Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 9
Belanda pusing tujuh keliling menghadapi ulah rakyat Perak yang tidak mau berdagang dengannya. Walau sudah ada perjanjian, Muslim Perak tetap saja melakukan perniagaan timah-timahnya dengan pedagang-pedagang Islam asal India, Cina, dan Arab. Juga dengan pedagang Eropa selain Belanda. Akhirnya Belanda menempuh jalan kekerasan dan paksaan. Rakyat Perak tak gentar dengan Belanda.
Maka tahun 1651 meletuslah perlawanan bersenjata terhadap VOC di Perak. Dengan dipimpin oleh tumenggung dan syahbandar, rakyat Perak menyerbu loji-loji VOC dan markas pertahanan Belanda. Banyak tentara Belanda menemui ajal. Beberapa tentara VOC yang berhasil melepaskan diri akhirnya kabur dan meninggalkan Perak menuju Malaka. Dengan sendirinya perjanjian monopoli perniagaan timah pun batal.
Belanda makin beringas. Di berbagai wilayah kerajaan Aceh Darussalam, Belanda mulai berani terang-terangan menunjukkan sifat tamaknya. Jalur-jalur perekonomian banyak yang diganggu, terutama di Selat Malaka. Melihat hal ini, Ratu Safiatuddin pun tidak tinggal diam. Persiapan perang besar-besaran dilakukan Aceh Darussalam guna memberi pelajaran kepada kafir Belanda.
Menyadari bahwa armada laut Aceh tidak sanggup lagi sendirian menghadapi armada VOC, maka dengan cerdik Ratu Safiatuddin mengontak Persatuan Dagang Inggris, saingan VOC Belanda, dan meminta bantuan persenjataan berupa meriam, senapan, dan mesiu. Ratu Safiatuddin mengerti benar bahwa walau Belanda dan Inggris sama-sama negeri imperialis namun keduanya sering terlibat dalam konflik perebutan wilayah jajahan. Sebab itu, oleh Ratu Safiatuddin, Inggris akan dibenturkan dengDari Ratu Naqiatuddin Hingga Ratu Kamalat Syah
Sebelum upacara pemakaman Ratu Safiatuddin, Dewan Syuro Kerajaan Aceh Darussalam menobatkan Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin menggantikan Ratu Safiatuddin. Ratu Naqiatuddin merupakan salah satu dari tiga puteri Aceh yang disiapkan sejak lama oleh Ratu Safiatuddin untuk menggantikannya. Ketiganya telah lama ditempa dengan ilmu-ilmu ketatanegaraan, ilmu-ilmu agama, hingga bermacam-macam bahasa asing, hingga ketiganya juga merupakan puteri-puteri Aceh terbaik pada masanya. Ratu Naqiatuddin hanya memerintah dua tahun karena pada tahun 1678 sang ratu meninggal dunia. Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah pun menggantikan Ratu Naqiatuddin dan dinobatkan pada tanggal 23 Januari 1678.
Seperti para pendahulunya, Ratu Zakiatuddin juga sama sekali tidak memberi hati pada VOC Belanda. Setelah melewati pertempuran yang hebat, angkatan perang Aceh Darussalam berhasil merebut kembali daerah Bayang di Sumatera Barat. Di masa kekuasaan Ratu Zakiatuddin inilah, Kerajaan Aceh Darussalam tidak hanya menghadapi Belanda, tetapi juga rongrongan Inggris yang mendesak agar diperbolehkan mendirikan kantor dagang dan benteng di Banda Aceh. Tetapi semua rongrongan ini berhasil dilumpuhkan oleh Sang Ratu.
Dalam masa kekuasaan Zakiatuddin ini pula datang ke tanah Aceh utusan resmi dari Syarif dan Mufti Mekkah di bawah pimpinan Yusuf al Qudsi. Saat menerima utusan dari Mekkah, Ratu Zakiatuddin menerimanya dari balik hijab. Hijab tersebut sangat indah terbuat dari sutera dewangga dan bertatahkan sulaman emas dan batu permata.
Dari balik hijab, dengan bahasa Arab yang fasih, Ratu Zakiatudin menyambut tamunya dengan sangat baik. Sejarahwan A. Hasjmy mengutip naskah Muhammad Yunus Jamil[1] yang menceritakan secara panjang lebar pertemuan Ratu beserta segenap petinggi kerajaan dengan rombongan dari Mekkah.
“…Tahun 1681 rombongan Syarif Mekkah itu sampai di Banda Aceh Darussalam, di mana mereka diterima oleh Ratu dengan segala upacara kebesaran. Mereka sangat kagum menyaksikan Banda Aceh yang cantik dan permai; segala bangsa berdiam di sana, kebanyakan mereka kaum saudagar.
Ketika mendapat kesempatan menghadap Sultanah, keheranan mereka jadi bertambah, di mana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit perempuan yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas dan perak. Tingkahlaku pasukan kehormatan itu dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan agama Islam.
Ketika mereka menghadap Sultanah, mereka dapati Sri Ratu dengan para pembantunya yang terdiri dari kaum perempuan duduk di balik tabir kain sutera dewangga yang berwarna kuning berumbai-rumbai dan berhiaskan emas permata. Ratu berbicara dalam bahasa Arab yang fasih dengan mempergunakan kata-kata yang diplomatis sehingga menimbulkan takjub yang amat sangat bagi para utusan. Dalam pergaulan di istana tidak ada satu pun yang mereka dapati yang di luar ketentuan ajaran Islam…”
Rombongan dari Mekkah itu tinggal di Aceh setahun lamanya. Ketika mereka kembali ke Mekkah, Ratu Zakiatuddin menghadiahkan mereka perhiasan emas permata. Pada 3 Oktober 1688, Ratu Zakiatuddin berpulang ke Rahmatullah. Ratu Kamalat Syah menggantikan Ratu Zakiatuddin.
Tahun 1695 tiba utusan Persatuan Dagang Inggris di Banda Aceh dan mengajukan permohonan agar Inggris diperbolehkan mendirikan kantor dagang di Aceh. Guna mengimbangi Belanda yang kian kuat, Ratu Kalamat Syah mengizinkan hal itu namun tetap mengutamakan kemakmuran rakyat Aceh, sehingga Inggris tidak mendapat laba yang banyak dari Aceh.
Di atas sudah disinggung bahwa negara-negara Eropa kolonialis selalu membawa tiga buah misi dalam ekspansinya ke negara-negara selatan yang mayoritas negeri Islam. Selain misi mencari kekayaan, juga misi untuk menyebarkan salib dan meninggikan agama Kristen (Gold, Glory, and Gospel). Demikian pula dengan VOC.
Misi Salib VOC Yahudi-Belanda
“Misi berarti penyiaran iman Katolik Roma,” demikian Jan Bank dalam Katholieken en de Indonesische Revolutie.[2] Dalam karya tulisnya yang cukup tebal, sejarahwan Belanda ini mengakui bahwa penyebaran agama Katholik terlihat pertama kali di Nusantara pada akhir abad ke-15 Masehi. Misi Katholik, demikian Jan Bank, merupakan konsekuensi dari ekspansi orang Eropa di Kepulauan Nusantara, termasuk ke Aceh dan Malaka. “Tetapi kadang-kadang justeru sebagai dalih untuk melakukan ekspansi itu,” tegas Bank yang berarti secara implisit mengakui bahwa negeri-negeri Kristen Eropa selalu membawa misi penyebaran salib dalam setiap aksi kolonialisme dan imperialismenya.
Walau demikian, kedatangan bangsa-bangsa Kristen Eropa seperti Sanyol, Portugis, dan Belanda ke Nusantara bukanlah kali pertama kehadiran orang-orang Eropa di daratan ini. Merujuk Muskens[3], Jan Bank menyatakan bahwa sejumlah jemaat Kristen sudah ada di kota-kota pelabuhan kawasan ini sejak abad ke-7 dan 9 Masehi.
“Akan tetapi, memang benar, gelombang besar misi terjadi sesudah berlangsungnya ekspansi Portugis dan Spanyol sekitar tahun 1500. …Dengan direbutnya Malaka oleh Portugis di tahun 1511, mulailah penyebaran iman Katholik Roma secara lebih teratur, terutama di daerah-daerah jajahan Portugis di bagian timur Nusantara: Ambon dan Halmahera, Ternate dan Tidore,” lanjut Bank.
Yang menarik, Bank dengan jujur menulis bahwa pelayaran yang dilakukan Portugis dan kemudian Spanyol ke Asia Tenggara yang dihuni negeri-negeri Islam merupakan kelanjutan dari perang suci orang Portugis-Spanyol melawan orang Moor Islam di Jazirah Iberia.[4] (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
———————————
[1] M. Yusuf Jamil; Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, hal.47-48.
[2] Jan Bank: Katholieken en de Indonesische Revolutie (Katholik di Masa Revolusi Indpnesia). Kerjasama KITLV dengan Gramedia, Jakarta, 19999, hal.1.
[3] Muskens, M.P.M.; Partner in Nation Building. The Catholic Church in Indonesia; Aachen; 1979, hal. 38.
[4] Ibid.an Belanda.
Mendengar strategi Ratu Safiatuddin itu, Belanda kaget bukan kepalang. Agar tidak berperang dengan Inggris, Belanda cepat-cepat mengubah sikapnya dan menunjukkan keramahan kembali kepada Aceh Darussalam. Sebuah tim negosiator cepat-cepat menemui Ratu dan membujuk Ratu Safiah agar tidak mengontak Inggris. Ratu setuju namun dengan sejumlah syarat yang dengan sangat terpaksa akhirnya diterima oleh VOC, antara lain: VOC menghentikan blokade atas Perak, VOC tidak akan mendirikan benteng di Perak, dan VOC akan memberikan kepada Aceh Darussalam bantuan persenjataan seperti meriam, senapan, dan mesiu sesuai permintaan dari Aceh.
Dasar watak kolonial yang tidak bisa dipercaya, maka demikianlah Belanda. Perjanjian dengan Aceh ini pun akhirnya dilanggarnya sendiri. Wilayah-wilayah di seberang Selat Malaka kembali diblokade, kali ini malah bertambah dengan memblokade wilayah-wilayah kerajaan Aceh Darusalam di pantai Barat Sumatera. Di wilayah Perak dan sekitarnya Belanda mengincar timah, maka di Barat Sumatera yang diincar adalah emas dan lada.
Ratu Safiah sebenarnya juga tidak percaya seratus persen dengan Belanda. Dalam masa “damai”, Ratu Safiah tetap membangun dan memperbaharui armada laut kerajaan. Walau armada laut kerajaan Aceh Darussalam tidak sekuat di masa Sultan Iskandar Muda, namun Aceh masih mampu untuk unjuk gigi dan tidak kehilangan harga dirinya dihadapan armada kafir Belanda. Beberapa peristiwa masih menunjukkan kekuatan armada laut Kerajaan Aceh Darussalam. Antara lain dalam peristiwa San Giovani Batisda dan San Bernardo di tahun 1649, peristiwa pembunuhan pegawai VOC di Perak, dan penangkapan pegawai VOC di Sumatera Barat tahun 1657.
Setelah memerintah lebih dari tigapuluh tahun, pada 23 Oktober 1675 Ratu Safiatuddin meninggal dunia. Rakyat Aceh merasa sangat kehilangan atas pemimpinnya yang cerdas, berahklak mulia, dan pemberani ini.
Dari Ratu Naqiatuddin Hingga Ratu Kamalat Syah
Sebelum upacara pemakaman Ratu Safiatuddin, Dewan Syuro Kerajaan Aceh Darussalam menobatkan Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin menggantikan Ratu Safiatuddin. Ratu Naqiatuddin merupakan salah satu dari tiga puteri Aceh yang disiapkan sejak lama oleh Ratu Safiatuddin untuk menggantikannya. Ketiganya telah lama ditempa dengan ilmu-ilmu ketatanegaraan, ilmu-ilmu agama, hingga bermacam-macam bahasa asing, hingga ketiganya juga merupakan puteri-puteri Aceh terbaik pada masanya. Ratu Naqiatuddin hanya memerintah dua tahun karena pada tahun 1678 sang ratu meninggal dunia. Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah pun menggantikan Ratu Naqiatuddin dan dinobatkan pada tanggal 23 Januari 1678.
Seperti para pendahulunya, Ratu Zakiatuddin juga sama sekali tidak memberi hati pada VOC Belanda. Setelah melewati pertempuran yang hebat, angkatan perang Aceh Darussalam berhasil merebut kembali daerah Bayang di Sumatera Barat. Di masa kekuasaan Ratu Zakiatuddin inilah, Kerajaan Aceh Darussalam tidak hanya menghadapi Belanda, tetapi juga rongrongan Inggris yang mendesak agar diperbolehkan mendirikan kantor dagang dan benteng di Banda Aceh. Tetapi semua rongrongan ini berhasil dilumpuhkan oleh Sang Ratu.
Dalam masa kekuasaan Zakiatuddin ini pula datang ke tanah Aceh utusan resmi dari Syarif dan Mufti Mekkah di bawah pimpinan Yusuf al Qudsi. Saat menerima utusan dari Mekkah, Ratu Zakiatuddin menerimanya dari balik hijab. Hijab tersebut sangat indah terbuat dari sutera dewangga dan bertatahkan sulaman emas dan batu permata.
Dari balik hijab, dengan bahasa Arab yang fasih, Ratu Zakiatudin menyambut tamunya dengan sangat baik. Sejarahwan A. Hasjmy mengutip naskah Muhammad Yunus Jamil[1] yang menceritakan secara panjang lebar pertemuan Ratu beserta segenap petinggi kerajaan dengan rombongan dari Mekkah.
“…Tahun 1681 rombongan Syarif Mekkah itu sampai di Banda Aceh Darussalam, di mana mereka diterima oleh Ratu dengan segala upacara kebesaran. Mereka sangat kagum menyaksikan Banda Aceh yang cantik dan permai; segala bangsa berdiam di sana, kebanyakan mereka kaum saudagar.
Ketika mendapat kesempatan menghadap Sultanah, keheranan mereka jadi bertambah, di mana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit perempuan yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas dan perak. Tingkahlaku pasukan kehormatan itu dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan agama Islam.
Ketika mereka menghadap Sultanah, mereka dapati Sri Ratu dengan para pembantunya yang terdiri dari kaum perempuan duduk di balik tabir kain sutera dewangga yang berwarna kuning berumbai-rumbai dan berhiaskan emas permata. Ratu berbicara dalam bahasa Arab yang fasih dengan mempergunakan kata-kata yang diplomatis sehingga menimbulkan takjub yang amat sangat bagi para utusan. Dalam pergaulan di istana tidak ada satu pun yang mereka dapati yang di luar ketentuan ajaran Islam…”
Rombongan dari Mekkah itu tinggal di Aceh setahun lamanya. Ketika mereka kembali ke Mekkah, Ratu Zakiatuddin menghadiahkan mereka perhiasan emas permata. Pada 3 Oktober 1688, Ratu Zakiatuddin berpulang ke Rahmatullah. Ratu Kamalat Syah menggantikan Ratu Zakiatuddin.
Tahun 1695 tiba utusan Persatuan Dagang Inggris di Banda Aceh dan mengajukan permohonan agar Inggris diperbolehkan mendirikan kantor dagang di Aceh. Guna mengimbangi Belanda yang kian kuat, Ratu Kalamat Syah mengizinkan hal itu namun tetap mengutamakan kemakmuran rakyat Aceh, sehingga Inggris tidak mendapat laba yang banyak dari Aceh.
Di atas sudah disinggung bahwa negara-negara Eropa kolonialis selalu membawa tiga buah misi dalam ekspansinya ke negara-negara selatan yang mayoritas negeri Islam. Selain misi mencari kekayaan, juga misi untuk menyebarkan salib dan meninggikan agama Kristen (Gold, Glory, and Gospel). Demikian pula dengan VOC.
Misi Salib VOC Yahudi-Belanda
“Misi berarti penyiaran iman Katolik Roma,” demikian Jan Bank dalam Katholieken en de Indonesische Revolutie.[2] Dalam karya tulisnya yang cukup tebal, sejarahwan Belanda ini mengakui bahwa penyebaran agama Katholik terlihat pertama kali di Nusantara pada akhir abad ke-15 Masehi. Misi Katholik, demikian Jan Bank, merupakan konsekuensi dari ekspansi orang Eropa di Kepulauan Nusantara, termasuk ke Aceh dan Malaka. “Tetapi kadang-kadang justeru sebagai dalih untuk melakukan ekspansi itu,” tegas Bank yang berarti secara implisit mengakui bahwa negeri-negeri Kristen Eropa selalu membawa misi penyebaran salib dalam setiap aksi kolonialisme dan imperialismenya.
Walau demikian, kedatangan bangsa-bangsa Kristen Eropa seperti Sanyol, Portugis, dan Belanda ke Nusantara bukanlah kali pertama kehadiran orang-orang Eropa di daratan ini. Merujuk Muskens[3], Jan Bank menyatakan bahwa sejumlah jemaat Kristen sudah ada di kota-kota pelabuhan kawasan ini sejak abad ke-7 dan 9 Masehi.
“Akan tetapi, memang benar, gelombang besar misi terjadi sesudah berlangsungnya ekspansi Portugis dan Spanyol sekitar tahun 1500. …Dengan direbutnya Malaka oleh Portugis di tahun 1511, mulailah penyebaran iman Katholik Roma secara lebih teratur, terutama di daerah-daerah jajahan Portugis di bagian timur Nusantara: Ambon dan Halmahera, Ternate dan Tidore,” lanjut Bank.
Yang menarik, Bank dengan jujur menulis bahwa pelayaran yang dilakukan Portugis dan kemudian Spanyol ke Asia Tenggara yang dihuni negeri-negeri Islam merupakan kelanjutan dari perang suci orang Portugis-Spanyol melawan orang Moor Islam di Jazirah Iberia.[4] (Rizki Ridyasmara)
[1] M. Yusuf Jamil; Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, hal.47-48.
[2] Jan Bank: Katholieken en de Indonesische Revolutie (Katholik di Masa Revolusi Indpnesia). Kerjasama KITLV dengan Gramedia, Jakarta, 19999, hal.1.
[3] Muskens, M.P.M.; Partner in Nation Building. The Catholic Church in Indonesia; Aachen; 1979, hal. 38.
[4] Ibid.
No comments:
Post a Comment