Peradaban Islam dalam Bidang Astronomi
Ilmu perbintangan dicetuskan pertama kali oleh Nabi Idris AS.
Islam dikenal sebagai salah satu peradaban di dunia yang konsen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Salah satu disiplin ilmu yang dikembangluaskan oleh kaum Muslim adalah ilmu falak atau lebih dikenal dengan sebutan ilmu astronomi di dunia modern saat ini. Pada hakikatnya, ilmu falak yang berkembang dalam Islam sebenarnya muncul dari ilmu perbintangan yang merupakan warisan dari bangsa Sumeria kuno (4500-1700 SM).
Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa ilmu falak telah ada dalam kurun waktu ribuan tahun silam di Kerajaan Babilonia yang terletak di antara Sungai Tigris dan Sungai Efrat (wilayah selatan Irak kini). Bangsa Sumeria kuno yang mendiami wilayah tersebut dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tertinggi dan tertua di dunia.
Nabi Idris AS yang diutus oleh Allah kepada bangsa Sumeria kuno dikenal sebagai orang yang pertama kali menggunakan bintang sebagai petunjuk arah, waktu bercocok tanam, memperkirakan kondisi cuaca, dan lain sebagainya.
Nabi Idris AS diakui oleh banyak ulama dan para ahli tafsir, adalah seorang nabi yang memiliki banyak keistimewaan. Keistimewaan itu di antaranya adalah kemampuannya dalam menulis, menggambar, menjahit, menguasai ilmu perbintangan (astronomi), dan lain sebagainya.
Dalam kitab Tarikh al-Hukama, disebutkan bahwa Idris bernama Hurmus Al-Haramisah. Dinamakan Hurmus karena ia ahli dalam ilmu perbintangan. Dan dinamakan Idris, karena ia pandai menulis atau suka belajar (daras).
Para ahli sejarah menetapkan, Nabi Idris hidup sekitar tahun 4500-4188 Sebelum Masehi (SM). Afif Abdul Fatah dalam bukunya yang berjudul Nabi-Nabi dalam Alquran, mengutip sejumlah keterangan ulama menyebutkan, Idris dilahirkan di Munaf (Memphis), Mesir, kemudian berdakwah menyiarkan agama Allah hingga wilayah Irak kuno.
Kelompok lain berpendapat, Idris dilahirkan dan dibesarkan di Babilonia. Menurut sebuah riwayat, bangsa Sumeria kuno telah mempelajari ilmu perbintangan untuk mengetahui masa bercocok tanam yang baik.
Misalnya, rasi bintang Taurus yang dipercaya sebagai masa awal musim semi dan cocok untuk menanam, sedangkan rasi bintang Virgo dipergunakan sebagai saat tepat untuk memanen.
Bangsa Sumeria kuno juga dikenal sebagai bangsa pertama yang membuat pembagian bulan dalam setahun menjadi 12 bulan (zodiak) sekaligus membaginya dalam tabel.
Adalah para pendeta Kerajaan Babilonia yang menemukan dua belas gugusan besar bintang-bintang di cakrawala, yang mereka bayangkan sebagai satu lingkaran.
Dengan menghitung jalannya bulan, dihasilkan hari. Dengan menghitung jalannya matahari dihasilkan tanggal, bulan, serta tahun hingga akhirnya terjadi ilmu penanggalan. Dalam Alquran telah dijelaskan tentang pembagian bulan dalam setahun, yakni sebanyak 12 bulan (Lihat surah at-Taubah ayat 36).
Apa yang dilakukan Nabi Idris AS diteruskan oleh generasi berikutnya untuk mengembangkan teori perbintangan, membuat kalender, menentukan awal bulan, gerhana matahari dan bulan, serta ilmu lainnya yang berkaitan dengan ilmu perbintangan.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, ilmu falak belum mengalami perkembangan yang signifikan. Karena pada saat itu umat Islam disibukkan dengan upaya-upaya menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia.
Sehingga aktivitas untuk mengkaji tentang astronomi sangat kurang sekali. Jika pun ada, itu hanyalah sebatas pengetahuan- pengetahuan langsung yang diberikan Allah SWT kepada Nabi SAW, dan belum ada kajian ilmiahnya yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
Masa keemasan Setelah Islam menyebar sampai di luar Makkah dan Madinah, mulailah para sahabat mengkaji khazanah ilmu falak. Namun, sebagaimana dijelaskan Dr Muhammad Bashil Al- Thoiy dalam bukunya yang bertajuk Al-Falak wa al-Taqwim, kajian tentang ilmu falak secara mendalam baru dimulai pada masa pemerintah an Dinasti Umayyah, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Khalid bin Yazid bin Muawiyah.
Khalifah Khalid dikenal sebagai pemimpin yang cinta akan ilmu pengetahuan. Karenanya semasa ia memerintah, terjadi perubahan-perubahan mendasar, terutama pada perkembangan keilmuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan (sains).
Hal ini terbukti dengan banyaknya penerjemahan buku-buku yang berkenaan dengan astronomi, kedokteran, fisika, dan disiplin ilmu yang lainnya. Akan tetapi kajian terhadap ilmu falak mengalami perkembangan pesat di masa kekhalifahan Abbasiyah.
Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur (712-775 M), menempatkan kajian ilmu falak setelah ilmu tauhid, fikih, dan kedokteran.
Semasa berkuasa, ia memerintahkan Muhammad al- Fazari dan Umar bin Farhan at- Thabari untuk menerjemahkan berbagai buku tentang ilmu falak.
Kemudian al-Mansur juga memerintahkan kepada Ibrahim bin Yahya an-Naqqas untuk menerjemah kan karya Ptolemeus yang mengulas tentang sistem perbin tang an. Dari sini kemudian mulai bermunculan para pakar Islam yang menggeluti bidang astronomi.
Pada masa Khalifah al-Mansur ini dana negara yang dikeluarkannya untuk membiayai pengembang an astronomi tidaklah sedikit. Sehingga tidak mengherankan jika hasil-hasil yang dicapai sangatlah memuaskan. Faktor ini pula yang mendorong kajian ilmu falak tetap berlanjut serta mengalami fase kemajuan di masa-masa selanjutnya.
Kajian tentang astronomi Islam mencapai masa kejayaan dan keemasan di masa Khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya al- Ma’mun. Pada masa pemerintahan al-Rasyid dan al-Ma’mun, Islam mencapai puncak prestasi dalam bidang peradaban.
Saat berkuasa, antara tahun 813 hingga 833 M, Khalifah al-Ma’mun memerintahkan penerjemahan berbagai buku tentang astronomi yang berbahasa Persia, India, dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Di masa al- Ma’mun ini juga muncul para ahli astronomi yang terkenal, seperti Habasyi al-Hasib al-Marwazi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Kindi.
Selanjutnya, di Abad seterusnya, pengembangan ilmu falak di tubuh Islam masih tetap berlanjut. Astronomi bukan hanya berkembang di Asia Barat, Eropa Selatan, dan Afrika Utara yang berada dalam wilayah kekuasaan Muslim di Abad Pertengahan, tetapi juga di Asia Tengah dan Asia Timur.
Astronom-astronom yang terkenal di wilayah ini adalah al-Kharaki, al-Qazwini, dan Zakaria bin Muhammad bin Mahmud Abu Yahya (1200-1282).
Zaman kegemilangan astronomi di tanah Islam ini berakhir dalam kurun abad ke-12. Buku-buku hasil karya ilmuwan Muslim sedikit demi sedikit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, terutamanya di Toledo, Spanyol.
Hasil terjemahan tersebut kemudian disebarluaskan di seluruh kawasan benua Eropa. Melalui terjemahan tersebutlah tokoh-tokoh intelektual Eropa, di pengujung zaman pertengahan, mengkaji semula teori Ptolemeus dan mempelajari perkembangan astronomi hasil sumbangan dunia Islam.
Dari penanggalan hingga arah kiblat
Runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan berakibat pada berpindahnya kiblat kemajuan ilmu astronomi ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8-15 M).
Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Astronomi dalam Islam adalah sebuah ilmu yang sangat penting, karena tidak hanya menyangkut aktivitas yang terkait dengan kehidupan duniawi, tetapi juga tentang ketentuan pelaksanaan ibadah, baik itu ibadah yang wajib maupun yang sunnah. Misalnya dalam menentukan waktu shalat, sistem penanggalan kalendar Hijriyah hingga arah kiblat.
Dalam menentukan waktu shalat, umat Islam sudah mendapatkan petunjuk secara langsung dari Allah SWT melalui kitab suci Alquran. Sehingga aturan baku waktu shalat tidak berubah dan sifatnya tetap walaupun zaman telah berubah. “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS al-Isra’ [15]: 78).
Dalil Alquran ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAW. Beliau pernah bersabda, “Waktu Zhuhur itu dimulai dari tergelincirnya matahari tepat di atas bayang benda sampai bayang benda sama panjangnya dengan benda tersebut.”
Dalil Alquran ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAW. Beliau pernah bersabda, “Waktu Zhuhur itu dimulai dari tergelincirnya matahari tepat di atas bayang benda sampai bayang benda sama panjangnya dengan benda tersebut.”
“Waktu Ashar di mulai panjang bayang sama dengan bendanya sampai tenggelamnya matahari. Waktu Maghrib di mulai dari tenggelamnya matahari atau munculnya mega merah sampai hilangnya mega merah.”
“Waktu Isya mulai dari hilangnya mega merah sampai tiba waktu subuh. Waktu subuh dimulai sejak munculnya fajar shadiq sampai munculnya matahari kembali.” (Hadis Riwayat Muslim).
Ilmu astronomi juga memainkan peran penting dalam membuat sistem penanggalan Hijriyah berdasarkan pada penentuan awal bulan Qamariyah, dan perhitungan gerhana yang kesemuanya mempunyai keterkaitan dengan pelaksanaan ibadah amaliyah, seperti ibadah haji.
Sebagaimana diterangkan dalam surah al-Baqarah ayat 189: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji...”
Sebagaimana bangsa Sumeria kuno, yang menggunakan bintang sebagai petunjuk arah. Keberadaan ilmu astronomi bagi masyarakat Muslim juga diperlukan dalam menentukan arah kiblat.
Sebab, menghadap ke arah kiblat, yakni menghadapkan wajah ke arah Ka’bah di kota Makkah, merupakan syarat sah bagi umat Islam yang hendak menunaikan shalat, baik shalat wajib lima waktu atau pun shalat-shalat sunah yang lain.
Bagi masyarakat yang berada jauh dari Ka’bah, tentunya diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat ini. Dalam khazanah ilmu astronomi, penentuan arah kiblat ini bisa menggunakan penghitungan posisi rasi bintang, bayangan matahari atau pun arah matahari terbenam.
Redaktur : Chairul Akhmad
No comments:
Post a Comment