Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar?
Ada versi kisah yang menyebutkan bahwa Presiden pertama RI Soekarno meneken Supersemar dengan ditodong pistol. Benarkah demikian?
Misteri Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tak melulu soal naskah asli yang hingga kini belum ditemukan. Proses bagaimana Presiden pertama RI Soekarno meneken surat tersebut juga masih menjadi tanda tanya.
Apalagi, surat itu seolah menjadi pintu bagi proses peralihan kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden kedua RI pada tahun 1968.
Ajudan Soekarno, Soekardji Wilardjito mengungkap bahwa sang presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal AD bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar.
Penuturan ini disampaikan Sukardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998, 32 tahun setelah berkuasa.
Sukardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno.
Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M. Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).
Saat menerima dokumen itu, Soekarno langsung protes.
"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!"ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Sukardjo dalam bukuMereka Menodong Soekarno.
Sukardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD.
"Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah," sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M. Panggabean mencabut pistolnya.
Sukardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata.
"Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku," kata Sukardjo.
Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu.
"Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku," ungkap Soekarno.
Keempat jenderal lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali Soeharto untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan.
Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi tanah air ke situasi normal. Dia langsung membubarkan PKI, menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan siapa pun yang memiliki kaitan dengan PKI
Dibantah
Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Karena selama ini, diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean.
Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada bulan Agustus 1998.
"Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998).
Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.
Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, melainkan ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.
"Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden.
"Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi.
Bantahan kemudian juga disampaikan M. Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu mempercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar.
"Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada Jendral yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara denganKompas.com beberapa waktu lalu.
Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supsemar.
Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan tanah air.
Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.
"Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi.
Hari ini adalah 50 tahun lahirnya Supersemar. Sebuah misteri sejarah yang hingga kini masih belum terungkap. Naskah asli Supersemar pun masih diburu untuk menjawab tanda tanya seputar peralihan kekuasaan itu.
(Sabrina Asril/Kompas
Apalagi, surat itu seolah menjadi pintu bagi proses peralihan kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden kedua RI pada tahun 1968.
Ajudan Soekarno, Soekardji Wilardjito mengungkap bahwa sang presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal AD bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar.
Penuturan ini disampaikan Sukardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998, 32 tahun setelah berkuasa.
Sukardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno.
Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M. Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).
Saat menerima dokumen itu, Soekarno langsung protes.
"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!"ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Sukardjo dalam bukuMereka Menodong Soekarno.
Sukardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD.
"Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah," sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M. Panggabean mencabut pistolnya.
Sukardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata.
"Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku," kata Sukardjo.
Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu.
"Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku," ungkap Soekarno.
Keempat jenderal lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali Soeharto untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan.
Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi tanah air ke situasi normal. Dia langsung membubarkan PKI, menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan siapa pun yang memiliki kaitan dengan PKI
Dibantah
Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Karena selama ini, diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean.
Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada bulan Agustus 1998.
"Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998).
Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.
Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, melainkan ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.
"Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden.
"Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi.
Bantahan kemudian juga disampaikan M. Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu mempercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar.
"Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada Jendral yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara denganKompas.com beberapa waktu lalu.
Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supsemar.
Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan tanah air.
Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.
"Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi.
Hari ini adalah 50 tahun lahirnya Supersemar. Sebuah misteri sejarah yang hingga kini masih belum terungkap. Naskah asli Supersemar pun masih diburu untuk menjawab tanda tanya seputar peralihan kekuasaan itu.
(Sabrina Asril/Kompas
No comments:
Post a Comment