Islamisasi Ilmu Al Attas dalam Aplikasi
Dr. Hamid dengan teliti menghadirkan dan menguraikan pemikiran religio-saintifik Imam al-Ghazali, dari perspektif worldview Islam Prof. al-Attas.
M. Faqih Nidzom
DALAM beberapa kesempatan, saya sering ditanya tentang bagaimana gagasan Islamisasi ilmu itu dioperasionalkan secara praktis. Memang wajar, sebab banyak peneliti yang juga menginginkan langkah kongkret dalam mengislamkan ilmu.
Terkait ini, ada yang menarik dari perkuliahan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi kemarin. Beliau menegaskan bahwa makna gagasan tersebut adalah Islamisasi cara berpikir dan cara pandang terhadap segala sesuatu. Sebab yang dimaksud ilmu pengetahuan adalah apa yang terdapat dalam pikiran, dan bukan yang berada di luar pikiran (al-‘ilmu fi al-sudur la fi al-sutur).
Mengutip Imam al-Ghazzali, Dr. Hamid menyebutkan bahwa ilmu adalah representasi makna sesungguhnya dari realitas, bentuk, mode, kuantitas, substansi, dan esensi sesuatu oleh jiwa yang rasional lagi tenang (al-nafs al-natiqah al-mutma’innah). Jadi subyek atau al-‘alim adalah dia yang mengetahui dan menangkap serta memahami, sedangkan obyek atau al-ma‘lum adalah esensi sesuatu, yang ilmunya terukir di dalam jiwa.
Untuk memperkuatnya Dr. Hamid juga mengutarakan pendapat Prof. al-Attas bahwa ilmu sebagai suatu sifat (sifah) jiwa yang rasional (al-nafs al-natiqah), ketika jiwa itu memahami makna dari suatu obyek pengetahuan, yaitu pada saat orang yang mengetahui itu dapat meletakkan obyek itu secara benar atau menghubungkan secara tepat dengan elemen-elemen kunci dalam pandangan hidupnya. Maka dari itu ilmu pengetahuan berada dalam otak; apa yang berada di luar sana hanyalah obyek pengetahuan (al-ma’lum). Inilah mengapa sering disebutkan bahwa ilmu itu tidak netral atau bebas nilai. Prof. Attas menegaskan: “We do affirm that religion is in harmony with science. But this does not mean that religion is in harmony with modern scientific methodology and philosophy of science. Since there is no science that is free of value, we must intelligently investigate and study the values and judgments that are inherent in, or aligned to, the presuppositions and interpretations of modern science. We must not indifferently and uncritically accept each new scientific or philosophical theory without first understanding its implications and testing the validity of values that go along with the theory.”
Artinya: “Kami tegaskan bahwa agama tidak bertentangan dengan sains. Tetapi ini tidak berarti bahwa agama menyetujui metodologi dan filsafat sains modern. Dikarenakan tidak ada ilmu yang bebas nilai, maka kita harus cerdas meneliti dan mempelajari kesimpulan-kesimpulan dan nilai-nilai yang melekat pada, atau disesuaikan dengan, presuposisi dan interpretasi sains modern. Kita tidak boleh bersikap masa bodoh dan tanpa kritik menerima setiap teori ilmiah atau filosofi yang baru tanpa terlebih dahulu memahami implikasinya dan menguji validitas nilai-nilai yang terselip dalam suatu teori.” (Pernyataan ini di-posting Dr. Syamsuddin Arif di akun FB-nya yang ia dapatkan dari Prof. Wan Daud).
Konsekuensi logis dari pernyataan di atas, jika asumsi dasar dan cara berpikir saintis itu sekular dan dualistis, maka makna realitas yang tertangkap di jiwanya pun akan sekular. Ketika melihat manusia misalnya, hanya dengan epistemologi rasionalisme-empirisisme, maka manusia hanya akan dimaknai sebagai realitas fisik, dan mengkajinya pun dengan metode empiris tadi. Bahkan ujungnya menafikan aspek non-fisik manusia, dan menafikan metode khabar shadiq untuk mengkajinya.
Berbeda jika asumsi dasarnya berdasarkan worldview Islam, maka akan menghasilkan konsep manusia yang lebih komprehensif sebagai makhluk dua dimensional, fisik dan non-fisik. Untuk itu, metode empiris dan non-empiris digunakan sekaligus untuk mengkajinya. Berarti secara integratif semua basis ontologis, epistemologis, dan aksiologis manusia juga dipertimbangkan dalam keilmuan.
Inilah mengapa gagasan ini bergerak pada ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer, dan ia tidak bisa diartikan sebagai Islamisasi teknologi atau produk teknologi. Karena ilmu yang berada dalam pikiran umat Islam kini diwarnai oleh pandangan hidup Barat, maka Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer berarti memasukkan pandangan hidup dan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam ke dalam pikiran umat Islam, untuk menggantikan konsep-konsep Barat yang tidak sejalan dengan Islam.
