Dari Pekojan, Batavia, Berhimpun untuk Kebajikan
wikipedia
Dari distrik yang kurang ideal untuk dihuni di Pekojan, orang-orang Hadrami menjadi pengubung dan perantara penting antara dunia pergerakan Islam di Timur Tengah dan di Indonesia
ORANG-orang Arab telah lama datang ke Nusantara. Mereka yang datang kewilayah ini serta wilayah-wilayah lainnya di sepanjang Samudera Hindia merupakan para pedagang, ulama, atau kaum sufi. H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawamenyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara telah menerima pengaruh ulama dari luar. Bahkan tidak kurang Wali Songo yang dianggap sebagai penyebar Islam utama di tanah Jawa merupakan para ulama keturunan Arab, setidaknya dari pihak ayah mereka.
Memang tidak banyak catatan yang bisa menunjukkan tentang asal-usul negeri mereka di Timur Tengah. Namun sebagian peneliti percaya bahwa Hadramaut merupakan asal-usul penting bagi para penyebar Islam awal di Nusantara. R.B. Serjent, misalnya, dalam Society and trade in South Arabiamemperkirakan bahwa para sadah dari keluarga Alawi di Hadramaut telah tiba di Nusantara beberapa waktu sebelum orang-orang Belanda dan mereka mengendalikan perdagangan di wilayah-wilayah pesisir kepulauan Nusantara.
Keberadaan pendatang-pendatang Hadrami di Nusantara di era yang awal mungkin tidak disepakati disebabkan terbatasnya catatan sejarah. Namun pada masa-masa yang belakangan informasi tentang mereka lebih mudah dijumpai, terutama pada abad ke-19 ketika jumlah mereka yang datang ke wilayah ini mengalami peningkatan pesat dan mulai disensus oleh pemerintah kolonial. Peningkatan migrasi orang-orang Hadrami ke Hindia Belanda pada abad ke-19 dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi di negeri ini serta semakin mudahnya transportasi yang menghubungkan kedua wilayah.Di antara tempat tujuan utama para imigran ini adalah pusat pemerintahan Hindia Belanda di pulau Jawa, yaitu Batavia, yang ketika itu dikenal sebagai koningin van oosten ’ratu dari timur’.
Di Batavia, para pendatang Hadrami ini biasanya tinggal di kawasan Pekojan, Jakarta Barat. Wilayah yang namanya diambil dari kata Koja ini pada awalnya didominasi oleh orang-orang keturunan India. Namun pada penghujung abad ke-19, seiring dengan semakin banyaknya orang-orang Hadrami yang datang dan menetap, wilayah ini kemudian dikenal sebagai kampung Arab.
Nasib Keturunan Arab di Iran [1]
Pada awalnya Pekojan mungkin merupakan pilihan yang natural bagi para pendatang Arab.Namun pada awal abad ke-19, seiring dengan semakin banyak dan tersebarnya para pendatang, pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang mengharuskan orang-orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), termasuk orang-orang Arab, tinggal di distrik yang terpisah. Tujuannya untuk menghindarkan mereka bercampur dengan penduduk pribumi, khususnya di desa-desa,karena pemerintah kolonial tidak ingin masyarakat pribumi terpengaruh oleh mereka. Kebijakan ini dikenal sebagai wijkenstelsel atau sistem distrik.Maka kampung-kampung Arab pun bermunculan di kota-kota besar dan menengah di Hindia Belanda, masing-masing dikepalai oleh seorang kapten atau letnan Arab. Untuk Batavia, kampung Arab itu berlokasi di Pekojan.
Bukan hanya harus tinggal di distrik yang terpisah, gerak mereka juga dipersulit. Mereka perlu membuat surat jalan kalau mau bepergian ke luar kota. Kebijakan ini dikenal sebagai passenstelsel atau sistem pas jalan. Walaupun kebijakan ini tidak sepenuhnya berhasil dalam mengisolasi komunitas Arab, tetapi hal ini tentu sangat merepotkan dan membatasi gerak-gerik mereka. Untuk bepergian ke tempat yang tidak terlalu jauh pun mereka perlu membuat surat ijin. Kadang waktu yang digunakan untuk mengurus surat ijin ini lebih lama dibandingkan perjalanan itu sendiri. Kebijakan ini baru dihapuskan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1910-an. Kajian tentang ini bisa dibaca pada artikel Huub de Jonge, ”Dutch Colonial Policy Pertaining to Hadhrami Immigrants”.
Sementara itu, jumlah orang-orang Hadrami yang datang terus bertambah sepanjang abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.Jumlah orang-orang Hadrami di Batavia bertambah dari 312 di tahun 1859, 952 di tahun 1870, 1.662 di tahun 1885, 2.245 di tahun 1900, hingga 5.231 di tahun 1930. Hal ini membuat Pekojan di penghujung abad ke-19 menjadi semakin ramai dan padat. Keadaan di distrik ini dipandang kurang sehat dan kurang ideal untuk dihuni.
