Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 11
Pada tanggal 18 Februari 1873, lewat perintah rahasia, Menteri Tanah Jajahan Van De Putte atas nama pemerintah Belanda menginstruksikan kepada Gubernur Jenderal Lauden yang berkedudukan di Batavia agar mulai menyerang Aceh. Secepat kilat Lauden segera menggelar sidang khusus mengecek kesiapan armadanya di lapangan dan mematangkan hal-hal teknis lainnya.
Sejarahwan Anthony Reid dalam disertasi program doktoralnya di Cambridge University yang meneliti hubungan antara Aceh, Belanda, dan Inggris dalam kaitannya dengan perang kolonial tahun 1858-1898[1] melukiskan hari-hari menjelang dimulainya perang kolonial Belanda atas Aceh.
Reid menulis bahwa Gubernur Jenderal Lauden pada 4 Maret 1873 mengirim ultimatum kepada Aceh agar dalam waktu 24 jam mau mengakui kedaulatan Belanda dan jika tidak maka berarti perang.
Lauden sudah kehilangan kesabaran menghadapi Aceh yang terus-menerus berkelit dan menunjukkan sikap yang tidak ramah kepada Belanda. “Kebijakan Aceh yang membingungkan mengenai Pemerintah Belanda harus diakhiri. Negeri itu tetap merupakan titik lemah kita sepanjang menyangkut Sumatra. Selama negeri itu tidak mengakui kedaulatan kita, campur tangan asing akan terus mengancam kita seperti pedang Damocles… Tanpa pamer kekuatan militer ini sudah pasti bahwa Aceh akan terus membiarkan persoalan itu terkatung-katung, dengan harapan akan ada campur tangan asing… Aceh sudah keterlaluan.”[2]
Commissioner J. F. N. Nieuwenhuyzen yang dikirim Lauden tiba di Aceh pada tanggal 22 Maret. Sultan Mahmud dengan penuh diplomatis menjawab bahwa Aceh sebenarnya ingin hidup berdampingan dengan Belanda secara damai. Sultan Mahmud malah bertanya kepada utusan Lauden itu mengapa begitu cepat datang ke Aceh padahal menurut perjanjian dengan wakil Belanda di Riau, Aceh dan Batavia sepakat bahwa kunjungan utusan Belanda diundur hingga enam bulan ke belakang?
Sultan Mahmud pun melarang Nieuwenhuyzen turun ke darat tanpa seizinnya. Frustasi menghadapi Sultan Aceh yang sedikit pun tidak menunjukkan rasa gentar, Nieuwenhuyzen memerintahkan agar kapal meriam yang ditumpanginya memuntahkan peluru ke pantai pada tanggal 26 Maret 1873 sebagai peringatan. Tidak lama setelah itu, Belanda mengumumkan secara resmi perang dengan Aceh kepada negeri-negeri Eropa.
Sabtu dini hari, 8 April 1873, langit masih gelap gulita. Air laut masih tampak kelabu. Di tengah Selat Malaka, bayang-bayang puluhan kapal perang Belanda tampak beriringan menuju satu titik, Aceh Darussalam.
Di pagi buta itu, Belanda telah mantap untuk menyerang Kerajaan Aceh Darussalam. Perang kolonial secara resmi telah di mulai di Tanah Rencong. Menurut Anthony Reid, tak kurang dari 30.000 serdadu Belanda mendarat di pantai Aceh.
Awalnya Belanda mengira, dengan serangan mendadak dan didukung kekuatan bombardemen artileri dari mulut-mulut meriam yang ada di kapal-kapal perangnya, pesisir Aceh bisa dengan mudah direbut. Setelah pesisir dikuasai, maka pasukan infanteri akan langsung menusuk ke daerah pedalaman.
Berbekal informasi dari pasukan telik sandi yang telah disusupkan sebelumnya, Belanda amat yakin dapat menaklukkan seluruh tanah Aceh dalam waktu yang singkat. Apalagi kondisi kerajaan Aceh Darussalam saat itu tidak sekuat di masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Dengan besar kepala, Belanda mengira bisa memenangkan peperangan melawan Aceh dengan mudah.
Namun Belanda agaknya khilaf. Faktor kekuatan rakyat Aceh sebenarnya bukan terletak pada keunggulan atau kelengkapan persenjataan, bukan terketak pada strategi yang muluk-muluk, dan bukan terletak pada kecintaan akan kehidupan duniawi. Satu-satunya faktor yang membuat rakyat Aceh begitu kuat dan teguh di dalam berperang menghadapi setiap penjajah adalah Islam. Portugis telah merasakan itu hingga diakhir kekuasaannya atas Malaka tidak mampu juga menaklukkan Aceh. Belanda melupakan pengalaman pahit Portugis.
Menghadapi serbuan tentara Belanda rakyat Aceh sama sekali tidak gentar. Di seluruh Bumi Rencong para ulama mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah melawan tentara kafir. Perang sabil pun dikumandangkan. Berbondong-bondong rakyat Aceh dengan persenjataan seadanya menyongsong tentara salib Belanda dengan keberanian yang tiada taranya. Mereka menyambut maut dengan senyum dan penuh pengharapan.
Tidak hanya laki-laki, para perempuan Aceh pun segera mengambil rencong dan menyisipkan ke pinggangnya. Dengan tangan kiri menggendong sang jabang bayi, para perempuan Aceh ini segera berlari masuk hutan guna menyusun kekuatan. Semangat jihad fisabilillah yang demikian berurat-berakar dalam dada setiap orang Aceh membuatnya sangat enteng meninggalkan rumah dengan segala harta bendanya untuk pergi berperang menyongsong musuh Allah.
Di kala malam tiba, sambil terus bersiaga di dalam gua-gua yang gelap gulita, para perempuan Aceh nan perkasa ini meninabobokan jabang bayinya dengan senandung “Dododaidi”. Senandung jihad itu meluncur pelan dari bibir-bibir yang kerap berpuasa dengan iringan musik desahan angin serta gemerisik dedaunan hutan. Inilah terjemahan dari lagu Dododaidi:
Allah hai dododaidi[3]
Buah gadung buah-buahan dari hutan
kalau sinyak[4] besar nanti, Ibu tidak bisa memberi apa-apa
aib dan keji dikatakan orang-orang
Allah hai dododaidang
Layang-layang di sawah putus talinya
cepatlah besar Anakku sayang dan jadilah seorang pemuda yang gagah
agar bisa berangkat perang membela Nanggroe
Wahai anakku, janganlah kau duduk berdiam diri lagi
mari bangkit bersama membela bangsa
janganlah takut jika darah mengalir
walaupun engkau mati Nak, Ibu sudah relakan
Ayo sini Nak Ibu tatih, kemarilah Nak Ibu tatih
bangunlah anakku sayang, mari kita bela Aceh
sudah tercium bau daun timphan[5]
seperti bau badan Sinyak Aceh
Allah Sang Pencipta yang Punya Kehendak
jauhnya kampung tak tercapai untuk pulang
andaikan punya sayap, Ibu akan terbang
supaya cepat sampai ke Nanggroe
Kemarilah Ibu timang-timang Nak
sayangnya ombak memecah pantai
kalau Sinyak yang berkulit putih udah besar
dimanakah engkau akan berada nanti buah hatiku…
Inilah lagu pengantar tidur bayi-bayi Aceh. Betapa mulia para perempuan Aceh itu yang telah menanamkan semangat jihad membela agama Allah kepada anaknya sejak dini, saat sang anak berjalan pun belum mampu. Anak-anak Aceh dibesarkan bukan dengan lagu-lagu yang menggambarkan keindahan alam, bukan disenandungkan tentang gemerisik dedaunan atau air terjun, bukan berisi lagu-lagu cinta dan segala kecengengannya, tetapi dengan lagu-lagu jihad fisabilillah, yang menisbikan dunia dan meninggikan akherat. Inilah bayi-bayi sejati Serambi Mekkah!
Menghadapi gempuran barisan Mujahidin Aceh di berbagai medan pertempuran, Belanda kehilangan banyak tentaranya. Rakyat Aceh, para lelaki maupun perempuannya, pergi berperang bagaikan orang yang hendak ke pesta walimahan, bergegas, begitu bersemangat, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa gentar.
Begitu banyak tentara Belanda yang tertawan, namun amatlah langka rakyat Aceh yang sudi menjadi tawanan kaum kafir. Di mana-mana, walau telah kepayahan, Mujahidin Aceh tidak sudi untuk menyerah hidup-hidup kepada musuh. Mereka terus menyerang Belanda sampai titik darah penghabisan karena tujuan mereka hanya satu: hidup mulia atau mati syahid. (Rizki Ridyasmara)
[1] Anthony Reid; Asal Muasal Konflik Aceh , Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19; YOI; Cet.1; Jakarta; Juli 2005. Judul asli adalah “The Contest for North Sumatra Acheh, the Netherlands and Britain 1858-1898” diterbitkan oleh Oxford University Press 1969.
[2] Surat Lauden kepada Menteri Tanah Jajahan Van de Putte tertanggal 25 Februari 1873, Officieele Bescheiden, hlm.76.
[3] Ini semacam senandung untuk meninabobokan anak.
[4] Sinyak adalah panggilan untuk anak kecil di Aceh.
[5] Thimpan adalah kue khas Aceh
No comments:
Post a Comment