MUTHAHHARI, ANTARA LITERALISME DAN LIBERALISME
Muthahhari, sebagai seorang pemikir zaman kini, sangat “concern” terhadap pertanyaan: bagaimanakah Islam, sebagai agama terakhir, yaitu agama sepanjang zaman dan untuk semua generasi yang akan datang, yang tak membutuhkan lagi pelengkap – dapat memuaskan segala kebutuhan semua orang di mana pun dan kapanpun? Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat menyajikan sesuatu model Islam yang tepat dan bagaimana caranya mencapai model tersebut di zaman moderen? Bagaimana seseorang dapat menjadi Muslim dan pada saat yang sama hidup dengan sukses di zamannya. Apakah Islam bertentangan dengan modernitas dan perubahan zaman di mana seorang Muslim dapat terpaksa menyerah kepada modernitas ataukah keduanya harmonis satu sama lainnya? Dapatkah Islam, agama terakhir, yang secara alami mempunyai prinsip-prinsip yang tetap dan kekal dapat harmonis dengan modernitas yang pada esensinya melangsungkan perubahan dan transformasi? Bagaimana agama seperti itu dapat berjalan beriringan dengan (teori) evolusi dan lebih penting lagi, bagaimana ia dapat mengarahkan dan memaknai evolusi dan tranformasi semacam itu? Haruskah ia mengubah prinsip-prinsip abadinya secara mutlak agar sesuai dengan teori evolusi itu, dan menjadi sebuah agama yang lain? Atau mustikah agama yang mapan itu dapat menghentikan atau mengabaikan peristiwa-peristiwa – yang tentu saja itu tidak mungkin? Atau adakah cara lain yang dapat diikuti?
Walaupun pertanyaan tersebut telah menarik perhatian banyak pemikir lainnya, khususnya di zaman moderen ini, di dunia yang selalu berubah, apa yang membedakan Muthahhari dari mereka adalah jawaban yang dia berikan untuk pertanyaan tersebut. Karena dia menolak beberapa perspektif (pandangan) dalam pembahasan ini, pertama-tama kita harus meninjau beberapa perspektif tersebut dan apa (kritik) yang Muthahhari katakan tentang beberapa prespektif tersebut, dan kemudian mengemukakan solusinya.
Menurut pandangan literalisme dan dogmatisme, suatu perspektif yang secara luas disuguhkan oleh beberapa Muslim, tidak terdapat ruang yang layak bagi nalar dalam memahami Islam, dan melalui penawaran sebuah pemahaman yang vulgar atas makna literal dari al Qur’an dan Sunnah, ia menyajikan sebuah pola yang kaku dalam menghadapi setiap perubahan dan transformasi, sehingga nalar dan perubahan tidak punya pengaruh terhadap pemahaman atas Islam dan nilai-nilainya. Hasilnya adalah bahwa kita harus memilih antara Islam atau realitas perubahan dan transformasi di dunia. Apakah harus memilih Tuhan dan wahyu-Nya ataukah manusia dan nalar akalnya? Pra-anggapan mereka adalah apapun yang mereka temukan dari al Qur’an dan Sunnah, serta penafsiran para ulama, merupakan bagian pokok dan stuktur mendasar (fundamental) dari Islam dan setiap fleksibilitas dalam kaitan ini dapat keluar dari Islam.
Perspektif kedua adalah sebuah penentangan mutlak terhadap perspektif yang pertama yang beranggapan bahwa kita harus sepenuhnya menyesuaikan diri dengan zaman, transformasi dan pencapaian intelektual manusia, dan atas dasar pencapaian itulah kita mesti me-review (memahami ulang) Islam, sekalipun hal itu mungkin meninggalkan banyak konsep-konsep religius dan elemen-elemen Islam yang ditemukan dalam Qur’an dan Sunnah. Menurut perspektif ini, Islam akhirnya akan menjadi lebih berupa kepercayaan batiniah, sebuah hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan, dan berupa ritual formal. Di sini wahyu ilahiah ditundukan oleh nalar. Nalar macam apa? Nalar yang meraba-raba dan tidak stabil yang dapat digantikan oleh hal yang lainnya dengan cepat dan bukan penalaran akal yang matang.
Perspektif yang ketiga adalah salah satu perspektif (cara pandang) yang moderat yang dikemukakan oleh Murthadha Muthahhari.
Beberapa Penjelasan Mengenai Perspektif Pertama
Muthahhari mengatakan bahwa perspektif ini, yang karakteristiknya adalah kaku, menakutkan, harfiah (literalis), formalisme yang meluas, dan penolakan terhadap semua jenis penalaran akal dalam dunia keagamaan dan, itu sayangnya didukung oleh banyak kaum Muslim, telah memainkan peran yang merusak dalam arti menghalangi Islam dari kedinamisan hidup yang vital yang pada gilirannya menyebabkan kelemahan dan kemerosotan di dalam Islam. Menurut Muthahhari, mereka telah sangat lebih melukai Islam dibanding kaum Mongol, karena orang-orang Mongol nyata-nyata adalah musuh, tapi kaum literalis tersebut adalah mereka yang mencederai Islam atas nama agama dan kesucian. Muthahhari menghitung beberapa aliran yang menjadi perwakilan dari metode pemikiran tersebut yaitu: kaum khawarij, formalis (Ahl al-Dhahir) dan kaum Akhbari.
Khawarij muncul di pertengahan abad pertama tahun hijrah dan menghilang di pertengahan abad kedua, tapi sebagaimana Muthahhari nyatakan, semangat mereka saat ini masih hidup di beberapa kalangan Muslin. Karakteristik mereka adalah sebagai berikut:
Mereka berani mengorbankan diri, petempur, keras kepala dan para pejuang Jihad sampai mati.
Mereka adalah orang-orang yang rajin berdoa dan berpuasa, membaca al Qur’an, memperhatikan peraturan (fiqh / ”Syariah”) Islam, dan sangat hati-hati terhadap kehidupan duniawi mereka. Inilah alasannya mengapa begitu banyak orang yang tertarik kepada mereka.
Pada saat yang sama, mereka bodoh, jahil (tak berpengetahuan), suka mengada-ada, kurang menggunakan logika dan penalaran akal sehat, tidak mau berbeda sikap dalam setiap keadaan khusus dan temporal yang dapat mengubah keputusan mereka. Mereka tidak mau mendukung pemikiran intelektual dan ilmu pengetahuan dan kemudian berpandangan sempit dan cetek (dangkal/pendek) pandangannya. Mereka hanya mengambil permukaan ajaran Islam dengan kebodohan yang nyata terhadap semangat (spirit) dan tujuan akhir dari agama besar ini. Mereka, oleh karena itu, telah mengubah semua dimensi Islam menjadi sesuatu yang terbatas, sesuatu yang tidak sempurna (cacat).
Tidak ada seorang pun pemikir yang bisa secara mutlak menerima Islam dengan cara yang telah mereka perkenalkan. Bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan agar orang harus berpikir dulu dan kemudian bertindak didasarkan pada pemikiran itu, mereka bertindak lebih dulu tanpa pemikiran sebelumnya. Hal Itu dapat dengan jelas dilihat dalam sejarah Islam bahwa Nabi yang suci tidak mengijinkan kaum Muslimin untuk ambil bagian dalam Jihad apapun atau bahkan untuk mempertahankan diri mereka sendiri di Mekah selama 13 tahun walaupun mereka banyak menderita dan hanya di tahun kedua setelah Hijrah ke Madina-lah kaum diijinkan untuk berjuang dalam peperangan.
Nabi yang suci melakukan hal itu dalam rangka membiarkan kultur Islam menembus ke dalam jantung masyarakat Muslim dan kaum Muslimin siap untuk memperoleh pengertian yang mendalam sedemikian rupa sehingga mereka menjadi mampu mendakwahkan Islam dengan cara yang benar. Bahkan ketika mereka dikirim berjihad, mereka sadar tentang apa tujuan mereka, sebagaimana Imam Ali katakan, mereka mempunyai pengertian yang mendalam mengenai fungsi pedang mereka.
Oleh karena itu, kaum Khawarij sering digunakan oleh kalangan anti-Islam sebagai alat bukti untuk mendekreditkan Islam. HaI itu selalu terjadi di mana orang yang bodoh dan orang-orang yang sok suci digunakan oleh musuh untuk menyerang kaum Islamis dan kepentingan sosialnya. Mereka menjadikan kebodohan dan kepicikan mereka sebagai suatu keimanan religius di mana Tuhan, manusia dan alam semesta ditafsirkan. Mereka membatasi kemurahan hati Tuhan dan percaya bahwa semua orang Islam, kecuali beberapa orang saja, akan dikirim ke neraka di akhirat. Karena itulah mereka membunuh setiap orang saleh yang tidak setuju dengan apa yang telah mereka katakan. Mereka percaya bahwa seseorang yang melakukan suatu dosa besar telah menjadi orang yang tidak beriman (kafir), sedangkan Nabi yang suci tidak memperlakukan mereka seperti itu: Nabi menghukum mereka, tetapi tetap memberikan bagian mereka dari Bayt al-mal, Ia tidak melarang Muslim yang lain dari mempunyai hubungan -termasuk perkawinan- dengan mereka, dan ia mendoakan jenazah mereka ketika mereka meninggal.
Khawarij tetap menentang kenyataan. Mereka tidak bisa memaklumi fleksibilitas dan hanya menerima beberapa doktrin dogmatis dalam kaitan dengan kebodohan mereka, yang tidak punya keselarasan dengan Logika Islam. Mereka secara alami menciptakan krisis di masyarakat Islam antara lain pertempuran Nahrawan – di mana sangat banyak orang Islam dibunuh – dan kesyahidan Imam Ali adalah bukti nyata atas hal itu.
Di dalam pertempuran Siffin, mereka memaksa Imam Ali untuk menerima arbitrasi dan berdamai dengan musuh. Dan ketika mereka menyadari bahwa kebijakan mereka itu salah, mereka mengumumkan bahwa “tidak ada hukum kecuali hukum Allah” dan berdasarkan itu mereka mengutuk semua orang yang telah menerima arbitrasi perdamaian itu dan mengumumkan bahwa ia harus bertobat sebab ia telah menjadi orang kafir yang tak beriman dengan melakukan hal itu atau mereka boleh bertempur melawan terhadap dia.
Imam Ali berkata bahwa pada awalnya adalah kalian yang memaksa aku untuk menerima arbitasi itu dan berdamai dengan musuh; yang kedua, menerima arbitrasi tidak akan membuat orang Islam menjadi kafir; yang ke tiga, slogan ” tidak ada hukum kecuali hukum Allah” adalah suatu kalimat benar yang digunakan dengan jalan yang salah; dan akhirnya, jika diterimanya arbitrasi sewenang-wenang itu membuat aku menjadi kafir, mengapa kamu menghukumi masyarakat Islam? Tentu saja Imam Ali memaklumi mereka dan tetap membayarkan hak mereka dari Bayt al-Mal sampai mereka memulai membunuh manusia, laki-laki dan wanita-wanita yang tak berdosa.
Lalu, mereka mengumumkan Imam Ali sebagai kafir dan mencoba untuk membunuh dia !, seorang yang dulu menjadi standar ukuran kebenaran menurut teks hadist baik yang ada di kalangan Sunni dan Syiah, dan Nabi yang suci telah berkata sekitar dia: “Ali ada bersama kebenaran dan kebenaran ada bersama Ali, Kebenaran itu pergi di kemana saja Dia pergi.”
Hanya Imam Ali yang bisa mengangkat jihad sekaligus dalam pemikiran dan tindakan melawan wabah merusak yang bertopeng kealiman. Ia sungguh sadar bahwa orang-orang ini akan merusak Islam jauh lebih dahsyat dibanding orang lain, maka ia berkata, “Punggungku dipatahkan oleh dua jenis orang: pertama orang bodoh dengan penampilan orang saleh, dan kedua, seorang yang terpelajar yang teledor terhadap hukum Islam.”
Khawarij hilang di abad yang kedua, tetapi semangat mereka selalu hadir sepanjang sejarah.
Mutahhari mengatakan bahwa di dalam sejarah Islam, kapan pun orang bodoh dengan penampilan saleh diperlakukan sebagai simbol ketakwaan, maka kaum anti-agama telah menggunakan mereka sebagai alat untuk niat jahat mereka melawan orang yang benar-benar Islami. Kolonialisme telah menggunakan orang-orang itu dalam rangka memecah belah orang Islam ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Menurut Motahhari, dogmatisme seperti itu telah memainkan peran penting dalam menjadikan sebagian orang menjadi anti-agama.
Contoh lain dogmatisme yang menurut pendapat Mutahhari telah memainkan peran merusak terhadap Islam adalah kemenangan kaum formalis dan kaum akhbari (ahli hadits) melawan Mu’tazila, yang bagaimanapun juga adalah orang yang berpikir. Walaupun Motahhari mengkritik dan sangat banyak menolak pandangan Mu’tazila, ia mempertahankan metoda intelektual mereka dan mengaggap hilangnya mereka sebagai kerugian besar bagi dunia Islam, sebab akal, filsafat, dan intelektualitas menjadi terisolasi sejak zaman mereka. Walaupun peristiwa itu terjadi di dalam kelompok Islam Sunni, namun peran merusaknya mempengaruhi kelompok Syiah, seperti dapat dilihat kemudian.
Orang-orang itu ceroboh terhadap pertimbangan intelektual dan selalu menuntut secara dogmatis mengenai makna literal al-Qur’an, sekalipun hal itu bertentangan secara langsung dengan intelek manusia – yang membuktikan bahwa kebenaran eksistensi Tuhan, Kenabian, dan Hari Kebangkitan, dan al-Qur’an hanya akan menjadi sah jika telah terbukti secara rasional. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa Tuhan duduk bertahta di atas Singasana-Nya, karena al-Qur’an telah mengatakan: “Al Rahman berada di atas Singasana”. Padahal hal itu terbukti secara rasional dan riwayat bahwa Tuhan tidak memiliki jasad dan tidaklah duduk di atas apapun. Dan ketika mereka ditanya tentang hakikat duduk-Nya Tuhan dan singasana tersebut, mereka mengatakan bahwa hakikatnya tidak diketahui dan mempertanyakan hal tersebut adalah kekafiran (kefasikan).
Bertentangan dengan mereka, kaum Mu’tazilah percaya bahwa di sana ada kebaikan dan kejahatan di dalam dirinya sendiri tanpa perlu penegasan oleh Syariah, karena hal-hal tersebut dapat ditemukan oleh akal/intelek. Syariah memerintahkan sesuatu, karena hal itu secara esensial baik dan melarang sesuatu karena sesuatu itu secara esensial buruk. Maka kita kemudian dapat menyimpulkan bahwa ketika intelek membuat sebuah keputusan apakah sesuatu itu baik atau buruk, maka hal tersebut juga diperlakukan sama oleh syariah dengan cara yang sama.
Namun kaum Ash ‘ariyah percaya bahwa kebaikan adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariah, dan keburukan adalah apa yang dinyatakan oleh syariah sebagai buruk, dan tiada jalan bagi akal manusia untuk mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itulah mereka tidak percaya kepada Keadilan Tuhan dalam makna tersebut. Menurut mereka, filsafat adalah terlarang dan haram dan menggunakan logika adalah bertentangan dengan Islam. Mereka tidak sadar bahwa mereka memerlukan logika, bahkan untuk membuktikan bahwa logika itu bertentangan dengan Islam.
Mereka hanya perduli dengan Al Qur’an dan Sunnah secara superfisial (dangkal) dan terpenggal dari spiritnya. Mereka percaya kepada determinisme (Jabariah) yang di satu sisi telah menyebabkan devaluasi (merosotnya nilai) dari perjuangan para nabi dan tokoh-tokoh besar lainnya, – dan di sisi lain, telah membuat mereka percaya bahwa jika seseorang melakukan kejahatan dia tidak perlu dikecam sebab dia melakukan hal itu tidak dengan suka rela atas kehendak bebasnya sendiri. Di atas hal itu, menurut mereka Tuhan dapat dianggap sebagai asal muasal segala kejahatan di alam semesta!. Mereka mengutip Al Qur’an yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, maka apapun yang terjadi di alam semesta ini hanyalah perbuatan Tuhan, dan jika kita percaya bahwa apabila manusia melakukan apa-apa melalui kehendak bebasnya sendiri maka kita dianggap musyrik (percaya pada politeisme).
Contoh dogmatisme yang ketiga yang disebutkan oleh Muthahhari adalah kecenderungan fuqaha Akhbari di kalangan Syiah. Kemunculan puncaknya pada abad ke-11 dan ke-12, kaum Akhbari sangat dekat dengan kaum formalis dan ahli hadits di kalangan Islam Sunni. Mereka percaya bahwa penalaran akal tidak punya peran dalam memahami dalam memahami ajaran ketuhanan.
Sekilas Pandangan Muthahhari
Sekarang marilah kita tinjau pandangan Muthahhari tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas:
Point pertama yang disebutkan olehnya adalah bahwa manusia berbeda dengan binatang, karena dia diturunkan Tuhan ke bumi (sebagaimana Al Qur’an katakan: “Kami akan menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi” ), karena ia mengemban amanah (kepercayaan Tuhan) di atas pundaknya (sebagaimana Tuhan Yang Maha Kuasa katakan: “Kami menawarkan amanah itu kepada langit dan bumi tetapi mereka tidak dapat menanggungnya, sementara manusia mene-rimanya”), dan karena manusia dibekali kehendak bebas, akal dan kreatifitas, maka manusia merencanakan masa depannya dan tidak sepenuhnya terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar. Semua perkembangan di dalam industri, ekonomi, teknologi, dsb. terkait dengan daya kreatifitas ini.
Muthahhari, tentu saja, percaya bahwa apa yang dapat membuat manusia melakukan perubahan di dalam dunianya melalui daya kreativitas, adalah kebutuhan manusia. Karena manusia membutuhkan hal-hal yang nyata seperti makanan, pakaian, pertanian, ilmu pengetahuan dan kebutuhan lainnya seperti mengorganisasikan semangatnya, hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tetap sepanjang zaman, tetapi manusia membuat peralatan yang beragam dan isntrumen yang berbeda dalam zaman yang berbeda, maka digunakanlah kreatifitasnya yang dikembangkannya setiap hari.
Bagaimanapun juga, manusia bertanggung jawab karena kemampuannya. Ia bertanggung jawab untuk menciptakan perubahan yang diinginkan yang membuatnya berkembang dan tidak merosot. Hal ini berarti bahwa semua perubahan yang telah dibuat oleh manusia di dunia ini tidak selalu diinginkan dan dapat diterima.
Dengan mengambil pendahuluan ini sebagai sebuah pertimbangan, Muthahhari mengatakan bahwa Islam sebagai sebagai agama yang kekal mempunyai prinsip-prinsip yang tetap dan hal-hal yang dapat berubah. Islam mempunyai dua jenis unsur: unsur yang stabil (tetap) yang diperlakukan sebagai fundasi dasar Islam yang tak berubah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tetap, dan unsur-unsur yang dapat berubah, yang tak memiliki bentuk spesifik, seiring dengan dengan perubahan kondisi ruang dan waktu yang dihadapi manusia. Oleh karena itu, jika setiap perubahan terjadi pada jenis unsur kedua, itu tidak berarti sebuah pelanggaran dan pembatalan atau penghapusan keabadian Islam.
Muthahhari percaya bahwa penalaran dan intelek memainkan peran yang sangat penting dalam mengenali prinsip-prinsip agama yang kokoh, sebagaimana adaptasi mereka terhadap kasus-kasus yang dapat berubah, dan ijtihad dapat memperkenalkan agama yang abadi sebagai pedoman bagi zaman moderen melalui pemanfaatan sumber-sumber tersebut.
Dia menekankan peraturan tersebut, bahwa “apapun yang ditetapkan oleh akal adalah juga ditetapkan oleh syariah” sehingga Islam mempertimbangkan bahwa spirit (semangat) dan konteks dari sebuah urusan adalah lebih penting daripada bentuknya dan kemunculannya, maka itulah mengapa Islam tidaklah bertentangan dengan fenomena moderen. Sebagai contoh, dalam ayat al Qur’an berikut: “Bersiaplah untuk menghadapi mereka (yaitu dalam peperangan dengan musuh) semampu kalian…” Prinsip kesiapan mati syahid untuk mempertahankan diri, membela bangsa, dan agama melawan musuh adalah begitu dipentingkan. Ini adalah prinsip Islam yang mapan dan tetap/kokoh (stabil), berdasarkan pasda kebutuhan yang tetap bagi manusia. Namun peralatan dan instrumen untuk pertahanan, adalah tergantung pada zamanmnya, dan kita tidak perlu hanya bertahan pada penggunaan kuda dan panah, sebab itu hanyalah kasus yang terjadi pada zaman awal Islam.
Contoh lain: suatu waktu hak-hak individual bertentangan dengan hak-hak masyarakat, di mana munglkin keduanya tidak dapat terpenuhi. Walaupun menurut Islam kedua hak-hak tersebut adalah sama-sama dihargai dalam situasi normal, dalam kasus pertentangan, hanya salah satu yang lebih pentinglah yang dapat dipenuhi (dan sewajarnya hak-hak masyarakat lebih didahulukan dibanding hak-hak individual).
Satu contoh ketiga: ketika seseorang memprotes Imam Ali, mengapa ia tidak mewarnai janggutnya sementara Nabi SAAW telah memerintahkan Muslim untuk melakukannya, dia menjawab, bahwa pada zaman Nabi masih hidup, kaum Muslim hanyalah segelintir saja dan jika musuh melihat orang-orang tua dalam pasukan tentara Islam, mereka akan mengira pasukan Islam lemah. Maka Nabi yang suci memerintahkan orang-orang tua untuk mewarnai (menghitamkan) janggut dan rambutnya untuk menghindari hal itu. Di sini, prinsip-prinsip Islam yang tetapnya (stable & fixed) adalah bahwa kaum Muslim tidak boleh berperilaku dengan suatu cara yang akan membuat moral musuh menjadi bertambah tinggi. Dengan begitu mereka melakukan pengecatan (pewarnaan) rambut dan janggut itu tergantung pada situasi dan kondisinya.
Dari apa-apa yang telah dikatakan kita dapat mengetahui kritisisme Muthahhari terhadap sudut pandang (perspektif) kedua, yaitu bahwa barang siapa yang berusaha membuat perubahan dalam Islam adalah terkait dengan keperluan zaman. Namun hal itu membutuhkan penjelasan lanjut. Orang-orang yang mengikuti prinsip yang mengatakan bahwa setiap perubahan dalam nilai-nilai kemanusiaan, kepercayaan, dan budaya yang secara umum diterima oleh semua atau banyak orang harus diterima oleh individu-individu dan mereka harus mengubah prinsip agama mereka berdasarkan perubahan tersebut. Kami mengetahui bahwa budaya, nilai-nilai, moral individual dan sosial, dan kepercayaan dunia moderen dan postmoderen ada dalam kontradiksi dengan perintah ajaran Islam dalam banyak kasus. Menurut perspektif ini, Islam harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip baru tersebut.
Hal ini adalah satu kecenderungan umum yang meluas di mana dalam kasus kontradiksi, akan meninggalkan kepercayaan dan moral Islam dengan anggapan bahwa mereka telah bebas merdeka dari kondisi temporal empat belas abad yang lalu.
Dalam pandangan (pendapat) Muthahhari, perspektif ini adalah mutlak salah (ditolak), karena ia telah gagal memahami sepenuhnya prinsip-prinsip Islam yang tetap, dan juga telah menerima bahwa semua kepercayaan dan nilai-nilai moderen adalah dibenarkan dan harus diikuti oleh individu maupun masyarakat, sementara banyak kepercayaan dan nilai-nilai tersebut adalah bertentangan dengan perkembangan spiritual manusia sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan.
Untuk mengadaptasi nilai-nilai dan kepercayaan moderen kita harus memiliki kriteria rasional yang terpercaya, sementara kecenderungan tersebut biasanya miskin logika, dan lemah metodology rasional untuk adaptasi tersebut.
Muthahhari ada dalam konflik serius dengan perspektif ini. Metodology ini mengasumsikan tiadanya prinsip yang tetap dalam Islam, karena kriteria adaptasi dengan penalaran moderen yang berubah-ubah, tidak tetap dan akan segera digantikan dengan rasionalitas lainnya.