Kesulitan-kesulitan ini ternyata tidak menghalangi orang-orang Hadrami untuk melakukan sesuatu yang dapat memajukan diri mereka dan kaum Muslimin pada umumnya. Pada tahun 1901, orang-orang Hadrami di Batavia mendirikan sebuah perkumpulan bernama Jam’iyyat Khair yang memiliki tujuan-tujuan sosial dan pendidikan. Perkumpulan ini ingin membantu anggota-anggotanya yang memerlukan di saat-saat pernikahan atau kematian. Beberapa tahun kemudian, perkumpulan ini juga bergerak di bidang ekonomi dan politik. Namun pada akhirnya perkumpulan ini memfokuskan kegiatannya pada bidang pendidikan saja.
Nasib Keturunan Arab di Iran [2]
Tak lama setelah pendiriannya, pengurus Jam’iyyat Kheir mengajukan organisasi ini kepada pemerintah kolonial untuk mendapatkan legalitas, dan baru mendapatkannya pada tanggal 17 Juni 1905. Pada dekade pertama eksistensinya Jam’iyyat Khair mengalami beberapa kali pergantian pengurus dan anggaran dasar. Awalnya keanggotaan perkumpulan ini dikhususkan bagi komunitas Arab di Batavia saja, tetapi kemudian membuka diri kepada selain orang-orang Arab di Batavia maupun di luar Batavia, asalkan beragama Islam. Secara umum keanggotaan Jam’iyyat Khair seperti apa yang digambarkan oleh Deliar Noer dalam Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 bahwa ”organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang-orang Arab.”
Orang-orang Hadrami yang terlibat di dalam Jam’iyyat Khair memainkan peranan penting dalam membawa gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia. Mereka menjalin hubungan dengan pers dan kalangan pembaharu di Timur Tengah dan membawa masuk majalah-majalah dari sana ke Indonesia yang sebagiannya ikut dinikmati oleh kalangan pergerakan Islam di Indonesia.
Terkait pendidikan, orang-orang Hadrami biasanya tidak suka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah pemerintah apalagi sekolah misionaris. Mereka berusaha menjaga anak-anak mereka agar tidak terpengaruh agama Kristen di sekolah-sekolah tersebut. Bagaimanapun, ini bukan berarti anak-anak itu dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan yang baik. Pendidikan biasanya diberikan di rumah, terutama oleh orang tua. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga dimiliki oleh para pendiri dan pengurus Jam’iyyat Khair. Tak lama setelah perkumpulan ini mendapat pengesahan pemerintah, Jam’iyyat Khair mendirikan sebuah sekolah di Pekojan, Batavia; sekolah yang menggabungkan antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu pelajaran umum. Beberapa cabang sekolah Jam’iyyat Khair kemudian dibuka di beberapa tempat di luar Pekojan dan beberapa guru terbaik didatangkan dari Timur Tengah ke Batavia untuk mengajar di sekolah-sekolah ini.
Saat perkumpulan serta sekolah Jam’iyyat Khair berdiri di Pekojan, pemerintah kolonial masih menerapkan sistem distrik dan pas jalan yang memisahkan komunitas Arab dari masyarakat pribumi. Namun ternyata hal itu tidak sepenuhnya mengisolasi komunitas ini dari saudara-saudara Muslim lainnya di Indonesia. Karena terbukti kalangan pribumi juga menjadi anggota dari perkumpulan ini, sebagaimana anak-anak mereka pula belajar di sekolah Jam’iyyat Khair. Bahkan H.O.S. Tjokroaminoto dan KH. Ahmad Dahlan juga menjadi anggota perkumpulan ini.
Walaupun selama beberapa dekade mereka harus hidup di dalam ’ghetto’ yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda, orang-orang Hadrami di Indonesia tetap mampu memberikan kontribusi yang penting di Indonesia. Dari distrik yang kurang ideal untuk dihuni di Pekojan, orang-orang Hadrami menjadi pengubung dan perantara penting antara dunia pergerakan Islam di Timur Tengah dan di Indonesia. Dari kampung Pekojan ini pula berdiri organisasi dan sekolah modern Islam yang pertama di Indonesia. Tembok isolasi yang diciptakan pemerintah kolonial di Pekojan, dan di kampung-kampung Arab lainnya, seolah menyaksikan keruntuhannya sendiri seiring dengan muncul dan berkembangnya perkumpulan kebajikan (Jam’iyyat Khair) ini. Dan, walaupun orang-orang Hadrami belakangan agak tersisih dari pentas pergerakan nasional, rekan-rekan pribumi mereka kemudian membentuk arus baru perjuangan yang berujung pada runtuhnya kolonialisme di Indonesia.*
Pengajar di Pondok Pesantren Shoul Lin al-Islami
ORANG-orang Arab telah lama datang ke Nusantara. Mereka yang datang kewilayah ini serta wilayah-wilayah lainnya di sepanjang Samudera Hindia merupakan para pedagang, ulama, atau kaum sufi. H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawamenyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara telah menerima pengaruh ulama dari luar. Bahkan tidak kurang Wali Songo yang dianggap sebagai penyebar Islam utama di tanah Jawa merupakan para ulama keturunan Arab, setidaknya dari pihak ayah mereka.
