Gampong Pande, Riwayatmu Kini
Nisan-nisan itu membisu. Menyisakan jejak raja diraja kerajaan Aceh yang sudah berkalang tanah. Kuta Raja, kotanya para raja itu kini telah menapaki usia 808.
Adalah Gampong Pande, sebuah desa yang terletak tak jauh dari jantung kota yang menjadi cikal bakal kota yang kini berganti nama menjadi Banda Aceh. Kompleks Makam Tuan di Kandang, Putro Ijo, dan Kompleks Makam Raja-Raja Gampong Pande menjadi tempat pengistirahatan terakhir yang mengingatkan akan kemasyhuran Kerajaan Aceh pada masa lampau.
Tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh pada pengujung 2004 silam telah mengubur sebagian bukti sejarah desa yang pada masa itu dikenal sebagai perajin emas dan pandai besi. Manuskrib kuno hingga bangunan yang telah ada berabad abad lampau lenyap ditelan tsunami. Kini jejak kegemilangan yang mencapai puncaknya pada masa kesultanan Iskandar Muda itu sesekali masih menyilaukan sinarnya melalui temuan koin emas, porselen, hingga pedang VOC yang menggegerkan Aceh dan dunia arkeologis.
“Tuan di Kandang datang dari Baghdad pada 1116 Masehi bersama 500 orang rombongan dan berlabuh di Pantai Cermin. Ia datang dengan tujuan menyebarkan agama yang pada masa itu Aceh masih animisme (kepercayaan). Ia diberi tempat untuk menyebarkan agama untuk ahli tafsir, tahfidz, dan tassawuf,” terang tokoh masyarakat Gampong Pande, Sayyid Zulkarnain Alaydrus.
Ia menerangkan, jejak Tuan di Kandang atau yang bernama lengkap Al Makhdum Abi Abdullah Syaikh Abdurrauf Al-Mulaqqab terlihat dari kompleks pesantren (dayah) berupa pondasi masjid, sumur tua yang mata airnya tak pernah mengering, dan ruangan untuk khalwat (kaluet) para sufi.
Menurut riwayat seperti yang tertuang dalam manuskrib Universiti Kebangsaan Malaysia, Kerajaan Aceh berdiri dengan sultan pertama yaitu anak Tuan di Kandang bernama Sultan Djohan Syah. Jejak rekam pembawa syiar Islam itu sejak dua tahun belakangan menjadi agenda wajib Pemerintah Kota untuk melakukan napak tilas sejak ditetapkannya Gampong Pande sebagai titik nol Banda Aceh.
“Kalau memang sudah ditetapkan sebagai wisata titik nol, upayakan ke arah sana seperti dengan pemugaran makam, gapura masuk, pustaka, serta pembebasan lahan untuk areal tambak yang kini menjadi lahan tidur,” tukas warga lainnya, Amiruddin Is dalam dialeg Aceh yang kental.
Saat ini desa yang dikelilingi tambak itu dihuni sekitar 200-an KK dengan areal seluas 180 hektare. Di desa yang oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banda Aceh ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya tersimpan dua bilah pedang VOC dan makam-makam yang tidak terawat usai diterjang tsunami. Keberadaannya tertutup rapat untuk warga asing. Sementara koin emas telah lama berpindah tangan dan diperjualbelikan ke luar.
Menurut warga setempat, baik mata uang Aceh tempo dulu berupa dirham maupun keramik guci atau porselen peninggalan Dinasti Ming banyak diincar hingga kini.
Dalam ‘kacamata’ sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, sesuatu baru bisa dikatakan sejarah apabila tercatat (mempunyai dokumen). Terkait dengan keberadaan Gampong Pande, menurut dia, banyak cerita rakyat yang kini berkembang menjadi legenda hidup. Walaupun berakar dari fakta, namun tidak sedikit yang dibumbui untuk menambah gurih cerita. Masyarakat yang berdiam di situ pun menganggapnya sebagai kebenaran sejarah.
“Dinamai Gampong Pande karena warganya pandai bertukang. Selain itu ada juga warga Turki yang berdiam di perkampungan Turki di Aceh yaitu Emperom yang pandai bertukang dan bekerja ke Gampong Pande. Empe sama dengan empu dalam bahasa Jawa yang berarti ahli pertukangan,” papar Rusdi.
Rusdi Sufi memaparkan hubungan Turki dengan Aceh sudah terjalin sejak abad ke-16 yaitu pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar. Kerajaan Turki Utsmani membantu Aceh dengan peralatan perang berupa meriam dalam melawan Portugis yang masuk melalui Selat Malaka. Sementara kisah Putro Ijo maupun Putro Neng, masih berbau legenda atau hanya cerita rakyat. Selain menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya, menurut Rusdi, pemerintah juga harus membuat aturan untuk melindungi benda-benda peninggalan sejarah dengan cara menyosialisasikan UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tersebut serta memberi jerih kepada penemunya agar benda tersebut bisa dikembalikan ke negara.
“Baru-baru ini ditemukan peta Aceh di Rio De Jenairo Brazil, umurnya sudah sangat tua. Untuk itu perlu adanya penelitian arkeologis terkait dengan hal itu, begitu juga halnya dengan situs-situs Gampong Pande. Di situ sepatutnya dibangun museum seperti Museum Trowulan Mojekerto Jawa Timur yang merupakan jejak Kerajaan Majapahit,” tutur Rusdi.(rul)
No comments:
Post a Comment