Tafsir Yahudi, Tafsir Liberal, Tafsir Iblis Part 2
Menafsirkan UUD 1945 saja ada metodenya. Meskipun terkenal cerdas, Pak BJ Habibie tidak diakui otoritasnya dalam soal penafsiran UUD 1945. Begitu juga soal penafsiran al-Quran
Pakar Tafsir al-Quran Fahmi Salim menulis artikel di Harian Republika (26/2/2016) berjudul “Menakar ‘Tafsir Baru’ LGBT”. Fahmi Salim membuktikan, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang buruknya perilaku homoseksual itu. Al-Quran menyebut sebagai “fahisyah” (kejahatan yang keji). Perbedaan mereka adalah tentang bentuk hukuman yang harus dijatuhkan kepada para pelaku homoseksual. Seorang guru di pesantren juga menulis artikel bagus yang menjawab tulisan pegiat liberal tersebut.
Baca: Islam, LGBT dan Perkawinan Sejenis
Tentulah sebagai muslim kita sangat menyayangkan dan sedih dengan munculnya artikel-artikel yang membolehkan perkawinan sejenis, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang yang secara keilmuan logisnya tidak berani melakukan hal tersebut. Sebab, al-Quran tidak bisa ditafsirkan sembarangan dan semaunya sendiri. Menafsirkan UUD 1945 saja ada metode dan caranya. Itu terkait dengan otoritas keilmuan. Meskipun terkenal dengan kecerdasannya yang luar biasa, Pak BJ Habibie tidak diakui otoritasnya dalam soal penafsiran UUD 1945. Kecuali jika Pak Habibie kemudian menekuni bidang itu dan menulis karya ilmiah yang otoritatif tentang penafsiran UUD 1945, yang diakui pada ilmuwan di bidangnya.
Begitu juga dalam soal penafsiran al-Quran. Perlu otoritas keilmuan yang memadai untuk diakui sebagai mufassir al-Quran. Untuk mengajukan satu metodologi baru dalam penafsiran al-Quran, perlu seorang menulis kitab Ulumul Quran atau Kitab Metodologi Ilmu Tafsir yang berkualitas tinggi dan bisa diuji secara ilmiah. Minimal, ia membuktikan telah melahirkan karya Tafsir al-Quran yang bermutu. Jika belum mampu menjadi mujtahid, sebaiknya belajar lagi kepada para ulama yang mumpuni ilmunya. Tidak baik bersikap asal beda (Jawa: Waton Suloyo/WtS). Kita perlu orang pinter dan bener. Umat Islam merindukan sosok-sosok ilmuwan dan ulama yang tinggi ilmunya tetapi juga tahu diri.
Jika dasar untuk melegalkan perkawinan sesama jenis adalah karena “tidak ada dalil yang melarang secara eksplisit dalam al-Quran”, maka dalam al-Quran juga tidak larangan secara eksplisit untuk menikah dengan anjing, dengan babi, dengan kunyuk, atau dengan tuyul. Di sinilah perlunya metodologi yang shahih dalam menafsirkan al-Quran Ketiadaan metodologi yang shahih ini akan menyebabkan kekacauan ilmu.
Kita bisa menyimak sebuah buku berjudul Fiqih Lintas Agama (editor: Mun’im A. Sirry), yang secara serampangan memberikan tuduhan yang tidak beradab kepada Imam al-Syafi’i rahimahullah:
Itulah beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir. Semoga kita dan keluarga kita selamat dari aneka tipu daya Iblis dan para setan terkutuk yang tak henti-hentinya berusaha menyesatkan kita dari jalan Allah yang lurus. Amin. (Malang, 6 Maret 2016).
Dr. Adian Husaini
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP)
Pakar Tafsir al-Quran Fahmi Salim menulis artikel di Harian Republika (26/2/2016) berjudul “Menakar ‘Tafsir Baru’ LGBT”. Fahmi Salim membuktikan, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang buruknya perilaku homoseksual itu. Al-Quran menyebut sebagai “fahisyah” (kejahatan yang keji). Perbedaan mereka adalah tentang bentuk hukuman yang harus dijatuhkan kepada para pelaku homoseksual. Seorang guru di pesantren juga menulis artikel bagus yang menjawab tulisan pegiat liberal tersebut.
