Hikayat Perang Candu di Tanah Minang pada abad ke-19 Masehi ?
Minangkabau pada sekitar abad ke-19 M, hampir mengalami kehancuran akibat maraknya peredaran candu (bahan memabukan yang dihisap bersama tembakau memakai cangklong panjang). Selain candu, daerah ini semakin rusak dikerenakan ramainya minuman tuak, perzinahan dan perjudian sabung ayam.
Kerusakan tanah minang, telah membuat Tuanku Nan Renceh, seorang ulama muda dari surau Naqsabandiyah di Kamang memimpin sebuah pasukan kecil untuk memerangi peredaran candu dan maksiat-maksiat lainnya di seputar Kamang.
Candu yang beredar di Minangkabau, diimpor oleh Belanda dari India dan didistribusikan oleh tiga orang tokoh yang berdomisili di Tanah Datar. Ketiga orang inilah menjadi bandar besar narkotika yang dipelihara oleh Belanda.
Kaki tangan ketiga tokoh itu bertebaran di seluruh wilayah Minangkabau. Banyak Ulama dan Penghulu Adat mencoba melawan, tapi tidak berhasil karena gerombolan pengedar candu sangat kuat.
Gerakan Tuanku Nan Renceh, lebih tepat disebut sebagai gerakan surau. Boleh jadi Tuanku Nan Renceh terinspirasi oleh gerakan Salafi yang marak di jazirah Arab, karena sejatinya kaum Naqsabandi lebih banyak memilih cara persuasif.
Perang melawan candu ini semakin kuat ketika tiga orang ulama Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin bergabung di dalam gerakan Tuanku Nan Renceh (sumber : bbc.co.uk, tribunus-antara.com).
Akibat terdesak oleh gerakan anti candu, ketiga gembong narkoba memobilisasi kekuatan dan meminta pertolongan kepada Belanda. Belanda pun ikut campur urusan orang Minangkabau, dan melahirkan perang besar.
Perang melawan candu ini diteruskan oleh murid Tuanku Nan Renceh, yang bernama Tuanku Imam Bonjol. Perang ini kemudian meluas menjadi perlawanan terhadap kolonial Belanda, yang dikenal sebagai Perang Padri.
Emeraldy Chatra)
WaLlahu a’lamu bishshawab
No comments:
Post a Comment