Sejarah Nabi Muhammad SAW: Peristiwa Ghadir Khum
Peristiwa Ghadir Khum terjadi pada 18 Dzulhijjah 10 Hijriah. Dihadiri lebih dari 120 ribu orang, termasuk sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum Hijrah.
Di Ghadir Khum, perbatasan antara Makkah dan Madinah, Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk beristirahat. Menurut Al-Fakhr al-Razi, ketika itu turun surat Al-Maidah ayat 67 berkenaan dengan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah.
Ketika turun ayat ini, Nabi menggenggam tangan Imam Ali dan mengangkatnya seraya bersabda, “Man kuntu mawlahu, fa Aliyyun mawlahu. Allahumma wali man walahu wa ’adi man ’adahu (Barangsiapa menjadikan aku sebagai mawlaku (pemimpinnya), hendaknya dia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya juga. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya. Musuhilah orang yang memusuhinya).”
Disebutkan bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Imam Ali, “Hani’an laka ya ibna Abi Thalib. Ashbahta mawlaya wa maula kulli mu’minin wa mu’mininatin (Selamat bagimu, wahai putra Abu Thalib. Engkau telah menjadi mawlaku, dan mawla setiap mukmin dan mukminat)” (Tafsir Al-Kabir, juz 12 halaman 53).
Setelah itu, jamaah pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Sesuai dengan pesan Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kepada orang-orang yang berada di tempat tinggalnya masing-masing; yang tidak ikut dalam haji wada.
Memang ketika itu tidak semua umat Islam ikut menunaikan ibadah haji dengan Rasulullah saw. Di Madinah, Al-Haris Al-Nukman Al-Fihri, salah seorang penduduk yang tidak ikut dalam ibadah haji segera mendatangi Nabi Muhammad saw.
Setelah menambatkan unta, Al-Haris berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Ya Muhammad, kau perintahkan kami shalat lima waktu, kami terima itu. Kau perintahkan zakat, kamu pun menerimanya. Namun, engkau tidak merasa puas dengan itu semua sampai engkau angkat tangan anak pamanmu dan kau istimewakan dia di atas kami semua. Lalu, engkau berkata, ‘Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, hendaklah mengambil Ali sebagai pemimpinnya.’ Aku mau tanya, ‘Apa ini berasal dari engkau sendiri atau dari Allah Azza wa Jalla?”
Rasulullah saw menjawab, “Demi Zat yang tidak ada Tuhan selain Dia, ini semua dari Allah Azza wa Jalla.”
Al-Haris kemudian berkata, “Ya Allah, jika apa yang diomongkan Muhammad itu benar, hujanilah aku dengan batu dari langit dan timpakan kepadaku azab yang berat.”
Al-Haris kemudian pergi meninggalkan Rasulullah saw. Sebelum dia sampai ke tunggangannya, Allah mendatangkan batu dari langit. Batu itu masuk ke dalam ubun-ubunnya dan keluar dari duburnya. Al-Haris pun mati.
Menurut Syaikh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, juga Al-Qurthubi, bahwa dari kejadian tersebut turunlah firman Allah, “Seseorang menantang untuk mendapatkan azab Allah Swt. Bagi orang kafir, azab itu tidak bisa dihindarkan olehnya” (QS al-Ma`arij [70]: 1-2). Lihat Tafsir Al-Manar, jilid 6, halaman 464 (Cairo: Dar Al-Manar, 1948-1956) dan Jalaluddin Rakhmat, The Road to Muhammad (Bandung: Mizan, 2009) halaman 277.
Sekadar tambahan, riwayat Ghadir Khum terdapat pula dalam kitab hadis Ahlussunah seperti Turmudzi, Muslim, sarta Al-Hakim. Syaikh Abdul Husain Amini (lahir 1899 - wafat 3 Juli 1969) menulis ensiklopedia Al-Ghadir yang bersumber dari 24 kitab sejarah (tarikh), 27 kitab hadis, 14 kitab tafsir, 7 transkrip khutbah ulama. Ensiklopedi susunan Syaikh Amini terbit tahun 1946 di Najaf, Irak, sebanyak 9 jilid oleh penerbit Az-Zahra.
Kemudian pada tahun 1952 menjadi 11 jilid yang diterbitkan di Teheran, Iran, oleh penerbit Al-Haidari. Terus dicetak oleh Dar Al-Kitab Al-Arabi di Beirut, Lebanon, tahun 1967 dan 1983. Peristiwa sejarah Ghadir Khum ini dimuat pula dalam novel Tasaro GK yang berjudul Muhammad: Para Pengeja Hujan (Yogyakarta: Bentang, 2011) bagian Ghadir Khum dan Ali.
Demikian serpihan peristiwa dalam Sirah Nabawiyah yang jarang dimasukan dalam buku-buku biografi Nabi Muhammmad saw. Juga sangat tidak dikenal kalangan umat Islam. Kenapa tidak disampaikan kisah Ghadir Khum; yang benar-benar terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw dan masa awal generasi umat Islam? Inilah pertanyaan yang seharusnya dikaji dalam studi sejarah Islam?
Ahmad S
Di Ghadir Khum, perbatasan antara Makkah dan Madinah, Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk beristirahat. Menurut Al-Fakhr al-Razi, ketika itu turun surat Al-Maidah ayat 67 berkenaan dengan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah.
Ketika turun ayat ini, Nabi menggenggam tangan Imam Ali dan mengangkatnya seraya bersabda, “Man kuntu mawlahu, fa Aliyyun mawlahu. Allahumma wali man walahu wa ’adi man ’adahu (Barangsiapa menjadikan aku sebagai mawlaku (pemimpinnya), hendaknya dia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya juga. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya. Musuhilah orang yang memusuhinya).”
Disebutkan bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Imam Ali, “Hani’an laka ya ibna Abi Thalib. Ashbahta mawlaya wa maula kulli mu’minin wa mu’mininatin (Selamat bagimu, wahai putra Abu Thalib. Engkau telah menjadi mawlaku, dan mawla setiap mukmin dan mukminat)” (Tafsir Al-Kabir, juz 12 halaman 53).
Setelah itu, jamaah pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Sesuai dengan pesan Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kepada orang-orang yang berada di tempat tinggalnya masing-masing; yang tidak ikut dalam haji wada.
Memang ketika itu tidak semua umat Islam ikut menunaikan ibadah haji dengan Rasulullah saw. Di Madinah, Al-Haris Al-Nukman Al-Fihri, salah seorang penduduk yang tidak ikut dalam ibadah haji segera mendatangi Nabi Muhammad saw.
Setelah menambatkan unta, Al-Haris berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Ya Muhammad, kau perintahkan kami shalat lima waktu, kami terima itu. Kau perintahkan zakat, kamu pun menerimanya. Namun, engkau tidak merasa puas dengan itu semua sampai engkau angkat tangan anak pamanmu dan kau istimewakan dia di atas kami semua. Lalu, engkau berkata, ‘Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, hendaklah mengambil Ali sebagai pemimpinnya.’ Aku mau tanya, ‘Apa ini berasal dari engkau sendiri atau dari Allah Azza wa Jalla?”
Rasulullah saw menjawab, “Demi Zat yang tidak ada Tuhan selain Dia, ini semua dari Allah Azza wa Jalla.”
Al-Haris kemudian berkata, “Ya Allah, jika apa yang diomongkan Muhammad itu benar, hujanilah aku dengan batu dari langit dan timpakan kepadaku azab yang berat.”
Al-Haris kemudian pergi meninggalkan Rasulullah saw. Sebelum dia sampai ke tunggangannya, Allah mendatangkan batu dari langit. Batu itu masuk ke dalam ubun-ubunnya dan keluar dari duburnya. Al-Haris pun mati.
Menurut Syaikh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, juga Al-Qurthubi, bahwa dari kejadian tersebut turunlah firman Allah, “Seseorang menantang untuk mendapatkan azab Allah Swt. Bagi orang kafir, azab itu tidak bisa dihindarkan olehnya” (QS al-Ma`arij [70]: 1-2). Lihat Tafsir Al-Manar, jilid 6, halaman 464 (Cairo: Dar Al-Manar, 1948-1956) dan Jalaluddin Rakhmat, The Road to Muhammad (Bandung: Mizan, 2009) halaman 277.
Sekadar tambahan, riwayat Ghadir Khum terdapat pula dalam kitab hadis Ahlussunah seperti Turmudzi, Muslim, sarta Al-Hakim. Syaikh Abdul Husain Amini (lahir 1899 - wafat 3 Juli 1969) menulis ensiklopedia Al-Ghadir yang bersumber dari 24 kitab sejarah (tarikh), 27 kitab hadis, 14 kitab tafsir, 7 transkrip khutbah ulama. Ensiklopedi susunan Syaikh Amini terbit tahun 1946 di Najaf, Irak, sebanyak 9 jilid oleh penerbit Az-Zahra.
Kemudian pada tahun 1952 menjadi 11 jilid yang diterbitkan di Teheran, Iran, oleh penerbit Al-Haidari. Terus dicetak oleh Dar Al-Kitab Al-Arabi di Beirut, Lebanon, tahun 1967 dan 1983. Peristiwa sejarah Ghadir Khum ini dimuat pula dalam novel Tasaro GK yang berjudul Muhammad: Para Pengeja Hujan (Yogyakarta: Bentang, 2011) bagian Ghadir Khum dan Ali.
Demikian serpihan peristiwa dalam Sirah Nabawiyah yang jarang dimasukan dalam buku-buku biografi Nabi Muhammmad saw. Juga sangat tidak dikenal kalangan umat Islam. Kenapa tidak disampaikan kisah Ghadir Khum; yang benar-benar terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw dan masa awal generasi umat Islam? Inilah pertanyaan yang seharusnya dikaji dalam studi sejarah Islam?
Ahmad S
No comments:
Post a Comment