Memang tidak banyak catatan yang bisa menunjukkan tentang asal-usul negeri mereka di Timur Tengah. Namun sebagian peneliti percaya bahwa Hadramaut merupakan asal-usul penting bagi para penyebar Islam awal di Nusantara. R.B. Serjent, misalnya, dalam Society and trade in South Arabiamemperkirakan bahwa para sadah dari keluarga Alawi di Hadramaut telah tiba di Nusantara beberapa waktu sebelum orang-orang Belanda dan mereka mengendalikan perdagangan di wilayah-wilayah pesisir kepulauan Nusantara.
Keberadaan pendatang-pendatang Hadrami di Nusantara di era yang awal mungkin tidak disepakati disebabkan terbatasnya catatan sejarah. Namun pada masa-masa yang belakangan informasi tentang mereka lebih mudah dijumpai, terutama pada abad ke-19 ketika jumlah mereka yang datang ke wilayah ini mengalami peningkatan pesat dan mulai disensus oleh pemerintah kolonial. Peningkatan migrasi orang-orang Hadrami ke Hindia Belanda pada abad ke-19 dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi di negeri ini serta semakin mudahnya transportasi yang menghubungkan kedua wilayah.Di antara tempat tujuan utama para imigran ini adalah pusat pemerintahan Hindia Belanda di pulau Jawa, yaitu Batavia, yang ketika itu dikenal sebagai koningin van oosten ’ratu dari timur’.
Di Batavia, para pendatang Hadrami ini biasanya tinggal di kawasan Pekojan, Jakarta Barat. Wilayah yang namanya diambil dari kata Koja ini pada awalnya didominasi oleh orang-orang keturunan India. Namun pada penghujung abad ke-19, seiring dengan semakin banyaknya orang-orang Hadrami yang datang dan menetap, wilayah ini kemudian dikenal sebagai kampung Arab.
Nasib Keturunan Arab di Iran [1]
Pada awalnya Pekojan mungkin merupakan pilihan yang natural bagi para pendatang Arab.Namun pada awal abad ke-19, seiring dengan semakin banyak dan tersebarnya para pendatang, pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang mengharuskan orang-orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), termasuk orang-orang Arab, tinggal di distrik yang terpisah. Tujuannya untuk menghindarkan mereka bercampur dengan penduduk pribumi, khususnya di desa-desa,karena pemerintah kolonial tidak ingin masyarakat pribumi terpengaruh oleh mereka. Kebijakan ini dikenal sebagai wijkenstelsel atau sistem distrik.Maka kampung-kampung Arab pun bermunculan di kota-kota besar dan menengah di Hindia Belanda, masing-masing dikepalai oleh seorang kapten atau letnan Arab. Untuk Batavia, kampung Arab itu berlokasi di Pekojan.
Bukan hanya harus tinggal di distrik yang terpisah, gerak mereka juga dipersulit. Mereka perlu membuat surat jalan kalau mau bepergian ke luar kota. Kebijakan ini dikenal sebagai passenstelsel atau sistem pas jalan. Walaupun kebijakan ini tidak sepenuhnya berhasil dalam mengisolasi komunitas Arab, tetapi hal ini tentu sangat merepotkan dan membatasi gerak-gerik mereka. Untuk bepergian ke tempat yang tidak terlalu jauh pun mereka perlu membuat surat ijin. Kadang waktu yang digunakan untuk mengurus surat ijin ini lebih lama dibandingkan perjalanan itu sendiri. Kebijakan ini baru dihapuskan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1910-an. Kajian tentang ini bisa dibaca pada artikel Huub de Jonge, ”Dutch Colonial Policy Pertaining to Hadhrami Immigrants”.
Sementara itu, jumlah orang-orang Hadrami yang datang terus bertambah sepanjang abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.Jumlah orang-orang Hadrami di Batavia bertambah dari 312 di tahun 1859, 952 di tahun 1870, 1.662 di tahun 1885, 2.245 di tahun 1900, hingga 5.231 di tahun 1930. Hal ini membuat Pekojan di penghujung abad ke-19 menjadi semakin ramai dan padat. Keadaan di distrik ini dipandang kurang sehat dan kurang ideal untuk dihuni.
Kesulitan-kesulitan ini ternyata tidak menghalangi orang-orang Hadrami untuk melakukan sesuatu yang dapat memajukan diri mereka dan kaum Muslimin pada umumnya. Pada tahun 1901, orang-orang Hadrami di Batavia mendirikan sebuah perkumpulan bernama Jam’iyyat Khair yang memiliki tujuan-tujuan sosial dan pendidikan. Perkumpulan ini ingin membantu anggota-anggotanya yang memerlukan di saat-saat pernikahan atau kematian. Beberapa tahun kemudian, perkumpulan ini juga bergerak di bidang ekonomi dan politik. Namun pada akhirnya perkumpulan ini memfokuskan kegiatannya pada bidang pendidikan saja.
Nasib Keturunan Arab di Iran [2]
Tak lama setelah pendiriannya, pengurus Jam’iyyat Kheir mengajukan organisasi ini kepada pemerintah kolonial untuk mendapatkan legalitas, dan baru mendapatkannya pada tanggal 17 Juni 1905. Pada dekade pertama eksistensinya Jam’iyyat Khair mengalami beberapa kali pergantian pengurus dan anggaran dasar. Awalnya keanggotaan perkumpulan ini dikhususkan bagi komunitas Arab di Batavia saja, tetapi kemudian membuka diri kepada selain orang-orang Arab di Batavia maupun di luar Batavia, asalkan beragama Islam. Secara umum keanggotaan Jam’iyyat Khair seperti apa yang digambarkan oleh Deliar Noer dalam Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 bahwa ”organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang-orang Arab.”
Orang-orang Hadrami yang terlibat di dalam Jam’iyyat Khair memainkan peranan penting dalam membawa gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia. Mereka menjalin hubungan dengan pers dan kalangan pembaharu di Timur Tengah dan membawa masuk majalah-majalah dari sana ke Indonesia yang sebagiannya ikut dinikmati oleh kalangan pergerakan Islam di Indonesia.
Terkait pendidikan, orang-orang Hadrami biasanya tidak suka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah pemerintah apalagi sekolah misionaris. Mereka berusaha menjaga anak-anak mereka agar tidak terpengaruh agama Kristen di sekolah-sekolah tersebut. Bagaimanapun, ini bukan berarti anak-anak itu dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan yang baik. Pendidikan biasanya diberikan di rumah, terutama oleh orang tua. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga dimiliki oleh para pendiri dan pengurus Jam’iyyat Khair. Tak lama setelah perkumpulan ini mendapat pengesahan pemerintah, Jam’iyyat Khair mendirikan sebuah sekolah di Pekojan, Batavia; sekolah yang menggabungkan antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu pelajaran umum. Beberapa cabang sekolah Jam’iyyat Khair kemudian dibuka di beberapa tempat di luar Pekojan dan beberapa guru terbaik didatangkan dari Timur Tengah ke Batavia untuk mengajar di sekolah-sekolah ini.
Saat perkumpulan serta sekolah Jam’iyyat Khair berdiri di Pekojan, pemerintah kolonial masih menerapkan sistem distrik dan pas jalan yang memisahkan komunitas Arab dari masyarakat pribumi. Namun ternyata hal itu tidak sepenuhnya mengisolasi komunitas ini dari saudara-saudara Muslim lainnya di Indonesia. Karena terbukti kalangan pribumi juga menjadi anggota dari perkumpulan ini, sebagaimana anak-anak mereka pula belajar di sekolah Jam’iyyat Khair. Bahkan H.O.S. Tjokroaminoto dan KH. Ahmad Dahlan juga menjadi anggota perkumpulan ini.
Walaupun selama beberapa dekade mereka harus hidup di dalam ’ghetto’ yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda, orang-orang Hadrami di Indonesia tetap mampu memberikan kontribusi yang penting di Indonesia. Dari distrik yang kurang ideal untuk dihuni di Pekojan, orang-orang Hadrami menjadi pengubung dan perantara penting antara dunia pergerakan Islam di Timur Tengah dan di Indonesia. Dari kampung Pekojan ini pula berdiri organisasi dan sekolah modern Islam yang pertama di Indonesia. Tembok isolasi yang diciptakan pemerintah kolonial di Pekojan, dan di kampung-kampung Arab lainnya, seolah menyaksikan keruntuhannya sendiri seiring dengan muncul dan berkembangnya perkumpulan kebajikan (Jam’iyyat Khair) ini. Dan, walaupun orang-orang Hadrami belakangan agak tersisih dari pentas pergerakan nasional, rekan-rekan pribumi mereka kemudian membentuk arus baru perjuangan yang berujung pada runtuhnya kolonialisme di Indonesia.*
Pengajar di Pondok Pesantren Shoul Lin al-Islami
No comments:
Post a Comment