Jika demikian halnya, maka secara teknis Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer akan berfokus pada Islamisasi asumsi dasar, presupposisi dan metodologi kajian sains dan ilmu-ilmu sosial. Ini sekaligus menjadi jawaban para penanya tentang bagaimana langkah Islamisasi ilmu di wilayah teknis-praktis tadi.
Jika kita telaah, apa yang dilakukan oleh Dr. Hamid dengan kajian konsep Kausalitas-nya bisa dikatakan sebagai contoh langkah praktis Islamisasi ilmu. Sebab penelitian yang awalnya adalah disertasi beliau di ISTAC Malaysia ini berfokus pada pengislaman asumsi dasar, presupposisi dan metodologi salah satu kajian sains alam, khususnya bidang Fisika. Dr. Adi Setia secara teoritis menggambarkan proses operasionalisasinya dalam empat konsep sebagai langkahnya, yaitu; Kerangka Induk penelitian, Konsep Pelindung, Konsep Pemeta, dan Konsep Pengurai.
Dengan langkah tadi, Dr. Hamid dengan teliti menghadirkan dan menguraikan pemikiran religio-saintifik Imam al-Ghazali, dari perspektif worldview Islam Prof. al-Attas. Ini tentu akan menjadi kontribusi yang berharga untuk ilmu-ilmu kealaman. Begitu juga penelitian Dr. Syamsuddin Arif tentang Kosmologi Islam perspektif Ibnu Sina, misalnya.
Begitu juga dengan penelitian di tingkat sarjana, magister dan Program Doktoral di Unida – Gontor yang diarahkan dalam kerangka ini. Di antaranya kajian tentang konsep-konsep kunci dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep alam, konsep manusia, konsep nilai, konsep adab, konsep ilmu, dan lain sebagainya yang relevan dengan keilmuan kontemporer. Kesemuanya itu dikaji dari perspektif ulama Islam muktabar dan otoritatif.
Penelitian-penelitian semacam juga disebut auxiliary hypotheses dalam istilah Imre Lakatos, sebagai konsekuensi paradigma Islamisasi ilmu yang dibangun. Disebut demikian karena kesemuanya merupakan karya-karya penopang yang mem-breakdown pada wilayah praktis-aplikatif dalam bentuk metode penelitian, terutama tawaran perspektif baru dalam ilmu pengetahuan kontemporer.
Maka dengan begitu, seperti disebut Dr. Mohammad Muslih dengan perspektif Filsafat Ilmunya, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer telah beranjak dan “naik tingkat” dari yang dulu berupa isu, wacana dan gagasan, kini telah menjadi paradigma keilmuan. Wallahu A’lam.*
Penulis mahasiwa program S3 UNIDA – Gontor
M. Faqih Nidzom
DALAM beberapa kesempatan, saya sering ditanya tentang bagaimana gagasan Islamisasi ilmu itu dioperasionalkan secara praktis. Memang wajar, sebab banyak peneliti yang juga menginginkan langkah kongkret dalam mengislamkan ilmu.
Terkait ini, ada yang menarik dari perkuliahan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi kemarin. Beliau menegaskan bahwa makna gagasan tersebut adalah Islamisasi cara berpikir dan cara pandang terhadap segala sesuatu. Sebab yang dimaksud ilmu pengetahuan adalah apa yang terdapat dalam pikiran, dan bukan yang berada di luar pikiran (al-‘ilmu fi al-sudur la fi al-sutur).
Mengutip Imam al-Ghazzali, Dr. Hamid menyebutkan bahwa ilmu adalah representasi makna sesungguhnya dari realitas, bentuk, mode, kuantitas, substansi, dan esensi sesuatu oleh jiwa yang rasional lagi tenang (al-nafs al-natiqah al-mutma’innah). Jadi subyek atau al-‘alim adalah dia yang mengetahui dan menangkap serta memahami, sedangkan obyek atau al-ma‘lum adalah esensi sesuatu, yang ilmunya terukir di dalam jiwa.
Untuk memperkuatnya Dr. Hamid juga mengutarakan pendapat Prof. al-Attas bahwa ilmu sebagai suatu sifat (sifah) jiwa yang rasional (al-nafs al-natiqah), ketika jiwa itu memahami makna dari suatu obyek pengetahuan, yaitu pada saat orang yang mengetahui itu dapat meletakkan obyek itu secara benar atau menghubungkan secara tepat dengan elemen-elemen kunci dalam pandangan hidupnya. Maka dari itu ilmu pengetahuan berada dalam otak; apa yang berada di luar sana hanyalah obyek pengetahuan (al-ma’lum). Inilah mengapa sering disebutkan bahwa ilmu itu tidak netral atau bebas nilai. Prof. Attas menegaskan: “We do affirm that religion is in harmony with science. But this does not mean that religion is in harmony with modern scientific methodology and philosophy of science. Since there is no science that is free of value, we must intelligently investigate and study the values and judgments that are inherent in, or aligned to, the presuppositions and interpretations of modern science. We must not indifferently and uncritically accept each new scientific or philosophical theory without first understanding its implications and testing the validity of values that go along with the theory.”
