Kitab Ulama Indonesia Soal Belut
Tokoh kelahiran Bogor, Jawa Barat, 14 Februari 1862/ 14 Sya’ban 1278 ini, membahas halalnya mengonsumsi belut dalam risalahnya yang berjudul lengkap As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hal al-Balut wa ar-Raddu ala Man Harramah itu.
Kehadiran kitab tersebut berangkat dari perdebatan yang muncul di kalangan ulama Nusantara, menyikapi persoalan ini. Sebagian kalangan menghukumi haram belut, namun tak sedikit pula, termasuk Syekh Muhktar, beranggapan bahwa belut boleh dikonsumsi.
Pada abad ke-19, diskusi menyoal hukum belut pun tak terelakkan antara para tokoh yang berada di Makkah dan ulama yang berada di Tanah Air, melalui korespendonesi surat. Dari sinilah, uncul inspirasi dan dorongan menulis risalah khusus soal belut.
Di samping itu, belut atau yang dikenal dengan fluta alba (zeuiew) ini, penyebarannya hanya banyak ditemukan di perairan tropis yang bersuhu antara 25 hingga 31 derajat selsius mencakup perairan Asia, seperti Jepang, Cina, Malaysia, dan Indonesia.
Menurut Syekh Mukhtar yang pernah didaulat sebagai imam pengajar di Masjid al-Haram itu memaparkan pandangan para ulama tentang belut. Al-Jirits, begitu dikenal di masyarakat Arab, dikenal dengan jenis ikan yang mirip belut.
Menurut Imam al-Baghawi, ikan ini dihukum halal seperti pendapat para sahabat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, dan Yazid bin Tsabit, serta Abu Hurairah, termasuk pandangan Imam Malik dan Syafi’i.
Syekh Muhktar menegaskan, dari kategorisasi di atas, belut adalah hewan air yang tidak keluar ke darat, kendati memang, terkadang keluar untuk keperluan dan waktu tertentu saja, tidak permanen, dengan demikian, belum termasuk kategori hewan yang keempat, dan hukumnya halal.
Belut memang ada yang hidup di lubang-lubang rawa, dan lumpur atau persawahan, tetapi tetap saja domisilinya tersebut didominanasi air, karena belut tak bertahan tanpa air. Belut tidak termasuk hewan yang mampu eksis di dua alam, darat dan air, seperti katak, buaya, atau ular. Buktinya, jika lumpur atau area persawahan mengering, belut raib sama sekali. Karena itu, hukumnya adalah halal.
Pada bab berikutnya, Syekh Mukhtar yang bermazhab Syafi’i ini, membantah anggapan pengharaman belut didasari alasan menjijikkan. Menurutnya, anggapan tersebut keliru lantaran takaran menjijikkan atau tidak pada konteks belut, hanya merujuk pada cita rasa yang bernuansa karakter orang Arab dengan tingkat kesejahteraan yang lebih.
Takaran itu tentu tak bisa serta merta dipukul rata begitu saja. “Saya mencicipi sendiri dan kebanyakan orang dari kalangan ulama atau awam, baik pada era dulu dan kini, justru belut lebih lezat di banding jenis ikan lainnya.”
Ternyata, diskusi dan pertanyaan seputar belut, juga pernah disampaikan langsung kepada Syekh Mukhtar. Para penanya itu datang dari Yaman, Homs (Suriah), dan para ulama di Makkah. Tak cukup sampai di sini, bahkan untuk memastikan hukum halal itu, Syekh Mukhar tidak segan-segan mengonsultasikan hukum belut dengan memaparkan definisi dan karakter belut kepada para ulama yang lebih alim.
Jawaban mereka sama, bahwa belut yang juga juga dikenal dengan istilah al-Jirits dan Marma halal hukumnya.” Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.(QS al-Maidah [5] : 96).
No comments:
Post a Comment