Sejarah Umat Islam

Islam sebagai suatu entitas sosiologis yang tersebar luas di penjuru dunia dipercayai pemeluknya sebagai agama penyempurna dari agama-agama samawi yang telah ada sebelumnya. Sebagai agama penyempurna ajaran Islam tidah hanya berkutat apa urusan peribadatan semata, namun ajarannya menyentuh pada seluruh aspek kehidupan manusia.

Dengan pola keberagamaan seperti ini maka tolak ukur kualitas keislaman seseorang tidak hanya dilihat dari sisi ubudiyah belaka, tetapi juga dilihat dari  sisi muamalah terhadap sesama manusia. Kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan yang baik terhadap Tuhan (hambun minallahi) harus sejalan dengan kemampuan membangun kualitas hubungan baik pula terhadap sesama manusia (hablun minannas).

Berdasarkan garis besar tata aturan keberagamaan yang islami inilah maka umat Islam percaya bahwa baik hablun minallah yang bersifat vertikal mapun hablun minannas yang berdifat horizontal ini dapat tercapai dengan baik, jika seseorang dalam hidupnya menaati peta jalan kehidupan / syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran maupun teladan Nabi yang termaktub dalam Hadis Nabawi.

Meskipun seluruh umat Islam mempercayai akan hal ini, namun dalam praktiknya terjadi perbedaan cara penerapan ajaran Islam ini. Khususnya pada bidang yang terkait dengan mualamalah atau hubungan antar manusia. Ada fihak yang beranggapan bahwa ajaran Islam harus diterapkan apa adanya sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadis, sementara di pihak lain ada yang beranggapan bahwa ajaran yang ada di Al-Quran dan Hadis tidak bisa diterapkan apa adanya, karena itu harus diambil nilai etiknya baru kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pihak pertama dikenal dengan sebutan penganut Islam eksklusif sedangkan yang kedua disebut sebagai penganut Islam subatantif.

Sejarah umat Islam hampir bisa dilihat sebagai panggung dimana kedua penganut pola keislaman ini berebut pengaruh. Bahkan sampai saat ini perebutan pengaruh ini semakin bisa dirasakan bagi mereka yang benar-benar mengamati.

Contoh yang paling baik adalah dalam sejarah pendirian negara Indonesia. Sejarah mencatat terjadi perdebadan yang sengit di konstituante antara pihak yang mengendaki Indonesia menjadi negara Islam, dengan pihak yang tidak menghendakinya. Hampir saja berdiri negara Indonesia Timur jika kalangan muslim bekukuh menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Sampai pada akhirnya dari kalangan tokoh Islam seperti KH.Wahid Hasyim dan M.Hatta mengajukan solusi jalan tengah berupa konsep falsafah yang lazim disebut sebagai filsafat ”gincu dan garam”. Maksud dari falsafah ini adalah Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tapi nilai-nilai Islam menjiwai dasar negara dan konstitusinya. Islam tidak ditampakkan dalam wujudnya yang formal layaknya gincu, tapi ia seperti garam yang meskipun tidak tampak tapi memberi sentuhan rasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Aris W

No comments: