Wa Nahnu Ushbah
Rabu, 5 Desember 2018 - 09:27 WIBSaat itu kalian merasa ujub dengan jumlah yang banyak, padahal jumlah itu tidak bermanfaat sedikitpun dan menjadi sempitlah bumi
DALAM satu percakapan, saudara-saudara Nabi Yusuf, semoga Allah selalu melimpahkan keselamatan atasnya, berkata kepada sebagian lainnya.
إِذْ قَالُواْ لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ
“… Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan yang kuat (wa nahnu ushbah)…” (Yusuf [12]: 8).
Di percakapan berikutnya, di hadapan sang ayah Nabi Ya’qub yang semoga Allah juga menghadiahi keselamatan padanya, juga terekam ucapan saudara-saudara Yusuf:
قَالُواْ لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذاً لَّخَاسِرُونَ
“… Jika dia dimakan serigala, padahal kami kelompok yang kuat (wa nahnu ushbah), kalau demikian tentu kami orang-orang yang rugi,” (Yusuf [12]: 14).
Wa nahnu ushbah (dan kami kelompok yang kuat). Ungkapan ini setidaknya berulang dua kali dalam al-Qur’an saat menceritakan kisah Nabi Yusuf putra Nabi Ya’qub yang sekaligus cucu dari Nabi Ishaq dan seterusnya Nabi Ibrahim alaihim as-salam.
Dalam kaidah bahasa Arab, pengulangan kata (tikrar) baik secara lafazh ataupun makna, mengandung makna penegas (taukid) dari biasanya.
Setidaknya ada hikmah bahwa merasa lebih baik, lebih kuat, lebih hebat, dan sebagainya adalah bagian daripada penyakit hati yang mesti dihindari.
Sebab ia akan menutupi fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan peran orang lain dalam hidupnya.
Bahayanya lagi, iman akan tercoreng dan hidayah jadi terblokir oleh sikap angkuh tersebut. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah ﷺ:
“Tidak akan masuk Surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan.” (Riwayat Muslim).
Dalam lanjutan hadits di atas, Nabi juga menegaskan pengertian kesombongan itu, “Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.“ (Riwayat Muslim).
Soalannya, lalu bagaimana meretas bibit keangkuhan itu? Salah satunya dengan melebur diri dalam ukhuwah dan jamaah bersama kaum Muslimin. Caranya dengan menjadi saudara bagi lainnya karena dorongan keimanan.
Itulah indahnya Islam. Orang sanggup menanggung sakit karena rintihan saudaranya yang lain. Sebagaimana ia serta merta turut bersenang hati dengan bahagia yang dirasakan saudaranya.
Dalam ukhuwah imaniyah, pekerjaan paling utama adalah mengikis habis thagha (rasa lebih) yang bercokol dalam jiwa. Sedapat mungkin ia harus menekan perasaan lebih baik, lebih hebat, lebih tinggi, hingga lebih berjasa dari lainnya.
Sebaliknya, ia senantiasa diingatkan akan kebersamaan, keberjamaahan untuk selalu berbagi kebaikan, manfaat, dan membantu sesama. Sebab hari ini sebagian manusia terbuai mimpi menjadi seorang pemimpin tapi belum tentu ia siap dipimpin. Ia suka berbicara banyak tapi belum pasti sudi mendengar walau sedikit dari nasihat orang lain.
Tak heran, inilah yang bikin kejang orang yang di hatinya ada kebencian yang bersarang. Ada dengki yang mengarang menbuat dia serba meriang, hanya gara-gara persatuan umat Islam makin kencang menggelombang.
Di sisi lain, ungkapan “wa nahnu ushbah” bisa menjadi alarm pengingat diri. Bahwa di antara sebab kaum Muslimin tidak diberi kemenangan oleh Allah, justru ketika anggota pasukan berjumlah banyak dan bersenjata lengkap.
Sayangnya, saat itu mereka langsung dimabuk euforia bayangan kemenangan. Hingga lupa memohon bantuan pertolongan kepada Allah.
Alhasil, Allah berfirman:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolongmu di tempat tempat yang banyak dan di hari Perang Hunain. Ingatlah di saat itu kalian merasa ujub dengan jumlah yang banyak, padahal jumlah yang banyak itu tidak bermanfaat sedikitpun untuk kalian dan menjadi sempitlah bumi yang luas itu bagi kalian dan kalianpun lari ke belakang,” (QS: At-Taubah [9]: 25).*/Masykur
إِذْ قَالُواْ لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ
“… Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan yang kuat (wa nahnu ushbah)…” (Yusuf [12]: 8).
Di percakapan berikutnya, di hadapan sang ayah Nabi Ya’qub yang semoga Allah juga menghadiahi keselamatan padanya, juga terekam ucapan saudara-saudara Yusuf:
قَالُواْ لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذاً لَّخَاسِرُونَ
“… Jika dia dimakan serigala, padahal kami kelompok yang kuat (wa nahnu ushbah), kalau demikian tentu kami orang-orang yang rugi,” (Yusuf [12]: 14).
Wa nahnu ushbah (dan kami kelompok yang kuat). Ungkapan ini setidaknya berulang dua kali dalam al-Qur’an saat menceritakan kisah Nabi Yusuf putra Nabi Ya’qub yang sekaligus cucu dari Nabi Ishaq dan seterusnya Nabi Ibrahim alaihim as-salam.
Dalam kaidah bahasa Arab, pengulangan kata (tikrar) baik secara lafazh ataupun makna, mengandung makna penegas (taukid) dari biasanya.
Setidaknya ada hikmah bahwa merasa lebih baik, lebih kuat, lebih hebat, dan sebagainya adalah bagian daripada penyakit hati yang mesti dihindari.
Sebab ia akan menutupi fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan peran orang lain dalam hidupnya.
Bahayanya lagi, iman akan tercoreng dan hidayah jadi terblokir oleh sikap angkuh tersebut. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah ﷺ:
“Tidak akan masuk Surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan.” (Riwayat Muslim).
Dalam lanjutan hadits di atas, Nabi juga menegaskan pengertian kesombongan itu, “Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.“ (Riwayat Muslim).
Soalannya, lalu bagaimana meretas bibit keangkuhan itu? Salah satunya dengan melebur diri dalam ukhuwah dan jamaah bersama kaum Muslimin. Caranya dengan menjadi saudara bagi lainnya karena dorongan keimanan.
Itulah indahnya Islam. Orang sanggup menanggung sakit karena rintihan saudaranya yang lain. Sebagaimana ia serta merta turut bersenang hati dengan bahagia yang dirasakan saudaranya.
Dalam ukhuwah imaniyah, pekerjaan paling utama adalah mengikis habis thagha (rasa lebih) yang bercokol dalam jiwa. Sedapat mungkin ia harus menekan perasaan lebih baik, lebih hebat, lebih tinggi, hingga lebih berjasa dari lainnya.
Sebaliknya, ia senantiasa diingatkan akan kebersamaan, keberjamaahan untuk selalu berbagi kebaikan, manfaat, dan membantu sesama. Sebab hari ini sebagian manusia terbuai mimpi menjadi seorang pemimpin tapi belum tentu ia siap dipimpin. Ia suka berbicara banyak tapi belum pasti sudi mendengar walau sedikit dari nasihat orang lain.
Tak heran, inilah yang bikin kejang orang yang di hatinya ada kebencian yang bersarang. Ada dengki yang mengarang menbuat dia serba meriang, hanya gara-gara persatuan umat Islam makin kencang menggelombang.
Di sisi lain, ungkapan “wa nahnu ushbah” bisa menjadi alarm pengingat diri. Bahwa di antara sebab kaum Muslimin tidak diberi kemenangan oleh Allah, justru ketika anggota pasukan berjumlah banyak dan bersenjata lengkap.
Sayangnya, saat itu mereka langsung dimabuk euforia bayangan kemenangan. Hingga lupa memohon bantuan pertolongan kepada Allah.
Alhasil, Allah berfirman:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolongmu di tempat tempat yang banyak dan di hari Perang Hunain. Ingatlah di saat itu kalian merasa ujub dengan jumlah yang banyak, padahal jumlah yang banyak itu tidak bermanfaat sedikitpun untuk kalian dan menjadi sempitlah bumi yang luas itu bagi kalian dan kalianpun lari ke belakang,” (QS: At-Taubah [9]: 25).*/Masykur
No comments:
Post a Comment