Baca: Islam, LGBT dan Perkawinan Sejenis
Tentulah sebagai muslim kita sangat menyayangkan dan sedih dengan munculnya artikel-artikel yang membolehkan perkawinan sejenis, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang yang secara keilmuan logisnya tidak berani melakukan hal tersebut. Sebab, al-Quran tidak bisa ditafsirkan sembarangan dan semaunya sendiri. Menafsirkan UUD 1945 saja ada metode dan caranya. Itu terkait dengan otoritas keilmuan. Meskipun terkenal dengan kecerdasannya yang luar biasa, Pak BJ Habibie tidak diakui otoritasnya dalam soal penafsiran UUD 1945. Kecuali jika Pak Habibie kemudian menekuni bidang itu dan menulis karya ilmiah yang otoritatif tentang penafsiran UUD 1945, yang diakui pada ilmuwan di bidangnya.
Begitu juga dalam soal penafsiran al-Quran. Perlu otoritas keilmuan yang memadai untuk diakui sebagai mufassir al-Quran. Untuk mengajukan satu metodologi baru dalam penafsiran al-Quran, perlu seorang menulis kitab Ulumul Quran atau Kitab Metodologi Ilmu Tafsir yang berkualitas tinggi dan bisa diuji secara ilmiah. Minimal, ia membuktikan telah melahirkan karya Tafsir al-Quran yang bermutu. Jika belum mampu menjadi mujtahid, sebaiknya belajar lagi kepada para ulama yang mumpuni ilmunya. Tidak baik bersikap asal beda (Jawa: Waton Suloyo/WtS). Kita perlu orang pinter dan bener. Umat Islam merindukan sosok-sosok ilmuwan dan ulama yang tinggi ilmunya tetapi juga tahu diri.
Jika dasar untuk melegalkan perkawinan sesama jenis adalah karena “tidak ada dalil yang melarang secara eksplisit dalam al-Quran”, maka dalam al-Quran juga tidak larangan secara eksplisit untuk menikah dengan anjing, dengan babi, dengan kunyuk, atau dengan tuyul. Di sinilah perlunya metodologi yang shahih dalam menafsirkan al-Quran Ketiadaan metodologi yang shahih ini akan menyebabkan kekacauan ilmu.
Kita bisa menyimak sebuah buku berjudul Fiqih Lintas Agama (editor: Mun’im A. Sirry), yang secara serampangan memberikan tuduhan yang tidak beradab kepada Imam al-Syafi’i rahimahullah:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hlm. 5.)Maka, dalam menyikapi persoalan ini, kita perlu merenungkan ujung artikel Fahmi Salim yang mengingatkan:
“Dalam soal penyelewengan Tafsir al-Quran, Allah telah menunjukkan bagaimana Iblis pun telah melakukannya. QS al-A’raf ayat 20 menjelaskan, bahwa Iblis melakukan penafsiran semena-mena – sesuai kehendaknya — terhadap larangan Allah agar Adam menjauhi Pohon itu. Lalu, Iblis membuat tafsiran, ‘Tuhan melarang kalian berdua (Adam dan Hawa), karena kalian bisa jadi malaikat atau jadi makhluk yang kekal abadi’.Kata-kata Fahmi Salim, sarjana Ilmu Tafsir lulusan al-Azhar Kairo itu, perlu kita renungkan. Iblis memang tidak mengatakan kepada Adam dan Hawa, “Wahai Adam, jangan pedulikan larangan Allah itu!” Bukan begitu cara Iblis menyesatkan. Tetapi, Iblis menggunakan cara intelektual; memberikan penafsiran yang menyesatkan terhadap Kalam Allah itu. Bahwa, kata Iblis, maksud larangan itu adalah agar Adam tidak menjadi Malaikat atau tidak kekal di sorga. Iblis berlagak sebagai ahli tafsir. Karena penampilan dan cara pendekatan Iblis memang mempesona, maka Adam pun terpedaya, dan kemudian mengakui kesalahannya, bertobat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Bahkan, untuk meyakinkan Adam dan Hawa, Iblis sampai bersumpah bahwa ia adalah pemberi nasihat yang jujur. Kala itu Adam dan isterinya terpedaya akibat tafsir sesat berbungkus nasehat ala Iblis. Tentu kita sebagai keturunan Adam tidak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama.”
Itulah beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir. Semoga kita dan keluarga kita selamat dari aneka tipu daya Iblis dan para setan terkutuk yang tak henti-hentinya berusaha menyesatkan kita dari jalan Allah yang lurus. Amin. (Malang, 6 Maret 2016).
Dr. Adian Husaini
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP)
No comments:
Post a Comment