Perkembangan Tasawuf dan Tharikat di Aceh

A.    Hamszah Fansuri (Lahir pada abad ke 16/ 1726 M)

Riwayat kehidupan seorang tokoh Agama Islam di Aceh ini terletak pada pantai barat selatan wilayah Aceh, tepat nya pada daerah yang bernama Pansur (Barus), nama tokoh ini di nisbatkan dari nama daerah yaitu Pansur, di karenakan Beliau menunut ilmu ke jazirah Arab maka nama nya menjadi Hamzah Fansuri (huruf Arab). Sumbangsih Hamzah Fansuri terhadap daerah Aceh sangatlah luas, hal ini di karenakan pada masa kerajaan Ali Mughayat Syah, Hamzah Fansuri mendapat jabatan yang sangat strategis di dalam Istana kerajaan Aceh tersebut, Hamzah Fansuri diangkat oleh Ali Mughayat Syah sebagai mufti kerajaan (ulama kerajaa), dengan demikian, Hamzah Fansuri secara otomatis berperan penting dalam membuat kebijakan yang diususlkan oleh kerajaan untuk dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat Aceh.

Selain mufti kerajaan Aceh, Hamzah Fansuri juga terkenal dengan konsep tasawufnya yang sangat dihargai oleh masyarakat Aceh, bahkan seluruh pelosok nusantara, karena Hamzah Fansuri mempunyai murid-murid yang bertebaran di seluruh pelosok nusantara ini. Secara literatur, Hamzah Fansuri menganut konsep tasawuf yang dikembangankan oleh Ibnu ‘Arabi yang notabhene nya berpaham tasawuf falsafi, sehingga konsep tasawuf falsafi yang dikembangkan oleh hamzah fansuri ini sangat mendominasi pemikiran masyarakat di Aceh, sehingga Hamzah Fansuri sangat disegani dan dipandang sangat bermartabat di Aceh. Tidak hanya itu, Hamzah Fansuri dalam memperoleh ilmu pengetauan agama Islam, sangatlah jauh perjalanan yang ia tempuh, perjalanan itu yang dibuktikan berdasarkan buku-buku tokoh Aceh yang mengatakan sampai ke Saudi Arabia, Hindia, dan berbagai pelosok daerah-daerah di nusantara ini. Ketika Hamzah Fansuri telah meranjak tua, tatkala itu juga Hamzah Fansuri kembali ke pada Allah Swt pada masa pergantian kerajaan Ali Mughayat Syah kepada Anaknya, para peneliti mengatakan pemakaman Hamzah Fansuri itu dilaksanakan di daerah ia lahir yaitu di daerah barus (kabupaten Aceh Singkil) dan samapai sekarang masyarakat setempat selalu menziarahi tempat peakaman tersebut, akan tetapi makam Hamzah Fansuri juga terdapat di salah satu desa di desa Ujung Pancu, kecamatan Syiahkuala-Banda Aceh, demikianlah sekelumit proses kebudyaan masyarakat di daerah penghasil kapur barus tersebut dalam mengenang seorang tokoh di daerah Aceh.

Jika kita melihat teritorial daearah barus ini, telah dibuktikan oleh sejarah Aceh, dalam hal kemajuan nya sebagai penghasil kabur barus terbaik di bumi Seramoe Mekah ini, yang notabhene nya sebagai daerah pengekspor kapur barus pada masa kerajaan Ali Mughayat Syah.

B.     Syamsudin Alsumatrani (Wafat pada tahun 1039 H/1630 M)

Syamsudin Alsumatrani banyak referensi mengatakan bahwa beliau adalah salah satu murid dari Hamzah Fansuri, jika kita telusuri mengenai riwayat hidup Syamsudin Alsumatrani ada beberapa kejanggalan dalam penyampaian nya, yan dapat penulis sampaikan dari buku tasawuf Aceh ada dua pendapat mengenai daerah yang katan sebagai tempat Syamsudin Alsumatrani lahir. Pendapat yang pertama berargumen bahwa Syamsudin Alsumatrani lahir di daerah Patani (Thailand timur), oleh kerena keinginan Syamsudin Alsumatrani mempelajari Agama Islam di Aceh, maka Syamsudin  Alsumtrani berlabuh lah ke Banda Aceh.

Kemudian pendapat yang kedua mengatakan bahwa Syamsudin Alsumatrani lahir di daerah Pereulak, alasan ini dikuatkan oleh sejarah yang notabhenenya di daerah ini tempat awal Islam masuk ke daerah Aceh. selanjutnya marilah kita menelisik mengenai hubnungan Syamsudin Alsumatrani dengan Hamzah Fansuri, secara literatur Aceh menceritakan hubungan tersebut sangat erat kaitan nya dengan konsep tasawuf falsafi, yang secara enplisit tasawuf falsafi itu salah satu nya dikembangkan oleh Ibnu’arabi yang telah lama menuntut ilmu di Mekah dan Madinah serta di tempat lain nya, tasawuf falsafi memberikan pandangan bahwa sifat Allah yang memasuki tubuh manusia yang telah menempuh maqam-maqam yang telah ditentukan dalam kajian ilmu tasawuf. dan jika hal ini dipahami oleh masyarakat awam sudah pasti tidak menemukan pemahaman yang baik, karena pemahaman dalam hal tasawuf falsafi ini hanya orang-orang tertentu saja yang mampu untuk menalar nya.

C.    Nuruddin Arraniry  ( Lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637 datang ke Aceh )

Riwayat hidup Nuruddin Arraniry tidak serumitnya riwayat Syamsudin Alsumatrani, hal ini di karenakan perjalanan Nuruddin Ar-raniry sangat banyak tokoh yang menulis dan melakukan penelitian terhadap perjalanan yang ia lakukan, jika kita awali dengan  tempat lahir Nuruddin Arraniry, kita bisa melihat dari sisi nama belakangnya, yaitu Ranir, Raniry adalah nama sebuah daerah yang terdapat di negara India. Kemudian penyebab Nuruddin Arraniry hijrah dan menetap di Aceh itu di karenakan paman nya Nuruddin Arraniry telah awal berada di Aceh, sehingga Nuruddin Arraniry bertambah semangat untuk mengembangkan ilmu penegetauana Agama Islamnya di Aceh. Selanjut nya sekitar abad ke 19, posisi Nuruddin Arraniry dijadikan sebagai mufti kerajaan pada masa Iskandat Tsani (menantunya Iskantadar Muda), banyak kejadian yang fenomenal yang terjadi mada masa kepemimpinan Iskandar Tsani dengan mufti nya yang bernama Nuruddin Arraniry ini, hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintahan Iskandar Tsani yang diakumulasi dari ajaran Nuruddin Arraniry untuk membakar semua kitab-kitab karya Hamzah Fansuri, Syamsudin Alsumatrani. Pembakaran itu terjadi di depan mesjid Baiturrahman. Alasan mengenai pembakaran itu disebabkan bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsudin Alsumatrani adalah sesat (dalam konteks tasawuf).

Secara konsep ilmu tasawuf Nuruddin Arraniry dengan Hamzah Fansuri itu sangat berbeda, Nurudin Arraniry dengan konsep wahdatul suhud (kesaksian), sedangkan Hamzah Fansuri dengan Syamsudin Alsumatrani dengan konsep wahdatul wujud (penyatuan). Pergejolakan dua pemikiran di bidang tasawuf ini, hampir sempat membuat rakyat Aceh menjadi konflik yang berkepanjangan, dengan pertelongan Allah swt juga, permasalahan ini bisa ditangani oleh seorang ulama Aceh yang bernama Syeihk Abdulrauf Assingkili, dengan kemapanan ilmu Agamanya yang matang dan dengan kharismatik itu, yang memudahkan ia untuk memberi pemahaman dan mendekati masyarakat untuk menjelaskan pertikaian antara konsep wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Alsumatrani, dan kosep wahdatul suhud yang di kembangkan oleh Nuruddin Arraniry, sehingga dapat meredamkan kekacauan bagi kalangan masyarakat di Aceh.

Kembali kita lihat mengapa setelah mennggal nya Iskandar Tsani kemudian syeikh Nuruddin Arraniry meninggal kan dearah Aceh, atas kejadian ini banyak referensi mengemukakan alasan yang berbeda, alasan yang pernama mengemukakan bahwa Seikh Nuruddin Arraniry meninggalkan Aceh oleh sebab ingin kembali ke kampung halamannya sebagai orang pribumi dan ingin mengembangkan ajaran Islam ke kampung halamannya. Alasan yang kedua mengatakan bahwa Syeikh Nuruddin Arraniry kalah debat dengan murid Hamzah Fansuri (Syariful) seorang tokoh yang berasal dari Malaya, perdebatan itu terjadi disebabkan oleh kesalah pahaman nya pemikiran Nuruddin Arraniry dengan Hamzah Fansuri. dan alasan yang ketiga mengatakan syeikh Nuruddin Arraniry meninggalkan Aceh kerena diusir oleh penduduk Aceh yang mayoritas nya sangat mendudukung pemikiran Hamzah Fansuri. walaupun banyak terjadi nya perbedaan yang mencolok, dan reaksi masyarakat Aceh terhadap Syeikh Nuruddin Arraniry itu ada, akan tetapi masyarakat Aceh juga mencintai Syeikh Nuruddin Arraniry, hal ini dibuktikan dengan mengabadikan sebuah nama syeikh Nuruddin Arraniry melalui perguruan tinggi yang berada di Aceh, perguruan tinggi ini dinamakan Intitut Agama Islam Ar-raniry (IAIN Ar-raniry). Perguruan tinggi ini juga telah menjadi jantung hati rakyat Aceh dengan mencetak generasi yang berkualitas yang dapat membawa daerah Aceh yang bermartabat dan berkompeten dalam berdampingan dengan daerah lain.

D.    Abdulra’uf Alsingkili (Syeikh kuala)

Syeikh Abdurra’uf Assingkili lahir di daerah pedalaman Singkil pada tahun 1001H atau 1592 M. Sumbangsihnya terhadap daerah Aceh sangatlah banyak, apalagi dilihat kiprah nya dalam mengembangkan ajaran agama Islam yang sangat-sangat menyentuh hati masyarakat Aceh. Syeikh Abdulra’uf Assingkili secara literatur berguru kepada Hamzah Fansuri dan Syamsudin Alsumatrani, hal ini dapat kita lihat dalam berbagai pandangangan nya mengenai konsep tasawuf yang di sampaikan Syeikh Abdulra’uf dalam menyampaikan dakwah nya kepada masyarakat. Beliau melakukan perjalanan ke kota Mekah dan daerah dearah yang berada di sekitar itu (Timur Tengah), itu ia lakukan untuk mendapat dam mendalami ilmu agama Islam yang ia miliki, dan kemudian setelah perjalanan ke kota Mekah tersebut, ia langsung kembali ke tanah kelahiran nya yaitu di daerah Aceh.

Dalam beberapa waktu kemudian ketika terjadinya kesalah pahaman antara pengikut Hamzah Fansuri dengan Nuruddin Arraniry, di waktu inilah sangat bijaksananya pandangan Syeikh Abdulra’uf Assingkili dalam menyelesaikan pertikaian tersebut, dengan mengeluarkan argumen bahwa Hamzah Fansuri dengan Nuruddun Arraniry itu mempunyai tujuan yang sama, akan tetapai hanya sedikit berbeda dalam melakukan metode pemahaman mengenai masing-masing konsep tasawuf mereka, senada dengan itu meredamlah isu-isu pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat. seiring waktu berjalan, kerajaan Aceh pada masa itu telah memasuki transisi kepemimpinan dalam artian bahwa kepepimpinan kerajaan Iskandar Tsani akan dialihkan kepada ratu Safiatuddin. ketika peralihan kepemimpinan ini, juga terjadi pertikaian di dalam kerajaan dan di kalangan mesyarakat yang menjadi bahan perbincangan mengenai permasalahan apakah seorang wanita bisa ditempatkan pada posisi pemimpin kerajaan, padahal masa sebelum nya tidak terjadi dalam sistem kerajaan di Aceh.

Mengenai permasalahan ini lagi-lagi seihk Abdulra’uf Assingkili berperan untuk memberi pemahaman kepada pihak kerajaan dan seluruh golongan masyarakat dalam hal posisi perempauan untuk menjadi seorang pemmpin kerajaan. Dengan keilmuan Syeih Abdulra’uf Assingkili ini dam metode penyampaian yang sangat efektif dan di dukung juga oleh dalil-dalil yang kuat mengenai posisi kepemimpinan seorang perempuan. Waktupun terus berjalan sehingga ratu Safiatuddin pun naik sebagi ratu kerajaan dan Seikh Abdulra’uf Assingkili diposisikan sebagai seorang musti kerajaan dengan bekal ilmu agama yang sangat luas dimilikinya, dan Syeihk Abdulra’uf Asssingkili juga berperan andil dalam penentuan kebijakan yang dirumuskan oleh pihak kerajaan. Selanjaut nya Seikh Abdulra’uf Assingkili terus mengebangkan metode dakwahnya dengan cara membuat sustu dayah di pesisir daerah Aceh, dan perkembangan dayah yang dipimpin oleh Syeihk Abdulra’uf  tersebut terus berkembang pesat. Seperti yang disampaikan oleh A. Hajmi mengatakan bahwa murid yang belajar di dayah nya Syeihk Abdulra’uf ini berasal dari seluruh daerah di Nusantara bahkan ada yang di luar Nusantara seperti Hindia, Malaya, dan Pattani. Perkembangan dayah yang berada di pesisir laut Aceh itu juga mempunyai sistem pengajaran tharikat yang di kembangkan oleh Seihk Abdulra’uf Assingkili itu.

Panjangnya sejarah kiprah seorang ulama yang kharismatik yang berada di tengah masyarkat Aceh ini kembali ke Baitullah tepat pada tempat dimana ia mengembangkan dayah di pesisir laut Aceh tersebut pada tanggal 23 syawal 1106H/1695M, sehingga Ratu Safiatuddin menyatakan nama seorang ulama ini dengan singkatan Syiahkuala, hal ini di karenakan Syeihk Abdulra’uf Assingkili tinggal dipinggiran kuala dan berdakwah dalam menyampaikan ajaran agama Islam di daerah pesisir ataupun di samping kuala. Tidak itu, untuk mengenang jasa Syeihk Abdulra’uf Assingkili ini di Daerah Aceh membuat sebuag nama universitas yang bernama Universitas Syahkula (Unsyiah). Akan tetapi secara sosiologi mengenai makam Seikh Abdulra’uf Assingkili ini juga terdapat di daerah pedalaman Singkil dan keadaan masyarakat di daerah Singgkil itu menyatakan bahwa kuburan Seikh Abdulra’uf Assingkili itu memang berada di daerah singgkil, ha ini dibuktikan banyak masyarakat yang menziarahi makam yang berada di Singkil tersebut. Ketidak pastian ini sulit diungkap oleh para peneliti, dikarenakan kurang nya data-data yang valid untuk membenarkannya, apalagi tanggapan-tanggapan yang berada di masyarakat lebih mengarah ke cerita mistis.

E.     Hubungan Sultan Dengan Syaikhul Islam/Mufti Qadhi Kesultanan

Sultan (periode)
   

Yaikhul Islam/Qadhi

Aludin Riayat Syah (1590-1604M)
   

Hamzah Fansury (-1607M)

Iskandar Muda (1607-1636M)
   

Syamsudin Alsumtran’i (-1630M)

Fa’iz al baghdadi (1630-1637M)

Iskandar Tsani (1636-1640M)
   

Nuruddin Arraniry (1637-1644M)

Safiatuddin Tajul Alam Syah (1675-1678M)
   

Saiful rijal/saifullah (1644-1661M)

Naqiatuddin Alam Syah (1675-1678M)

Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688M)

Kamalat Syah zainatuddin (1688-1699M)
   

Abdulrauf alfansuri (1661-1693M)

   

????

(1693-1727M)

Alaidin Maharajalela Ahmad Syah (1727-1736M)

Alaidin Johan Syah (1736-1760M)
   

Faqih Jalaluddin al’asyi & Jalaluddin Al-tursani

(-1760M)

Mahmud Syah (1760-1781M)
   

Muhammad  Zain al’asyi (-1770M)

Muhammad Syah (1824-1838M)
   

Marhaban Ibnu Muh.Saleh Lambhuk

Mansur Syah  (1857-1870M)
   

Tgk. Chik abbas al-asyi

Sumber Tabel.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perkembangan tasawuf dan tharikat di Aceh tidak lepas dari perkembangan politik di kerajaan Aceh, alasannya sangat beragam, diantaranya adalah semua kebijakan yang lahir dari kerajaan Aceh mayoritasnya diterbitkan oleh qadhinya kerajaan yakni Hamzah Fansuri, Ar-raniry, dan banyak tokoh tokoh ulama lainnya. Secara umum, segala pergelokan dan peradaban Aceh pada masa itu sangat diperankan oleh para ulama-ulama dayah yang membentuk pergerakan-pergerakan di masyarakat baik di bidang agama, sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lain sebagainya,

Dengan ini dapat dipastikan bahwa jika membahas pergerakan keagaan di Aceh tidak lepas dari perkembangan tasawufnya yang salah satu dipelopori oleh Hamzah Fansuri dengan dengankonsep wahdatul wujudnya, Syamsudi Assumatrani, dan Arraniry dengan konsep wahdatul Suhudnya (kesaksian), serta syeikh Abudrrauf Assingkili juga tidak terlupakan dalam perkembangan tasawud diAceh.

Hubungan tasawuf dengan masyarakat Aceh pada masa kerajaan sangatlah erat kaitannya, karena masyarakat Aceh pada masa itu sangat bersemangat mempelajari ilmu tasawuf yang dikembangkan oleh ulama-ulama yang berkahrismatik tinggi sehingga seiring dengan perkembangan ilmu tasawuf pada masa itu ilmu tharikat yang dikembangkan juga terus berkembang. Melaui ilmu tasawuf dan tharikat ini secara otomatis membentuk paradigma berfikir, tingkah laku serta kebudayaan masyarakat pada masa itu. Bukti kebudayaan yang ada pada masa itu adalah banyaknya pesantren-pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama tersebut walaupun tidak hanya mengajarkan ilmu tasawuf semata.

3.2. Saran

Materi yang disampaikan di atas adalah sebuah pemikirannya penulis sebagai bentuk usaha memahami perkembangan tasawuf di Aceh dengan ilmu dan pengalamanya penulis secara pribadi, jika kita pelajari subtansial sebuah sejarah perkembangan sebenarnya banyak tafsir yang diinterpretaasikan yang sesuai dengan pengalaman, ilmu, umur, dan lingkungan penulis, dengan demikian penulis berharap kepada para pembaca untuk sudi kiranya meulusuri subtansial materi ini lebih jauh lagi, sehingga kepuasan pembaca dalam mengonsumsi ilmu akan didapat.

Zulfata, Aceh Dalam Paradigma (Banda Aceh: Zoom 2013), hal.4

Sehat Ihsan Shadiqin, Tasawuf Aceh, Banda Aceh: Bandar Publishing 2008), hal.33

Otto Syamsudin Ishak, Sang Martir Tengku Bantaqiah, (Jakarta : Yappika yayasan Msyarakat Sivil untuk demokrasi 2003), hal.27

Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks ke Indonesiaan, (Yogyakarta :LKIS 2003 ), hal. 28

Hermansyah, Aliran Sesat di Aceh Dulu dan Sekarang, (Banda Aceh: Lembaga Penelitian IAIN Ar-raniry & Ar-raniry press 2011), hal:17

Zulfata Alghazali

No comments: