Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 10
Walau terlihat obyektif, dalam hal ini Bank sebenarnya menutup-nutupi realitas sosial yang sesungguhnya terjadi. Mari kita lihat kondisi ril yang ada pada saat itu: Portugis baru ‘masuk’ ke kancah perdagangan Nusantara pada tahun 1500-an, setelah menguasai Kota Malaka tahun 1511. Sedangkan pedagang Arab sudah biasa mondar-mandir di wilayah tersebut sejak abad ke-6 Masehi. Ada rentang waktu sekitar sembilan abad!
Sudah tentu, saat armada salib Portugis hadir di Selat Malaka sebagai pemain baru, apalagi kedatangannya ditambah dengan membawa tentara dengan persenjataan lengkap, sehingga tidak bisa dipastikan apakah mereka hendak berdagang atau malah berperang, maka yang kemudian timbul pada diri penduduk lokal (banyak pedagang Arab sudah mendirikan kampung di kota-kota pesisir di Nusantara, bahkan sudah ada yang tinggal di situ dari generasi ke generasi, sehingga mereka kemudian sudah dianggap warga lokal atau pribumi) adalah sikap resistensi atau perlawanan.
Islam sebagai identitas penduduk pribumi berhadapan dengan Portugis sebagai pendatang baru yang dengan senjata mencoba memaksakan kehendak dengan penyebaran misi salibnya secara terus-terang. Tentu saja, misi salib gaya begini mengalami hambatan yang sangat besar.
Misi Khatolik Portugis dan Spanyol di Nusantara hanya berhasil di sebagian Indonesia Timur, tapi gagal total di belahan Barat. Pada awal abad 17, hegemoni Portugis dan Spanyol berakhir di kawasan itu dan segera digantikan oleh armada VOC (Perusahaan Dagang Hindia Timur) yang lebih mendukung gereja Kristen Gereformeerd (Protestan). Banyak wilayah timur Nusantara yang dulu dikuasai Katolik kini diambil-alih oleh VOC yang lebih condong pada Protestan, walau bersikap toleran kepada Katolik. VOC sendiri dikuasai oleh jaringan pejabat Belanda Yahudi. Bentuk bendera VOC jika diamati dengan seksama maka mirip dengan simbol gerakan Yahudi Freemasonry (Jangka Segitiga).
Pada awal kedatangan VOC, ada beberapa rohaniwan Katholik yang meninggalkan Nusantara. Namun pada tahun 1800, banyak rohaniwan Katholik yang kemudian kembali menyebarkan misi di Nusantara, dengan pembagian wilayah misi sesuai kesepakatan dengan Belanda.
Walau Nederlands Zendelinggenootschap atau Dutch Missionary Society yang berafiliasi pada kegiatan misi Kristen Protestan (zending) telah didirikan pada tahun 1797 dan bertugas di Nusantara, namun sampai tahun 1853, di Nusantara belum terjadi upaya penyebaran salib secara massif karena kawasan utara Belanda sendiri saat itu masih dalam status kawasan tujuan misi salib, yang baru berhasil ditundukkan Tahta Suci Vatikan pada tahun 1853.
Cause Célèbre Gereja-Negara
Salah satu hal menarik yang sering menjadi polemik adalah penggunaan strategi kontekstualisme dalam upaya pemurtadan terhadap umat Islam Indonesia. Seperti yang terjadi di Kampung Sawah, Pondok Gede-Bekasi, tahun 2000-an. Di Gereja Katholik Servatius, tiap ada misa atau perayaan keagamaan besar, sering dijumpai adanya jemaat gereja maupun panitia acara dari gereja yang mengenakan baju koko dan peci bagi laki-lakinya, dan kebaya dengan kerudung bagi perempuannya. Kedua model pakaian ini oleh umat Islam setempat sudah lama dianggap identik dengan busana Muslim. Ketika model pakaian ini dikenakan oleh orang di luar Islam, bahkan dipakai untuk melakukan misa di dalam gereja, maka tak sedikit orang yang gempar dan bertanya-tanya.
Sama halnya dengan nama sejumlah penginjil di Indonesia yang kini memiliki nama yang “islami” seperti Muhammad Nurdin, Jusuf Rony, dan sebagainya. Bagi orang awam, nama-nama seperti ini identik dengan keislaman. Juga sama dengan diketemukannya sejumlah Injil yang dicetak dalam bahasa Arab yang disebar ke pelosok-pelosok kampung, atau stiker-stiker berbahasa Arab yang berisi ayat-ayat Injil, dan buku-buku yang seolah-olah islami namun isinya mengajak menuhankan Yesus.
Ini semua merupakan contoh kongkrit penerapan strategi kontektualisme dalam upaya pemurtadan. Bahasa ilmiahnya Strategi Kontekstualisme, tapi bahasa rakyatnya: strategi penipuan atau jebakan
Strategi ini ternyata sudah memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia. Sebuah kasus yang terkenal (Cause Célèbre) dalam hubungan antara Gereja dan Negara di tahun 1845 bisa dianggap sebagai titik awal penerapan strategi kontekstualisme upaya penyebaran salib di Indonesia.
Saat itu, Congregatio de Propaganda Fide (Departemen Kepausan untuk Urusan Penyebaran Iman) Vatikan untuk pertama kalinya mengirim seorang vikaris apostolik (uskup misi)ke Batavia. Uskup tersebut, Jacob Grooff, setibanya di Batavia langsung mendapati kenyataan yang tidak menyenangkan dirinya. Ketika masih di Vatikan dan Eropa, Grooff melihat para uskup senantiasa patuh mengenakan jubah kebesaran dalam tiap misinya dan selalu menjaga jarak dengan kaum Protestan, maka di Nusantara yang terjadi malah sebaliknya. Sesuatu yang oleh Groff dianggapnya sebagai pelanggaran.
Misal, dalam hal perkawinan campuran, Vatikan bersikap sangat ketat, namun di Nusantara yang terjadi adalah toleransi yang kebablasan. Oleh Vatikan ini dianggap sebagai penyelewengan nilai-nilai iman Kristiani. Di Padang, Sumatera Barat, Uskup Groff menemui jemaat Katholik malah mengadakan “oikumene” dengan jemaat Protestan.[2] Ini sesuatu yang juga tidak bisa dibenarkan.
Dengan penuh kegeraman wali gereja yang baru ini pun segera memerintahkan para rohaniwan Katholik di seluruh Hindia Belanda agar selalu mengenakan jubah, menghindari ‘pesta-pesta, konser-konser, dan pertunjukan teater yang terlalu bersifat duniawi, dan sebagainya’. Oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochussen, sikap Uskup Groff dinilai terlalu konservatif dan tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada. Gubernur Jenderal ini dengan terbuka menyatakan lebih berpihak kepada para rohaniwan yang tidak suka pakai jubah dalam melakukan misinya. Uskup Groff lalu diusir dan kembali pulang ke negaranya setahun kemudian.
Dalam sebuah debat yang berlangsung di Majelis Rendah bulan Desember 1846, Menteri Daerah Jajahan J.C. Baud membela kebijakan gubernur jenderal tersebut . Dalam pledoinya, Baud menekankan bahwa apa yang disebutnya sebagai ‘fanatisme orang Islam Hindia Belanda’ tidak boleh diabaikan. …Orang itu, ujar Baud, justeru akan resah jika rohaniwan Katholik mengenakan jubah seperti yang diperintahkan Uskup Groff.[3] Dari berbagai pertemuan antara sejumlah lembaga negara dan gereja di Belanda, maka kemudian diambil jalan tengah bahwa negara dianggap berhak mengatur penyebaran misi di negeri jajahan dengan tujuan menjaga stabilits politik, tentunya dengan kerjasama gereja.
Tahun 1854 diterbitkan peraturan pemerintah yang merumuskan tata pemerintahan Hindia-Belanda dalam bentuk perundang-undangan. Pasal 123 menentukan bahwa para penginjil (Protestan maupun Katholik) harus memiliki izin khusus dari gubernur jenderal untuk bisa melakukan misinya di salah satu wilayah koloni. Izin bisa tidak diberikan karena dua alasan:
Pertama, pemerintah hendak menghindari adanya penginjilan ganda di satu wilayah. Sebab itu pemerintah akan mengatur siapa akan ke mana.
Yang kedua, pemerintahan Belanda sangat menjaga stabilitas politik di daerah-daerah yang wilayahnya dikenal sebagai daerah umat tertentu di luar Kristen sejak lama dan memiliki penganut yang fanatik, misal wilayah Islam atau Hindu. Sebab itulah, daerah Banten dan Parahiyangan (Jawa Barat), Sumatera Barat, Aceh, dan Bali lama tertutup untuk upaya misi apa pun, baik Katholik maupun Protestan.[4] Perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang begitu tegas dan berjalan dengan baik mengakibatkan wilayah ini amat tertutup terhadap aktivitas misionaris.
Awal Perang Kolonial Belanda di Aceh
Walau Malaka telah lama dikuasai VOC Belanda, namun Belanda belum berani secara terbuka menyerang Aceh. Yang dilakukan Belanda adalah upaya-upaya untuk melemahkan Aceh seperti melakukan kegiatan spionase, adu domba antara kubu bangsawan (uleebalang) dan ulama, serta infiltrasi. Namun ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, letak Aceh yang sejak lama memang ideal bagi pusat transito laut dan perdagangan dunia, menjadi lebih strategis dan penting sekali. Belanda agaknya tidak tahan untuk menunggu terlalu lama dalam upayanya menaklukkan Aceh.
Sebab itu, dari Malaka dan Batavia, kegiatan spionase Belanda untuk mengacaukan stabilitas Aceh terus ditingkatkan. Belanda pun mempersiapkan armada perangnya secara besar-besaran guna menyerang Aceh. Hal ini tercium oleh Sultan Mahmud yang kala itu memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Oleh Sultan Mahmud, di sepanjang Aceh Besar sebagai pusat pemerintahan dibangun garis pertahanan yang disebut Kuta, seperti Kuta Meugat, Kuta Pohoma, Kuta Mosapi, dan sebagainya.[5] Di lokasi-lokasi tersebut ditempatkan tentara dengan persenjataan yang kuat. Mulut-mulut meriam berbaris di bukit-bukit karang dan pantai mengarah ke tengah laut menanti kedatangan agresor kafir Belanda. (Rizki Ridyasmara)
[1] Bastin, J & H.Julien Benda; A History of Modern Southeast Asia. Colonialism, Nationalism and Decolonialization. Engelwood Cliffs N.J.; 1968, hal. 93.
[2] Kleijntjes, J: ‘Mgr. Grooff, apostolisch vicaris van Batavia’, Bijdragen voor de Geschiedenis van het Bisdom van Haarlem, 1931-1932; 47: 389.
[3] Eerenbeemt, A.J.J.M van den; De missie-actie in Nederland;1945; 44.
[4] Weitjens, J.A. Th; De vrijheid der katholieke prediking in Nederlands-Indië van 1900 tot 1940. Excerpt uit dissertatie, pauselijke Greoriaanse universiteit. Roma/Djakarta, 1969; 5.
[5] DR. MR. T.H. Moehammad Hasan; Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; Pustakan Sinar Harapan; Jakarta, 1995; hal. 5
No comments:
Post a Comment