Joka’ju Upacara Adat Suku Lio di NTT


Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak pulou, dan itulah yang melatar belakangi banyaknya ragam budaya nasional. Kebudayaan Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya indonesia. Terdapat lebih dari 700 suku yang berbeda di indonesia membuat kita harus bangga dengan keberadaan kita yang berbeda-beda.

Sering terdengar di telinga kita mendengar budaya Jawa, Bali, Sumatera atau bagian Indonesia Barat lainya, Namun di Sebelah Timur indonesia, ada pulou Flores dimana ada Kabupaten Ende, Desa Potu, Kecamatan Wolojita. Memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah baik berupa panorama yang menyejukkan pandangan.

Tanah yang subur nan eksotis ini saja sudah membuat kagum setiap mata siapapun yang berkunjung ketempat ini, terlebih lagi budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang penduduk setempat masih senantiasa lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang senantiasa mereka pegang dan menjalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak terpenting dari keseharian mereka.

Salah satu budaya yang masih dilestarikan sampai saat ini di berbagai suku bangsa adalah tradisi pelaksanaaan pesta adat siap panen. Hampir setiap daerah masih melaksanakannya, seperti upacara adat Aruh pada suku Dayak,upacara penolak bala sebagai rasa syukur setelah berhasil panen di Sulawesi Selatan dan lain sebagainya.

Tradisi-tradisi ini di maksud untuk mensyukuri hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat, sekaligus memohon berkah agar mereka mendapat hasil yang lebih baik di musim panen mendatang. Begitu juga halnya yang terjadi masyarakat Desa Potu, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende-Flores, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat setempat selalu melaksanakan upacara adat salah satunya Joka’Ju.

Upacara “Joka’Ju” memiliki pengertian yang sudah diturunkan dari puluhann generasi ke generasi. Kata “Joka’Ju” merupkan kata majemuk dan berasal dari kata (Joka=tolak)dan (Ju=bala/segala roh jahat). Secara keseluruhan berati tolak roh jahat. Ritual tersebut dilaksanakan agar masyarakat setempat tidak “Pelapani” (tidak berbuat jahat) dan menolak segala bentuk kesialan yang terjadi serta menghilangkan segala bentuk penyakit buruk.

Upacara tersebut dilaksanakan sekaligus untuk merayakan tahun baru menurut adat penduduk setempat. Setelah mendapatkan hasil bertani sekaligus untuk menolak roh jahat. Dan untuk membuang semua penyakit atau roh jahat pada tahun kemarin.

Sehari sebelum upacara tersebut dilaksanakan, masyarakat daerah tersebut harus menangkap Ayam, Babi, dan Kambing yang berkeliaran dan para pemilik tidak boleh marah atau melarang. Dulunya masyarakat diwajibkan menangkap Babi dan Kambing lebih dari satu, namun dengan perkembangan Zaman masyarakat yang semakin susah mengharuskan mereka mengambil babi dan kambing satu ekor, tetapi ayam boleh lebih dari satu ekor. Selain itu ada Mosalaki yang bertugas meminta beras dari rumah ke rumah.

Pada malam hari masyarakat setempat melakukan upacara sesajean atau persembahan terhadap leluhur, yakni berupa hasil tangkapan binatang yang dilakukan tadi sore. Sesajean tersebut diantar oleh para Mosalaki yang dilakukan dengan berjalan kaki dari arah utara ke selatan atau dari gunung ke pantai. Dan saat upacara tersebut berlansung, masyarakat setempat harus membunyikan gong atau segala sesuatu yang bisa dibunyikan, hingga para mosalaki kembali kerumah. Dan alunan bunyi gong berbunyi itulah tanda upacara adat Joka’Ju telah mulai.

Selesai upacara yang pertama yaitu upacara malam sesajean kepada leluhur, masyarakat setempat menunggu hari besok untuk melaksanakan upacara Joka’Ju. Prosesi joka’ju inilah yang dianggap sakral karena selama empat hari berturut-turut masyarakat penduduk asli setempatdatau para pendatang yang tinggal tidak boleh melakukan segala aktivitas yakni, berkebun, menyalakan api diluar rumah, memetik tumbuhan yang sedang tumbuh, berkelahi, bahkan mengubur orang mati. Mereka hanya dibolehkan untuk bersenang-senang.

Jika ada masyarakat yang melanggar, maka mereka akan mendapat hukuman. Hukuman yang digolokan menjadi dua, yakni hukuman besar dan hukuman kecil. Hukuman besar termaksud perkelahian dan melukai tanah atau apabiala ada orang meninggal tidak boleh melakukan penggalian tanah, hukuman atau denda yang diberikan pada masyarakat yang melanggar, yakni mereka harus memberikan satu ekor babi dengan berat dua orang pikul atau senilai dua juta rupiah. Sedangkan hukuman kecilnya berupa, menyalakan api, berkebun, dan memetik tumbuhan, denda yang diberikan berupa moke (minuman khas daerah flores) ,uang, dan beras.

Upacara adat joka ju yang dilakukan setahun sekali untuk memperingati tahun baru menurut adat setempat dengan tujuan tolak bala atau yang dikenal dengan mengusir roh jahat. Upacara ini merupakan tradisi dan budaya bangsa indonesia, khususnya masyrakat yang berada dipulou Flores, Kabupaten Ende Suku Lio.

Pada dasarnya Joka’Ju merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia. Karena didalam ritual adat tersebut mengajarkan masyaraka setempat untuk bisa saling menghargai antara manusia, tumbuhan, hewan, dan tanah untuk tidak saling atau terus melukai.

Setiap upacara adat daerah setempat selalu dipimpin oleh mosalaki atau yang dikenal dengan para Tua-tua adat. Mosalaki di desa potu ini terdiri dari 18 orang yang memiliki tugas dan funsgsi masing-masing. Hal ini sama seperti trias politika dimana tiga orang yang paling penting dan yang lain hanya membatu, misalnya : Mosalki Pu’u; memiliki kedudukan sebagai presiden, Mosalaki ria bewa; kedudukannya sama seperti DPR. Dan Mosalaki laki sasa tomasa soso tomolo kore tombore teka to bega: sebagai hakim adat, dan 15 mosalaki lainnya seperti para mentri-mentri.

Kristin OG

No comments: