Pahlawan, Patriotisme, dan Historisisme
JALIMIN
WALI Kota Banda Aceh, Aminullah Usman melakukan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan,pada peringatan Hari Pahlawan ke-73, Sabtu (10/11). Sementara Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali berziarah ke Makam Teuku Nyak Arief di Gampong Lamreung, Kecamatan Krueng Barona Jaya (kanan).
HINGGA 2017 lalu, Aceh telah mendapatkan anugerah delapan Pahlawan Nasional dari Pemerintah Republik Indonesia. Tahun ini, tidak ada penambahan pahlawan nasional dari Aceh, setelah terakhir Laksamana Keumalahayati, admiral perempuan pertama dalam sejarah dunia.
Meskipun demikian, tidak ada tokoh yang sedemikian berat politisasinya, seperti Teuku Nyak Arif (TNA). Ia adalah Pahlawan Nasional ketiga yang disahkan setelah Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. TNA Ditetapkan pada 9 November 1974 berdasarkan SK Presiden RI No. 071/TK/1974. Ia bahkan bisa menjadi yang pertama jika didasarkan pada SK Menteri Kesejahteraan Sosial No.1/62/PK bertanggal 17 Februari 1962 tentang Tokoh Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan.
Dalam sejarah menjelang kemerdekaan, TNA adalah sosok yang paling besar pengaruhnya di Aceh. Tidak ada sosok Aceh yang begitu dikenal oleh tokoh-tokoh nasional seperti TNA. Ia telah menduduki jabatan di Dewan Rakyat atau Volkskrad pada 1927 ketika masih sangat belia atau berumur 28 tahun. TNA juga pendiri Jong Islamieten Bond di Kutaraja dan Jong Sumatranen Bond di Medan. Organisasi ini merupakan himpunan kaum pemuda terdidik yang melancarkan “perang etik” terhadap kolonial Belanda.
TNA kemudian diangkat sebagai Residen Aceh pertama, 29 September 1945. Ia termasuk kecewa ketika kedatangan Jepang membuat Aceh semakin buruk dibandingkan penjajahan Belanda. Kata-katanya yang sangat sakartis menggambarkan tentang itu, “Kita berhasil mengusir anjing, tapi babi yang datang.” (Taufik Abdullah dalam Ramadhan KH, 2017).
Seperti ditulis dalam dokumen sejarah, inisiasi kedatangan Jepang ke Aceh atas undangan pihak Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), yang mengirimkan utusannya ke Malaya (Malaysia) setelah Dai Nippon mendarat dua hari di negeri serumpun itu, 13 Januari 1942 (Ramadhan KH, Sjamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, 1998:26). Meskipun wakil uleebalang ada yang ikut mengundang Jepang ke Aceh, seperti Teuku Muda dari Lhoksukon dan Teuku Ali Basyah dari Panton Labu, mereka mewakili PUSA saat itu (Nazaruddin Sjamsuddin, 1999:42).
Ketika proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di Jalan Pegangsaan Timur No.56 di Jakarta pada 17 Agustus 1945, Aceh masih sunyi dengan semangat patriotisme. Kabar kemerdekaan baru diketahui melalui radio pada 20 Agustus 1945 dan pemberitaan di media massa Aceh Shimbun baru beredar pada 22 Agustus 1945.
Atas dasar itulah beberapa tokoh Aceh seperti TNA, Teuku Ahmad Jeunieb, T.T. Hanafiah, Hasyim Naim, Usman, Ali Murtolo, dll menentukan sikap mendukung kemerdekaan Indonesia. Alhasil, 24 Agustus 1945 sang saka Merah Putih berkibar di kantor TNA (sekarang kantor walikota Banda Aceh), meskipun sempat diturunkan oleh orang tak dikenal (kemungkinan anasir pendukung Jepang).
Namun di situlah dilemanya, TNA tidak didukung oleh seluruh komponen Aceh. Penentuan TNA sebagai Residen Aceh dan kemudian pengangkatan dirinya dengan pangkat Jenderal Mayor, tidak diingini oleh beberapa eksponen lain seperti PUSA, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) pimpinan Ali Hasjmy, dan juga Tentera Perjuangan Rakyat (TPR) pimpinan Amir Husin Al-Mujahid (AHM).
Upaya perongrongan itu bertemu tragis dengan aksi “pembangkangan” uleebalang Pidie di bawah komando Teuku Tjut Hasan, Teuku Umar Keumangan, dan Teuku Muhammad Daud yang menolak instruksi TNA untuk mengibarkan Merah Putih di seluruh Aceh. Namun sebenarnya kesalahpahaman ini tidak akan menjadi prahara sosial-kemanusiaan jika tidak diprovokasi oleh pemuda Pesindo dan kelompok TPR yang hanya menjadikan sebagai “dalih Cumbok” untuk menggulung struktur politik uleebalang di seluruh Aceh.
Sebenarnya aksi berdarah itu adalah tipikal gerakan komunisme yang bertujuan menghancurkan politik “feodalisme”, yang dipelopori oleh trio Nathar Zainuddin, Xarim M.S, dan AHM. Aksi ini adalah replikasi gerakan sosial di Sumatera Timur (Anthony Reid, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, 1987:337-52).
Distorsi sejarah
Begitulah, prahara sosial pertama dan menjadi trauma historis-pengetahuan sosial di Aceh itu ditimpakan kepada TNA. Padahal jelas ia tidak setuju dengan aksi “pembangkangan” uleebalang Pidie, tapi lebih tidak setuju dengan casus belli yang membantai ribuan orang, sesama “bangsa Aceh”.
Upaya TNA untuk memulihkan situasi juga tak mudah, karena ia dibekap penyakit diabetes akut. Lembar-lembar perjuangannya atas kolonialisme berakhir oleh aksi AHM ketika mencopot pangkat Jenderal Mayor Tituler yang diembannya dan melucuti komando Divisi V TRI Sjamaun Gaharu, yang kemudian menjadi cikal bakal Kodam Iskandar Muda.
TNA akhirnya meninggal 4 Mei 1946 dalam usia cukup muda, belum genap 47 tahun. Sejarahnya kemudian didistorsi oleh lawan-lawan politiknya, meskipun tidak memengaruhi mata sejarah nasional untuk menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Berpuluh tahun kemudian distorsi itu bertambah. Satu yang sangat krusial ketika Pemerintah Aceh di bawah Gubernur Syamsuddin Mahmud mengubah jalan protokol dari Simpang Lima hingga Jembatan Lampineung dari nama jalan Teuku Nyak Arif menjadi jalan Teungku Muhammad Daud Beureueh (MDB) pada perayaan Hari Jadi ke-37 Daerah Istimewa Aceh, pada 26 Mei 1996.
Sontak aksi dehistorisasi itu melahirkan diskursus publik saat itu. Salah satunya karena proses itu dianggap tidak patut; mengabaikan regulasi Perda No.4/1985, masukan dari Badan Pertimbangan Daerah, dan kekacauan konsideran SK Walikota Banda Aceh No. 134/SK/86/1996 yang merujuk pada SK Dinas PU. Padahal Dinas PU tidak memiliki kewenangan menetapkan nama jalan, hanya memasang plang (Baharoeddin Yahya, “Nama Jalan”, Serambi, 17/6/1996).
Demikianlah ketika politik lebih mengemuka dibandingkan dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis dalam membuat kebijakan. Serambi sendiri mengangkat kontroversi itu dalam kolom Apit Awe selama empat kali pada tahun itu, termasuk mengulas aksi blunder Syamsuddin Mahmud yang memperlihatkan citra nepotisme dan mengabaikan suara arus bawah dan DPRA saat itu. Publik saat itu menuntun pemerintah bekerja atas dasar historisisme: mengabdi jiwa dan semangat rekonstruksi masa lalu secara benar dan tak tersaput politik (Serambi, 6/6/1996).
Melalui momen Hari Pahlawan tahun ini, pembengkokan sejarah itu mesti diluruskan, termasuk politik sejarah yang memberikan bercak fitnah dan perongrongan kepada sesama anak bangsa. Para pahlawan bangsa harus dihargai dengan takzim. Dalam banyak babakannya, pahlawan lahir dari perjuangan suci, yaitu memerdekakan, menyelamatkan banyak orang, dan membiarkan dirinya menjadi lilin yang menanggung derita. Di masa setelahnya, generasi baru harus bisa memberikan makna atas nilai perjuangan itu agar tak menjadi batu kesia-siaan.
Demikian pula tentang status TNA. Jika merujuk kepada UU No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka ia sosok yang seharusnya mendapatkan kehormatan atas integritas moral dan keteladanan yang telah dilakukannya. Ia berjasa terhadap bangsa dan negara, setia dan tidak pernah mengkhianati, dan tidak pernah dipidana penjara dengan pidana lima tahun. Oleh karenanya, penggantian nama jalan TNA adalah sikap “tak berkesadaran sejarah”.
TNA memenuhi semua ketentuan bukan hanya sebagai nama jalan. Tgk MDB pun memiliki lintang sejarah yang kompleks di Aceh yang patut dihormati dengan pantas. Namun, kepatutannya tidak dengan memotong sejarah jalan yang telah ditabalkan kepada TNA kepada MDB, tapi memberikan jalan lain yang juga bisa menyusuri arus sejarahannya, misalnya memberikan nama jalan dari Lambaro Kaphe hingga ke Sigli untuk mengenang jejak juangnya.
Patriotisme pahlawan-pahlawan kita harus dijaga dengan bermartabat, di antaranya dengan memberikan jejak historis pada situs-situsnya, serta merekonstruksi sejarah yang adil bagi seluruh anak bangsa.
* Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh (Unimal), saat ini sedang meneliti sejarah etnografi kemerdekaan di Aceh 1945-1962. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk
No comments:
Post a Comment