Mush’ab bin Umair, Pemuda yang Tinggalkan Dunia Demi Akhirat
PEMUDA masa kini lebih menyukai dunia daripada memikirkan kehidupannya di akhirat kelak. Padahal, dunia hanyalah tempat yang sementara. Sedang, akhirat adalah tempat yang paling kekal. Jika tidak berusaha untuk kehidupan yang lebih baik di akhirat, maka tentu kesengsaraanlah yang akan ia peroleh nantinya. Oleh sebab itu, alangkah lebih baik jika kita belajar pada Mus’ab bin Umair. Mengapa? Sebab, ia adalah seorang pemuda yang rela meninggalkan dunia demi akhirat.
Sebelum Umair mengenal Islam, ia adalah seorang yang kaya raya. Ibunya selalu memanjakannya dengan kesenangan dunia. Bahkan, segala apa yang ia inginkan pasti terpenuhi. Hanya saja, ia tergolong orang-orang jahiliyah yang menyembah berhala, suka meminum khamr, penggemar pesta dan nyanyian.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetuk hati pemuda rupawan yang selalu tampil rapi dan harum ini. Sehingga, ia tertarik menyembah Islam, agama yang disebarkan oleh Rasulullah ﷺ. Di mana, ia mulai menyatakan dirinya memeluk Islam dengan kesungguhan hati, ketika Rasulullah ﷺ sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah milik Al-Arqam bin Abi Al-Arqam.
Pernyataan Umair memeluk Islam ini disembunyikan. Tentu, ini adalah masa-masa sulit baginya. Meski begitu, ia tetap bersemangat mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah. Hingga, menjadikannya sebagai salah seorang sahabat Rasul yang paling dalam ilmunya.
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Umair. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Umair kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus berdiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Umair meninggalkan agamanya.
Saudara Umair, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya.” Umair pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Umair kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, ia juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah ﷺ di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang,” (HR. Tirmidzi No. 2476).
Demikianlah perubahan keadaan Umair ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan, sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita.
Penderitaan yang Umair alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
No comments:
Post a Comment