Artinya: “Kami tegaskan bahwa agama tidak bertentangan dengan sains. Tetapi ini tidak berarti bahwa agama menyetujui metodologi dan filsafat sains modern. Dikarenakan tidak ada ilmu yang bebas nilai, maka kita harus cerdas meneliti dan mempelajari kesimpulan-kesimpulan dan nilai-nilai yang melekat pada, atau disesuaikan dengan, presuposisi dan interpretasi sains modern. Kita tidak boleh bersikap masa bodoh dan tanpa kritik menerima setiap teori ilmiah atau filosofi yang baru tanpa terlebih dahulu memahami implikasinya dan menguji validitas nilai-nilai yang terselip dalam suatu teori.” (Pernyataan ini di-posting Dr. Syamsuddin Arif di akun FB-nya yang ia dapatkan dari Prof. Wan Daud).
Konsekuensi logis dari pernyataan di atas, jika asumsi dasar dan cara berpikir saintis itu sekular dan dualistis, maka makna realitas yang tertangkap di jiwanya pun akan sekular. Ketika melihat manusia misalnya, hanya dengan epistemologi rasionalisme-empirisisme, maka manusia hanya akan dimaknai sebagai realitas fisik, dan mengkajinya pun dengan metode empiris tadi. Bahkan ujungnya menafikan aspek non-fisik manusia, dan menafikan metode khabar shadiq untuk mengkajinya.
Berbeda jika asumsi dasarnya berdasarkan worldview Islam, maka akan menghasilkan konsep manusia yang lebih komprehensif sebagai makhluk dua dimensional, fisik dan non-fisik. Untuk itu, metode empiris dan non-empiris digunakan sekaligus untuk mengkajinya. Berarti secara integratif semua basis ontologis, epistemologis, dan aksiologis manusia juga dipertimbangkan dalam keilmuan.
Inilah mengapa gagasan ini bergerak pada ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer, dan ia tidak bisa diartikan sebagai Islamisasi teknologi atau produk teknologi. Karena ilmu yang berada dalam pikiran umat Islam kini diwarnai oleh pandangan hidup Barat, maka Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer berarti memasukkan pandangan hidup dan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam ke dalam pikiran umat Islam, untuk menggantikan konsep-konsep Barat yang tidak sejalan dengan Islam.
Jika demikian halnya, maka secara teknis Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer akan berfokus pada Islamisasi asumsi dasar, presupposisi dan metodologi kajian sains dan ilmu-ilmu sosial. Ini sekaligus menjadi jawaban para penanya tentang bagaimana langkah Islamisasi ilmu di wilayah teknis-praktis tadi.
Jika kita telaah, apa yang dilakukan oleh Dr. Hamid dengan kajian konsep Kausalitas-nya bisa dikatakan sebagai contoh langkah praktis Islamisasi ilmu. Sebab penelitian yang awalnya adalah disertasi beliau di ISTAC Malaysia ini berfokus pada pengislaman asumsi dasar, presupposisi dan metodologi salah satu kajian sains alam, khususnya bidang Fisika. Dr. Adi Setia secara teoritis menggambarkan proses operasionalisasinya dalam empat konsep sebagai langkahnya, yaitu; Kerangka Induk penelitian, Konsep Pelindung, Konsep Pemeta, dan Konsep Pengurai.
Dengan langkah tadi, Dr. Hamid dengan teliti menghadirkan dan menguraikan pemikiran religio-saintifik Imam al-Ghazali, dari perspektif worldview Islam Prof. al-Attas. Ini tentu akan menjadi kontribusi yang berharga untuk ilmu-ilmu kealaman. Begitu juga penelitian Dr. Syamsuddin Arif tentang Kosmologi Islam perspektif Ibnu Sina, misalnya.
Begitu juga dengan penelitian di tingkat sarjana, magister dan Program Doktoral di Unida – Gontor yang diarahkan dalam kerangka ini. Di antaranya kajian tentang konsep-konsep kunci dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep alam, konsep manusia, konsep nilai, konsep adab, konsep ilmu, dan lain sebagainya yang relevan dengan keilmuan kontemporer. Kesemuanya itu dikaji dari perspektif ulama Islam muktabar dan otoritatif.
Penelitian-penelitian semacam juga disebut auxiliary hypotheses dalam istilah Imre Lakatos, sebagai konsekuensi paradigma Islamisasi ilmu yang dibangun. Disebut demikian karena kesemuanya merupakan karya-karya penopang yang mem-breakdown pada wilayah praktis-aplikatif dalam bentuk metode penelitian, terutama tawaran perspektif baru dalam ilmu pengetahuan kontemporer.
Maka dengan begitu, seperti disebut Dr. Mohammad Muslih dengan perspektif Filsafat Ilmunya, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer telah beranjak dan “naik tingkat” dari yang dulu berupa isu, wacana dan gagasan, kini telah menjadi paradigma keilmuan. Wallahu A’lam.*
Penulis mahasiwa program S3 UNIDA – Gontor
No comments:
Post a Comment