Belajar dari Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari
Benarlah ucapan Rasulullah, Anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!”
IA datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia.
Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka’bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan. Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.
Samar-samar ia memperoleh petunjuk kediaman Nabi Muhammad. Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sedang duduk seorang diri.
“Selamat pagi, wahai kawan sebangsa.”
“Wa alaikum salam, wahai sahabat,” jawab Rasulullah.
“Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Anda!”
“Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur’an yang mulia,” kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah Subhanahu Wata’ala.
Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya.”
“Anda dari mana, kawan sebangsa?” tanya Rasulullah.”Dari Ghifar,” jawabnya.
Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidakada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.
Rasulullahpun bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya…”
Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.
Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.
Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut Anda?”
“Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” jawab Rasulullah.
“Demi Tuhan yang menguasai jiwaku,” kata Abu Dzar, “Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka’bah.”
Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.
Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.
Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.
Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, “Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya.”
Pada suatu ketika, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengajukan pertanyaan kepadanya. “Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk diri mereka?”
Ia menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!”
“Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!”
Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.
Mati Sendirian tanpa Kain Kafan
Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.
Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan.
“Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!”
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dankemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.
Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Kota Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, “Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?
“Istrinya menjawab, “Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!”
“Janganlah menangis,” kata Abu Dzar, “Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, ‘Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal dipadang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.
Ruhnya kembali ke hadirat Ilahi… dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud.
Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas’ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.Ketika pandangan Ibnu Mas’ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah, Anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!”
Tsiqah dalam perjuangan
Sepenggal kisah sahabat besar Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu di atas sesungguhnya memberikan pesan teramat dalam bagi kita.
Beliau adalah sahabat yang terkenal dengan ketegasan, kesederhanaan, istiqomah (tsiqah/teguh) dalam dakwah (perjuangan) dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Satu pesan dari sekian pesan lainnya dalam penggalan kisah hidup Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu adalah tentang kobaran semangat dalam dakwah yang terus menyala-nyala.
Iya, beliau adalah inspirator yang mengajarkan dan mengingatkan kita semua bahwa jika (kebenaran) Islam sudah masuk ke dalam diri seorang muslim, maka akan menjadi “mesin penggerak” baginya untuk terus berdakwah (berjuang).
Sekarang, mudah kita rasakan. Apakah hal serupa yang ada pada Abu Dzar al Ghifari ada pada kita?
Apakah pandangan, sikap, gaya hidup Islam sudah benar-benar menyatu (mutajasad) dengan kita atau tidak? Lihatlah bagaimanakah reaksi hati kita ketika melihat kemunkaran, kemaksiatan dan kebathilan di sekeliling kita. Jika hati ini bergetar memberontak marah, gelisah, risau, gundah gulana, tidak ridha dan lainnya ketika melihat kemunkaran atau kemaksiatan. Maka, kita masih bersyukur, iman masih bersemayam dalam diri kita. Jika tidak, hati-hati dan segeralah merenung akan keimanan kita.
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Berkata Abu Ali Ad-Daqqooq An-Naisaburi Asy-Syafi’i: “Barangsiapa yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah Syaithan Akhras (yakni Setan yang bisu dari jenis manusia).” (Disebutkan imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim). Wallahu a’lam bi ash-sahwab.*/Abu Sulthan. Twitter: @lutfisarif. Artikel diambil dari Rijalun Haular Rasul, Khalid Muhammad Khalid
Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka’bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan. Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.
Samar-samar ia memperoleh petunjuk kediaman Nabi Muhammad. Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sedang duduk seorang diri.
“Selamat pagi, wahai kawan sebangsa.”
“Wa alaikum salam, wahai sahabat,” jawab Rasulullah.
“Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Anda!”
“Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur’an yang mulia,” kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah Subhanahu Wata’ala.
Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya.”
“Anda dari mana, kawan sebangsa?” tanya Rasulullah.”Dari Ghifar,” jawabnya.
Bibir Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.Tiga Rahasia Kehebatan Sahabat Nabi
Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidakada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.
Rasulullahpun bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya…”
Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.
Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.
Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut Anda?”
“Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” jawab Rasulullah.
“Demi Tuhan yang menguasai jiwaku,” kata Abu Dzar, “Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka’bah.”
Ia pun menuju menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana.
Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.
Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.
Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.
Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, “Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya.”
Pada suatu ketika, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengajukan pertanyaan kepadanya. “Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk diri mereka?”
Ia menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!”
“Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!”
Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.
Mati Sendirian tanpa Kain Kafan
Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.
Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan.
“Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!”
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dankemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.
Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Kota Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, “Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?
“Istrinya menjawab, “Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!”
“Janganlah menangis,” kata Abu Dzar, “Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, ‘Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal dipadang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.
Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!”
Ruhnya kembali ke hadirat Ilahi… dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud.
Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas’ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.Ketika pandangan Ibnu Mas’ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah, Anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!”
Tsiqah dalam perjuangan
Sepenggal kisah sahabat besar Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu di atas sesungguhnya memberikan pesan teramat dalam bagi kita.
Beliau adalah sahabat yang terkenal dengan ketegasan, kesederhanaan, istiqomah (tsiqah/teguh) dalam dakwah (perjuangan) dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Satu pesan dari sekian pesan lainnya dalam penggalan kisah hidup Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu adalah tentang kobaran semangat dalam dakwah yang terus menyala-nyala.
Iya, beliau adalah inspirator yang mengajarkan dan mengingatkan kita semua bahwa jika (kebenaran) Islam sudah masuk ke dalam diri seorang muslim, maka akan menjadi “mesin penggerak” baginya untuk terus berdakwah (berjuang).
Islam tak lain adalah sebuah worldview, dimana akan membawa Siapa saja yang sudah menginternalisasikan (menyatu) dalam dirinya untuk memperjuangkannya agar diterapkan. Kemudian akan berusaha keras mempertahankan dan menyebarkannya. Begitulah salah satu pelajaran dari penggalan kisah hidup Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, yakni tentang semangat dakwah.Enam Bekal Para Mujahid Dakwah
Sekarang, mudah kita rasakan. Apakah hal serupa yang ada pada Abu Dzar al Ghifari ada pada kita?
Apakah pandangan, sikap, gaya hidup Islam sudah benar-benar menyatu (mutajasad) dengan kita atau tidak? Lihatlah bagaimanakah reaksi hati kita ketika melihat kemunkaran, kemaksiatan dan kebathilan di sekeliling kita. Jika hati ini bergetar memberontak marah, gelisah, risau, gundah gulana, tidak ridha dan lainnya ketika melihat kemunkaran atau kemaksiatan. Maka, kita masih bersyukur, iman masih bersemayam dalam diri kita. Jika tidak, hati-hati dan segeralah merenung akan keimanan kita.
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Berkata Abu Ali Ad-Daqqooq An-Naisaburi Asy-Syafi’i: “Barangsiapa yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah Syaithan Akhras (yakni Setan yang bisu dari jenis manusia).” (Disebutkan imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim). Wallahu a’lam bi ash-sahwab.*/Abu Sulthan. Twitter: @lutfisarif. Artikel diambil dari Rijalun Haular Rasul, Khalid Muhammad Khalid
Rep: Admin Hidcom
No comments:
Post a Comment