Mengenal Al-Ma'mun, Khalifah Pengantar Puncak Peradaban Islam
Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Al-Ma’mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus, astronom, ahli hukum, serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi.
Dengan insentif dan gaji yang sangat tinggi, para ilmuwan itu dilecut semangatnya untuk menerjemahkan beragam teks ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa seperti Yunani, Suriah, dan Sansekerta. Demi perkembangan ilmu pengetahuan, Al-Ma’mun mengirim seorang utusan khusus ke Bizantium untuk mengumpulkan beragam munuskrip termasyhur yang ada di kerajaan itu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ketika Kerajaan Bizantium bertekuk lutut terhadap pemerintahan Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur damai. Tak ada penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium, seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika menguasai dunia Islam. Khalifah Al-Ma’mun secara baik-baik meminta sebuah kopian Almagest atau al-kitabu-l-mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi yang ditulis Ptolemeus pada abad kedua) kepada raja Bizantium.
Pada era kekuasaannya, beragam peralatan observasi astronomi telah digunakan secara besar-besaran. Proyek penelitian astronomi pun dilakukan di Baghdad di zaman itu. Serangkaian proyek dalam bidang astronomi itu menjadi cikal bakal berdirinya universitas modern atau Madrasah di Baghdad.
Sumbangsih dan dedikasi sang khalifah dalam mengembangkan Astronomi diabadikan dalam sebuah kawah yang bernama Almanon atau Al-Ma’mun. Pemerintahan Al-Ma’mun menerapkan sistem kekuasaan terpusat. Khalifah juga secara berkala melakukan pergantian kepemimpinan di berbagai provinsi yang dikuasai Abbasiyah. Tak heran jika wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah terus meluas. Saat Al-Ma’mun berkuasa, pemberontakan Hidun di Sindh dapat diredam.
Sebagian besar wilayah Afghanistan tunduk pada pemimpin Abbasiyah yang berada di Kabul. Kawasan pegunungan Iran juga dikuasai pemerintahan Abbasiyah. Kawasan Turkistan pun mengakui kekuasaan Abbasiyah. Sebagai seorang khalifah, Al-Ma’mun juga turun ke medan perang saat bertempur dengan Kerajaan Bizantium di Asia Kecil. Nyawanya nyaris terenggut saat memimpin sebuah ekspedisi di Sardis. Ia pun menjadi pemim pin panutan yang dicintai rakyatnya.
Meski begitu, pada masa kekuasaannya para ulama melakukan gerakan penentangan terhadap kebijakan Al-Ma’mun yang menerapkan mihna.
Mihna merupakan upaya dari Khalifah Al-Ma’mun pada tahun 218 H/833 M untuk memaksakan pandangan teologisnya. Salah satu kebijakan yang termasuk dalam mihna adalah ujian keagamaan, sumpah setia dan lainnya.
Lalu seperti apa sosok Khalifah Al- Ma’mun itu? Sejarawan Muslim, Al-Tabari menggambarkan sosok Al-Ma’mun sebagai pria yang bertubuh jangkung, tampan, corak kulitnya bercahaya, dan memiliki jenggot yang panjang. Sang khalifah juga dikenal amat dermawan dan pandai berorasi meski tanpa persiapan. Dia juga seorang Muslim yang taat dan pemimpin adil yang hobi berpuisi.
Sejatinya, Khalifah Al-Ma’mun memiliki nama lengkap Abu Jafar Al-Ma’mun bin Harun. Orang Barat memanggilnya dengan sebutan Almamon. Ia terlahir pada 14 September 786 M. Sang khalifah bergelar Abu Al-Abbas. Ayahnya adalah Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sedangkan ibunya adalah seorang bekas budak yang bernama Murajil.
Lantaran sang ibu bukan dari keturanan Abbasiyah, maka pada tahun 802 M sang ayah mewariskan singgasana kekhalifahan kepada puteranya yang lain bernama Al-Amin.
Sedangkan, Al- Ma’mun ditunjuk sebagai Gubernur Khurasan dan sebagai khalifah setelah Al- Amin. Setelah sang ayah wafat pada tahun 809 M, hubungan dua bersaudara berlainan ibu itu memburuk.
Konflik itu semakin memburuh setelah Al-Amin yang menjadi khalifah memecat Al-Ma’mun dari posisi gubernur Khurasan. Al-Amin menunjuk puteranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khura san.
Al-Ma’mun menganggap keputusan itu sebagai pelanggaran terhadap wasiat sang ayah — Harun Ar-Rasyid. Keduanya lalu berperang. Dengan bantuan pasukan Khurasani pimpinan Tahir bin Husain Al-Ma’mun berhasil mengalahkan kekuatan Al-Amin.
Mulai tahun 813 M hingga 833 M, Al- Ma’mun menjadi khalifah. Setelah dua dekade memimpin Abbasiyah, Al- Ma’mun meninggal pada 9 Agustus 833 M di dekat Tarsus. Jabatannya lalu digantikan Al-Mu’tasim. Dedikasi dan kontribusinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hingga tetap diakui sepanjang masa.
No comments:
Post a Comment