Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 14
Ketika Belanda menyerbu Aceh pertama kali, April 1873, Habib Abdurahman tengah berada di Mekkah bersama Nyak Abas, seorang pemilik kebun lada yang luas di Aceh. Mereka berdua ke Mekkah bersama dari Penang. Habib Abdurrahman lalu bergegas berangkat ke Konstantinopel, ibukota Turki Utsmani, dan tiba tanggal 27 April saat pasukan Belanda baru saja mundur dan kabur dengan kapal-kapal perang mereka.
Di Turki, Habib Abdurrahman menyampaikan pesan dari Sultan Mahmud bahwa sebagai bagian dari protektorat Turki Utsmani, Aceh seharusnya dibantu dalam menghadapi serangan kafir Belanda.
Hanya saja, kunjungannya kali ini bisa dikatakan gagal karena kondisi Turki sendiri sudah banyak berubah disebabkan rongrongan dan konspirasi dari kekuatan Yahudi. Menteri Kehakiman Midhat Pasha, tokoh reformasi Turki yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman lalu Perdana Menteri, merupakan seorang pejabat yang paling berpengaruh di dalam pemerintahan Turki. Siapa Midhat Pasha?
“Midhat Pasha adalah tokoh yang mengepalai gerakan masonisme dan mengendalikan club-club masonisme di Turki. Midhat Pasha mendapat dukungan negara-negara Barat dan Timur dalam menjalankan program sekularisasi di Turki. Mereka menyebutnya sebagai Bapak Pembebasan.”[1]
Midhat Pasha jualah yang telah membunuh dua khalifah Turki sebelum Khalifah Abdul Hamid yang bertindak tegas terhadap Yahudi. Kedua Khalifah yang dibunuh Midhat Pasha adalah ayah dan paman Abdul Hamid sendiri.
Dihadapan Habib Abdurrahman, Midhat Pasha menunjukkan dukungan penuh atas Aceh, melebihi pejabat lainnya. Tapi di belakang, Midhat Pasha dengan aktif membuat satu kekuatan agar Turki melupakan Aceh. Dan langkah ini berhasil.
Sikap tidak kooperatif pemerintahan Turki membuat rakyatnya tidak puas. Rakyat Turki menginginkan agar Turki bisa berbuat sesuatu membantu Aceh yang tengah menghadapi serangan pihak kafir.
Reid mencatat, “Dalam suasana seperti ini, pers Konstantinopel mengulas dengan penuh antusiasme persoalan yang dikemukakan Habib Abdurrahman, sehingga nasib Aceh dengan cepat menjadi “la grande question du jour”, pokok pembicaraan utama.[2]
Basiret, suratkabar terkemuka di Turki yang paling banyak dibaca dan pendukung utama paham pan-Islam, menyerukan agar Turki mengirimkan kapal-kapal perangnya ke Sumatera.
Koran Jevaib juga menyerukan hal yang sama. Bahkan koran kuning La Turquie secara gencar terus mengemukakan alasan-alasan bahwa Turki wajib melindungi hak Aceh.[3]
Namun dunia Kristen juga tidak tinggal diam. Mereka beramai-ramai mengancam Turki agar tidak ikut campur dalam masalah Aceh. Jenderal Ignatiev dari Rusia dengan kasar mengatakan bahwa Habib Abdurrahman harus secepatnya diusir dari Turki.
“Jika Turki mulai campur tangan untuk kepentingan kaum Muslim Asia, maka kekuatan-kekuatan lain akan muncul untuk membela kaum Kristen di Turki, mengikuti pola tindakan yang diambil Rusia pada tahun 1853!” ancam Jenderal Ignatiev.[4] Ingris lewat Duta Besarnya Lord Granville juga mengatakan, “Kita tidak mendukung ide itu.”
Kegagalan misi Habib Abdurrahman di Turki disambut gembira oleh Dunia Kristen. Di Belanda, para pejabatnya menyambut hal ini dengan menggelar pesta syukuran. Namun ada sau hal yang dilupakan Belanda, misi Habib Abdurrahman dilihat dari dukungan rakyat Turki sebenarnya menuai hasil yang baik. Persoalan Aceh yang dibawa Habib Abdurrahman telah membangkitkan, sebelum tiba saatnya yang sebenarnya di bawah Sultan Abdul Hamid, gelombang perasaan pan-Islam di Ibukota Turki, dan memenangkan simpati orang-orang terbaik di Turki bagi Aceh.[5]
Rasa tidak puas rakyat Turki atas sikap pemerintahnya dilukiskan dengan amat baik dalam sebuah artikel di harian Basiret. Walau tahu bahwa pemerintah Turki sama sekali tidak membantu Aceh dalam hal yang nyata, hanya basi-basi politis, namun Basiret telah menulis bahwa pemerintah Kesultanan Turki telah memutuskan akan mengirim sebuah armada yang terdiri dari delapan kapal perang ke perairan Sumatera untuk mencegah serangan musuh atas Aceh, dan bahwa salah satu dari kapal perang ini akan ditempatkan untuk selamanya dekat Aceh.
Berita ini sebenarnya hanya didasarkan tidak lebih daripada harapan-harapan di pihak partai nasionalis. …dalam waktu tiga puluh enam jam pengumuman itu dinyatakan sebagai “fiksi yang bodoh” dan Basiret dibreidel karena pemberitaan itu. Tetapi sementara itu berita itu telah diulang oleh suratkabar Turki lainnya dan tersebar ke seluruh dunia melalui Reuter, seolah-olah berita itu otentik.[6]
Demikianlah, Aceh akhirnya sendirian menghadapi serbuan kedua Belanda. Sedang Belanda sebagai bagian dari Christendom—negara-negara Kristen Eropa (Terra Biblica)—mendapatkan bantuan dari sekutunya.
Negara-negara Eropa melepas ribuan narapidana dan orang tahanannya dan kemudian dikirim ke Batavia untuk dijadikan tentara Belanda yang akan menyerang Aceh. Walau Belanda berhasil menduduki istana kerajaan Aceh, namun perang terus berjalan hingga Jepang datang di tahun 1942. Aceh tak pernah takluk pada Belanda.
Islam Politiek van Snouck Hurgronje
Sebelum mengupas lebih jauh sepak terjang Christiaan Snouck Hurgronje dalam upayanya merancang strategi guna menundukkan umatan tauhid Muslim Aceh di bawah kekuasaan salib Hindia Belanda, maka ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu siapa sesungguhnya orientalis Belanda ini.
Christiaan Snouck Hurgronje lahir di Oosterhout, Belanda, 8 Februari 1857. Snouck merupakan anak keempat dari Pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, puteri Pendeta D. Christiaan de Visser. Awalnya, perkawinan kedua orangtuanya itu didahului oleh hubungan kumpul kebo hingga oleh dikeluarkan dari komunitas Gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada tanggal 3 Mei 1849.
Ketika itu ayah Snouck telah memiliki enam anak. Kedua orangtua Snouck baru menikah secara resmi tanggal 31 Januari 1855. Jadi, Snouck Hurgronje merupakan anak hasil kumpul kebo kedua orangtuanya.[7]
Tak lama setelah menikah secara resmi, setelah melalui proses panjang akhirnya kedua orangtua Snouck diterima kembali dalam komunitas Gereja Hervormd pada tanggal 13 Agustus 1856. Nama Christiaan Snouck Hurgronje merupakan nama gabungan dari nama kakeknya, Christiaan, dan nama ayahnya Snouck Hurgronje. Oleh kedua orangtuanya, Snouck Hurgronje dididik secara keras agar bisa menjadi pendeta guna menebus kesalahan yang telah diperbuat kedua orangtuanya.
Singkat cerita, Snouck mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian tentang Islam di Aceh dengan tujuan mencari titik kelemahan Muslim Aceh agar Belanda bisa dengan mudah menaklukkannya.
Pada 8 Juli 1891 Snouck dikirim ke Aceh dan berpangkalan di Ulee-Lheue yang menjadi basis militer Belanda. Dibantu asistennya bernama Teungku Nurdin, Snouck mengumpulkan bahan-bahan penelitiannya mengenai keadaan obyektif politik dan kehidupan agama Islam di Aceh yang bersifat rahasia.
Laporan tersebut disampaikan pada pemerintah kolonial di Batavia pada tanggal 23 Mei 1892. Walau kelihatannya obyektif, namun kebencian Snouck terhadap Islam tergambar dengan jelas dalam laporannya tersebut (Atjeh Verslag). Point-point penting yang ditulisnya adalah:
Sultan Aceh sesungguhnya tidak berkuasa penuh atas daerah-daerah kekuasaannya, jadi perannya bisa diabaikan.
Kelompok-kelompok perlawanan rakyat Aceh merupakan gerombolan-gerombolan yang dipimpin oleh pemimpin agama (ulama) yang menghasut mereka untuk mengobarkan perang suci.
Uang untuk biaya peperangan diperas para pemimpinnya dari para penduduk.
Penguasa sesungguhnya adalah para uleubalang atau raja-raja lokal yang setelah gerombolan yang dipimpin ulama itu dapat ditumpas, maka golongan uleubalang ini bisa dibina menjadi sekutu Belanda yang setia.
Untuk menghentikan perlawanan gerombolan Islam fanatik ini hanya bisa dilakukan dengan pengejaran dan penghancuran militer secara aktif tanpa ampun, yang bisa dimulai dari penguasaan wilayah pantai dan terus menusuk ke wilayah pedalaman. Namun walau demikian, Belanda harus menghindari sasaran sipil mengingat setelah ditaklukkan, Aceh bisa menjadi daerah taklukkan yang sangat menguntungkan.
Tahun 1898, Van Heutz menjalankan rekomendasi Snouck Hurgronje. Jumlah tentara Belanda di Aceh terus ditambah. Senjata pun terus mengalir ke Aceh. Dengan pengerahan pasukan besar-besaran ini, perlahan tapi pasti Belanda mulai bisa menaklukkan sejengkal demi sejengkal tanah Aceh. Korban di pihak Belanda dan juga rakyat Aceh sangat besar. (Rizki Ridyasmara)
Artikel ini bekerjasama dengan Resensi Buku : Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah ,
[1] ‘Abdullah ‘Azzam; Runtuhnya Khilafah & Upaya Menegakkannya; Pustaka Al-Alaq; Solo; Cet.1; 1994; hal.20.
[2] Anthony Reid, ibid, hal.130.
[3] La Turquei, tanggal 9, 17, 19, 24 Mei dan 19 Juli 1873.
[4] Anthony Reid, ibid, hal.131.
[5] Ibid, hal.137.
[6] Ibid, hal. 138
[7] Aqib Suminto; Politik Islam Hindia Belanda; Jakarta; LP3ES; 1986; hal.119.
No comments:
Post a Comment