Saat Bung Tomo Surati Mao: Tarik Pulang 2 Juta Orangmu Dari Indonesia!
Benarkah Pahlawan Nasional Bung Tomo rasialis dan sangat membenci warga Cina di Indonesia? Pertanyaan ataupun kesimpulan demikian sempat berembus dalam gunjingan di masyarakat kita.
Bila cuma sepintas mendengarkan pidato-pidato Bung Tomo pada masa revolusi kemerdekaan 1945 atau tulisan-tulisannya pada masa awal Orde Baru, memang akan muncul kesan seperti itu. Pada 17 Maret 1973, misalnya, ia menulis surat terbuka kepada pemimpin Republik Rakyat Cina Mao Tse Tung dan pemimpin Taiwan Chiang Kai-shek. Intinya, dia meminta perhatian kedua pemimpin itu untuk membantu menarik sekitar 2 juta warga Cina dari Indonesia kembali ke negara masing-masing.
“Apakah Tuan-tuan tidak malu bangsa Tuan-tuan diberi nama julukan parasit-parasit demikian itu? Saya rasa Tuan-tuan pun malu. Oleh karena itu, demi nama baik kita semua, saya usulkan agar Tuan-tuan suka memikirkan kemungkinan untuk mengadakan repatriasi bagi orang-orang Cina asing di Indonesia.”
Sebagai pejuang revolusi kemerdekaan, Bung Tomo menilai ada banyak orang Cina di Indonesia yang sikap dan perilakunya jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Hidup dan mencari makan di Indonesia, tapi sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi perjuangan bangsa. Sikap dan perilaku seperti itu diperlihatkan sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, menurut Bung Tomo, banyak orang Cina pada masa kolonial yang menjadi kepanjangan tangan Belanda untuk menindas rakyat Indonesia.
Memang, tulis Bung Tomo, kalau di suatu daerah sedang ada penguasa Indonesia, mereka menunjukkan loyalitasnya kepada Republik. Tapi, begitu kekuasaan Belanda menduduki daerah RI, segera Cina-cina itu membantu tuannya yang lama. “Hanya seorang atau dua saja dari seribu orang Cina di Indonesia yang benar-benar membantu perjuangan kita dengan konsekuen selama kita melawan kolonialisme. Itulah kenyataan. Dan itu mereka teruskan sampai sekarang.”
Bila Mao dan Chiang dapat melaksanakan pemulangan 2 juta warga itu ke RRC atau Taiwan, tulis Bung Tomo, kedua tokoh itu niscaya bakal tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh Asia yang berhasil melenyapkan kolonialisme di Indonesia. “Berilah orang-orang Cina itu makan di negeri Cina sendiri.”
Bila Mao dan Chiang dapat melaksanakan pemulangan 2 juta warga itu ke RRC atau Taiwan, tulis Bung Tomo, kedua tokoh itu niscaya bakal tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh Asia yang berhasil melenyapkan kolonialisme di Indonesia. “Berilah orang-orang Cina itu makan di negeri Cina sendiri.”
Pada masa perang kemerdekaan, November 1945, lewat corong radio, Bung Tomo juga kerap melontarkan pidato yang dinilai bersikap rasialis karena anti-Cina. Tema-tema anti-Cina dalam pidatonya itu, menurut Benny G. Setiono dalam buku Cina dalam Pusaran Politik, yang diterbitkan Komunitas Bambu, sudah tentu menumbuhkan sentimen anti-Cina di kalangan masyarakat Jawa Timur.
Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai juru bicara Angkatan Muda Cina, berpidato dengan menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Cina, melainkan Belanda. Ia menyatakan etnis Cina juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda. Selanjutnya Siauw Giok Tjhan, tokoh masyarakat Cina yang kemudian menjadi menteri, anggota Majelis Konstituante, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung, menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya. “Namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar etnis Cina pro-Belanda,” tulis Benny.
Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo serta tokoh-tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Soemarsono dan Soedisman, di Nangka Jajar, sebuah kota kecil antara Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa pemuda-pemuda Cina akan bergabung dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia pimpinan Bung Tomo dan Pesindo.
Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djoko Suryo, menilai sikap yang diperlihatkan Bung Tomo sejatinya bukan rasialis dan anti-Tionghoa. Sebagai pejuang, Bung Tomo hanya ingin agar segenap orang berprinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Karena itu, ketika ada kebijakan penataan kewarganegaraan dengan strategi hukum pada 1950-an, Bung Tomo termasuk yang mendesak pemerintah menyatakan secara tegas kepada siapa pun supaya memilih, tidak peduli itu Cina, India, atau Arab. “Kalau berada di Indonesia, ya harus memiliki patriotisme, nasionalisme, dan kecintaan pada Tanah Air. Jadi posisi Bung Tomo ini menegaskan dan mendukung kebijakan pemerintah,” kata Djoko.
Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo, juga menegaskan ayahnya semasa hidup punya banyak sahabat orang Cina. Apa yang disampaikan dalam pidato dan surat terbuka itu, kata Bambang, maksudnya agar keturunan mana pun yang tinggal dan menjadi warga Indonesia harus menjunjung dan memiliki nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah Air, dan patriotisme kepada negeri ini.
“Jangan mendua. Dulu, pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia kan terbelah-belah. Ada yang diprioritaskan dan mendapat perlakuan berbeda, seperti warga Eropa, keturunan orang Timur Tengah. Dan masyarakat Indonesia disebut pribumi. Yang diharapkan Bung Tomo, kalau sudah berada di Indonesia, ya tidak boleh mendua, apalagi mendukung penjajah,” ujarnya.(kl/dt)
No comments:
Post a Comment