Hurgronje Jauhkan Umat Islam dari Politik
KETIKA pada tahun 1884 Snouck Hurgronje pergi ke Mekkah untuk memperoleh pengetahuan praktis Bahasa Arab dan mempelajari kehidupan Islam di kota pusatnya, itulah awal ia menjalankan misi busuk terhadap umat Islam di bumi Nusantara. Di pusat kota Muslim ini, ia meneliti pengaruh Mekkah terhadap dunia Islam lainnya, terutama Hindia Belanda. Dalam salah satu suratnya kepada Th. Noldeke (1-8-1885), ia menyatakan tujuan utamanya pergi ke Mekkah adalah menelaah kehidupan Islam dengan mengamati cara berpikir, cara berbuat, dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslimin.
Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak dengan memakai nama “Abdul Ghaffar.” Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah mengakui keIslaman Anda”. “Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.
Ada cerita bahwa H Hasan Mustapa-lah yang mengislamkan Snouck Hurgronje. Tapi cerita yang lebih dapat diterima mestinya Aboebakar Djajadiningratlah–paman Pangeran Ahmad Djajadiningrat dan Prof Dr Hoesein Djajadiningrat–yang mengislamkannya atau yang mengatur pengislamannya.
Pada waktu itu, Aboebakar Djajadiningrat bekerja di Kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Dialah yang banyak memberikan bahan-bahan tentang Mekkah sehingga Snouck Hurgronje berhasil menulis bukunya Mekka dalam bahasa Jerman dua jilid yang dipuji banyak orang–dan Snouck samasekali tidak menyebut Aboebakar Djajadiningrat sebagai sumbernya.
Mestinya Snouck lebih dahulu berkenalan dengan Aboebakar Djajadiningrat daripada dengan H Hasan Mustapa yang ditemuinya di Jeddah daripada H Hasan Mustapa yang mungkin baru ditemuinya ketika dia ke Mekkah–beberapa lama setelah tinggal di Jeddah.
Dr. P. Sj. Van Koningsveld dalam bukunya Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti Pasaka, Jakarta, 1989) menggambarkan kemungkinan Snouck masuk Islam oleh Qadi Jeddah dengan dua orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama-sama dengan Aboebakar Djajadiningrat (1989: 95-107).
Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.
Snouck kemudian menjabat sebagai penasihat pemerintah (Hindia Belanda) untuk urusan Islam dari 1889 hingga 1906. Karena dianggap mualaf dan dengan reputasinya sebagai sarjana teologi, Snouck ditemani oleh sahabat Sunda-nya dari Mekah, Haji Hasan Moestapha, dengan mudah bisa berkeliling dan meninjau pesantren-pesantren di Jawa. Di Aceh tahun 1891, Snouck berhasil memperoleh kepercayaan dari ulama Tengkoe Noerdin.
Di Jawa Barat, Snouck alias Abdul Ghaffar dengan perantaraan Haji Hasan Moestapha menikah dengan dua putri ulama terkenal. Jika dia tidak diakui sebagai seorang Muslim, mustahil diizinkan menikah dengan gadis Sunda. Dia memenuhi segala persyaratan dari Islam. “Dia telah disunat (besneden), melakukan salat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menjauhi makanan serta minuman yang terlarang”
Snouck mempunyai dua istri orang Sunda. Yang pertama, bernama Sangkana, anak tunggal Penghulu Besar Ciamis. Raden Haji Muhammad Ta’ib, dan dari pernikahan ini lahir empat anak yaitu Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Oemar. Yang kedua setelah Sangkana meninggal adalah Siti Sadijah, putri penghulu Bandung Haji Muhammad Soe’eb yang dikenal dengan nama Kalipah Apo, Snouck berusia 41 tahun dan Sadijah 13 tahun tatkala pernikahan berlangsung tahun 1898. Dari pernikahan dengan Siti Sadiyah melahirkan seorang anak bernama Joesoef.
Van Koningsveld juga memberikan petunjuk-petunjuk yang memberikan kesan ketidaktulusan Snouck Hurgronje masuk Islam. Dia masuk Islam hanyalah untuk melancarkan tugasnya atau tujuannya yang hendak mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia, jadi bersifat politik–bukan ilmiah murni.
Tentu saja ketidaktulusan Snouck dalam memeluk agama Islam itu tidak diberitahukan dan tidak diketahui oleh kawan-kawannya orang Islam, termasuk H Hasan Mustapa. Dalam naskah yang ditulis H Hasan Mustapa berjudul Istilah terdapat bagian yang melukiskan hubungannya dengan guru-gurunya baik di Mekah maupun di Tanah Air, dan juga dengan beberapa orang pejabat Belanda yang dikenalnya, seperti K F Holle, Branders, van Ronkel, dan terutama tentang Snouck Hurgronje.
Dia mengatakan bahwa Snouck adalah “dulur kaula”, tur “sili bélaan salawasna keur deukeut keur jauh,” (”saudaraku” serta “selamanya saling jaga dan saling bela baik waktu berdekatan maupun waktu berjauhan”) (H Hasan Mustapa jeung karya-karyana, oleh Ajip Rosidi, Pustaka, Bandung, 1989: 56).
H Hasan Mustapa menjadi Penghulu Besar (Hoofdpenghoeloe) di Kotaraja (Banda Aceh) atas desakan Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer dan Sipil Acéh, Jenderal Deykerhoff. Menurut Snouck dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1896, tidaklah mudah dia membujuk H Hasan Mustapa supaya mau menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan. Dari H Hasan Mustapa lah Snouck mengetahui dan mengikuti perkembangan Aceh dengan seksama meskipun Snouck berada di Batavia melalui laporan-laporan yang dikirim oleh Hasan Mustapa.
Dalam meneliti Islam, menurut G.W.J. Drewes, ada tiga hal masalah penting yang menarik perhatian Snouck Hurgronje :
- Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
- Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang beriman
- Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban universal.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis” dan “Universal”. Disamping itu karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an dan Al-Hadits -dalam beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.
Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.
Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.
No comments:
Post a Comment