, 1403 H), jld.18, hlm.99, kitab al-qada’, ahwab sifat al-qadi, bab 11, hadits.1.
[39] Syeikh at-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal 9Rijal Kasyi), diteliti oleh Sayyid Mahdi Raja’I (Qum: Muassasah Al al-Bayt ath-Thurat, 1404 H), jld.2, hlm.857.
[40] Abul Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad ibn al-Abbas Najasyi, Fihrist Asma Musanfa asy-Syi’ah (Rijal Najasyi) (Qum: Islamic Publications Office affiliated to the Society of Teachers of the Islamic Seminary in Qum, 1407 H), hlm.10.
[41] Sayyid Hasan Sadr, Ta’sis asy-Syi’ah Li Ulum al-Islam (Tehran: Mansyurat al-A’lami, n.d.), hlm.310.
[42] Fihrist Asma Musanfa asy-Syi’ah 9Rijal Najasyi), hlm.307.
[43] Ikhtiyar Ma’rifah ar-Riijal (Rijal Kasyi), jld.2, hlm.376, 507, 830.
[44] Ibn Nadim, Al-Fihrist (Beirut: Dar al-Ma’rifah Lil Taba’ah wa Nasr, n.d.), hlm.308.
[45] Syahristani, Kitab al-Milal wa Nihal (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1364 H), jld.1, hlm.30.
[46] Yang lebih popular adalah bahwa Rasulullah wafat pada 27 (lunar) bulan Safar.
[47] Nawbakhti, Abi Muhammad al-Hasan ibn Musa, Firq asy-Syi’ah, Najaf: Al-Matba’ah al-Haidariyyah, 1355 H/1916.
[48] Kita al-Milal wa Nihal, hlm.35.
[49] Ibid., hlm.500.
[50] Ibid., hlm.85-86.
[51] Syeikh ash-Shaduq, Al-Khisal (Qum: Mansyrat Jami’ah al-Mudarrisin fi al-Hawzah al-Ilmiyyah, 1403 H), hlm.461-465.
[52] Sayyid Ali Khan as-Sirazi, ad-Darajat ar-Rafi’ah fi Tabaqat asy-Syi’ah (Qum: Mansyurat Maktabah Basyirati, n.d.), hlm.127.
[53] Ibn Nadim, Al-Fihrist (Beirut: Dar al-Ma’rifah Lil Taba’ah wa Nasr, n.d.), hlm.249, Ibn Shahr Ashub Mazandarani, Ma’alim al-Ulama (Najaf: Mansyurat al-A’lami al-Haydariyyah, 1380 H/1961), hlm.62.
[54] Sayyid Hasan Sadr, Ta’sis asy-Syi’ah Li Ulum al-Islam (Tehran: Mansyurat al-A’lami, n.d.), hlm.350.
[55] Abul Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad ibn al-Abbas Najasyi, Fihrist Musanfa asy-Syi’ah (Rijal Najasyi) (Qum: Islamic Publications Office affiliated to the Society of Teachers of the Islamic Seminary in Qum, 1407 H), hlm.306.
[56] Ibid., hlm.63.
BAB DELAPAN
Peranan Para Penyair Syi’ah Dalam Penyebaran Syi’ahisme
Pelajaran Kedua Puluh Tujuh
Para Penyair Syi’ah dan Kedudukan Syair
Selama periode-periode yang lampau, puisi atau syair menduduki kedudukan khusus, dan di samping kesusasteraannya dan dimensi asketiknya, ia telah dipandang sebagai alat propaganda paling penting, memainkan peran media masa sekarang ini seperti masalah-masalah percetakan, radio dan televise. Selama periode jahiliyyah, fakta ini dengan jelas telah lazim di antara orang Arab karena mereka menggunakan manfaatnya yang luas untuk fasih dalam berpidato, lancar dan indah dalam berbicara. Atas dasar ini, salah satu bentuk terpenting keajaiban Al-Quran adalah kefasihannya dan kelancarannya; oleh karenanya, syair menduduki tempat khusus di antara orang Arab. Sebagaimana Ya’qubi katakan dalam hal ini:
Orang-orang Arab memandang syair sama dengan ilmu dan kebijaksanaan. Jika dalam suku tertentu muncul penyair yang bijak dan cerdas, kehadirannya dalam urusan perdagangan tahunan dan seremoni haji dan majelisnya akan memberinya kesempatan untuk membacakan syair dan akan didengar oleh suku-suku dan klan lainnya, dan oleh karenanya sukunya akan menjadi bangga atas penyairnya.
Suku-suku Arab merujuk kepada syair dalam semua karya mereka. Mereka juga akan mengungkapkan permusuhan melalui syair; memberikan contoh melalui syair; memberikan penghargaan satu sama lain melalui syair; menemukan kesalahan satu sama lain melalui syair; dan memuji serta mengungkapkan pujian satu sama lain melaluinya.[1]
Setelah peristiwa Saqifah dan formasi jelas Syi’ahisme, syair berbahasa Arab terpelihara kedudukannya dan kaum Syi’ah menggunakannya dalam mempropagandakan sudut pandang mereka mengenai Imamah dan perwalian (wilayah). Para penyair yang menegakkan wilayah atas kebenaran mazhab Syi’ah yang landasannya adalah hak Amirul Mukminin Ali (a.s.) atas kekhalifahan membacakan puisi-puisi dan telah memberikan peranan penting dalam syi’ar dan propaganda Syi’ahisme. Meskipun condong kepada anti-Syi’ah, Zubair ibn Bakkar telah menyebutkan beberapa syair ini. Di antaranya adalah puisi dari Utbah ibn Abi Lahab yang mengalir sebagai berikut:
Aku tidak membayangkan bahwa mereka akan mengambil masalah kekhalifahan dari Bani Hasyim dan di antara mereka dari Abul Hasan (Ali)!
Bukankah dia orang pertama yang shalat menghadap kiblatmu dan manusia paling terpelajar tentang Al-Quran dan as-Sunnah?
Bukankah dia orang terakhir yang melihat Nabi? Dan bukankah dia yang membantu Jibril memandikan (jasadnya) dan mengkafani Nabi?
Kenapa kamu tidak berpikir tentang perbedaan antara kamu dan Ali?
Di antara manusia, tiada seorang pun yang memiliki kwalitas-kwalitas baiknya.
Apa alasan di balik penyimpangan mereka darinya?
Buatlah dia sadar akan fakta ini sebagaimana kerugian ini adalah kerugian terbesar.[2]
Para Imam maksumin (a.s.) yang juga menyadari akan kegunaan dan pengaruh syair, dengan cara yang memuaskan menghargai dan memuliakan para penyair Syi’ah. Suatu hari, Kumail Asadi datang kepada Imam al-Baqir (a.s.) dan membacakan syair ratapannya (elegy) sampai beliaumencapai bait ini:
Dan orang yang terbunuh di antara mereka di negeri Taf dengan hina
dan sangat buruk ditinggalkan oleh manusia
Imam al-Baqir (a.s.) menangis dan berkata: Wahai Kumail! Andai saja kami memiliki harta, kami akan memberikannya kepadamu. Maka, aku akan katakan kepadamu apa pun yang telah Rasulullah (saw) katakan kepada Hassan ibn Tsabit: “Maka selama engkau membela kami Ahlul Bait, engkau akan diteguhkan oleh Ruhul Kudus.”[3]
Demikian juga, Imam ash-Shadiq (a.s.) berkata: “Wahai majelis Syi’ah! Ajarkanlah syair-syair Abdi[4] kepada anak-anak kalian karena beliau bersama agama Allah.”[5]
Atas dasar ini, para penyair Syi’ah yang berkata benar memperoleh penghargaan tinggi dan dihormati oleh kaum Syi’ah dan para abdi keturunan Nabi (saw). Sebagaimana diriwayatkan Ibn al-Mu’tazil, “Orang-orang Qum mewajibkan atas diri mereka untuk memberikan lima puluh ribu dirham bagi Da’bal Khada’i, seorang penyair Syi’ah.”[6]
Karenanya, para penyair Syi’ah selalu berada di bawah penganiayaan dan gangguan para penguasa Umayyah dan Abbasiyyah. Dikarenakan syair-syair yang mereka bacakan berisi pujian kepada Banu Hasyim dan berbagai penderitaan yang dialami keturunan Nabi (saw), Kumayl ibn Zayd al-Asadi menjadi mangsa kekerasan sikap Umayyah dan dipenjarakan.[7] Karena puisi-puisi yang ia bacakan mengakui Muhammad Nafs az-Zakiyyah,[8] Sadif ibn Maymun[9] mendapat semburan kata-kata amarah dari khalifah Abbasiyyah al-Mansur dan atas perintah khalifah, Abd as-Samad ibn Ali, gubernur Medinah, mengubur Sadif hidup-hidup.[10]
Ibrahim ibn Humrah juga salah seorang penyair Syi’ah berlidah perak yang menggubah syair-syair indah dalam memuji Ahlul Bait (a.s.). Ketika beliau memasuki pengadilan khalifah Abbasiyyah al-Mansur, al-Mansur berbicara kepadanya dengan nada kasar dan berkata: “Setelah ini, jika engkau membacakan syair-syair yang kami tidak terima, aku akan membunuhmu.”[11]
Meskipun demikian, para penyair yang mengorbankan dirinya seperti Du’bal tidak menghiraukan ancaman-ancaman ini. Du’bal berkata, “Selama lima puluh tahun, aku membawa tiang gantungan tetapi aku tidak bisa menemukan siapa saja yang akan menggantungku di dalamnya.”[12]
Para Penyair Syi’ah Sampai Akhir Okultasi Kecil (ghaibah sugra)
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, dari hari-hari pertama sekali setelah peristiwa Saqifah, ada di antara penyair yang berkata benar yang membela mazhab Syi’ahisme melalui lidah-lidah mereka yang fasih. Selama kekuasaan Amirul Mukminin dan Perang Jamal serta Perang Siffin, sebagian dari penyair Iraq yang berada di antara para pengikut Ali (a.s.), mayoritas para sahabat Nabi (saw) seperti Ammar ibn Yasir, Khuzaymah ibn Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Abdullah ibn al-Abbas, dan yang lainnya membacakan syair dalam membela hak Amirul Mukminin (a.s.). Selama periode Umayyah, beberapa penyair juga tetap berhubungan dengan keturunan Nabi (saw). Selama periode Umayyah dibandingkan dengan periode Abbasiyyah, lebuh sedikit penyair yang hadir di arena karena pada periode itu kondisi penindasan sedemikian keras terhadap komunitas Syi’ah. Sebagaimana dikatakan Abul Faraj al-Isfahani, “Para penyair terdahulu periode Umayyah membacakan lebih sedikit syair-syair ratapan atas Imam Husein (a.s.).”[13] Ketika Kumail ibn al-Asadi membacakan syair dalam memuji Banu Hasyim (hasyimiyyat), Abdullah ibn Muawiyyah yang adalah salah seorang keturunan Ja’far ibn Abi Thalib at-Tayyar tertuju kepada Banu Hasyim berkata, “Wahai Banu Hasyim! Pada saat ketika orang-orang menahan diri dari mengungkapkan keutamaan kalian, Kumail ini membacakan syair untuk kalian dan membahayakan nyawanya terhadap Muawiyyah.” Syair itu juga yang menyebabkan kesulitan yang diderita Kumail.[14]
Sebelum dia, Farrazdaq juga dikirim ke penjara oleh Umayyah dikarenakan kata-kata pujiannya kepada Imam as-Sajjad (a.s.).[15]
Selama periode Abbasiyyah, sensitifitas terhadap para penyair yang berkata benar juga kuat, namun sejak komunitas Syi’ah kemudian berkembang pesat, control terhadap mereka berkurang dibandingkan pada periode Umayyah. Ketika lambat laun Abbasiyyah menjadi lemah, kian banyak penyair yang muncul di arena dalam rangka membela mazhab Syi’ahisme. Sebagaimana Dr. Shawki Dayf berkata, “Selama periode Abbasiyyah kedua, kian banyak syair-syair Syi’ah yang dibacakan, dan para penyair Syi’ah selama periode itu terdiri dari dua kelompok: Para penyair Alawi dan non-Alawi.”[16]
Sementara itu, para ulama dan tokoh terkemuka seperti Ibn Shahr Asyub, Ali Khan Syirazi dan almarhum Allamah Amini telah menulis tentang jumlah para penyair Syi’ah. Maka, karya paling komprihensif dalah hal ini adalah karya Sayyid Muhsin Amin yang telah menghitung jumlah para penyair Syi’ah menurut tahun kematian mereka sampai 329 H. yaitu akhir dari okultasi kecil (ghaibah sugra).[17]
Para Penyair Syi’ah Terkemuka
Dalam setiap periode,beberapa penyair terkemuka dan masyhur Syi’ah berada di baris terdepan syair Syi’ah dan meleburkan diri mereka dalam perwalian (wilayah) dan cinta kepada keturunan Nabi (saw). Di antara para penyair ini adalah Kumail ibn Zayd al-Asadi, Kuthhayyir Azzah, Farrazdaq dan Sayyid Humayri selama periode Umayyah. Sebagaimana Ibn Abd Rabbih berkata: “Kumait dan Kuthayyir berada di antara Syi’ah yang setia dan ekstrim.”[18] Putera Kumait, Mustahil berkata, “Pada saat kematiannya, padasaat terakhir dia membuka matanya, Kumait berkata tiga kali, Allahumma Al Muhammad.”[19] Ibn Mu’taz berkata, “Sayyid Humayri mengungkapkan segala kebajikan terkemuka Ali ibn Abi Thalib (a.s.).”[20] Abul Faraj al-Isfahani juga berkata, “Puisi-puisi Sayyid Humayri seringkali memuji Banu Hasyim dan mencela musuh-musuh mereka. Dua ribu tigas ratus ode (syair pujian) dalam memuji Bani Hasyim telah diriwayatkan darinya.”[21]Atas dasar inilah Sayyid Humayri menduduki kedudukan mulia di antara kaum Syi’ah dan ada tempat khusus baginya di Mesjid al-Kufah.[22]
Selama periode Abbasiyyah pertama, dua penyair besar Syi’ah yang berlidah perak dan fasih adalah Mansur Namridan Da’bal al-Khaza’i. Harun ar-Rasyid mengeluarkan perintah eksekusi atas Namri namun beliau tidak ditemukan ketika masih hidup.[23] Dr. Mustafa Shak’ah berkata megenai Da’bal:
Da’bal memuji keluarga Nabi (saw) dengan menggambarkan mereka dalam puisi-puisinya dengan cara sedemikian rupa sehingga seolah mereka adalah bagian dari keluarganya. Beliau mengusik Umayyah dan Abbasiyyah, dan jika mereka mengintimidasi beliau, beliau pun berkata, “Selama lima puluh tahun, aku telah membawa tiang gantungan tetapi aku tidak bisa menemukan siapa pun yang akan menggantungku di dalamnya.”[24]
Mengenai ini Dr. Sawqi Dayf kemudian berkata:
Selama periode Abbasiyyah kedua,[25] puisi-puisi Syi’ah seringkali dibacakan yang di antaranya dibacakan oleh para penyair Alawisementara yang lainnya dibacakan oleh para penyair Syi’ah. Di antara para penyair Alawi terkemuka selama periode itu adalah Muhammad ibn Salib al-Alawi al-Hammani dan Muhammad ibn Ali dari antara keturunan Abbas ibn Ali. Selama pemerintahan Mutawakkil, Muhammad ibn Ali memperoleh kebanggaan dari leluhurnya dan mencerminkan berbagai pandangan Syi’ah dalam puisi-puisinya.[26]
Pelajaran Kedua Puluh Tujuh: Ringkasan
Syair di masa lalu menduduki tempat khusus dan sebagian darinya berdimensi sastra, ia telah dipandang sebagai alat paling penting dalam propaganda.
Setelah peristiwa di Saqifah, kaum Syi’ah menggunakan syair dalam menyebarkan sudut pandang mereka mengenai Imamah, dan para penyair memainkan peranan kunci dalam memperkuat dan mengembangkan Syi’ahisme.
Para Imam maksumin (a.s.) sepenuhnya menyadari manfaat dan pengaruh syair yang menghargai dan mengakui secara memuaskan para penyair Syi’ah. Sementara itu, atas dasar pengaruh kuat dari kata-kata mereka, para penyair Syi’ah selalu berada di bawah penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh para penguasa Umayyah dan Abbasiyyah yang memusuhinya.
Selama kekuasaaan Amirul Mukminin (a.s.) dan Perang Jamal dan Perang Siffin, sebagian dari orang-orang Iraq, mayoritas sahabat Nabi (saw) juga membacakan syair-syair dalam rangka membela hak Ali (a.s.). Atas dasar keadaan tekanan yang keras selama periode Umayyah, walau demikian, jumlah penyair berkurang untuk terus mengungkapkan keterikatan mereka dengan keturunan Nabi (saw).
Selama periode Abbasiyyah pertama, kondisi serupa terjadi, tetapi selama periode kedua, para penyair Syi’ah kian banyak yang hadir di arena sehingga melemahkan kekhalifahan. Karya paling komprehensif atas sejumlah penyair Syi’ah telah dilakukan oleh almarhum Sayid Muhsin Amin.
Pelajaran Kedua Puluh Tujuh: Pertanyaan
  1. Bagaimana kedudukan syair di antara orang-orang Arab?
  2. Setelah peristiwa Saqifah, pelayanan apa yang diberikan para penyair Syi’ah?
  3. Bagaimana perlakuan para Imam maksumin (a.s.) terhadap para penyair Syi’ah?
  4. Bagaimana sikap permusuhan Umayyah dan Abbasiyyah terhadap para penyair Syi’ah?
  5. Ulama mana yang telah mengadakan penghitungan atas sejumlah penyair Syi’ah?
  6. Siapakah penyair Syi’ah terkemuka selama periode Umayyah?
  7. Siapakah para penyair Syi’ah terkemuka selama periode pertama dan kedua Abbasiyyah?
Pelajaran Kedua Puluh Delapan
Masalah-masalah Syair di antara Para Penyair Syi’ah
Para penyair Syi’ah telah membacakan syair di berbagai arena dan dengan tema yang berbeda-beda, yang dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1.Argumentasi terhadap Para Perampas Hak-hak Ahlul Bait (a.s.)
Para penyair dan orator Syi’ah, percaya kepada perwalian (wilayah) Ali (a.s.) dan keturunannya, dengan serta merta mereka melontarkannya setelah peristiwa Saqifah dan penindasan terhadap Ali (a.s.), membela hak Imam dan berusaha untuk menggambarkan perjalanan Nabi (saw) yang ditentukan melalui Imamah dan perwalian melalui bahasa syair. Dalam hal ini, diketahui bahwa Kumait al-Asadi adalah orang pertama yang membuka gerbang argumentasi bagi para penyair Syi’ah. Allamah Amini menisbahkan fakta ini kepada Jahiz dan kemudian melanjutkannya dengan mengatakan:
Lama sebelum janin Kumait terbentuk, sejumlah sahabat besar dan tabi’in seperti Khuzaimah ibn Tsabit Duah al-Syahadatain, Abdullah ibn al-Abbas, Fadl al-Abbas, Ammar ibn Yasir, Abu Dzar al-Ghiffari, Qays ibn Sa’ad al-Anshari, Rabi’ah ibn Harits ibn Abdul Muthalib, Abdullah ibn Abi Sufyan ibn Harits ibn Abdul Muthalib, Zafar ibn Zayd ibn Huzaifah, Najasyi ibn Harits ibn Ka’ab, Jarir ibn Abdullah Bajli, dan Abdullah ibn Janbal telah membela hak Amirul Mukminin (a.s.) melalui puisi-puisi mereka.[27]
Di antara orang-orang pertama yang telah membela Ali (a.s.) adalah Abdullah ibn Abu Sufyan ibn Harits ibn Abdul Muthalib. Syeikh al-Mufid berkata, “Ketika Nabi (saw) wafat, Abdullah ibn Abi Sufyan tidak berada di Medinah. Ketika dia tiba di Medinah, aku melihat bahwa orang-orang telah berbaiat kepada Abu Bakr. Karenanya, dia berdiri di tengah mesjid dan membacakan syair ini:
Aku tidak membayangkan bahwa mereka akan mengambil masalah kekhalifahan dari Bani Hasyim dan di antara mereka dari Abul Hasan (Ali)!
Bukankah dia orang pertama yang shalat menghadap kiblatmu dan manusia paling terpelajar tentang Al-Quran dan as-Sunnah?[28]
Demikian juga, sejumlah penyair Hasyimiyyah lainnya di antara sahabat dan tabi’in juga membacakan puisi mereka dalam rangka membela hak Ali (a.s.). Misalnya, sambil membacakan syair Fadl Abbas berkata:
Sadarilah bahwa sebaik-baik manusia setelah Muhammad dalam pandangan Allah
adalah pengganti al-Mustafa (saw).
Dialah pelaksana shalat yang pertama. Saudara dari Nabi dan
orang pertama yang menyingkirkan tiran-tiran dalam perang Badr.[29]
Mughairah ibn Nawfal ibn Harits ibn Abdul Muthalib tertuju kepada para pendukung Amirul Mukminin (a.s.) selama Perang Siffin secara puitis berkata:
Di antara kalian ada pengganti Rasulullah – panglima
kalian – menantu beliau, dan Kitabullah berserakan.[30]
Fadl al-Abbas ibn Utbah ibn Abi Lahab telah menjadi seorang penyair ternama pada akhir abad pertama H. Ibn Abd Rabbih telah meriwayatkan: “Ketika Walid ibn Abdil Malik melakukan tawaf di Ka’bah, Fadl ibn al-Abbas membacakan puisi ini sementara membawa air dari sumur Zamzam:
Wahai orang yang bertanya dari Ali! Engkau sedang bertanya
dari bulan Banu Hasyim dan orang yang hadir di Perang Badr.
Apakah engkau ragu dalam memuji kebesaran manusia ‘abtahi’
Atau bertanya tentang keutamaannya dalam Islam?[31]
Di antara orang pertama yang membacakan puisi dalam membela hak Amirul Mukminin Ali (a.s.) adalah seorang wanita bernama Ummu Mastah ibn Athathah. Para sejarawan telah meriwayatkan:
Setelah Abu Bakar dan Umar memperlakukan Ali secara kasar untuk memperoleh aiatnya dengan paksa, Ummu Mastah datang ke mesjid, berdiri di depan kuburan Nabi dan membacakan puisi ini:
Sepeninggalmu, sebuah peristiwa dan perselisihan telah terjadi yang tifak akan pernah terjadi jika engkau ada.
Kami kehilanganmu bagai tanah kehilangan air.
Komunitasmu segera tersesat. Jadilah saksi dan jangan abaikan.[32]
Di antara para penyair yang terlibat dalam argumentasi dan membela hak Ali (a.s.) adalah penyair besar Arab dan Abul Aswad Daw’ili yang tinggal di Basrah di dearah suku Banu Qashir yang bersimpati kepada Utsman ibn Affan. Tiada di antara mereka yang dapat mengungguli Abul Aswad dalam berbicara. Maka dari itu, mereka menganiaya dan mengusiknya, melemparinya dengan batu di rumahnya setiap malam. Beliau memberikan jawaban ini kepada mereka:
Orang-orang busuk seperti Banu Qashir berkata, “Dengan berlalunya waktu,
Kenapa kamu tidak melupakan Ali?”
Aku berkata kepada mereka, “Bagaimana mungkin aku meninggalkan amal perbuatan yang diwajibkan atasku?”
Aku begitu mencintai Muhammad, dan Abbas, Hamzah dan pengganti (wasi) (Ali) juga.
Sepupu dan orang terdekat dari keluarga Nabi adalah yang paling dicintai orang bagiku.
Jika mencintai mereka adalah petunjuk, aku telah mencapainya kelak, dan jika cinta ini
adalah kesia-siaan, maka aku tidak kehilangan apa pun.
Tak diragukan, mereka adalah orang-orang penasehat dan orang-orang yang aku cintai
seumur hidupku.
Aku memandang Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Dia telah membimbing mereka
dan menunjuk Nabi dari antara mereka.
Kecuali mereka, tiada seorang pun yang berharga darinya. Semoga pilihan Allah
atas mereka diridhai![33]
Ini berlanjut hingga akhir, pada akhir kekuasaan Umayyah, para penyair besar dan ternama seperti Kumait al-Asadi, Kuthayyir Azzah dan Sayyid Humayri yang meleburkan diri mereka ke dalam perwalian (wilayah), telah membacakan banyak puisi dalam rangka membela hak Ali (a.s.).
2.Konfrontasi Para Penyair Syi’ah Dengan Para Penyair Umayyah dan Abbasiyyah
Masalah kedua mengenai pembacaan syair oleh para penyair Syi’ah adalah syair-syair yang telah mereka gubah untuk menghadapi para penyair Umayyah dan Abbasiyyah. Setelah 35 Hijirah ketika Utsman ibn Affan terbunuh, Bani Umayyah menggunakan senjata syair dalam mencapai niat-niat jahat mereka dan menghasut orang dalam menentang Amirul Mukminin (a.s.). Di antara orang-orang yang telah membacakan syair dalam menentang Imam adalah Walid ibn Uqbah, saudara dari pihak ibu Utsman, yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai fasiq.[34] Dia menuduh Banu Hasyim yang diketuai oleh Ali (a.s.), atas pembunuhan Utsman dengan mengatakan:
Wahai Banu Hasyim! Kembalikan senjata sepupumu dan jangan rampas kekayaannya
Karena kekayaannya tidak halal bagimu.
Wahai Banu Hasyim! Bagaimana bisa harmonis terjalin antara kamu dan kami
Sementara hubungan tali ikatan dan unta-unta Utsman sedang bersama Ali?
Wahai Banu Hasyim! Bagaimana bisa aku menerima persahabatanmu
Sementara tombak Ibn Arwa (Utsman) sedang bersamamu?[35]
Kemudian, Abdullah ibn Abi Sufyan ibn Harits ibn Abdul Muthalib menjawabnya, dengan kata-kata yang puitis:
Engkau mungkin tidak mencabut pedangmu dari kami karena ketika pemiliknya
Ketakutan, dia menjatuhkannya dan hilang
Engkau menyamakan dia dengan Khosroe, dan sesungguhnya dia menyerupainya.
Dan kuda-kudanya serta hartanya pun menyerupainya (Khosroe).
Ali, yang baik, adalah dari kami; kemenangan Khaibar dan Badr
Ketika pasukan musuh datang.
Ali adalah orang yang berwenang setelah Muhammad dan
Sahabat Nabi dalam semua peperangan.
Dialah pengganti Nabi al-Mustafa dan sepupunya. Dialah orang pertama
Yang melaksanakan shalat dan orang yang berperilaku baik.[36]
Walid ibn Uqbah menggubah puisi berikutnya dalam menentang Amirul Mukminin (as.s.) ketika dia menulis sepucuk surat kepada saudaranya, “Umarah ibn Uqbah yang kemudian tinggal di Kufah, menghasutnya untuk memusuhi Imam dengan berkata seperti ini:
Jika terkaanku pernah benar tentang Umarah, dia sedang tidur dan
tidak membalas!
Dia sedang tidur nyenyak sementara para pembunuh Utsman ada di dekatnya
berkemah di antara Khawarnaq (bangunan megah) dan Istana!
Dia sedang berjalan bersama pikiran yang damai dan tubuh bersuara, seolah dia tidak
mendengar pembunuhan Abu Amru (Utsman).
Sadarilah bahwa sebaik-baiknya manusia setelah tiga orang adalah
orang yang telah dibunuh oleh ‘tajibi’ yang datang dari Mesir.[37]
Kemudian Fadl ibn al-Abbas ibn Abdul Muthalib menjawabnya dengan membacakan syair berikut:
Apakah engkau membalas seseorang yang tidak punya hubungan denganmu?
Ibn Dhakran Safuri adalah satu hal, sedangkan membalas adalah hal lain.
Engkau masih bisa mengingat bahwa engkau sedang menderita kepapaan, dia
melupakan bapak keledainya seraya membanggakan ibu dari kudanya.
Sadarilah bahwa sebaik-baik manusia setelah Nabi dalam pandangan Allah
adalah pengganti Nabi al-Mustafa.
Dialah orang pertama yang melaksanakan shalat, saudara dari Nabi,
dan orang pertama yang menyingkirkan kafilah penindas di (Perang) Badr.[38]
Suatu saat di waktu Perang Jamal pada saat para pendukung Umayyah dan mereka yang dinamakan ‘Utsmani’ sedang membacakan ayat-ayat rajaz,[39] dalam mengokohkan gerakan mereka dan menghasut para pendukung mereka, para sahabat Amirul Mukminin (a.s.) juga menjawab mereka. Di antara orang-orang ini adalah Ammar ibn Yasir dan Malik al-Asytar. Misalnya, beberapa anggota suku Banu Dabbah yang telah mengelilingi unta Aisyah mengambil tali kekang unta dan hendak dibunuh. Orang terakhir mengambil kekang unta dan berkata:
Kami adalah banu Dabbah, para pendukung (pasukan) Jamal
Dan membalas (kematian) Utsman dengan tombak kami.
Kembalikan syeikh kami dengan aman.[40]
Malik al-Asytar bersegera menghadapinya dan berkata:
Bagaimana bisa kami mengembalikan Na’thal (Utsman) sementara dia telah dikafani,
Pedang telah menembus tubuhnya, dan mati!!
Kemudian Malik al-Asytar menebasnya dan membunuhnya.[41]
Selama perang Siffin, dikarenakan perpanjangan peperangan, selain pertempuran dan konfrontasi militer, ada juga konfrontasi dalam syair dengan pengertian yang lebih luas antara dua pasukan yang bertikai. Nasr ibn Muzahim telah menyebutkan para penyair besar seperti Malik al-Asytar, Khuzaimah ibn Tsabit, Fadl ibn al-Abbas, Qays ibn Sa’ad Uday ibn Hatam, Amru ibn Hamq al-Khaza’I, Hujur ibn Uday al-Kindi, Nu’man ibn Ajlan al-Anshari, Muhammad ibn Abi Sabrah Quraisy, Mughairah ibn Harits ibn Abdul Muthalib, Jundab ibn Zubair, Abu Zubayd at-Ta’I, Ahmar (seorang penyair Irak), Abu Habbah ibn Ghuzayyah al-Anshari, dan yang lainnya yang telah membacakan syair dalam menghadapi para penyair dari Syam. Amirul Mukminin (a.s.) sendiri memberikan jawaban kepada orang-orang seperti Am ibn al-As.
Ibn Abil Hadid kemudian berkata: “Najasyi adalah salah seorang penyair Irak dalam (Perang) Siffin yang diperintahkan Ali untuk menghadapi para penyair dari Syam seperti Ka’ab ibn Ju’ayl dan lain-lain.”[42]
Pelajaran Kedua Puluh Delapan: Ringkasan
Para penyair Syi’ah telah membacakan syair di berbagai arena:
  1. Argumentasi: Setelah peristiwa Saqifah, para penyair Syi’ah yang berkata benar berkata dalam membela hak-hak Amirul Mukminin (a.s.), di antaranya adalah para orator terkemuka dari Banu Hasyim seperti Abdullah ibn Abi Sufyan ibn Harits ibn Abdul Muthalib.
  2. Mengkonfrontir para penyair Umayyah dan Abbasiyyah: Setelah pembunuhan Utsman pada 35 H, kaum Umayyah membacakan syair menentang Amirul Mukminin (a.s.). Ddari sini kemudian, para penyair Syi’ah menjawabnya melalui syair.
Misalnya, selama perang Siffin ada juga perang syair antara dua golongan yang bertikai.
Pelajaran Kedua Puluh Delapan: Pertanyaan
  1. Apa yang dikatakan Allamah Amini tentang argumentasi para penyair Syi’ah?
  2. Sejak kapan dimulai konfrontasi para penyair Syi’ah dengan para penyair yang bergabung dengan musuh-musuh Syi’ah?
Pelajaran Kedua Puluh Sembilan
3.Pembacaan Elegi (syair ratapan)
Arena penting lainnya tentang syair yang telah dibacakan para penyair Syi’ah dan pidato-pidato yang disampaikan secara ekstensif, adalah peringatan tragedi yang dialami para keturunan Nabi (saw) serta pembacaan elegi bagi para syuhada di antara mereka. Arena ini berlangsung setelah kesyahidan Imam Husain (a.s.) pada 61 H. Dalam hal ini, ada dua bagian yang dapat dibahas dan dicermati:
a.Elegi-elegi bagi Imam Husain (a.s.) dan Para Syuhada lainnya di Karbala
Dari permulaan Islam, tidak ada tragedi yang lebih serius dan menyedihkan dibandingkan dengan peristiwa Karbala yang terjadi dalam sejarah Islam, dan setelah ketergelinciran selama seribu empat ratus tahun (perjalanan sejarah), peristiwa ini masih memiliki pengaruh kuat di hati para abdi keturunan Nabi (a.s.). Sejak saat itu, siapa saja yang memiliki kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi (saw) dan berbakat dalam menggubah syair, telah membacakan syair mereka dalam hal ini.
Syair-syair kepeloporan yang menyinggung peristiwa Karbala telah dibacakan mulai dari akhir abad pertama Hijriah dan permulaan dari tumbangnya Umayyah. Sebagaimana Abul Faraj al-Isfahani katakan:
Mayoritas para penyair terkemudian telah membacakan syair dalam rangka berkabung bagi Imam Husain (a.s.) yang tentangnya kita tidak cenderung untuk mengeluh karena kita sangat suka dengan pidato yang panjang. Maka, atas dasar kerasnya penganiayaan lingkungan Umayyah, para penyair terdahulu selama periode Umayyah sedikit yang membacakan elegy tentang kesengsaraan Imam Husain (a.s.).[43]
Misalnya, Ubaydullah ibn Hurr diburu oleh Ubaydullah ibn Ziyad karena membacakan elegy bagi Imam Husain (a.s.) dan terpaksa melarikan diri.[44] Tentu saja, kebanyakan syair-syair yang digubah selama abad pertama Hijriah tentang Kesengsaraan Sesepuh Para Syuhada (a.s.) kendati mereka sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kwantitas syair yang dibacakan selama abad kedua Hijriah.
Kaum wanita dari Bani Hasyim yang kehilangan harapan ketika para perintis membacakan elegi dalam meratapi orang-orang yang paling mereka cintai. Ketika kabar tentang kesyahidan Imam Husain (a.s.) mencapai Medinah, Zaynab ibn Aqil keluar rumah meratap di tengah wanita-wanita Banu Hasyim seraya membacakan puisi berikut:
Apa yang hendak kalian katakan kepada Nabi ketika beliau bertanya kepada kalian,
“Wahai orang-orang terkemudian di antara umat! Apa yang telah kalian lakukan?”
“(Apa yang telah kalian lakukan) dengan keturunanku dan Keluargaku sepeninggalku?
Sebagian dari mereka dijadikan tawanan sedangkan sebagian yang lain
bersimbah darah.” “Jika bukan ganjaranku bagi peringatanku kepada kalian
sehingga kalian melakukan seburuk-buruknya perlakuan
terhadap keluarga yang paling dekat.[45]
Di antara elegy yang paling menyayat hati yang pernah dibacakan bagi para syuhada Karbala adalah elegi-elegi Ummu al-Banin, ibu Hazrat Abu Fadl. Abul Faraj al-Isfahani telah meriwayatkan bahwa Ummu al-Banin sedang memegang tangan Ubaydullah, putera Hazrat al-Abbas dan pergi ke Pekuburan Baqi sementara orang-orang Medinah berkumpul di sekelilingnya dan menangis karena eleginya. Bahkan seorang musuh seperti Marwan ibn Hakam pun menangis dengan eleginya.[46] Ummu al-Banin kemudian berkata:
Hasratku (dengan mata kepalaku) melihat bagaimana Abbas
menyerang segolongan orang-orang keji!
Di belakangnya ada putera-putera Haydar (Imam Ali) berdiri seperti singa.
Aku telah diberitahu bahwa tangan-tangannya telah dipenggal
Sedangkan kepalanya telah ditebas.
Sengsaralah puteraku yang kepalanya telah menerima tebasan yang keras!
Jika pedangmu ada di tanganmu, tiada seorangpun yang berani dekat kepadamu.[47]
Ketika rombongan tawanan Karbala bergerak menuju Medinah dsan tiba di dekat kota, Imam Zainal Abidin (a.s.) mengutus Basyir ibn Jadham ke Medinah lebih dulu, dan Basyir memberi kabar kepada penduduk tentang kedatangan mereka di kota melalui puisi:
Wahai penduduk Yatsrib! Tiada lagi peluang bagi kalian untuk tinggal di sini.
Husain terbunuh; deraikanlah airmata kalian.
Jenazahnya telah bersimbah darah di Karbala
Dan kepalanya ditaruh di ujung tombak.[48]
Khalid ibn Ma’dan, Uqbah ibn Amru, Abu Ramih al-Khaza’I, Sulaiman ibn Quttah al-Adawi, Auf ibn Abdullah Ahmar al-Azdi dan Ubaydullah ibn Hurr berada di antara paa pembaca elegy abad pertama Hijriah yang meriwayatkan bahwa ketika Khalid ibn Ma’dan melihat kepala Imam di ujung tombang di Syam, beliau membacakan puisi ini:
Wahai putera dari puteri Muhammad!
Mereka telah membuat kepalamu bersimbah darah.
Wahai putera dari puteri Muhammad!
Dengan terang-terangan membunuhmu,
seolah mereka hendak membalas dendam kepada Nabi.
Mereka membunuhmu yang sedang dahaga dan mereka tidak melihat
Tafsir dan hukum Al-Quran tentang pembunuhan.
Dan mereka telah membunuhmu, mereka berucap, “Allahu Akbar.”[49]
Sambil berucap “Allahu Akbar, mereka juga membunuh sahabat-sahabatmu!
Di antara para penyair pertama yang membacakan syair dalam meratapi Imam Husain (a.s.) adalah Ubaydullah ibn Hurr sementara syair lirisnya dimulai dengan bait berikut:
Ketua pengkhianat, putera khianat bertanya (kepadaku): “Apakah kamu
Tidak memerangi sang syahid, putera Fatimah?
Ketika IbnZiyad mendengar syair ini, ia memburu Ubaydullah yang dengan segera menunggang kudanya dan melarikan diri menyelamatkan nyawanya.[50]
Sulaiman ibn Quttah al-Adawi menjadi salah seorang pembaca elegi ternama bagi kesengsaraan Imam Husain (a.s.). Puisi berikut dinisbahkan kepadanya:
Aku berkelana mengelilingi rumah keturunan Nabi
Dan melihat mereka tidak sepenuhnya mendiami seperti sediakala.
Mereka adalah Rumah harapan dan setelah itu menjadi rumah kesengsaraan –
Kuburan dan kesengsaraan sesungguhnya.
Tak bisakah kalian melihat bahwa dikarenakan hilangnya Husain
Matahari tak bersemangat dan kota-kota pun pilu?!
Tidak bisakah kalian melihat bahwa disebabkan hilangnya Husain
Langit menangis dan meratap
Dan bintang-gemintangnya berkeluh kesah dan memberi salam?[51]
Tetapi setelah abad pertama Hijriah ketika penindasan para penguasa Umayyah berkurang karena pergumulan mereka dengan gerakan Abbasiyyah dan berbagai pemberontakan lainnya serta akhirnya dikalahkan oleh Abbasiyyah, para Imam maksumin (a.s.) terus menghidupkan elegi-elegi bagi Imam Husain (a.s.) dan para penyair besar seperti Kumat al-Asadi, Sayyid Humayri, Sufyan ibn Mus’ab Abdi, Mansur Namri, dan Da’bal al-Khaza’I membacakan syair bagi kesengsaraan Imam Husain (a.s.). Sebagaimana Sufyan ibn Mus’an Abdi meriwayatkan:
Aku mengunjungi Imam ash-Shadiq (a.s.) dan Imam berkata kepada hadirinnya, “Beritahu pada Ummu Farwah agar datang dan mendengarkan apa yang terjadi dengan cucu (besar)nya.” Ummu Farwah datang dan duduk di balik tirai. Kemudian Imam ash-Shadiq (a.s.) berkata kepadaku, “Kamu bacakanlah.” Aku pun mulai membacakan sebuah elegi yang dimulai dengan bait ini:
Wahai Ummu Farwah! Sumbangkanlah airmata kepada matamu.
Saat itu juga, Ummu Farwah beserta wanita lainnya berderaian airmata.[52]
Abul Faraj al-Isfahani juga meriwayatkan dari Isma’il at-Tamimi:
Aku bersama Imam ash-Shadiq (a.s.) ketika Sayyid Humayri memohon izin dan masuk. Imam meminta para anggota keluarganya untuk duduk di balik tirai. Kemdian beliau meminta Sayyid Humayri untuk membacakan syair untuk meratapi Imam Husain (a.s.). Sayyid membacakan puisi ini:
Kalian melewati makam Husain dan berkata kepada tulang-belulangnya yang suci:
“Wahai tulang belulang! Selalulah bersuara dan melahap.”
Ketika kalian melewati makamnya, buatlah perhentian yang lama seperti unta.
Biarkan para Imam suci menangis untuk Husain yang suci.
Tangisanmu harus seperti tangisan dan ratapan seorang ibu dari puteranya yang mati.
Perawi berkata, “Aku melihat airmata Imam mengalir di pipinya dan jerit-tangis pun merajalela di dalam rumah.”[53]
Terkadang juga yang lainnya seperti Fadil Rasan dan Abu Harun Makfuf membacakan puisi Sayyid Humayri dalam meratapi Imam Husain (a.s.) di dekat Imam ash-Shadiq (a.s.) dan membuat Imam menangis. Sebagaimana dilaporkan oleh Ibn Qawiawiyyah, Imam ash-Shadiq (a.s.) meminta kepada salah seorang sahabatnya bernama Abu Ammar untuk membacakan kepadanya puisi-puisi Abdi dalam meratapi Imam Husain (a.s.).[54]
Penyair seperti Da’bal al-Khaza’I yang membacakan banyak puisi dalam meratapi Imam Husain (a.s.) juga terlibat dalam pembacaan elegi di dekat Imam ar-Ridha (a.s.) bagi datuknya.[55]
b.Elegi Bagi Para Syuhada Lainnya Di antara Keturunan Nabi (saw)
Karena secara mendalam penyair Syi’ah tersentuh saat menyaksikan panorama kesyahidan Muslim ibn Aqil dan Hani ibn Urwah, beliau membacakan puisi ini dan puisi ini kemudian dibacakan banyak orang:
Jika kalian tidak tahu apa yang dimaksud dengan kematian,
lihatlah Ibn Aqil dan Hani di pasar.
Wajahnya (Ibn Aqil) yang heroic tercacah oleh pedang
Sedangkan yang lainnya (Hani) dijatuhkan dari atas istana dan terbunuh.
Atas perintah emir, ini terjadi pada mereka di hari ini
Dan kabar tentang mereka disiarkan oleh para musafir.
Kalian dapat melihat sesosok mayat yang warnanya telah berubah oleh kematian
Dan setiap bagiannya telah berlumuran darah.
Akankah nama-nama Mahayij selamat? Inilah sementara suku Madhhaj
Yang segera dihukum.[56]
Seemntara membacakan elegi yang panjang dalam meratapi para syuhada Tawwabun, penyair tertentu bernama A’sha Hamdan kemudian berkata:
Dari arah itu, para serdadu berhamburan menuju Ibn Ziyad.
Wahai yang terbaik di antara tentara irak! Kalian mengisi setiap selokan bagi airhujan.[57]
Para penyair Syi’ah juga membacakan syair dalam berkabung bagi Zaid ibn Ali, puteranya Yahya, dan keturunan Imam hasan (a.s.) yang melancarkan kebangkitan selama periode Abbasiyyah dan mencapai kesyahidan.
Para penyair seperti Ali ibn Abdulah al-Khawafi, Mashi’ Madani, Ashja’ ibn Amru Salmi, dan Abu Thalib al-Qummi juga membacakan syair dalam berkabung bagi Imam ar-Ridha (a.s.).[58]
Tetapi setelah Imam Husain (a.s.), dinatara para keturunan Abu Thalib yang terbunuh, sejumlah besar elegi dibacakan dalam berkabung bagi Yahya ibn Umar ath-Thalibi. Beliau melancarkan kebangkitan pada 248 H dan dibunuh oleh Muhammad ibn Abdullah ibn Thahir.[59] Mas’udi berkata, “Orang-orang dari dekat dan jauh membacakan elegi baginya sementara yang muda dan tua menangis baginya.”[60]
Avul Faraj al-Isfahani berkata, “Dari semua keturunan Abu Thalib yang terbunuh selama periode Abbasiyyahm aku tidak menemukan siapa pun yang tentang puisi-puisi dan eleginya dibacakan sebanyak yang dilakukan terhadap Yahya ibn Umar ath-Thalibi.”[61]
4.Kebajikan dan Berkah Para Keturunan Nabi (saw)
Sejak abad kedua Hijriah, para penyair Syi’ah banyak membacakan syair tentang kebajikan dan berkah Amirul Mukminin (a.s.), dan dengan cara demikian, mereka terlibat dalam pengendalian informasi dan penyebaran mazhab Syi’ahisme yang landasan dasarnya adalah suksesi dan Imamah Ali (a.s.). Para penyair besar seperti Kumait l-Asadi, Humayri, Sufyan ibn Mus’ab Abdi, dan Da’bal al-Khaza’I adalah para pelopor dalam urusan ini.
Sayyid Humayri menghabiskan waktunya dalam mengungkapkan berkah Amirul Mukminin dan beliau adalah salah seorang pengajar terkemuka dari mazhab Ahlul Bait (a.s.) di zamannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abul Faraj al-Isfahani, beliau membacakan dua ribu tiga ratus untaian dalam memuji Banu Hasyim, sementara tidak ada dari puisi-puisinya yang tanpa memuji Banu Hasyim dan mencela musuh-musuh mereka.Abul Faraj al-Isfahani juga berkata bahwa di Kufah, Sayyid Humayri pergi ke rumah Sulaiman ibn Mihran yang dikenal sebagai A’mash, darinya beliau belajar dan menulis tentang kebajikan Amirul Mukminin Ali (a.s.), dan setelah itu, beliau mengungkapkan mereka dalam syairnya.
Ibn Mu’taz berkata,
Sayyid Humayri telah memindahkan ke dalam syair segala kebajikan Ali ibn Abi Thalib (a.s.) dan beliau dengan mudah menjadi lelah duduk di majelis dimana keturunan Muhammad tidak tidak suka disebut-sebut. Misalnya, seseorang telah meriwayatkan: “Kami sedang duduk di sebelah Amru ibn ‘Ala ketika Sayyid Humayri datang. Dan kami kemudian asyik berbicara tentang urusan umum mseperti pertanian dan pohon korma. Sayyid berdiri saat beliau hendak berdiri. Ketika ditanya alasannya kenapa beliau ingin pergi, beliau memberikan jawaban ini kepada kami:
Aku tidak suka duduk di majelis yang di dalamnya
tidak pernah menyebut-nyebut keturunan Muhammad.
Majelis mana pun yang di dalamnya tidak menyebut-nyebut Ahmad,
pengganti dan keturunannya adalah majelis kesia-siaan.
Siapa saja yang tidak menyebut-nyebut mereka dalam majelisnya
Akan dtinggalkan sehingga majelis itu tiada memperoleh manfaat apa pun.[62]
Demikian juga, ,suatu hari salah seorang sesepuh Kufah memberi seekor kuda dan hadiah kepada Sayyid Humayri. Beliau menaiki kuda itu dan mengambil hadiahnya, dan pergi ke tempat bekerja di Kufah. Kemudian beliau berkata kepada kaum Syi’ah: “Wahai orang-orang Kufah! Jka siapa saja dapat menyebut segala kebajikan Ali ibn Abi Thalib yang belum pernah diungkapkan dalam syair, aku akan memberikan kuda dan hadiah ini kepadanya.”
Orang-orang dari segala arah pun menyebut-nyebut segala keutamaan Amirul Mukminin (a.s.) dan pada gilirannya beliau membacakan puisi yang beliau gubah tentangnya. Akhirnya, seseorang berkata:
Suatu hari, Ali (a.s.) ingin memakai sepatunya dan keluar. Beliau sudah memakai satu sepatunya ketika datang seekor elang, mengambil pasangan sepatu satunya dan membawanya terbang. Namun tiba-tiba sepatu itu terjatuh ketika seekor ular keluar dari sepatu dan masuk ke dalam lubang tanah. Ali )a.s.) kemudian memakai pasangan sepatunya itu.
Pada saat itu juga Sayyid Humayri berpikir sebentar dan setelah itu berkata, “Sejauh ini aku tidak menggubah puisi tentangnya.” Karenanya, beliau memberikan kuda dan hadiahnya kepada orang itu, dan membacakan puisi berikut:
Sadarilah wahai manusia bahwa ada keajaiban dalam sepatu Abul Hasan.
Salah satu jin yang memusuhi di antara yang lalai dan tersesat dari jalan
Bersembunyi dalam sepatu Ali untuk menggigit dengan taringnya –
Agar bisa menggigit orang yang mengendarai hewan berkaki empat –
Amirul Mukminin, Abu Turab.
Pada saat itu, salah satu dari elang-elang di langit atau burung yang tampak
Seperti elang turun ke atas kepalanya.
Dengan cara demikian, jin yang berbisa dan jahat pun tercegah.[63]
Sufyan ibn Mus’ab Abdi berada di antara penyair yang telah menghabiskan waktunya dalam menyebut-nyebut keutamaan Amirul Mukminin (a.s.). Allamah Amini kemudian berkata, “Aku tidak pernah menemukan sebuah puisi pun darinya yang memuji orang lain selain daripada keturunan Muhammad (saw).”
Beliau mempelajari hadits-hadits tentang berkah dan kebajikan keturunan Nabi (saw) dari Imam ash-Shadiq (a.s.) dan dengan segera menggubah puisi-puisi yang ada kaitannya.[64] Atas dasar ini, Ibn Shahr Asyub meriwayatkan bahwa Imam ash-Shadiq (a.s.) berkata, “Wahai majelis Syi’ah! Ajarkanlah syair Abdi kepada anak-anak kalian karena beliau bersama agama Allah.”
5.Keburukan Musuh-musuh Keturunan Nabi (saw)
Salah satu cara memerangi musuh adalah perang propaganda, yang amat merajalela saat ini melalui media masa. Di masa lalu, keburukan musuh-musuh dalam konteks syair juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat dan penting.
Dalam membela mazhab Syi’ahisme, para penyair juga melibatkan keburukan musuh-musuh Ahlul Bait (a.s.). Pada kesempatan apa pun, mereka dapat menghancurkan musuh dan mematahkan tulang punggungnya melalui beberapa untai bait. Orang-orang seperti Muawiyah, Walid ibn Uqbah dan Amr ibn Al-As yang adalah musuh-musuh Allah dan Rasulullah (saw) telah direndahkan berkali-kali oleh para penyair Banu Hasyim, dan para pendukung serta para penyair Amirul Mukminin (a.s.). Tanpa menyingkapkan namanya dan setelah itu diburu oleh kaum Umayyah, penyair tertentu telah menyejukkan hati kaum Syi’ah dengan cara merendahkan Yazid setelah kematiannya dengan mengatakan:
Wahai kuburan yang di dalamnya ada “hawarin”!
Yang terburuk dari semua manusia ada di dadamu.[65]
Salah satu satire (syair sindirian) terbaik tentang Umayyah adalah syair yang dibacakan oleh Kumait ibn Zayd al-Asadi tentang mereka:
Katakan kepada Umayyah dimana pun mereka berada,
Jika kalian takut akan pedang dan momok.
Semoga Allah menjadikan lapar orang yang mengenyangkanmu
Dan mengenyangkan orang yang tetap lapar karena tiranimu.
Dengan kebijakan Hasyimi yang menyenangkan,
Akan mata air kehidupan bagi umat.[66]
Dr.Shawqi Dayf berkata: Kaum Syi’ah di Irak, Khurasan dan Hijaz saling berkirim syair-syair Kumayt satu sama lain. Atas dasar ini, Umayyah dan gubernur mereka di Irak, Yusuf ibn Umar ats-Tsaqafi, merasa sangat terancam oleh Kumayt.”[67]
Abul Faraj al-Isfahani kemudian berkata mengenai Kumayt:
Kumayt al-Asadi, penyair besar Syi;ah selama periode penindasan Umayyah yang tidak akan ragu-ragu untuk menjawab dalam bentuk apa pun dengan syair-syair yang memusuhi Ali (a.s.), mereka bergabung dengan Umayyah dan membecakan syair menentang keturunan Nabi (saw0. Misalnya, seorang penyair tertentu bernama Hakim ibn al-Abbas al-Kalbi yang dianggap sebagai salah seorang Qahtani telah merendahkan Ali (a.s.). Kumayt dengan serius menyerangnya dan dalam puisi-puisinya beliau menempatkan Hakim berhadapan dengan tokoh-tokoh Quraisy dan Adnani. Dengan cara ini Kumayt merendahkan dan mengalahkannya.[68]
Terkadang juga, tanpa mengungkapkan nama-nama mereka, para penyair menjawab para penyair istana, merendahkan dan memojokkan mereka. Misalnya, Sa’id ibn Hamid yang merupakan salah seorang musuh Amirul Mukminin (a.s.) dan keturunan Nabi (saw) selama kekuasaan Musta’in dihinakan oleh para penyair Syi’ah pada berbagai kesempatan.
Pada periode yang sama, penyair tertentu bernama Ali ibn Jahm yang menjadi salah seorang Nasibi dan musuh Amirul Mukminin (a.s.) telah direndahkan oleh penyair Syi’ah, Ali ibn Muhammad ibn Ja’far al-Alawi. Ia menolak silsilah Ali ibn Jahm, memandangnya berhubungan dengan Samah ibn Lawi.
Dalam merendahkan Ibn Ziyad, Abul Aswad Da’uli berkata:
Keluar dari derita dan kesedihan aku berkata bahwa semoga Allah
Menghancurkan kekuasaan keturunan Ziyad!
Dan membuat mereka musnah karena kebohongan dan pengkhianatan mereka
Sebagaimana kaum Tsamud dan Ad yang telah tumbang![69]
Sayyid Humayri menghina salah seorang hakim Abbasiyyah yang telah menggugurkan kesaksiannya atas dasar keyakinannya kepada Syi’ahisme dan beliau berkata:
Ayahmu mencuri domba Nabi sedangkan engkau cucu dari Abu Jahdar!
Dan meskipun kelakuanmu (begitu), kami akan meninggalkan umat
tersesat dan menyimpang.[70]
Abu Nu’amah Daqiqi al-Kufi, salah seorang penair selama abad ketiga Hijirah, telah merendahkan tokoh-tokoh penguasa Abbasiyyah, menjuluki mereka sebagai komisi yang berkelakuan buruk sampai masa beliau dibunuh oleh panglima Abbasiyyah keturunan Turki bernama Mufallah.[71]
Pelajaran Kedua Puluh Sembilan: Ringkasan
  1. Salah satu area terpenting dimana para penyair Syi’ah membacakan syair adalah pembacaan elegi bagipara syuhada keturunan Nabi (saw). Area ini dapat dibagi ke dalam dua bagian:
a.Elegi bagi Imam Husain (a.s.)
Orang pertama yang membacakan syair dalam berkabung bagi para syuhada Karbala adalah para wanita yang telah kehilanga harapan dari Banu Hasyim.
Di antara mereka adalah Ummu al-Banin, ibu dari Hazrat Abul Fadl. Ia membacakan elegi-elegi bagi putera-puteranya di Pemakaman Baqi sementara orang-orang Medinah berkumpul mengelilinginya dan menangis. Dikarenakan kebijakan Umayyah yang menindas, para pembaca elegi atas para syuhada Karbala berkurang jumlahnya selama periode Umayyah dibandingkan pada periode Abbasiyyah kecuali selama masa Imam ash-Shadiq (a.s.) ketika kondisi mulai kondusif karena Imam menghidupkan tradisi membaca elegi bagi Imam Husain (a.s.).
b.Elegi bagi Para Syuhada di antara keturunan Nabi (saw).
Para keturunan Nabi (saw) ditindas dan selalu dibunuh oleh para tiran. Para penyair membacakan puisi-puisi dalam meratapi mereka. Di samping para syuhada Karbala, di antara keturunan Abu Thalib, syair paling banyak dibacakan dalam berkabung bagi Yahya ibn Umar ath-Thalibi.
  1. Berkah dan kebajikan keturunan Nabi (saw).
Para penyair seperti Farazdaq, Kumayt, Sayyid Humayri, dan Da’bal al-Khaza’i membacakan syair untuk mengungkapkan kebajikan keturunan Nabi (saw).
  1. Merendahkan musuh-musuh keturunan Nabi (saw).
Para penyair Syi’ah terlibat dalam merendahkan musuh-musuh Ahlul Bait (a.s.) dalam membela mazhab Syi’ahisme.
Pelajaran Kedua Puluh Sembilan: Pertanyaan
  1. Kapan pembacaan elegi dimulai?
  2. Siapa saja para penyair yang membacakan syair mengenai peristiwa Karbala?
  3. Setelah akhir abad pertama Hijriah, bagaimana elegi bagi Imam Husain (a.s.) dihidupkan?
  4. Selain Imam Husain (a.s.), siapa di antara keturunan Abu Thalib yang terbunuh sehingga banyak dibacakan elegi kepadanya?
  5. Bagaimana para penyair Syi’ah memanfaatkan kegunaan merendahkan?
Endnote Bab 8 :
[1] Ahmad ibn Abi Ya’qub ibn Wadih, Tarikh al-Ya’qubi, edisi pertama (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1414 H), jld.1, hlm.262.
[2] Zubair ibn Bakkar, Al-Akbar al-Muwaffaqiyat (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.581.
[3] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, Murawwij adh-Dhahab, edisi pertama (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami Lil Matbu’at, 1411 H), jld.3, hlm.254.
[4] Abdi berada di antara para sahabat Imam ash-Shadiq (a.s.) dan telah disebutkan dalam Rijal Kasyi sebagai Sufyan ibn Mus’ab dengan julukan Abu Muhammad. Syeikh at-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifah ar-Rijal (Rijal Kasyi) (Qum: Muassasah Al al-Bayt Lil Ihya ath-Thurat, 1404 H), jld.2, hlm.704. Ibn Shahr Asyub teleh menyebutkan Sufyan ibn Mus’ab dalam kategori penyair “muqtasad” sementara dengan secara tak menentu menyebutnya sebagai Ali ibn Hammad Abdi dalam kategori penyair “Mujahir”. Ibn Shahr Asyub Mazandarani, Ma’alim al-Ulama (Najaf: Mansyurat al-Matba’ah al-Haydariyyah, 1380 H/1961), hlm.147, 151.
[5] Ma’alim al-Ulama, hlm.147.
[6] Dr. Shawqi Dayf, Tarikh al-Adab al-Arabi al-Asr al-Abbas al-Awwal (Mesir: Dar al-Ma’arif, n.d.), hlm.321.
[7] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Al-Aghani (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, n.d.), jld.17, hlm.1-8.
[8] Muhammad Nafs az-Zakiyyah adalah salah seorang cucu dari Imam Hasan (a.s.) dan ayahnya adalah Abdullah ibn al-Hasan Muthama. Selama berakhirnya kekuasaan Umayyah, Banu Hasyim berbaiat kepadanya meskipun Imam ash-Shadiq (a.s.) kemudian percaya bahwa perbuatannya tidak akan mengarah ke mana pun juga. Setalah Abbasiyyah naik ke tampuk kekhalifahan, Nafs az-Zakiyyah melancarkan kebangkitan selama pemerintahan kedua khalifah Abbasiyyah al-Mansur, tetapi beliau dikalahkan oleh pasukan Abbasiyyah dan mati terbunuh.
[9] Sadif ibn Maymun adalah salah seorang anggota majelis Imam as-Sajjad (a.s.) dan Ibn Shahr Asyub telah menyebutnya dalam kategori panyair “mudqasid” Ahlul Bait (a.s.). Melalui syair-syairnya, ia mendesak Saffah khalifah pertama Abbasiyyah untuk membunuh kaum Umayyah yang masih bertahan hidup. Sayyid Muhsin Amin, A’yan asy-Syi’ah (Beirut: Dar at-Ta’aruf Lil Matbu’at, n.d.), jld.1, hlm.169.
[10] Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih al-Andalusi, Al-Aqd al-Farid (Beirut: Dar Ihya ath-Thurat al-Arabi, 1409 H), jld.5, hlm.72-73.
[11] Asad Haydar, Al-Imam ash-Shadiq wal Madhahib al-Arba’ah, edisi ketiga (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1403 H), jld.1, hlm.452.
[12] Dr. Mustafa ash-Shak’a, al-Adab fil Maukib al-Hadarah al-Islamiyah, Kitab asy-Syu’ara (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnaniyyah, n.d.), hlm.162-163.
[13] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil at-Thalibiyyin (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H), hlm.121.
[14] Al-Aghani, jld.17, hlm.1-8.
[15] Qutb ad-Din Rawandi, Al-Khara’ij wal Jara’ih, edisi pertama (Qum: Muassasah al-Imam al-Mahdi, 1409 H), jld.1, hlm.267.
[16] Shawki Dayf, Tarikh al-Adab al-Arabi al-Asr al-Abbas ath-Thani (Mesir: Dar al-Ma’arif, n.d.), hlm.386.
[17] Para penyair Syi’ah menurut penghitungan almarhum Sayyid Muhsin Amin sebagai berikut:
Amirul Mukminin Ali (a.s.), Fatimah az-Zahra binti Rasulullah (saw), Fadl ibn al-Abbas (wafat 12 atau 15 H), Rabi’ah ibn Harits ibn Abdul Muthalib (wafat 23 H); Abbas ibn abdul Muthalib (wafat 32 H); Hasan ibn Ali (a.s.); Husain ibn Ali (a.s.); Abdullah ibn Abi Sufyan ibn Harith ibn Abdul Muthalib (syahid 61 H); Abdullah ibn al-Abbas (wafat 68 H); Ummul Hakim binti Abdul Muthalib (wafat abad ke-1 H); Arwa ibn Abdul Muthalib.
Di antara non-Banu Hasyim dan para sahabat Nabi (saw): Nabi’ah Ju’di Qays ibn Abdullah (wafat abad ke-1 H); Abul Haytham ibn Tayyahan al-Anshari (syahid 37 H); Khuzaimah ibn Tsabit Zus Syahadtain (syahid 37 H); Ammar ibn Yasir (syahid 37 H); Abdullah ibn Badil ibn Waraqa al-Khaza’I (syahid 37 H); Kharim ibn Fatik al-Asadi (wafat abad ke-1 H); Sa’sa’ah ibn Sawhan al-Abdi (wafat abad ke-1 H); Labid ibn Rab’iah al-Amiri (wafat 41 H); Ka’ab ibn Zuhair al-Aslami (wafat 45 H); Hujr ibn Uday al-Kindi (syahid 51 H); Ka’ab ibn Malik al-Anshari (ke-1 H); Qays ibn Sa’ad al-Anshari (wafat 60 H); Munzir ibn Jarud Abdi (wafat 61 atau 62 H); Sulaiman ibn Sard al-Khaza’I (syahid 65 H); Ahnaf ibn Qays at-Tamimi (wafat 67 atau 68 H); Uday ibn Hatam at-Ta’I (wafat 68 H); Abu Tufail Amir ibn Wathilah Kanani (wafat 100 H).
Di antara para pengikut (tabi’in) (generasi setelah sahabat), Tabi’in dari tabi’in dan generasi berikutnya:
Hasyim Mirqal (syahid 37 H); Malik al-Asytar (syahid 38 atau 39 H); Tsabit ibn Ajlan al-anshari (abad ke-1 atau 50 H); Najasyi Qays ibn Amru Harithi (salah seorang panyir Irak dalam Perang Siffin); Qays ibn Fahdan al-Kindi (wafat 51 H); Syarik ibn Harits A’war (wafat 60 H); Sa’yah ibn Arid (wafat abad ke-1 H); Jarir ibn Abdullah Bajli (wafat abad ke-1 H); Rabbab binti Imra’I al-Qays, isteri Imam Husein (a.s.) (wafat 62 H); Ummu al-Banin Fatimah Kalabiyyah, isteri Amirul Mukminin (a.s.) (wafat abad ke-1 H); Ubaidulah ibn Hurr Ju’fi (wafat abad ke-1 H); Muthanna ibn Mukharramah Abdi (wafat abad ke-1 H); Abu Dahbal Jamhi (wafat abad ke-1 H); Abul Aswad ad-Da’uli (wafat 69 H); Uqbah ibn Amru as-Sahami; Abdullah ibn auf ibn Ahmar; Musayyab ibn Abdullah ibn Khadal at-Ta’I (wafat abad ke-1 H); Abdullah ibn Wal at-Tamimi (syahid 65 H); Rafa’ah ibn Syadad Bajli (syahid 66 H); A’sya Hamdan (wafat abad ke-1 H); Ibrahim al-Asytar (syahid 66 H); Ayman ibn Kharim al-Asadi (wafat 90 H); Fadl ibn al-Abbas ibn Uqbah ibn Abi Lahab (wafat 90 H); Abu Ramih al-Khaza’I Farazdaq Hammam ibn Ghalib at-Tamimi (wafat 110 H); Sufyan ibn Mus’ab abdi (120 H); Zaid ibn Ali ibn Husain (a.s.) (syahid 122 H); Sulaiman ibn Qutaibah Adawi (wafat 126 H); Kumail ibn Zayd al-Asadi (wafat 126 H); Mustahil ibn Mumait (wafat abad ke-2 H); Yahya ibn Ya’mar (wafat 127 H); Fadl ibn Abdurrahman ibn al-Abbas ibn Rabi’ah ibn Harits ibn Abdul Muthalib (wafat 129 H); Malik ibn A’yan Jahni (wafat pertengahan abad ke-2 H); Ward ibn Zayd, saudara dari Kumait (wafat 140 H); Qadi Abdullah ibn Shabramah al-Kufi (wafat 144 H); Ibrahim ibn Hasan (terbunuh di Bakhmara 145 H); Musa ibn Abdullah (wafat abad ke-2 H); Ssadif ibn Maymun (wafat 147 H); Muhammad ibn Ghalib ibn Hudhayl al-Kufi(wafat abad ke-2 H); Zurarah ibn A’yan (wafat 150 H); Ibrahim ibn Hurmah (wafat 150 H); Abdullah ibn Muawiyah, keturunan Ja’far at-Tayyar wafat abad ke-2 H); Abu Hurairah Ajli (wafat abad ke-2 H); Abu Hurairah al-Abar (wafat abad ke-2 H); Qudamah Sa’di; Ja’far ibn Affan at-Ta’I (wafat 150 H); Abu Ja’far Mukmin Taq (wafat abad ke-2 H); Syarik ibn Abdullah Nakha’I (wafat abad ke-2 H); Ali ibn Hamzah Nahawi Kasa’I (wafat 189 H); Mansur Numri (wafat abad ke-2 H); Mua’z ibn Muslim Hara’ (wafat 188 H); Abdullah ibn Ghalib al-Asadi (wafat akhir abad ke-2 H); Muslim ibn Walid al-Anshari (wafat di akhir abad ke-2 H); Abu Nu’as Mutawalid (wafat 198 H); Sayyid Humayri (wafat 199 H); Ali ibn Abdullah Khwafi (wafat abad ke-3 H); Abdullah Ali Marani (wafat abad ke-3 H); Abdullah ibn Ayyub Huraibi (wafat abad ke-3 H); Masyi’ Ma’I (wafat abad ke-3 H); Qasim ibn Yusuf Khatib (wafat abad ke-3 H);Ashja ibn Amru Salmi (wafat 210 H); Muhammad ibn Wahib Umayri (wafat abad ke-3 H); Abu Darf Ajli (wafat 255 H); Abu Thalib al-Qummi (wafat abad ke-3 H); Abu Tammam Habib ibn Aus at-Ta’I (wafat abd ke-3 H); Dik al-Jin (wafat 236 H); Ibrahim ibn al-Abbas al-Sawli (wafat 234 H); Ibn Sakit Ya’qub ibn Ishaq (wafat 244 H); Abu Muhammad Abdullah ibn Ammar Barqi (wafat 245 H); Da’bal ibn Ali al-Khaza’I (wafat 246 H); Muhammad ibn Abdullah al-Khaza’I, sepupu Da’bal (wafat abad ke-3 H); Abdullah ibn Muhammad al-Khaza’I (wafat abad ke-3 H); Husain ibn Da’bal al-Khaza’I (wafat abad ke-3 H); Musa ibn Abdul Malik (wafat 246 H); Ahmad ibn Khalid Ashrawi (wafat abad ke-3 H); Ahmad ibn Ibrahim (wafat abad ke-3 H); Bakr ibn Muhammad an-Nahawi (wafat 248 H); Ahmad ibn Umran Akhfasan-Nahawi (wafat 250 H); Abu Ali Husayin ibn Dahak (wafat 250 H); Muhammad ibn Isma’il Sumayri (wafat 255 H); Fadl ibn Muhammad (pertengahan abad ke-3 H); Hammani Ali ibn Muhammad (wafat 260 H); Dawud ibn Qasim Ja’fari (wafat 261 H); Ibn Rumi Ali ibn al-Abbas (wafat 283 H); Bahtari Walid ibn Ubayd at-Ta’I (wafat 284 H); Syarif Muhammad ibn Salib (wafat abad ke-3 H); Nasr ibn Nasir Halwani (wafat abad ke-3 H); Ali ibn Muhammad ibn Mansur ibn Bassam (wafat 302 H); Ahmad ibn Ubaydullah (wafat 314 H); Khubz Arzi Basri Nasr ibn Ahmad (wafat 317 H); Khabbaz al-Baldi Muhammad ibn Ahmad (wafat abad ke-4 H); Ahmad ibn Alawiyyah al-Isfahani (wafat 320 H); Abu Bakr Muhammad ibn Hasan Darid (wafat 321 H); Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim Tabataba’I al-Hasani (wafat 322 H); Muhammad ibn Muzid Bushanji (wafat 325 H); Mufajja Basri Muhammad ibn Ahmad (wafat atau syahid 327 H); Ali ibn al-Abbas Nawbakhti (wafat 329 H). Lihat A’yan asy-Syi’ah, jld.1, hlm.166-172.
[18] Al-Aqd al-Farid, jld.5, hlm.290.
[19] Al-Aghani, jld.17, hlm.40.
[20] Allamah Amini, Al-Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab (Tehran: al-Kitab al-Islamiyyah, 1366 H), jld.1, hlm.242.
[21] Ibid., hlm.241.
[22] Al-Aqd al-Farid, jld.4, hlm.320.
[23] L-Imam ash-Shadiq wal Madhahib al-Arba’ah, jld.1, hlm.254, sebagaimana dikutip dalam Zahra’I Adah, jld.3, hlm.70.
[24] Al-Adab fi Mawqib al-Hadarah al-Islamiyyah, Kitab asy-Syu’ara I, hlm.162-163.
[25] Periode Abbasiyyah kedua merujuk kepada awal dari abad ketiga Hijriah yang dimulai di zaman Mu’tasim bersamaan dengan masuknya orang-orang Turki dalam istana Abbasiyyah.
[26] Tarikh al-Adab al-Arabi al-Asr al-Abbas ath-Thani, hlm.386.
[27] Allamah Amini, Al-Ghadir fil Kitab wa Sunnah wa Adab (Tehran: Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1366 H), jld.1, hlm.191.
[28] Syeikh al-Mufid, Al-Jamal, edisi kedua (Qum: Maktab al-A’lam al-Islami (Publication Center), 1416 H), hlm.118.
Identitas dari orang yang membacakan puisi ini merupakan sumber ketidaksetujuan di antara para sejarawan dan penulis. Syeikh al-Mufid telah menisbahkan puisi ini kepada Abdullah ibn Abi Sufyan ibn Abdul Muthalib. Dalam Al-Isabah, Ibn Hajar telah menganggap Fadl al-Abbas ibn Utbah ibn Abi Lahab sebagai orang yang membacakannya. Dalam kitab al-Manaqib, Muwayyid ad-Din Khawrazmi telah mengidentifikasi Abbas ibn Abdul Muthalib, paman Nabi (saw), sebagai penggubah puisi ini. Dalam kitab Al-Majalis, Syarif ar-Radi telah menisbahkannya kepada Rabi’ah ibn Harits ibn Abdul Muthalib. Qadi Baydawi, dalam tafsir Qurannya telah memandang puisi ini kepunyaan Hassan ibn Tsabit. Zubair ibn Bakr telah berkata, “Salah seorang keturunan Abu Lahab telah membacakan puisi ini.” Akhirnya, Qadi Nur Allah telah menolak pandangan Ibn Hajar dengan mengatakan bahwa orang yang membacakan harus ada sebelum peristiwa Saqifah dan dia tidak mungkin Fadl ibn al-Abbas ibn Utbah karena dia lahir setelah peristiwa itu. Maka orang yang membacakannya meminjam nama Fadl, oleh karenanya, Fadl ibn Utbah ibn Abi Lahab. Sayyid Ali Khan as-Sirazi, ad-Darajat ar-Rafi’ah fi Tabaqat as-Syi’ah (Qum: Mansyurat Maktabah Bashirat, n.d.), hlm.193. Walau bagaimana pun, perbedaan pendapat ini tidak memiliki pengaruh yang bertentangan dengan pembahasan kita karena jelas bahwa orang yang membacakannya adalah seorang Syi’ah.
[29] Ad-Darajat ar-Rafiah fi Tabaqat asy-Syi’ah, hlm.143.
[30] Ibid., hlm.187.
[31] Ahmad ibn Muhammad Abd Rabbih al-Andalusi, Al-Aqd al-Farid (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, 1409 H), jld.5, hlm.75.
[32] Abdul Hamid ibn Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabi, 1961), jld.6, hlm.43.
[33] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Al-Aghani (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, n.d.), jld.12, hlm.321.
[34] Surah 32:18: “Apakah orang yang beriman seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama.” Dalam mengomentari ayat ini, lihat referensi Sunni berikut: Al-Qurtubi, Tafsir (Kairo: 1947), jld.14, hlm.105; At-Thabari, Tafsir Jami’ al-Bayan, dalam mengomentari ayat ini; al-Wahidi, AShab an-Nuzul (edisi Dar ad-Diyan Lil at-Turath), hlm.291 (Penerj.).
[35] Ad-Darajat ar-Rafi’ah fi Tabaqat asy-Syi’ah, jld.188.
[36] Ibid., hlm.189.
[37] Ini berkaitan dengan Nabi (saw), Abu Bakar dan Umar. (Penerj.).
[38] Ibid.
[39] Rajaz: nama bberapa meter, dua yang paling penting. (penerj.).
[40] Al-Jamal, hlm.118.
[41] Ibid.
[42] Syarah Nahjul Balaghah, jld.4, hlm.87.
[43] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Maqatil ath-Thalibiyyin (Qum: Mansyurat asy-Syarif ar-Radi, 1416 H/1374 SH), hlm.121.
[44] Abu Mikhnaf, Maqtal al-Husain Alayhis-Salam, diteliti oleh Hasan Ghaffari, edisi kedua (Qu: n.p., 1364 H) hlm.245.
[45] Ibid., hlm.227-228.
[46] Maqaatil ath-Thalibiyyin, hlm.90.
[47] Maqtal al-Husain Alayhis-Salam, hlm.181.
[48] Ali ibn Musa ibn Tawus, Al-Luhuf ‘ala Qatli at-Tufuf, terj. Muhammad Thahir Dazfull, edisi pertama (Qum: Muassasah-ye Farhang va Intisyarat-ye Ansari, 1378 HS), hlm.284.
[49] Sayyid Muhsin Amin, A’yan asy-Syi’ah (Beirut: Dar at-Ta’aruf Lil Matbu’at, n.d.), jld.1, hlm.6023.
[50] Maqatil al-Husain Alayhis-Salam, hlm.245.
[51] Maqatil ath-Thalibiyyin, hlm.121.
[52] Abdul Husain Amini, Al-Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab (Tehran: Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1366 HS), jld.2, hlm.294-295.
[53] Ibid., hlm.235.
[54] Ibid., hlm.295.
[55] Ali ibn Husain ibn Ali Mas’udi, Murawwij adh-Dhahab, edisi pertama (Beirut: Mansyurat Muassasah al-A’lami Lil Matbu’at, 1411 H), jld.3, hlm.327, Rijal ibn Dawud (Qum: Mansyrat ar-Radi,n.d.), hlm.92.
[56] Ibid., jld.3, hlm.71.
[57] Ibid., hlm.110.
[58] A’yan asy-Syi’ah, hlm.170.
[59] Murawwij adh-Dhahab, jld.4, hlm.159-160.
[60] Ibid., hlm.162.
[61] Maqatil Thalibiyyin, hlm.511.
[62] Ibid., hlm.242.
[63] Ibid., hlm.441-442.
[64] Ibid., hlm.295.
[65] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.65.
[66] Abi Uthman Amru ibn Bahr Jahiz, Al-Bayan wal Tabyin, edisi pertama (Kairo: Matba’ah Lajnah at-Ta’lif wal Tarjamah wan Nasr, 1367/1948), jld.3, hlm.365.
[67] Dr. Shawqi Dayf, Asy-Syi’I wa Tawaba’ah asy-Sya’biyyah ala Murr al-Ma’sur (Kairo: Dar al-Ma’arif, n.d.), hlm.36.
[68] Ali ibn al-Husain Abul Faraj al-Isfahani, Al-Aghani (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, n.d.), jld.17, hlm.36.
[69] Murawwij adh-Dhahab, jld.3, hlm.81.
[70] Al-Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab, hlm.256.
[71] Dr. Shawqi Dayf, Tarikh al-Adab al-Arabi al-Asr al-Abbas ath-Thani (Mesir: Dar al-Ma’arif, n.d.), hlm.388.

No comments: