Masjid Beras Segenggam, Simbol Gotong Royong Warga Aceh
Masjid Beras Segenggam, Simbol Gotong Royong Warga Aceh
Nama masjid tersebut diambil dari salah satu tokoh di Aceh yang memprakarsai pembangunan masjid, yakni Teungku Muhammad Daud Beureueh.
BANGUNAN tua bercat putih itu berdiri kokoh di pinggiran Jalan Banda Aceh. Dua menara menjulang ke angkasa mengapit sebuah kubah di tengahnya. Bangunan itu adalah masjid Baitul A’la Lilmujahidin atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan masjid Abu Beureueh atau masjid beras segenggam.
Nama masjid tersebut diambil dari salah satu tokoh di Aceh yang memprakarsai pembangunan masjid, yakni Teungku Muhammad Daud Beureueh. Sedangkan masjid segenggam berasal dari sejarah masjid yang pembangunannya didanai dari sumbangan segenggam beras yang dikumpulkan warga Aceh dan sekitarnya.
Masjid seluas 1.350 meter persegi ini dibangun pada tahun 1950. Letaknya di Kota Beureunuen, Kecamatan Mutiara, Pidie, Aceh. Pembangunan masjid mulai dari penimbunan hingga pondasi dikerjakan warga Mutiara yang berada di sekitar masjid secara sukarela.
Pembangunannya sempat tertunda sampai sepuluh tahun akibat konflik DI/TII di Aceh. Pembangunan masjid baru dilanjutkan kembali pada tahun 1963 setelah pemberontakan reda.
Bagi masyarakat Pidie khususnya, masjid ini mempunyai nilai sejarah. Semasa Abu Beureueh masih hidup, banyak masyarakat yang melintas baik dari arah Timur maupun Barat yang mampir untuk melaksanakan salat Jumat di masjid yang dihiasi relief flora ini.
Di belakang masjid, terletak makam Abu Beureueh. Makam tersebut dipagar dengan teralis putih. Di dalamnya terdapat dua pohon jarak dan batu nisan bertuliskan “Tgk Syi’ Di Beureu’eh (Tgk. Muhammad Dawud Beureu’eh), Lahir Ahad 17 Jumadil Awal 1317 (23 September 1899), Wafat Rabu 14 Zulqaidah 1407 (10 Juni 1987).”
Meski Abu Beuereueh telah wafat, namun masjid ini masih ramai disinggahi masyarakat yang melakukan perjalanan. Selain beribadah, warga yang datang juga melakukan ziarah ke makam Abu.
Namun demikian, pengelola masjid tidak membolehkan penziarah melakukan salat atau menggantungkan kain putih di sisi makam. Hal ini sesuai dengan amanah Abu Beureueh yang menilai tindakan itu perbuatan syirik.
Saat bulan Ramadan, masjid itu selalu penuh jamaah. Bahkan di depan masjid kini telah didirikan dua tenda untuk menampung jamaah salat tarawih. Masjid segenggam ini menjadi simbol gotong royong warga Aceh dan sekitarnya yang secara sukarela memberikan bantuan fisik atau materi untuk pembangunan masjid.
Nama masjid tersebut diambil dari salah satu tokoh di Aceh yang memprakarsai pembangunan masjid, yakni Teungku Muhammad Daud Beureueh. Sedangkan masjid segenggam berasal dari sejarah masjid yang pembangunannya didanai dari sumbangan segenggam beras yang dikumpulkan warga Aceh dan sekitarnya.
Masjid seluas 1.350 meter persegi ini dibangun pada tahun 1950. Letaknya di Kota Beureunuen, Kecamatan Mutiara, Pidie, Aceh. Pembangunan masjid mulai dari penimbunan hingga pondasi dikerjakan warga Mutiara yang berada di sekitar masjid secara sukarela.
Pembangunannya sempat tertunda sampai sepuluh tahun akibat konflik DI/TII di Aceh. Pembangunan masjid baru dilanjutkan kembali pada tahun 1963 setelah pemberontakan reda.
Bagi masyarakat Pidie khususnya, masjid ini mempunyai nilai sejarah. Semasa Abu Beureueh masih hidup, banyak masyarakat yang melintas baik dari arah Timur maupun Barat yang mampir untuk melaksanakan salat Jumat di masjid yang dihiasi relief flora ini.
Di belakang masjid, terletak makam Abu Beureueh. Makam tersebut dipagar dengan teralis putih. Di dalamnya terdapat dua pohon jarak dan batu nisan bertuliskan “Tgk Syi’ Di Beureu’eh (Tgk. Muhammad Dawud Beureu’eh), Lahir Ahad 17 Jumadil Awal 1317 (23 September 1899), Wafat Rabu 14 Zulqaidah 1407 (10 Juni 1987).”
Meski Abu Beuereueh telah wafat, namun masjid ini masih ramai disinggahi masyarakat yang melakukan perjalanan. Selain beribadah, warga yang datang juga melakukan ziarah ke makam Abu.
Namun demikian, pengelola masjid tidak membolehkan penziarah melakukan salat atau menggantungkan kain putih di sisi makam. Hal ini sesuai dengan amanah Abu Beureueh yang menilai tindakan itu perbuatan syirik.
Saat bulan Ramadan, masjid itu selalu penuh jamaah. Bahkan di depan masjid kini telah didirikan dua tenda untuk menampung jamaah salat tarawih. Masjid segenggam ini menjadi simbol gotong royong warga Aceh dan sekitarnya yang secara sukarela memberikan bantuan fisik atau materi untuk pembangunan masjid.
No comments:
Post a Comment