Haji dan Ambisi ‘Internasionalisasi Haramain’
Semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara haramain, orang-orang yang beribadah di dalamnya dan melindungi orang-orang yang memuliakannya
makkahmedine</
HARI ini para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia mulai memadati Kota Suci Makkah dan Madinah.
Sementara itu, potoritas wilayah tanah suci, Khaadimul Haramain as-Syarifain dari raja-raja Kerajaan Saudi Arabia (KSA) terus melakukan pembenahan infrastruktur demi pelayanan maksimal para tamu Allah yang membajirinya setiap bulan-bulan haji.
Namun demikian, khidmat yang sudah maksimal itu masih ada pihak-pihak tertentu yang menyoalkannya. Di antaranya, munculnya gagasan internasionalisasi haramain.
Sebelum ini, yang paling getol mengusung ide ini sepanjang sejarahnya adalah Moammar Khadafy (Libya) dan Imam Khomenei (Pemimpin Spiritual Iran).
Sebelum ini, mereka senantiasa mengusulkan agar haramain (dua kota suci; Makkah, Madinah) diserahkan penyelenggaraannya ke dunia Islam. Lalu siapa yang dimaksud mereka dunia Islam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggelayut dalam pikiran banyak orang.
Sebagaimana diketahui, sejak berdirinya KSA, 23 September 1932 dan runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani 3 Maret 1924, maka secara otomatis urusan kota suci menjadi tanggung jawab KSA sejak dipimpin Malik ‘Abdul ‘Aziez bin ‘Abdirrahman as- Sa’ud hingga raja-raja sesudahnya.
Ada banyak peristiwa yang melintas, di mana huru-hara pernah terjadi di kota suci ini. Mulai pendudukkan Ka’bah oleh sekelompok bersenjata yang dipimpin Juhaiman al-Otaibi tanggal 20 November 1979 (sekelompok pemuda gurun yang menamakan Al-Mahdi), huru-hara Makkah atas nama “anti Amerika” oleh warga Iran (1987), dan demontrasi warga Syi’ah Al-Qathif dan Damam.
Di samping itu, terjadi pula musibah-musibah murni yang menimpa jamaah haji (Terowongan Muaishim, Tragedi Mina, jatuhnya crane). Semua ini menjadi deretan panjang yang mengarah pada tuduhan “ketidak mampuan” KSA dalam pelayanan dan jaminan keamanan para jamaah haji seluruh dunia.
Di sisi lain, ada gejala keinginan “menguasai” haramain sebagai dua kota suci Islam sudah sekian lama diidam-idamkan sejak zaman Hamdan Qaramith (sekte kebathinan Syi’ah ekstrim Qaramithah).
Bahkan pasca musibah tragedi Minta tahun 2015, yang menyebabkan korban jiwa lebih 450 orang jamaah Iran, Negeri Syiah ini mengangkat kembali ‘internasionalisasi haji’ agar pengelolaan rukun kelima ini tidak hanya didominasi Arab Saudi. Sementara itu, isu ini tak pernah mendapatkan tanggapan dunia Islam lain, karena semua menganggap, KSA masih terbaik melayani jamaah haji.
Dr. Raghib Sirjani, juga Dr. Adam bin ‘Abdillah al-Hilaly yang memaparkan bagaimana cita-cita besar tegaknya kembali Daulah Syi’ah atau kembalinya Imperium Persia Raya yang tengah mereka perjuangkan hingga memuncaknya keyakinan ideologis mereka dengan dalih yang dibuatnya sendiri Fa inna Karbala afdhalu Minal Ka’bah (Sesungguhnya Karbala lebih utama ketimbang Ka’bah). (Lihat Nashaaih Ghaaliyah: 1988 dan As-Syi’ah Nidhaal am Dhalaal: 2014).
Sejarah mencatat semua itu. Karenanya, masih adakah kejujuran, jika semua keinginan itu dibangun di atas kedustaan yang sudah menggurita? Mari jangan lupakan sejarah.
Semoga Rabbul ‘Aalamin senantiasa menjaga dan memelihara haramain, orang-orang yang beribadah di dalamnya dan melindungi orang-orang yang memuliakannya. Wallaahul musta’aan.*/Teten Romly Q, ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah Dewan Da’wah
HARI ini para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia mulai memadati Kota Suci Makkah dan Madinah.
Sementara itu, potoritas wilayah tanah suci, Khaadimul Haramain as-Syarifain dari raja-raja Kerajaan Saudi Arabia (KSA) terus melakukan pembenahan infrastruktur demi pelayanan maksimal para tamu Allah yang membajirinya setiap bulan-bulan haji.
Namun demikian, khidmat yang sudah maksimal itu masih ada pihak-pihak tertentu yang menyoalkannya. Di antaranya, munculnya gagasan internasionalisasi haramain.
Sebelum ini, yang paling getol mengusung ide ini sepanjang sejarahnya adalah Moammar Khadafy (Libya) dan Imam Khomenei (Pemimpin Spiritual Iran).
Dengan berbagai alasan buruknya pelayanan, mereka gencar melayangkan kritik-kritik pedasnya. Masalahnya, seburuk itukah pelayanan KSA terhadap para tamu Allah sebagaimana mereka kritikkan? Atau ada maksud lainnya?
Sebelum ini, mereka senantiasa mengusulkan agar haramain (dua kota suci; Makkah, Madinah) diserahkan penyelenggaraannya ke dunia Islam. Lalu siapa yang dimaksud mereka dunia Islam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggelayut dalam pikiran banyak orang.
Sebagaimana diketahui, sejak berdirinya KSA, 23 September 1932 dan runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani 3 Maret 1924, maka secara otomatis urusan kota suci menjadi tanggung jawab KSA sejak dipimpin Malik ‘Abdul ‘Aziez bin ‘Abdirrahman as- Sa’ud hingga raja-raja sesudahnya.
Ada banyak peristiwa yang melintas, di mana huru-hara pernah terjadi di kota suci ini. Mulai pendudukkan Ka’bah oleh sekelompok bersenjata yang dipimpin Juhaiman al-Otaibi tanggal 20 November 1979 (sekelompok pemuda gurun yang menamakan Al-Mahdi), huru-hara Makkah atas nama “anti Amerika” oleh warga Iran (1987), dan demontrasi warga Syi’ah Al-Qathif dan Damam.
Menyusul peristiwa-peristiwa lainnya; mulai peluncuran rudal scud oleh pasukan Shaddam Husein (Iraq) ke arah Makkah ketika menginvasi tetangganya Kuwait, peluncuran rudal balistik pasukan Syiah al-Houthi (Hautsi) Yaman ke arah Makkah dan disusul upaya pembakaran kiswah Ka’bah belakangan ini oleh seorang warga Iran.
Di samping itu, terjadi pula musibah-musibah murni yang menimpa jamaah haji (Terowongan Muaishim, Tragedi Mina, jatuhnya crane). Semua ini menjadi deretan panjang yang mengarah pada tuduhan “ketidak mampuan” KSA dalam pelayanan dan jaminan keamanan para jamaah haji seluruh dunia.
Di sisi lain, ada gejala keinginan “menguasai” haramain sebagai dua kota suci Islam sudah sekian lama diidam-idamkan sejak zaman Hamdan Qaramith (sekte kebathinan Syi’ah ekstrim Qaramithah).
Bahkan pasca musibah tragedi Minta tahun 2015, yang menyebabkan korban jiwa lebih 450 orang jamaah Iran, Negeri Syiah ini mengangkat kembali ‘internasionalisasi haji’ agar pengelolaan rukun kelima ini tidak hanya didominasi Arab Saudi. Sementara itu, isu ini tak pernah mendapatkan tanggapan dunia Islam lain, karena semua menganggap, KSA masih terbaik melayani jamaah haji.
Benar apa yang dikhawatirkan para analis dan sejarawan selama ini; Walid al-A’zhami yang menyebut Revolusi Khomeniyyah merupakan warisan kebencian turun temurun dan penyebaran pemikiran destruktif. (Lihat Al-Khomeneiyyah Warietsatul Harakaat al-Haaqidah wal Afkaar al-Faasidah: 1988), Dr. Abdul Mun’im an-Nimr yang mengingatkan terjadinya persekongkolan merebut Ka’bah telah dimulai sejak masa lalu. (Lihat Al-Mu’ammaraat ‘alal Ka’bah minal Qaraamithah ilal Khomeneiyyah: 1988).
Dr. Raghib Sirjani, juga Dr. Adam bin ‘Abdillah al-Hilaly yang memaparkan bagaimana cita-cita besar tegaknya kembali Daulah Syi’ah atau kembalinya Imperium Persia Raya yang tengah mereka perjuangkan hingga memuncaknya keyakinan ideologis mereka dengan dalih yang dibuatnya sendiri Fa inna Karbala afdhalu Minal Ka’bah (Sesungguhnya Karbala lebih utama ketimbang Ka’bah). (Lihat Nashaaih Ghaaliyah: 1988 dan As-Syi’ah Nidhaal am Dhalaal: 2014).
Sejarah mencatat semua itu. Karenanya, masih adakah kejujuran, jika semua keinginan itu dibangun di atas kedustaan yang sudah menggurita? Mari jangan lupakan sejarah.
Semoga Rabbul ‘Aalamin senantiasa menjaga dan memelihara haramain, orang-orang yang beribadah di dalamnya dan melindungi orang-orang yang memuliakannya. Wallaahul musta’aan.*/Teten Romly Q, ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah Dewan Da’wah
No comments:
Post a Comment