Saya harap, saya dapat menjelaskan beberapa perspektif Muthahhari dalam waktu yang singkat ini. ***
Sikap dan Pandangan Filosofis Muthahari terhadap Sains modern*
Mehdi Golshani**
Prolog
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di seantero dunia Islam. Di sini kita membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
(1) Kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
(2) Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
(3) Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang dapat dibagi lagi sebagaimana berikut:
Sejumlah pemikir Muslim, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha memberi justifikasi terhadap sains modern berdasarkan landasan keagamaan. Mereka memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu. Oleh karenanya, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis dan sejumlah intelektual Muslim [yang sekuler].
Sejumlah pemikir berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-Qur’an dan hadis. Motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern dengan ajaran Islam dan membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan. Kelompok ini yakin bahwa beberapa hasil yang telah dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa masyarakat Muslim.
Para ulama berusaha mereinterpretasi sejumlah isu-isu teologi Islam dalam perspektif sains modern. Ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan, menggulirkan teologi alam untuk mereinterpretasi prinsip-prinsip dasar agama Islam dalam bingkai sains modern sebagaimana dapat disaksikan dalam tafsir Al-Qur’annya.
(4) Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak dapat memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas. Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur terkemuka pendapat ini.
Sikap Muthahhari terhadap Sains Modern
Sementara sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan penemuan sains modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah fundamnetal dalam sains yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para ulama. Ia percaya bahwa pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber konflik daripada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen. Seperti komentarnya:
Dalam mempelajari karya-karya setiap ilmuan, saya selalu melacak akar pemikirannya dalam rangka memahami mengapa seorang ilmuan, berdasarkan refleksi filosofisnya mengenai suatu masalah, memilih jalan tertentu dalam memulai dan menyimpulkannya? Postulat apa yang diandaikannya begitu saja sebelum berpendapat ini dan itu?[1]
Dalam pandangan Muthahari, kesalahpahaman ilmuan juga memberikan kontribusi besar pada berkembangnya konflik tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa masalah utama yang meningkatkan konflik antara ilmu dan agama, sekaligus mengelaborasi cara Ayatullah Muthahhari mendekati masalah ini.
1. Argumen Keteraturan
Sebagaimana yang telah kami sebutkan, bersamaan masuknya sains modern ke dalam dunia Islam, sebagian ilmuan Muslim mengatakan bahwa teologi sekalipun harus tunduk pada metode-metode sains yang bersifat empiris, dan bahwa sains merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai fenomena-fenomena alam dijadikan argumen kememadaian (self-sufficiency) metode ilmiah. Bahkan ada pula ilmuan yang mengidentikkan kearifan Al-Qur’an dengan Positivisme.[2]
Mengenai hal ini, Muthahhari mengakui bahwa observasi dan eksperimentasi merupakan piranti penting untuk memahami alam, namun ia tidak yakin terhadap kememadaian inderawi. Menurutnya, hasil kerja intelektual sangatlah diperlukan sebelum seseorang memberikan interpretasi teistik terhadap dunia. Sains empiris juga mengakrabkan kita dengan karya-karya Tuhan, bahkan kesimpulan tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan Tuhan berdasarkan kajian mengenai alam, pun membutuhkan penalaran intelektual. Lompatan dari yang terbatas (finitum)kepada yang tak terbatas (infinitum)mensyaratkan penalaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari:
Membuktikan adanya Tuhan dengan menunjukkan adanya “keteraturan dan arah” [alam semesta] memang cara yang baik. Namun teori itu hanya berfungsi untuk menyadarkan kita bahwa alam semesta ini … berada di bawah pengawasan kekuatan yang berpengetahuan, yang mengaturnya …. Paling tidak, sains memberi tahu kita pencipta semesta ini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dibuatnya, tapi bisakah sains membuktikan bahwa ‘Dia mahamengetahui segala sesuatu’ (Q.S. 57:3).[3]
Ternyata hukum-hukum fisika dan kimia juga tidak murni fakta-fakta empiris. Kesimpulan-kesimpulan keduanya juga sangat membutuhkan pengolahan intelektual. Konsep materi, misalnya, merupakan kesimpulan intelektual, sebab eksperimen hanya memberikan sifat-sifat materi tersebut kepada kita [dan bukan totalitasnya].
Berkenaan dengan teori keteraturan, Muthahhari berpandangan bahwa setiap orang dihadapkan pada dua model keteraturan: keteraturan yang berkaitan dengan sebab efisien (the efficient cause) dan keteraturan yang berkaitan dengan sebab final (the final cause). Jika yang pertama hanya menunjukkan rangkaian sebab-akibat, maka yang terakhir mengisyaratkan adanya pengetahuan dan pilihan dalam menentukan sebab efisien. Karena itu, keteraturan yang terlihat di dunia merupakan perwujudan model keteraturan yang kedua, dan keteraturan semacam itu merujuk kepada alam metafisik. Sayangnya, menurut Muthahhari, kebanyakan orang tidak membedakan dua hal ini.[4]
Menurut Muthahhari, argumentasi keteraturan yang digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan pada hakikatnya memiliki unsur empiris dan teoretis sekaligus. Mengabaikan hal ini telah membuka jalan bagi kritisisme terhadap argumentasi keteraturan. Manfaat argumentasi keteraturan adalah ia menunjukkan kita batas-batas antara fisika dan metafisika. Ia menunjukkan adanya realitas supernatural. Namun, teori itu sama sekali tidak mengatakan sifat dasar realitas supernatural dan apakah ia terbatas ataukah tidak.
2. Teori Evolusi Darwin
Darwin menolak ide tentang kepermanenan spesies (the fixity of species) dan memproklamirkan ide evolusi spesies. Dia menegaskan idenya itu dengan teori mekanisme seleksi alam (the mechanism of natural selection) dan teori bertahan hidup bagi yang paling kuat (the survival of the fittest). Kaum Darwinian berusaha menjelaskan kehidupan dengan proses untung-untungan (the chance processes) dan karena itu menyangkal peran keteraturan penciptaan. Keteraturan yang kita lihat dalam kehidupan dunia mereka anggap sebagai hasil dari peluang dan seleksi alam. Hal itu antara lain disampaikan oleh Richard Dawkins di acara yang dipandunya di BBC2 pada tahun 1987:
Proses untung-untungan dalam seleks alam yang berjalan selama ribuan tahun memiliki cukup energi untuk menghasilkan keajaiban seperti dinosaurus dan diri kita.[5]
Kaum Darwinian bermaksud menghilangkan peran Sang Pencipta. Yang mereka lupakan adalah: memperkenalkan mekanisme bagi sesuatu [penciptaan] tidak serta-merta menegasikan peran pencipta. Kemunculan suatu spesies mestinya dijelaskan apakah ia terjadi secara gradual atau tiba-tiba. Sebagaimana ditunjukkan Abu Al-Majd Muhammad Rida al-Najafi al-Isfahani, seorang intelektual muslim terkemuka awal abad ke-20, teori evolusi tidak bertentangan dengan paham ketuhanan. Hanya penafsiran materialistik dari teori ini yang menegasikan Tuhan.[6]
Dalam beberapa dekade belakangan, para eksponen Darwinisme yang ateis sibuk mengajukan ketidaksesuaian antara teori evolusi dengan paham ketuhanan. Komentar Dawkins menggambarkan pertentangan tersebut berikut ini:
Akhirnya, hanya [teori tentang] Tuhan dan seleksi alam yang bisa menjelaskan mengapa kita tercipta.[7]
Namun, Dawkins yakin bahwa teori Darwin telah membuat kepercayaan pada Tuhan menjadi tampak sia-sia:
Kendati teisme dapat bertahan sebelumnya, namun Darwin dapat membuatnya menjadi pandangan intelektual yang benar-benar ateistik.[8]
Dawkins tidak melihat adanya kesesuaian antara teori seleksi alam dengan keberadaan Pencipta alam. Dalam kuliahnya tahun 1884, Uskup Agung Fredrick Temple menjelaskan duduk perkaranya dengan baik:
Apa yang dimaksudkan oleh doktrin (Evolusi) bukanlah bukti tentang penciptaan alam semesta, namun lebih pada cara penciptaan terjadi …. Dalam suatu kasus, Sang Pencipta menciptakan binatang-binatang seketika seperti yang ada sekarang, namun dalam kasus lain, Sang Pencipta menciptakannya melalui unsur-unsur materi … yakni kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalamnya, sehingga seiring perjalanan waktu, makhluk-makhluk berkembang seperti yang ada sekarang.[9]
Muthahari sepenuhnya sadar akan kerancuan ini. Dalam kuliahnya di Islamic Association of Physicians, Teheran, Muthahhari (1968) menegaskan bahwa baik secara filosofis maupun teologis, tidak ada hubungan antara teori penciptaan spontan ataupun gradual, dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kesalahanpahaman ini merupakan akibat kesalahan dari abad ke-19 ketika orang melihat adanya korelasi antara kepercayaan kepada Tuhan dengan “teori kepermanenenan spesies”. Bagaimanapun juga, tidak ada kesenjangan logika antara kepercayaan kepada Tuhan dengan teori evolusi. Namun Muthahhari menegaskan bahwa hukum-hukum evolusi Darwinian tidaklah cukup untuk menerangkan proses evolusi spesies. Evolusi harus dilengkapi dengan hukum-hukum metafisik.[10]
Muthahari mengklasifikan dua kelompok yang memberi kontribusi pada berkembangnya tesis mengenai pertentangan antara paham ketuhanan dengan ide evolusi spesies. Kelompok pertama terdiri dari kaum beriman yang menyerang ide evolusi spesies karena menganggapnya bertentangan dengan agama mereka. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari para materialis yang menggulirkan teori evolusi untuk melepaskan diri dari ide eksistensi Tuhan.[11]
Menanggapi orang-orang yang melihat adanya pertentangan antara cerita tentang Adam yang terdapat dalam Bibel dan Al-Qur’an, dengan teori evolusi, Muthahhari setuju dengan pandangan yang mengaggap Adam tidak harus menjadi manusia pertama. Lebih tepat jika kemunculan Adam dianggap menandai tahap maju dalam perkembangan manusia. Cerita tentang Adam dalam Al-Qur’an merupakan pelajaran-pelajaran moral:
Cerita tentang Adam memang ada dalam Al-Qur’an, namun cerita itu tidak memuat sedikit pun masalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan atau tauhid. Cerita itu sebenarnya diungkapkan untuk mengajari kita tentang akibat kesombongan setan dan kealpaan Adam. Akan tetapi, cerita penciptaan manusia [secara umum] itulah yang dimaksudkan untuk mengajari kita tentang monoteisme.[12]
3. Masalah Kehidupan
Persoalan jiwa dan raga, dan hubungan di antara keduanya merupakan permasalah lama. Seiring perkembangan dan popularitas teori evolusi dan filsafat materialistik, para ilmuan berusaha terus-menerus untuk mengkaitkan segala sifat-sifat kehidupan dengan proses psiko-kimiawi, guna mengesampingkan konsep jiwa. Muthahhari, dalam hal ini, mengakui pengaruh proses psiko-kimiawi bagi kehidupan, sekaligus menganggapnya tidak memadai. Radio, misalnya, memang penting untuk menerima sinyal yang dikirim transmiter, namun ia bukan segala-galanya. Untuk lebih jelasnya, Muthahhari mengatakannya sebagai berikut:
Sintesa, penjumlahan, pengurang, dan pengombinasian bagian-bagian materi merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memunculkan efek-efek kehidupan, namun itu semua tidaklah cukup.[13]
Menanggapi pendapat yang mengatakan manusia dapat memproduksi efek-efek kehidupan Muthahhari berpendapat:
Tatkala kemampuan menghadirkan kehidupan dihasilkan oleh materi, [sebenarnya] Tuhanlah yang menganugrahinya kehidupan. Dengan kata lain, materi dalam gerak perkembangannya, menjadi hidup. Ia mendapatkan kesempurnaannya yang masih kurang, dan menghasilkan efek dan aktivitas yang sebelumnya jauh dari kesempurnaan.[14]
Pandangan ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kehidupan ini merupakan anugerah Tuhan. Muthahhari menegaskan:
Mustahil jika kondisi-kondisi pemberian jiwa [oleh Tuhan] ada, tapi tidak ada kehidupan. Bukankah Tuhan Mahakuasa, Mahasempurna, dan Mahapemurah kemudian disaingi oleh manusia? Seandainya suatu ketika manusia mencapai hal ini, apalagi yang harus mereka siapkan, jika bukan menciptakan kehidupan.[15]
Muthahhari juga mengkritisi kaum beragama yang menggali asal-muasal kehidupan hanya demi mengaitkannya dengan Tuhan. Bagi Muthahhari, mereka mencari-cari Tuhan yang hilang (God of gaps), yakni mencari Tuhan yang cocok untuk mengisi kebodohan manusia:
Di sini kami ingin mencari alasan mengapa orang-orang yang bertuhan itu mencari asal-muasal kehidupan untuk mengkaitkan kemurnian kehidupan itu dengan kehendak Tuhan. Padahal, Al-Qur’an dalam pandangan monoteistiknya, sama sekali tidak mengikuti metode semacam itu. Al-Qur’an menganggap hidup … sebagai hasil dari kehendak langsung Tuhan. Al-Qur’an, dengan kata lain, sama sekali tidak membedakan asal-muasal kehidupan dengan kelanjutannya …. Selain itu, kita tidak boleh lupa akan perbedaan fundamental antara logika Al-Qur’an dengan logika lain. Namun, sayangnya, kaum beragama itu tetap saja mencari Tuhan dari sisi gelap pengetahuan mereka. Sehingga tak mengherankan jika mereka sering kali mengkaitkan kebodohan mereka kepada Tuhan, tatkala pikiran mereka terbatas dalam memahami suatu hal.[16]
4. Penciptaan Alam Semesta
Selama Masa Pertengahan, masalah penciptaan alam semesta senantiasa dikaitkan dengan konsep ketuhanan. Penciptaan alam semesta digunakan sebagai bukti filosofis bagi keberadaan Tuhan. Namun, dalam dua abad terakhir, terutama sejak abad ke-20, kepercayaan tentang kekekalan alam semesta sangatlah populer dalam diskusi ilmu pengetahuan, dan menjadi salah satu argumen kuat kaum materealis untuk melawan konsep keberadaan Tuhan. Namun setelah Hubbel menemukan perubahan warna merah pada cahaya dari galaksi, ‘teori ekspansi alam semesta” atau dikenal dengan “teori Big Bang”, benar-benar melambung dan meraih popularitas luar biasa. Teori itu selanjutnya diterima pula oleh kaum beragama di seluruh dunia. Sebab, mereka merasa mendapatkan bukti konkret terciptanya alam semesta oleh tangan Tuhan berkat teori tersebut. Akan tetapi, para pakar kosmologi ateis segera berusaha menghadirkan argumentasi yang dapat menolak ide penciptaan alam semesta dalam satu waktu, dan perdebatan pun berlanjut. Hanya saja, sejumlah fisikawan mengakui bahwa asumsi tentang kekekalan alam semesta tidak lantas menjadikannya membuktikan apa-apa. Dalam hal ini, Paul Davies berkata:
Fakta yang menyatakan bahwa alam semesta tidak bermula dari suatu waktu tertentu tidak dapat menjelaskan eksistensi alam semesta tersebut. Fakta itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa alam semesta ini terbentuk semacam ini. Tentu saja ia tidak menjelaskan mengapa alam menempati semesta yang relevan (seperti penciptaan semesta) dan prinsip-prinsip fisik yang menciptakan kosmos yang stabil.[17]
Muthahhari menegaskan bahwa baik teori kebaharuan penciptaan maupun teori kekekalan alam semesta tidak ada hubungannya dengan masalah eksistensi Sang Pencipta. Kesalahan fatal akan terjadi, menurut Muthahhari, jika kita mengasumsikan kepercayaan bahwa Tuhan mensyaratkan konsep kebaharuan alam semesta:
Mengapa kita memperbincangkan masalah hari pertama penciptaan semesta, dan mengatakan bahwa semesta tercipta secara gradual? Padahal, ia selamanya dalam keadaan tercipta. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng dalam semesta ini.[18]
Berdasarkan prinsip-prinsip monoteistik, sebenarnya orang dapat mengatakan bahwa alam semesta ini tidak berpermulaan. Sebab, jika alam semesta ini berpermulaan, bisa jadi ada alam lain sebelum alam ini dalam bentuk yang lain pula.[19] Dalam ungkapan Muthahhari:
Mungkin mereka benar, jika berjalan mundur ke ribuan tahun silam, kita akan dapatkan keadaan dunia yang berbeda dengan keadaan dunia saat ini. Namun, bagaimana kita dapat mengetahui jika tidak dunia lain yang memiliki keadaan berbeda sebelum dunia ini?[20]
Gagasan mengenai keberagaman alam semesta yang dikemukakan Muthahhari pertengahan 1970-an, menjadi ide terkemuka dalam kajian kosmologis tahun 1980-an dan 1990-an. Namun, para kosmolog hanya menggunakan ide itu untuk memperselisihkan keberadaan Tuhan. Sedangkan Muthahhari menggunakannya untuk mempropagandakan ide Tuhan yang Mahapengasih.
5. Prinsip Kausalitas
Para fisikawan zaman klasik mempercayai prinsip kausalitas sebagai postulat dasar. Mereka juga percaya bahwa dengan mengetahui persamaan gerak suatu sistem berikut kondisi permulaannya, seseorang dapat memprediksikan dengan tepat masa depan sistem tersebut. Pada tahun 1927, Heisenberg menggulirkan ide “relasi yang tidak menentu”, yang berisikan ketidaktahuan manusia akan posisi dan kecepatan tertentu dari suatu partikel. Setelah itu, Heisenberg meloncat dari kesimpulan epistemologisnya itu menuju kepada kesimpulan ontologis, dengan mendeklarasikan teori yang mengatakan bahwa prinsip kausalitas tidak berlaku pada realitas atom. Selanjutnya, ia menegasikan kemungkinan adanya level subkuantum dalam aturan hukum kausalitas. Ia juga beranggapan bahwa spekulasi-spekulasi itu sering kali tidak berguna dan omong kosong:
Karena sifat statistikal teori kuantum berkaitan erat dengan ketidakpastian semua persepsi, seseorang dapat mencapai anggapan bahwa di belakang dunia statistik yang di dalamnya terkandung hukum kausalitas, terdapat “dunia” tersembunyi yang ditopang oleh hukum kausalitas. Namun singkat kata, spekulasi ini tidak berarti apa-apa dan omong kosong …. mekanika kuantum telah menandaskan kegagalan mutlak teori kausalitas. [21]
Namun, fisikawan lain, seperti Einstein Nernst, menolak pandangan di atas dan mengaitkan ketidakpastian realitas atom dengan ketidaktahuan manusia. Kemudian penolakan itu ditentang oleh fisikawan dan filsuf lain yang berpikiran bahwa ide Heisenberg dapat memberikan solusi bagi masalah kebebasan kehendak manusia. Sebab, proses psikologis bergantung kepada proses fisika yang pada dasarnya tidak menentu.[22] Akan tetapi, Einstein menolak anggapan adanya pertentangan antara aturan hukum kausalitas dengan kebebasan kehendak manusia:
Sepertinya Anda menghadapi konflik antara perspektif kausalitas murni versi Spinoza dengan perspektif yang menginginkan adanya usaha-usaha aktif untuk menciptakan keadilan sosial. Bagi saya, tidak ada konflik di situ. Karena ketegangan mental tidak cukup mengandalkan keinginan saja, tapi juga harus mendorong terwujudnya keadilan sosial dengan cara menyatukan berbagai faktor yang masing-masing mengambil bagian dari sistem kausalitas yang masih terabaikan.[23]
Sejalan dengan maraknya diskusi tentang teori kuantum dan teori kausalitas, ilmuwan Islam, pada dekade terakhir ini, juga mulai merevivalisasi teori Asy’ari yang telah lama diabaikan. Mereka juga menggunakan teori kuantum untuk mendukung ide-ide mereka.[24] Namun, Muthahhari, menolak teori fisika kuantum itu. Dengan melakukan beberapa observasi, Muthahhari mengkritisi teori tentang prinsip ketidakpastian itu.[25] Hasil pengamatannya antara lain sebagai berikut:
Kami tidak bermaksud untuk menolak observasi ekperimental para fisikawan. Yang ingin kami lakukan hanyalah mengkritisi kesimpulan filosofis yang telah mereka capai.
Hukum kausalitas adalah hukum filosofis. Oleh karenanya, keberadaannya hanya dapat ditolak dengan argumentasi filosofis. Sedangkan sains tidak mungkin mampu menetapkan ataupun menolaknya. Ia hanya mampu menerimanya sebagai sebuah postulat dasar. Dalam hal ini Planck berkata:
Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa hukum kausalitas pada dasarnya hanya sebuah hipotesis. Namun demikian, posisi hukum kausalitas tidak sama dengan hipotesis yang lainnya. Karena hukum kausalitas merupakan hipotesis yang paling fundamental. Ia adalah hipotesis yang berbentuk postulat, yang berperan penting dalam memberikan pengertian dan makna bagi seluruh penggunaan hipotesis dalam penelitian ilmiah.[26]
Hukum kausalitas memandang seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan. Oleh karenanya, penerapannya pada mikrokosmos dapat merusak validitas hubungan hukum tersebut dengan keseluruhan alam semesta. Shabistari, seorang mistikus Persia pernah mengatakan hal tersebut sebagai berikut:
Jika kau buang sesuatu dari tempatnya, seluruh semesta akan hancur berantakan.
Tidak terprediksikanya dunia atom tidak berarti hukum kausalitas tidakvalid. Sebab, kita tidak punya alasan pasti untuk menyatakan bahwa kita telah mencapai batas akhir pengetahuan kita atau kita telah menelusuri semua faktor yang relevan. Ketidakmampuan kita dalam memprediksikan sesuatu bisa jadi merupakan hasil dari ketidaktahuan kita atas beberapa fakta yang belum diketahui. Henry Stapp, eksponen teori kuantum kontemporer, menyetir pendapat berikut:
Teori kuantum kontemporer memperlakukan kejadian-kejadian (alam semesta) ini sebagai suatu variabel tak beraturan (random variables) dengan cara menspesifikkan bobot statistiknya saja ke dalam teori ini. Artinya, teori kuantum tidak turut campur membahas pilihan aktual-spesifik suatu kejadian atau bagaimana kejadian itu berlangsung.
Yang jelas, pernyataan teori fisika kontemporer bahwa tidak ada sesuatu selain yang ada/terjadi, tidak berarti sains telah menjadi stagnan. Para fisikawan masa kini percaya pada kebenaran teori itu bisa saja demikian dan juga memuaskan, karena pilihan-pilihannya memang demikian.
Saya percaya kemungkinan itu bisa diterima sebagai ungkapan keadaan pengetahuan ilmiah kita dewasa ini, namun sains seyogyanya tidak puas dengan keadaan itu. Sains sudah selayaknya senantiasa berjuangan menuju posisi yang lebih baik. Semua cabang ilmu pengetahuan harus memainkan peranannya masing-masing …. sehingga, pada konteks perjuangan yang sangat luas itu, teori di atas seyogyanya diposisikan sebagai salah satu elemen dari sisi gelap dunia kontemporer yang masih harus dikaji. Teori itu, dengan kata lain, bukan sebagai ungkapan final yang harus puas kita terima.[27]
Beberapa ilmuan bahkan membicarakan kemungkinan sebab-sebab yang nonfisik. Pernyataan itu antara lain diungkapkan oleh seorang ahli matematika Kanada, John Byl:
Argumentasi yang menyatakan bahwa “ketiadaan sebab-sebab fisik merupakan suatu kepastian dalam peristiwa-peristiwa kuantum,” telah membuka jalan bagi kemungkinan eksistensi sebab-sebab nonfisik. Sebab-sebab nonfisik itu bisa jadi berupa akal manusia, wujud spiritual seperti malaikat, jin, atau tindakan langsung Tuhan. Tegasnya, sebab-sebab nonfisik ini berada di luar penyelidikan ilmiah, sehingga secara ilmiah, ia tidak menjamin kebenaran teori “ketidakadaan sebab fisik mengindikasikan ketidakadaan suatu sebab.[28]
Dalam semangat itulah, David Bohm membangun variabel teori kuantum yang tersembunyi, bersifat kausal, dan dapat menghasilkan seluruh hasil ekperimen teori kuantum.
Generalisasi hasil-hasil eksperimen mengenai hukum baru hanya bermakna apabila telah memperoleh hukum kausalitas. Plank menyimpulkan:
Hipotesis apa pun yang mengindikasikan aturan definitif menunjukkan prinsip kausalitas itu valid.[29]
Para ilmuan yang berusaha menjelaskan kebebasan manusia dengan cara menerapkan hukum kausalitas pada hakikatnya salah dalam memahami makna kebebasan berkehendak. Kita memang bebas dalam memilih melakukan ini dan itu, namun pilihan itu tergantung pada motivasi kita dan berbagai sebab-sebab lainnya.
Epilog
Menarik menyaksikan bagaimana poin-poin yang dibicarakan Muthahhari pada permulaan tahun 1950-an, mulai dibicarakan oleh ahli-fisikawan papan atas, seperti Dirac dan de Broglie pada tahun 1960-an dan 1970-an.[30] Bahkan, teori kausalitas mekanika kuantum pun menemukan momentumnya dalam dua dekade terakhir ini, sampai-sampai fisikawan terkemuka penerima Nobel Fisika Laureate seperti G. ‘t Hooft mengerjakan riset berdasarkan teori-teori kausal tersebut.***
Dr. Seyyed Mohsen Miri
Direktur pertama ICAS Jakarta
Walaupun pertanyaan tersebut telah menarik perhatian banyak pemikir lainnya, khususnya di zaman moderen ini, di dunia yang selalu berubah, apa yang membedakan Muthahhari dari mereka adalah jawaban yang dia berikan untuk pertanyaan tersebut. Karena dia menolak beberapa perspektif (pandangan) dalam pembahasan ini, pertama-tama kita harus meninjau beberapa perspektif tersebut dan apa (kritik) yang Muthahhari katakan tentang beberapa prespektif tersebut, dan kemudian mengemukakan solusinya.
Menurut pandangan literalisme dan dogmatisme, suatu perspektif yang secara luas disuguhkan oleh beberapa Muslim, tidak terdapat ruang yang layak bagi nalar dalam memahami Islam, dan melalui penawaran sebuah pemahaman yang vulgar atas makna literal dari al Qur’an dan Sunnah, ia menyajikan sebuah pola yang kaku dalam menghadapi setiap perubahan dan transformasi, sehingga nalar dan perubahan tidak punya pengaruh terhadap pemahaman atas Islam dan nilai-nilainya. Hasilnya adalah bahwa kita harus memilih antara Islam atau realitas perubahan dan transformasi di dunia. Apakah harus memilih Tuhan dan wahyu-Nya ataukah manusia dan nalar akalnya? Pra-anggapan mereka adalah apapun yang mereka temukan dari al Qur’an dan Sunnah, serta penafsiran para ulama, merupakan bagian pokok dan stuktur mendasar (fundamental) dari Islam dan setiap fleksibilitas dalam kaitan ini dapat keluar dari Islam.
Perspektif kedua adalah sebuah penentangan mutlak terhadap perspektif yang pertama yang beranggapan bahwa kita harus sepenuhnya menyesuaikan diri dengan zaman, transformasi dan pencapaian intelektual manusia, dan atas dasar pencapaian itulah kita mesti me-review (memahami ulang) Islam, sekalipun hal itu mungkin meninggalkan banyak konsep-konsep religius dan elemen-elemen Islam yang ditemukan dalam Qur’an dan Sunnah. Menurut perspektif ini, Islam akhirnya akan menjadi lebih berupa kepercayaan batiniah, sebuah hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan, dan berupa ritual formal. Di sini wahyu ilahiah ditundukan oleh nalar. Nalar macam apa? Nalar yang meraba-raba dan tidak stabil yang dapat digantikan oleh hal yang lainnya dengan cepat dan bukan penalaran akal yang matang.
Perspektif yang ketiga adalah salah satu perspektif (cara pandang) yang moderat yang dikemukakan oleh Murthadha Muthahhari.
Beberapa Penjelasan Mengenai Perspektif Pertama
Muthahhari mengatakan bahwa perspektif ini, yang karakteristiknya adalah kaku, menakutkan, harfiah (literalis), formalisme yang meluas, dan penolakan terhadap semua jenis penalaran akal dalam dunia keagamaan dan, itu sayangnya didukung oleh banyak kaum Muslim, telah memainkan peran yang merusak dalam arti menghalangi Islam dari kedinamisan hidup yang vital yang pada gilirannya menyebabkan kelemahan dan kemerosotan di dalam Islam. Menurut Muthahhari, mereka telah sangat lebih melukai Islam dibanding kaum Mongol, karena orang-orang Mongol nyata-nyata adalah musuh, tapi kaum literalis tersebut adalah mereka yang mencederai Islam atas nama agama dan kesucian. Muthahhari menghitung beberapa aliran yang menjadi perwakilan dari metode pemikiran tersebut yaitu: kaum khawarij, formalis (Ahl al-Dhahir) dan kaum Akhbari.
Khawarij muncul di pertengahan abad pertama tahun hijrah dan menghilang di pertengahan abad kedua, tapi sebagaimana Muthahhari nyatakan, semangat mereka saat ini masih hidup di beberapa kalangan Muslin. Karakteristik mereka adalah sebagai berikut:
Mereka berani mengorbankan diri, petempur, keras kepala dan para pejuang Jihad sampai mati.
Mereka adalah orang-orang yang rajin berdoa dan berpuasa, membaca al Qur’an, memperhatikan peraturan (fiqh / ”Syariah”) Islam, dan sangat hati-hati terhadap kehidupan duniawi mereka. Inilah alasannya mengapa begitu banyak orang yang tertarik kepada mereka.
Pada saat yang sama, mereka bodoh, jahil (tak berpengetahuan), suka mengada-ada, kurang menggunakan logika dan penalaran akal sehat, tidak mau berbeda sikap dalam setiap keadaan khusus dan temporal yang dapat mengubah keputusan mereka. Mereka tidak mau mendukung pemikiran intelektual dan ilmu pengetahuan dan kemudian berpandangan sempit dan cetek (dangkal/pendek) pandangannya. Mereka hanya mengambil permukaan ajaran Islam dengan kebodohan yang nyata terhadap semangat (spirit) dan tujuan akhir dari agama besar ini. Mereka, oleh karena itu, telah mengubah semua dimensi Islam menjadi sesuatu yang terbatas, sesuatu yang tidak sempurna (cacat).
Tidak ada seorang pun pemikir yang bisa secara mutlak menerima Islam dengan cara yang telah mereka perkenalkan. Bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan agar orang harus berpikir dulu dan kemudian bertindak didasarkan pada pemikiran itu, mereka bertindak lebih dulu tanpa pemikiran sebelumnya. Hal Itu dapat dengan jelas dilihat dalam sejarah Islam bahwa Nabi yang suci tidak mengijinkan kaum Muslimin untuk ambil bagian dalam Jihad apapun atau bahkan untuk mempertahankan diri mereka sendiri di Mekah selama 13 tahun walaupun mereka banyak menderita dan hanya di tahun kedua setelah Hijrah ke Madina-lah kaum diijinkan untuk berjuang dalam peperangan.
Nabi yang suci melakukan hal itu dalam rangka membiarkan kultur Islam menembus ke dalam jantung masyarakat Muslim dan kaum Muslimin siap untuk memperoleh pengertian yang mendalam sedemikian rupa sehingga mereka menjadi mampu mendakwahkan Islam dengan cara yang benar. Bahkan ketika mereka dikirim berjihad, mereka sadar tentang apa tujuan mereka, sebagaimana Imam Ali katakan, mereka mempunyai pengertian yang mendalam mengenai fungsi pedang mereka.
Oleh karena itu, kaum Khawarij sering digunakan oleh kalangan anti-Islam sebagai alat bukti untuk mendekreditkan Islam. HaI itu selalu terjadi di mana orang yang bodoh dan orang-orang yang sok suci digunakan oleh musuh untuk menyerang kaum Islamis dan kepentingan sosialnya. Mereka menjadikan kebodohan dan kepicikan mereka sebagai suatu keimanan religius di mana Tuhan, manusia dan alam semesta ditafsirkan. Mereka membatasi kemurahan hati Tuhan dan percaya bahwa semua orang Islam, kecuali beberapa orang saja, akan dikirim ke neraka di akhirat. Karena itulah mereka membunuh setiap orang saleh yang tidak setuju dengan apa yang telah mereka katakan. Mereka percaya bahwa seseorang yang melakukan suatu dosa besar telah menjadi orang yang tidak beriman (kafir), sedangkan Nabi yang suci tidak memperlakukan mereka seperti itu: Nabi menghukum mereka, tetapi tetap memberikan bagian mereka dari Bayt al-mal, Ia tidak melarang Muslim yang lain dari mempunyai hubungan -termasuk perkawinan- dengan mereka, dan ia mendoakan jenazah mereka ketika mereka meninggal.
Khawarij tetap menentang kenyataan. Mereka tidak bisa memaklumi fleksibilitas dan hanya menerima beberapa doktrin dogmatis dalam kaitan dengan kebodohan mereka, yang tidak punya keselarasan dengan Logika Islam. Mereka secara alami menciptakan krisis di masyarakat Islam antara lain pertempuran Nahrawan – di mana sangat banyak orang Islam dibunuh – dan kesyahidan Imam Ali adalah bukti nyata atas hal itu.
Di dalam pertempuran Siffin, mereka memaksa Imam Ali untuk menerima arbitrasi dan berdamai dengan musuh. Dan ketika mereka menyadari bahwa kebijakan mereka itu salah, mereka mengumumkan bahwa “tidak ada hukum kecuali hukum Allah” dan berdasarkan itu mereka mengutuk semua orang yang telah menerima arbitrasi perdamaian itu dan mengumumkan bahwa ia harus bertobat sebab ia telah menjadi orang kafir yang tak beriman dengan melakukan hal itu atau mereka boleh bertempur melawan terhadap dia.
Imam Ali berkata bahwa pada awalnya adalah kalian yang memaksa aku untuk menerima arbitasi itu dan berdamai dengan musuh; yang kedua, menerima arbitrasi tidak akan membuat orang Islam menjadi kafir; yang ke tiga, slogan ” tidak ada hukum kecuali hukum Allah” adalah suatu kalimat benar yang digunakan dengan jalan yang salah; dan akhirnya, jika diterimanya arbitrasi sewenang-wenang itu membuat aku menjadi kafir, mengapa kamu menghukumi masyarakat Islam? Tentu saja Imam Ali memaklumi mereka dan tetap membayarkan hak mereka dari Bayt al-Mal sampai mereka memulai membunuh manusia, laki-laki dan wanita-wanita yang tak berdosa.
Lalu, mereka mengumumkan Imam Ali sebagai kafir dan mencoba untuk membunuh dia !, seorang yang dulu menjadi standar ukuran kebenaran menurut teks hadist baik yang ada di kalangan Sunni dan Syiah, dan Nabi yang suci telah berkata sekitar dia: “Ali ada bersama kebenaran dan kebenaran ada bersama Ali, Kebenaran itu pergi di kemana saja Dia pergi.”
Hanya Imam Ali yang bisa mengangkat jihad sekaligus dalam pemikiran dan tindakan melawan wabah merusak yang bertopeng kealiman. Ia sungguh sadar bahwa orang-orang ini akan merusak Islam jauh lebih dahsyat dibanding orang lain, maka ia berkata, “Punggungku dipatahkan oleh dua jenis orang: pertama orang bodoh dengan penampilan orang saleh, dan kedua, seorang yang terpelajar yang teledor terhadap hukum Islam.”
Khawarij hilang di abad yang kedua, tetapi semangat mereka selalu hadir sepanjang sejarah.
Mutahhari mengatakan bahwa di dalam sejarah Islam, kapan pun orang bodoh dengan penampilan saleh diperlakukan sebagai simbol ketakwaan, maka kaum anti-agama telah menggunakan mereka sebagai alat untuk niat jahat mereka melawan orang yang benar-benar Islami. Kolonialisme telah menggunakan orang-orang itu dalam rangka memecah belah orang Islam ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Menurut Motahhari, dogmatisme seperti itu telah memainkan peran penting dalam menjadikan sebagian orang menjadi anti-agama.
Contoh lain dogmatisme yang menurut pendapat Mutahhari telah memainkan peran merusak terhadap Islam adalah kemenangan kaum formalis dan kaum akhbari (ahli hadits) melawan Mu’tazila, yang bagaimanapun juga adalah orang yang berpikir. Walaupun Motahhari mengkritik dan sangat banyak menolak pandangan Mu’tazila, ia mempertahankan metoda intelektual mereka dan mengaggap hilangnya mereka sebagai kerugian besar bagi dunia Islam, sebab akal, filsafat, dan intelektualitas menjadi terisolasi sejak zaman mereka. Walaupun peristiwa itu terjadi di dalam kelompok Islam Sunni, namun peran merusaknya mempengaruhi kelompok Syiah, seperti dapat dilihat kemudian.
Orang-orang itu ceroboh terhadap pertimbangan intelektual dan selalu menuntut secara dogmatis mengenai makna literal al-Qur’an, sekalipun hal itu bertentangan secara langsung dengan intelek manusia – yang membuktikan bahwa kebenaran eksistensi Tuhan, Kenabian, dan Hari Kebangkitan, dan al-Qur’an hanya akan menjadi sah jika telah terbukti secara rasional. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa Tuhan duduk bertahta di atas Singasana-Nya, karena al-Qur’an telah mengatakan: “Al Rahman berada di atas Singasana”. Padahal hal itu terbukti secara rasional dan riwayat bahwa Tuhan tidak memiliki jasad dan tidaklah duduk di atas apapun. Dan ketika mereka ditanya tentang hakikat duduk-Nya Tuhan dan singasana tersebut, mereka mengatakan bahwa hakikatnya tidak diketahui dan mempertanyakan hal tersebut adalah kekafiran (kefasikan).
Bertentangan dengan mereka, kaum Mu’tazilah percaya bahwa di sana ada kebaikan dan kejahatan di dalam dirinya sendiri tanpa perlu penegasan oleh Syariah, karena hal-hal tersebut dapat ditemukan oleh akal/intelek. Syariah memerintahkan sesuatu, karena hal itu secara esensial baik dan melarang sesuatu karena sesuatu itu secara esensial buruk. Maka kita kemudian dapat menyimpulkan bahwa ketika intelek membuat sebuah keputusan apakah sesuatu itu baik atau buruk, maka hal tersebut juga diperlakukan sama oleh syariah dengan cara yang sama.
Namun kaum Ash ‘ariyah percaya bahwa kebaikan adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariah, dan keburukan adalah apa yang dinyatakan oleh syariah sebagai buruk, dan tiada jalan bagi akal manusia untuk mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itulah mereka tidak percaya kepada Keadilan Tuhan dalam makna tersebut. Menurut mereka, filsafat adalah terlarang dan haram dan menggunakan logika adalah bertentangan dengan Islam. Mereka tidak sadar bahwa mereka memerlukan logika, bahkan untuk membuktikan bahwa logika itu bertentangan dengan Islam.
Mereka hanya perduli dengan Al Qur’an dan Sunnah secara superfisial (dangkal) dan terpenggal dari spiritnya. Mereka percaya kepada determinisme (Jabariah) yang di satu sisi telah menyebabkan devaluasi (merosotnya nilai) dari perjuangan para nabi dan tokoh-tokoh besar lainnya, – dan di sisi lain, telah membuat mereka percaya bahwa jika seseorang melakukan kejahatan dia tidak perlu dikecam sebab dia melakukan hal itu tidak dengan suka rela atas kehendak bebasnya sendiri. Di atas hal itu, menurut mereka Tuhan dapat dianggap sebagai asal muasal segala kejahatan di alam semesta!. Mereka mengutip Al Qur’an yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, maka apapun yang terjadi di alam semesta ini hanyalah perbuatan Tuhan, dan jika kita percaya bahwa apabila manusia melakukan apa-apa melalui kehendak bebasnya sendiri maka kita dianggap musyrik (percaya pada politeisme).
Contoh dogmatisme yang ketiga yang disebutkan oleh Muthahhari adalah kecenderungan fuqaha Akhbari di kalangan Syiah. Kemunculan puncaknya pada abad ke-11 dan ke-12, kaum Akhbari sangat dekat dengan kaum formalis dan ahli hadits di kalangan Islam Sunni. Mereka percaya bahwa penalaran akal tidak punya peran dalam memahami dalam memahami ajaran ketuhanan.
Sekilas Pandangan Muthahhari
Sekarang marilah kita tinjau pandangan Muthahhari tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas:
Point pertama yang disebutkan olehnya adalah bahwa manusia berbeda dengan binatang, karena dia diturunkan Tuhan ke bumi (sebagaimana Al Qur’an katakan: “Kami akan menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi” ), karena ia mengemban amanah (kepercayaan Tuhan) di atas pundaknya (sebagaimana Tuhan Yang Maha Kuasa katakan: “Kami menawarkan amanah itu kepada langit dan bumi tetapi mereka tidak dapat menanggungnya, sementara manusia mene-rimanya”), dan karena manusia dibekali kehendak bebas, akal dan kreatifitas, maka manusia merencanakan masa depannya dan tidak sepenuhnya terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar. Semua perkembangan di dalam industri, ekonomi, teknologi, dsb. terkait dengan daya kreatifitas ini.
Muthahhari, tentu saja, percaya bahwa apa yang dapat membuat manusia melakukan perubahan di dalam dunianya melalui daya kreativitas, adalah kebutuhan manusia. Karena manusia membutuhkan hal-hal yang nyata seperti makanan, pakaian, pertanian, ilmu pengetahuan dan kebutuhan lainnya seperti mengorganisasikan semangatnya, hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tetap sepanjang zaman, tetapi manusia membuat peralatan yang beragam dan isntrumen yang berbeda dalam zaman yang berbeda, maka digunakanlah kreatifitasnya yang dikembangkannya setiap hari.
Bagaimanapun juga, manusia bertanggung jawab karena kemampuannya. Ia bertanggung jawab untuk menciptakan perubahan yang diinginkan yang membuatnya berkembang dan tidak merosot. Hal ini berarti bahwa semua perubahan yang telah dibuat oleh manusia di dunia ini tidak selalu diinginkan dan dapat diterima.
Dengan mengambil pendahuluan ini sebagai sebuah pertimbangan, Muthahhari mengatakan bahwa Islam sebagai sebagai agama yang kekal mempunyai prinsip-prinsip yang tetap dan hal-hal yang dapat berubah. Islam mempunyai dua jenis unsur: unsur yang stabil (tetap) yang diperlakukan sebagai fundasi dasar Islam yang tak berubah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tetap, dan unsur-unsur yang dapat berubah, yang tak memiliki bentuk spesifik, seiring dengan dengan perubahan kondisi ruang dan waktu yang dihadapi manusia. Oleh karena itu, jika setiap perubahan terjadi pada jenis unsur kedua, itu tidak berarti sebuah pelanggaran dan pembatalan atau penghapusan keabadian Islam.
Muthahhari percaya bahwa penalaran dan intelek memainkan peran yang sangat penting dalam mengenali prinsip-prinsip agama yang kokoh, sebagaimana adaptasi mereka terhadap kasus-kasus yang dapat berubah, dan ijtihad dapat memperkenalkan agama yang abadi sebagai pedoman bagi zaman moderen melalui pemanfaatan sumber-sumber tersebut.
Dia menekankan peraturan tersebut, bahwa “apapun yang ditetapkan oleh akal adalah juga ditetapkan oleh syariah” sehingga Islam mempertimbangkan bahwa spirit (semangat) dan konteks dari sebuah urusan adalah lebih penting daripada bentuknya dan kemunculannya, maka itulah mengapa Islam tidaklah bertentangan dengan fenomena moderen. Sebagai contoh, dalam ayat al Qur’an berikut: “Bersiaplah untuk menghadapi mereka (yaitu dalam peperangan dengan musuh) semampu kalian…” Prinsip kesiapan mati syahid untuk mempertahankan diri, membela bangsa, dan agama melawan musuh adalah begitu dipentingkan. Ini adalah prinsip Islam yang mapan dan tetap/kokoh (stabil), berdasarkan pasda kebutuhan yang tetap bagi manusia. Namun peralatan dan instrumen untuk pertahanan, adalah tergantung pada zamanmnya, dan kita tidak perlu hanya bertahan pada penggunaan kuda dan panah, sebab itu hanyalah kasus yang terjadi pada zaman awal Islam.
Contoh lain: suatu waktu hak-hak individual bertentangan dengan hak-hak masyarakat, di mana munglkin keduanya tidak dapat terpenuhi. Walaupun menurut Islam kedua hak-hak tersebut adalah sama-sama dihargai dalam situasi normal, dalam kasus pertentangan, hanya salah satu yang lebih pentinglah yang dapat dipenuhi (dan sewajarnya hak-hak masyarakat lebih didahulukan dibanding hak-hak individual).
Satu contoh ketiga: ketika seseorang memprotes Imam Ali, mengapa ia tidak mewarnai janggutnya sementara Nabi SAAW telah memerintahkan Muslim untuk melakukannya, dia menjawab, bahwa pada zaman Nabi masih hidup, kaum Muslim hanyalah segelintir saja dan jika musuh melihat orang-orang tua dalam pasukan tentara Islam, mereka akan mengira pasukan Islam lemah. Maka Nabi yang suci memerintahkan orang-orang tua untuk mewarnai (menghitamkan) janggut dan rambutnya untuk menghindari hal itu. Di sini, prinsip-prinsip Islam yang tetapnya (stable & fixed) adalah bahwa kaum Muslim tidak boleh berperilaku dengan suatu cara yang akan membuat moral musuh menjadi bertambah tinggi. Dengan begitu mereka melakukan pengecatan (pewarnaan) rambut dan janggut itu tergantung pada situasi dan kondisinya.
Dari apa-apa yang telah dikatakan kita dapat mengetahui kritisisme Muthahhari terhadap sudut pandang (perspektif) kedua, yaitu bahwa barang siapa yang berusaha membuat perubahan dalam Islam adalah terkait dengan keperluan zaman. Namun hal itu membutuhkan penjelasan lanjut. Orang-orang yang mengikuti prinsip yang mengatakan bahwa setiap perubahan dalam nilai-nilai kemanusiaan, kepercayaan, dan budaya yang secara umum diterima oleh semua atau banyak orang harus diterima oleh individu-individu dan mereka harus mengubah prinsip agama mereka berdasarkan perubahan tersebut. Kami mengetahui bahwa budaya, nilai-nilai, moral individual dan sosial, dan kepercayaan dunia moderen dan postmoderen ada dalam kontradiksi dengan perintah ajaran Islam dalam banyak kasus. Menurut perspektif ini, Islam harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip baru tersebut.
Hal ini adalah satu kecenderungan umum yang meluas di mana dalam kasus kontradiksi, akan meninggalkan kepercayaan dan moral Islam dengan anggapan bahwa mereka telah bebas merdeka dari kondisi temporal empat belas abad yang lalu.
Dalam pandangan (pendapat) Muthahhari, perspektif ini adalah mutlak salah (ditolak), karena ia telah gagal memahami sepenuhnya prinsip-prinsip Islam yang tetap, dan juga telah menerima bahwa semua kepercayaan dan nilai-nilai moderen adalah dibenarkan dan harus diikuti oleh individu maupun masyarakat, sementara banyak kepercayaan dan nilai-nilai tersebut adalah bertentangan dengan perkembangan spiritual manusia sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan.
Untuk mengadaptasi nilai-nilai dan kepercayaan moderen kita harus memiliki kriteria rasional yang terpercaya, sementara kecenderungan tersebut biasanya miskin logika, dan lemah metodology rasional untuk adaptasi tersebut.
Muthahhari ada dalam konflik serius dengan perspektif ini. Metodology ini mengasumsikan tiadanya prinsip yang tetap dalam Islam, karena kriteria adaptasi dengan penalaran moderen yang berubah-ubah, tidak tetap dan akan segera digantikan dengan rasionalitas lainnya.
Saya harap, saya dapat menjelaskan beberapa perspektif Muthahhari dalam waktu yang singkat ini. ***
Sikap dan Pandangan Filosofis Muthahari terhadap Sains modern*
Mehdi Golshani**
Prolog
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di seantero dunia Islam. Di sini kita membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
(1) Kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
(2) Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
(3) Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang dapat dibagi lagi sebagaimana berikut:
Sejumlah pemikir Muslim, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha memberi justifikasi terhadap sains modern berdasarkan landasan keagamaan. Mereka memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu. Oleh karenanya, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis dan sejumlah intelektual Muslim [yang sekuler].
Sejumlah pemikir berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-Qur’an dan hadis. Motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern dengan ajaran Islam dan membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan. Kelompok ini yakin bahwa beberapa hasil yang telah dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa masyarakat Muslim.
Para ulama berusaha mereinterpretasi sejumlah isu-isu teologi Islam dalam perspektif sains modern. Ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan, menggulirkan teologi alam untuk mereinterpretasi prinsip-prinsip dasar agama Islam dalam bingkai sains modern sebagaimana dapat disaksikan dalam tafsir Al-Qur’annya.
(4) Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak dapat memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas. Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur terkemuka pendapat ini.
Sikap Muthahhari terhadap Sains Modern
Sementara sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan penemuan sains modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah fundamnetal dalam sains yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para ulama. Ia percaya bahwa pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber konflik daripada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen. Seperti komentarnya:
Dalam mempelajari karya-karya setiap ilmuan, saya selalu melacak akar pemikirannya dalam rangka memahami mengapa seorang ilmuan, berdasarkan refleksi filosofisnya mengenai suatu masalah, memilih jalan tertentu dalam memulai dan menyimpulkannya? Postulat apa yang diandaikannya begitu saja sebelum berpendapat ini dan itu?[1]
Dalam pandangan Muthahari, kesalahpahaman ilmuan juga memberikan kontribusi besar pada berkembangnya konflik tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa masalah utama yang meningkatkan konflik antara ilmu dan agama, sekaligus mengelaborasi cara Ayatullah Muthahhari mendekati masalah ini.
1. Argumen Keteraturan
Sebagaimana yang telah kami sebutkan, bersamaan masuknya sains modern ke dalam dunia Islam, sebagian ilmuan Muslim mengatakan bahwa teologi sekalipun harus tunduk pada metode-metode sains yang bersifat empiris, dan bahwa sains merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai fenomena-fenomena alam dijadikan argumen kememadaian (self-sufficiency) metode ilmiah. Bahkan ada pula ilmuan yang mengidentikkan kearifan Al-Qur’an dengan Positivisme.[2]
Mengenai hal ini, Muthahhari mengakui bahwa observasi dan eksperimentasi merupakan piranti penting untuk memahami alam, namun ia tidak yakin terhadap kememadaian inderawi. Menurutnya, hasil kerja intelektual sangatlah diperlukan sebelum seseorang memberikan interpretasi teistik terhadap dunia. Sains empiris juga mengakrabkan kita dengan karya-karya Tuhan, bahkan kesimpulan tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan Tuhan berdasarkan kajian mengenai alam, pun membutuhkan penalaran intelektual. Lompatan dari yang terbatas (finitum)kepada yang tak terbatas (infinitum)mensyaratkan penalaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari:
Membuktikan adanya Tuhan dengan menunjukkan adanya “keteraturan dan arah” [alam semesta] memang cara yang baik. Namun teori itu hanya berfungsi untuk menyadarkan kita bahwa alam semesta ini … berada di bawah pengawasan kekuatan yang berpengetahuan, yang mengaturnya …. Paling tidak, sains memberi tahu kita pencipta semesta ini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dibuatnya, tapi bisakah sains membuktikan bahwa ‘Dia mahamengetahui segala sesuatu’ (Q.S. 57:3).[3]
Ternyata hukum-hukum fisika dan kimia juga tidak murni fakta-fakta empiris. Kesimpulan-kesimpulan keduanya juga sangat membutuhkan pengolahan intelektual. Konsep materi, misalnya, merupakan kesimpulan intelektual, sebab eksperimen hanya memberikan sifat-sifat materi tersebut kepada kita [dan bukan totalitasnya].
Berkenaan dengan teori keteraturan, Muthahhari berpandangan bahwa setiap orang dihadapkan pada dua model keteraturan: keteraturan yang berkaitan dengan sebab efisien (the efficient cause) dan keteraturan yang berkaitan dengan sebab final (the final cause). Jika yang pertama hanya menunjukkan rangkaian sebab-akibat, maka yang terakhir mengisyaratkan adanya pengetahuan dan pilihan dalam menentukan sebab efisien. Karena itu, keteraturan yang terlihat di dunia merupakan perwujudan model keteraturan yang kedua, dan keteraturan semacam itu merujuk kepada alam metafisik. Sayangnya, menurut Muthahhari, kebanyakan orang tidak membedakan dua hal ini.[4]
Menurut Muthahhari, argumentasi keteraturan yang digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan pada hakikatnya memiliki unsur empiris dan teoretis sekaligus. Mengabaikan hal ini telah membuka jalan bagi kritisisme terhadap argumentasi keteraturan. Manfaat argumentasi keteraturan adalah ia menunjukkan kita batas-batas antara fisika dan metafisika. Ia menunjukkan adanya realitas supernatural. Namun, teori itu sama sekali tidak mengatakan sifat dasar realitas supernatural dan apakah ia terbatas ataukah tidak.
2. Teori Evolusi Darwin
Darwin menolak ide tentang kepermanenan spesies (the fixity of species) dan memproklamirkan ide evolusi spesies. Dia menegaskan idenya itu dengan teori mekanisme seleksi alam (the mechanism of natural selection) dan teori bertahan hidup bagi yang paling kuat (the survival of the fittest). Kaum Darwinian berusaha menjelaskan kehidupan dengan proses untung-untungan (the chance processes) dan karena itu menyangkal peran keteraturan penciptaan. Keteraturan yang kita lihat dalam kehidupan dunia mereka anggap sebagai hasil dari peluang dan seleksi alam. Hal itu antara lain disampaikan oleh Richard Dawkins di acara yang dipandunya di BBC2 pada tahun 1987:
Proses untung-untungan dalam seleks alam yang berjalan selama ribuan tahun memiliki cukup energi untuk menghasilkan keajaiban seperti dinosaurus dan diri kita.[5]
Kaum Darwinian bermaksud menghilangkan peran Sang Pencipta. Yang mereka lupakan adalah: memperkenalkan mekanisme bagi sesuatu [penciptaan] tidak serta-merta menegasikan peran pencipta. Kemunculan suatu spesies mestinya dijelaskan apakah ia terjadi secara gradual atau tiba-tiba. Sebagaimana ditunjukkan Abu Al-Majd Muhammad Rida al-Najafi al-Isfahani, seorang intelektual muslim terkemuka awal abad ke-20, teori evolusi tidak bertentangan dengan paham ketuhanan. Hanya penafsiran materialistik dari teori ini yang menegasikan Tuhan.[6]
Dalam beberapa dekade belakangan, para eksponen Darwinisme yang ateis sibuk mengajukan ketidaksesuaian antara teori evolusi dengan paham ketuhanan. Komentar Dawkins menggambarkan pertentangan tersebut berikut ini:
Akhirnya, hanya [teori tentang] Tuhan dan seleksi alam yang bisa menjelaskan mengapa kita tercipta.[7]
Namun, Dawkins yakin bahwa teori Darwin telah membuat kepercayaan pada Tuhan menjadi tampak sia-sia:
Kendati teisme dapat bertahan sebelumnya, namun Darwin dapat membuatnya menjadi pandangan intelektual yang benar-benar ateistik.[8]
Dawkins tidak melihat adanya kesesuaian antara teori seleksi alam dengan keberadaan Pencipta alam. Dalam kuliahnya tahun 1884, Uskup Agung Fredrick Temple menjelaskan duduk perkaranya dengan baik:
Apa yang dimaksudkan oleh doktrin (Evolusi) bukanlah bukti tentang penciptaan alam semesta, namun lebih pada cara penciptaan terjadi …. Dalam suatu kasus, Sang Pencipta menciptakan binatang-binatang seketika seperti yang ada sekarang, namun dalam kasus lain, Sang Pencipta menciptakannya melalui unsur-unsur materi … yakni kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalamnya, sehingga seiring perjalanan waktu, makhluk-makhluk berkembang seperti yang ada sekarang.[9]
Muthahari sepenuhnya sadar akan kerancuan ini. Dalam kuliahnya di Islamic Association of Physicians, Teheran, Muthahhari (1968) menegaskan bahwa baik secara filosofis maupun teologis, tidak ada hubungan antara teori penciptaan spontan ataupun gradual, dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kesalahanpahaman ini merupakan akibat kesalahan dari abad ke-19 ketika orang melihat adanya korelasi antara kepercayaan kepada Tuhan dengan “teori kepermanenenan spesies”. Bagaimanapun juga, tidak ada kesenjangan logika antara kepercayaan kepada Tuhan dengan teori evolusi. Namun Muthahhari menegaskan bahwa hukum-hukum evolusi Darwinian tidaklah cukup untuk menerangkan proses evolusi spesies. Evolusi harus dilengkapi dengan hukum-hukum metafisik.[10]
Muthahari mengklasifikan dua kelompok yang memberi kontribusi pada berkembangnya tesis mengenai pertentangan antara paham ketuhanan dengan ide evolusi spesies. Kelompok pertama terdiri dari kaum beriman yang menyerang ide evolusi spesies karena menganggapnya bertentangan dengan agama mereka. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari para materialis yang menggulirkan teori evolusi untuk melepaskan diri dari ide eksistensi Tuhan.[11]
Menanggapi orang-orang yang melihat adanya pertentangan antara cerita tentang Adam yang terdapat dalam Bibel dan Al-Qur’an, dengan teori evolusi, Muthahhari setuju dengan pandangan yang mengaggap Adam tidak harus menjadi manusia pertama. Lebih tepat jika kemunculan Adam dianggap menandai tahap maju dalam perkembangan manusia. Cerita tentang Adam dalam Al-Qur’an merupakan pelajaran-pelajaran moral:
Cerita tentang Adam memang ada dalam Al-Qur’an, namun cerita itu tidak memuat sedikit pun masalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan atau tauhid. Cerita itu sebenarnya diungkapkan untuk mengajari kita tentang akibat kesombongan setan dan kealpaan Adam. Akan tetapi, cerita penciptaan manusia [secara umum] itulah yang dimaksudkan untuk mengajari kita tentang monoteisme.[12]
3. Masalah Kehidupan
Persoalan jiwa dan raga, dan hubungan di antara keduanya merupakan permasalah lama. Seiring perkembangan dan popularitas teori evolusi dan filsafat materialistik, para ilmuan berusaha terus-menerus untuk mengkaitkan segala sifat-sifat kehidupan dengan proses psiko-kimiawi, guna mengesampingkan konsep jiwa. Muthahhari, dalam hal ini, mengakui pengaruh proses psiko-kimiawi bagi kehidupan, sekaligus menganggapnya tidak memadai. Radio, misalnya, memang penting untuk menerima sinyal yang dikirim transmiter, namun ia bukan segala-galanya. Untuk lebih jelasnya, Muthahhari mengatakannya sebagai berikut:
Sintesa, penjumlahan, pengurang, dan pengombinasian bagian-bagian materi merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memunculkan efek-efek kehidupan, namun itu semua tidaklah cukup.[13]
Menanggapi pendapat yang mengatakan manusia dapat memproduksi efek-efek kehidupan Muthahhari berpendapat:
Tatkala kemampuan menghadirkan kehidupan dihasilkan oleh materi, [sebenarnya] Tuhanlah yang menganugrahinya kehidupan. Dengan kata lain, materi dalam gerak perkembangannya, menjadi hidup. Ia mendapatkan kesempurnaannya yang masih kurang, dan menghasilkan efek dan aktivitas yang sebelumnya jauh dari kesempurnaan.[14]
Pandangan ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kehidupan ini merupakan anugerah Tuhan. Muthahhari menegaskan:
Mustahil jika kondisi-kondisi pemberian jiwa [oleh Tuhan] ada, tapi tidak ada kehidupan. Bukankah Tuhan Mahakuasa, Mahasempurna, dan Mahapemurah kemudian disaingi oleh manusia? Seandainya suatu ketika manusia mencapai hal ini, apalagi yang harus mereka siapkan, jika bukan menciptakan kehidupan.[15]
Muthahhari juga mengkritisi kaum beragama yang menggali asal-muasal kehidupan hanya demi mengaitkannya dengan Tuhan. Bagi Muthahhari, mereka mencari-cari Tuhan yang hilang (God of gaps), yakni mencari Tuhan yang cocok untuk mengisi kebodohan manusia:
Di sini kami ingin mencari alasan mengapa orang-orang yang bertuhan itu mencari asal-muasal kehidupan untuk mengkaitkan kemurnian kehidupan itu dengan kehendak Tuhan. Padahal, Al-Qur’an dalam pandangan monoteistiknya, sama sekali tidak mengikuti metode semacam itu. Al-Qur’an menganggap hidup … sebagai hasil dari kehendak langsung Tuhan. Al-Qur’an, dengan kata lain, sama sekali tidak membedakan asal-muasal kehidupan dengan kelanjutannya …. Selain itu, kita tidak boleh lupa akan perbedaan fundamental antara logika Al-Qur’an dengan logika lain. Namun, sayangnya, kaum beragama itu tetap saja mencari Tuhan dari sisi gelap pengetahuan mereka. Sehingga tak mengherankan jika mereka sering kali mengkaitkan kebodohan mereka kepada Tuhan, tatkala pikiran mereka terbatas dalam memahami suatu hal.[16]
4. Penciptaan Alam Semesta
Selama Masa Pertengahan, masalah penciptaan alam semesta senantiasa dikaitkan dengan konsep ketuhanan. Penciptaan alam semesta digunakan sebagai bukti filosofis bagi keberadaan Tuhan. Namun, dalam dua abad terakhir, terutama sejak abad ke-20, kepercayaan tentang kekekalan alam semesta sangatlah populer dalam diskusi ilmu pengetahuan, dan menjadi salah satu argumen kuat kaum materealis untuk melawan konsep keberadaan Tuhan. Namun setelah Hubbel menemukan perubahan warna merah pada cahaya dari galaksi, ‘teori ekspansi alam semesta” atau dikenal dengan “teori Big Bang”, benar-benar melambung dan meraih popularitas luar biasa. Teori itu selanjutnya diterima pula oleh kaum beragama di seluruh dunia. Sebab, mereka merasa mendapatkan bukti konkret terciptanya alam semesta oleh tangan Tuhan berkat teori tersebut. Akan tetapi, para pakar kosmologi ateis segera berusaha menghadirkan argumentasi yang dapat menolak ide penciptaan alam semesta dalam satu waktu, dan perdebatan pun berlanjut. Hanya saja, sejumlah fisikawan mengakui bahwa asumsi tentang kekekalan alam semesta tidak lantas menjadikannya membuktikan apa-apa. Dalam hal ini, Paul Davies berkata:
Fakta yang menyatakan bahwa alam semesta tidak bermula dari suatu waktu tertentu tidak dapat menjelaskan eksistensi alam semesta tersebut. Fakta itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa alam semesta ini terbentuk semacam ini. Tentu saja ia tidak menjelaskan mengapa alam menempati semesta yang relevan (seperti penciptaan semesta) dan prinsip-prinsip fisik yang menciptakan kosmos yang stabil.[17]
Muthahhari menegaskan bahwa baik teori kebaharuan penciptaan maupun teori kekekalan alam semesta tidak ada hubungannya dengan masalah eksistensi Sang Pencipta. Kesalahan fatal akan terjadi, menurut Muthahhari, jika kita mengasumsikan kepercayaan bahwa Tuhan mensyaratkan konsep kebaharuan alam semesta:
Mengapa kita memperbincangkan masalah hari pertama penciptaan semesta, dan mengatakan bahwa semesta tercipta secara gradual? Padahal, ia selamanya dalam keadaan tercipta. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng dalam semesta ini.[18]
Berdasarkan prinsip-prinsip monoteistik, sebenarnya orang dapat mengatakan bahwa alam semesta ini tidak berpermulaan. Sebab, jika alam semesta ini berpermulaan, bisa jadi ada alam lain sebelum alam ini dalam bentuk yang lain pula.[19] Dalam ungkapan Muthahhari:
Mungkin mereka benar, jika berjalan mundur ke ribuan tahun silam, kita akan dapatkan keadaan dunia yang berbeda dengan keadaan dunia saat ini. Namun, bagaimana kita dapat mengetahui jika tidak dunia lain yang memiliki keadaan berbeda sebelum dunia ini?[20]
Gagasan mengenai keberagaman alam semesta yang dikemukakan Muthahhari pertengahan 1970-an, menjadi ide terkemuka dalam kajian kosmologis tahun 1980-an dan 1990-an. Namun, para kosmolog hanya menggunakan ide itu untuk memperselisihkan keberadaan Tuhan. Sedangkan Muthahhari menggunakannya untuk mempropagandakan ide Tuhan yang Mahapengasih.
5. Prinsip Kausalitas
Para fisikawan zaman klasik mempercayai prinsip kausalitas sebagai postulat dasar. Mereka juga percaya bahwa dengan mengetahui persamaan gerak suatu sistem berikut kondisi permulaannya, seseorang dapat memprediksikan dengan tepat masa depan sistem tersebut. Pada tahun 1927, Heisenberg menggulirkan ide “relasi yang tidak menentu”, yang berisikan ketidaktahuan manusia akan posisi dan kecepatan tertentu dari suatu partikel. Setelah itu, Heisenberg meloncat dari kesimpulan epistemologisnya itu menuju kepada kesimpulan ontologis, dengan mendeklarasikan teori yang mengatakan bahwa prinsip kausalitas tidak berlaku pada realitas atom. Selanjutnya, ia menegasikan kemungkinan adanya level subkuantum dalam aturan hukum kausalitas. Ia juga beranggapan bahwa spekulasi-spekulasi itu sering kali tidak berguna dan omong kosong:
Karena sifat statistikal teori kuantum berkaitan erat dengan ketidakpastian semua persepsi, seseorang dapat mencapai anggapan bahwa di belakang dunia statistik yang di dalamnya terkandung hukum kausalitas, terdapat “dunia” tersembunyi yang ditopang oleh hukum kausalitas. Namun singkat kata, spekulasi ini tidak berarti apa-apa dan omong kosong …. mekanika kuantum telah menandaskan kegagalan mutlak teori kausalitas. [21]
Namun, fisikawan lain, seperti Einstein Nernst, menolak pandangan di atas dan mengaitkan ketidakpastian realitas atom dengan ketidaktahuan manusia. Kemudian penolakan itu ditentang oleh fisikawan dan filsuf lain yang berpikiran bahwa ide Heisenberg dapat memberikan solusi bagi masalah kebebasan kehendak manusia. Sebab, proses psikologis bergantung kepada proses fisika yang pada dasarnya tidak menentu.[22] Akan tetapi, Einstein menolak anggapan adanya pertentangan antara aturan hukum kausalitas dengan kebebasan kehendak manusia:
Sepertinya Anda menghadapi konflik antara perspektif kausalitas murni versi Spinoza dengan perspektif yang menginginkan adanya usaha-usaha aktif untuk menciptakan keadilan sosial. Bagi saya, tidak ada konflik di situ. Karena ketegangan mental tidak cukup mengandalkan keinginan saja, tapi juga harus mendorong terwujudnya keadilan sosial dengan cara menyatukan berbagai faktor yang masing-masing mengambil bagian dari sistem kausalitas yang masih terabaikan.[23]
Sejalan dengan maraknya diskusi tentang teori kuantum dan teori kausalitas, ilmuwan Islam, pada dekade terakhir ini, juga mulai merevivalisasi teori Asy’ari yang telah lama diabaikan. Mereka juga menggunakan teori kuantum untuk mendukung ide-ide mereka.[24] Namun, Muthahhari, menolak teori fisika kuantum itu. Dengan melakukan beberapa observasi, Muthahhari mengkritisi teori tentang prinsip ketidakpastian itu.[25] Hasil pengamatannya antara lain sebagai berikut:
Kami tidak bermaksud untuk menolak observasi ekperimental para fisikawan. Yang ingin kami lakukan hanyalah mengkritisi kesimpulan filosofis yang telah mereka capai.
Hukum kausalitas adalah hukum filosofis. Oleh karenanya, keberadaannya hanya dapat ditolak dengan argumentasi filosofis. Sedangkan sains tidak mungkin mampu menetapkan ataupun menolaknya. Ia hanya mampu menerimanya sebagai sebuah postulat dasar. Dalam hal ini Planck berkata:
Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa hukum kausalitas pada dasarnya hanya sebuah hipotesis. Namun demikian, posisi hukum kausalitas tidak sama dengan hipotesis yang lainnya. Karena hukum kausalitas merupakan hipotesis yang paling fundamental. Ia adalah hipotesis yang berbentuk postulat, yang berperan penting dalam memberikan pengertian dan makna bagi seluruh penggunaan hipotesis dalam penelitian ilmiah.[26]
Hukum kausalitas memandang seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan. Oleh karenanya, penerapannya pada mikrokosmos dapat merusak validitas hubungan hukum tersebut dengan keseluruhan alam semesta. Shabistari, seorang mistikus Persia pernah mengatakan hal tersebut sebagai berikut:
Jika kau buang sesuatu dari tempatnya, seluruh semesta akan hancur berantakan.
Tidak terprediksikanya dunia atom tidak berarti hukum kausalitas tidakvalid. Sebab, kita tidak punya alasan pasti untuk menyatakan bahwa kita telah mencapai batas akhir pengetahuan kita atau kita telah menelusuri semua faktor yang relevan. Ketidakmampuan kita dalam memprediksikan sesuatu bisa jadi merupakan hasil dari ketidaktahuan kita atas beberapa fakta yang belum diketahui. Henry Stapp, eksponen teori kuantum kontemporer, menyetir pendapat berikut:
Teori kuantum kontemporer memperlakukan kejadian-kejadian (alam semesta) ini sebagai suatu variabel tak beraturan (random variables) dengan cara menspesifikkan bobot statistiknya saja ke dalam teori ini. Artinya, teori kuantum tidak turut campur membahas pilihan aktual-spesifik suatu kejadian atau bagaimana kejadian itu berlangsung.
Yang jelas, pernyataan teori fisika kontemporer bahwa tidak ada sesuatu selain yang ada/terjadi, tidak berarti sains telah menjadi stagnan. Para fisikawan masa kini percaya pada kebenaran teori itu bisa saja demikian dan juga memuaskan, karena pilihan-pilihannya memang demikian.
Saya percaya kemungkinan itu bisa diterima sebagai ungkapan keadaan pengetahuan ilmiah kita dewasa ini, namun sains seyogyanya tidak puas dengan keadaan itu. Sains sudah selayaknya senantiasa berjuangan menuju posisi yang lebih baik. Semua cabang ilmu pengetahuan harus memainkan peranannya masing-masing …. sehingga, pada konteks perjuangan yang sangat luas itu, teori di atas seyogyanya diposisikan sebagai salah satu elemen dari sisi gelap dunia kontemporer yang masih harus dikaji. Teori itu, dengan kata lain, bukan sebagai ungkapan final yang harus puas kita terima.[27]
Beberapa ilmuan bahkan membicarakan kemungkinan sebab-sebab yang nonfisik. Pernyataan itu antara lain diungkapkan oleh seorang ahli matematika Kanada, John Byl:
Argumentasi yang menyatakan bahwa “ketiadaan sebab-sebab fisik merupakan suatu kepastian dalam peristiwa-peristiwa kuantum,” telah membuka jalan bagi kemungkinan eksistensi sebab-sebab nonfisik. Sebab-sebab nonfisik itu bisa jadi berupa akal manusia, wujud spiritual seperti malaikat, jin, atau tindakan langsung Tuhan. Tegasnya, sebab-sebab nonfisik ini berada di luar penyelidikan ilmiah, sehingga secara ilmiah, ia tidak menjamin kebenaran teori “ketidakadaan sebab fisik mengindikasikan ketidakadaan suatu sebab.[28]
Dalam semangat itulah, David Bohm membangun variabel teori kuantum yang tersembunyi, bersifat kausal, dan dapat menghasilkan seluruh hasil ekperimen teori kuantum.
Generalisasi hasil-hasil eksperimen mengenai hukum baru hanya bermakna apabila telah memperoleh hukum kausalitas. Plank menyimpulkan:
Hipotesis apa pun yang mengindikasikan aturan definitif menunjukkan prinsip kausalitas itu valid.[29]
Para ilmuan yang berusaha menjelaskan kebebasan manusia dengan cara menerapkan hukum kausalitas pada hakikatnya salah dalam memahami makna kebebasan berkehendak. Kita memang bebas dalam memilih melakukan ini dan itu, namun pilihan itu tergantung pada motivasi kita dan berbagai sebab-sebab lainnya.
Epilog
Menarik menyaksikan bagaimana poin-poin yang dibicarakan Muthahhari pada permulaan tahun 1950-an, mulai dibicarakan oleh ahli-fisikawan papan atas, seperti Dirac dan de Broglie pada tahun 1960-an dan 1970-an.[30] Bahkan, teori kausalitas mekanika kuantum pun menemukan momentumnya dalam dua dekade terakhir ini, sampai-sampai fisikawan terkemuka penerima Nobel Fisika Laureate seperti G. ‘t Hooft mengerjakan riset berdasarkan teori-teori kausal tersebut.***
Dr. Seyyed Mohsen Miri
Direktur pertama ICAS Jakarta
No comments:
Post a Comment