Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 20
Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia.
Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.
Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara.
Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh. Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada masa itu belumlah menjadi apa-apa. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.
Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus.
Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.
Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan SM. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam.
Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.
Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.
Sudah terlalu banyak buku-buku sejarah yang mengulas tentang penindasan pemerintah Jakarta terhadap rakyat Aceh, baik di masa rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Cara pandang kedua penguasa ini terlalu “Jawaisme”, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.
Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya amat banyak mempergunakan istilah Hindu?
Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Jadi Tumbal Rezim Orde Baru
Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Paganisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya.
Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk “mencicipi keperawanan” setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya.
Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki.
Hal ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.
Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi Negara” Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak.
Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.
Ada satu episode sejarah Aceh yang mencatat betapa seorang Sultan di Aceh tidak bisa berbuat sekehendak hatinya. Adalah Sultan Iskandar Muda memiliki seorang putera mahkota bernama Meurah Pupok. Pada akhir masa pemerintahannya, Meurah Pupok yang merupakan putera mahkota satu-satunya ini tertangkap basah tengah berzina dengan isteri seorang perwira muda, pelatih angkatan perang Aceh.
Saat itu, perwira muda itu pulang dari tempat latihannya (Blang Peurade) menuju rumah. Setibanya di rumah, didapatinya sang isteri tercinta tengah berzina dengan Meurah Pupok. Betapa hancur hati sang perwira. Dengan amarah yang meluap, dicabutnya pedang yang terselip di pinggang dan dibunuhlah sang isteri yang sangat disayanginya itu. Sedang sang putera mahkota langsung melarikan diri.
Setelah menghabisi nyawa sang isteri, perwira muda itu bersama sang mertua pergi menghadap Sultan Iskandar Muda. Mendengat berita itu, Sultan segera memerintahkan Sri Raja Panglima Wazir (Menyeri Kehakiman) sesegera mungkin menyelidiki hal tersebut. Meurah Pupok akhirnya menghadap ayahandanya dan mengakui segala perbuatannya itu.
Dengan berat hati, Sultan Iskandar Muda menjatuhkan hukuman rajam hingga meninggal terhadap putera mahkota satu-satunya itu di depan umum, sesuai dengan hukum syariah.
Usia melakukan hukuman, Sultan Iskandar Muda jatuh sakit. Para pembantunya menanyakan kepada Sultan mengapa sampai hati dia menjatuhkan hukuman rajam seperti itu kepada anak lelaki satu-satunya itu.
Dengan lemah, Sultan Iskandar Muda menjawab, “Mate aneuk na jirat, mate adapt ho tamita,” (Mati anak ada makamnya, tapi kalau hukum yang mati kemana akan dicari?” Setelah lebih sebulan sakit, pada 27 Desember 1646 Sultan Iskandar Muda akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Inilah bukti keadilan dalam Islam.[1]
Ketika Suharto berkuasa dengan mengkudeta Soekarno, pemerintah menyiapkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di mana Aceh hendak dijadikan lumbung padi Indonesia. Lahan-lahan pertanian di Aceh pun dibuka dan ditata agar bisa menghasilkan padi dengan kualitas terbaik.
Tahun 1971 di Kabupaten Aceh Utara di temukan harta karun berlimpah berupa cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, sebuah perusahaan tambang Amerika Serikat, menemukan itu dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri. Kini oleh rezim Orde Baru diserahkan ke Amerika Serikat.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Menjelang akhir dasawarsa 1980-an Aceh sudah menyumbang 30 persen dari seluruh ekspor minyak dan gas Indonesia. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun.
Pabrik Kertas Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.[2] (Rizki Ridyasmara)
[1] A. Hasjmy, ibid, hal. 44-45.
[2] Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992, Publication No. 74, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca (1995).
No comments:
Post a Comment