Syiah Zaidiyah, Dulu dan Sekarang
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU mewanti-wanti kaum Nahdiyin agar menjauhi Syiah Zaidiyah
DALAM sebuah diskusi tentang Syiah, seorang peserta dengan percaya dirinya mengatakan bahwa tidak semua Syiah berbeda dengan Ahlu Sunnah. Menurutnya, ada Syiah yang dekat dengan Ahlu Sunnah baik dalam aqidah maupun syariat, yaitu Syiah Zaidiyah.
Pada dasarnya setiap firqah atau mazhab dalam perjalanannya bisa tetap dan bisa berubah. Syiah Zaidiyah termasuk firqah yang mengalami perubahan.
Dalam sejarahnya, Syiah Zaidiyah didirikan oleh Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Ia salah satu Imam Ahlul Bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib dari jalur Husain. Ulama yang lahir antara tahun 75–80 ini hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah.
Ia besar dalam lingkungan para ahli agama dari kalangan Alawiyin seperti Imam Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan sepupu ayahnya. Juga mengambil ilmu dari kakaknya, Imam Muhammad Al-Baqir, yang dikenal sebagai seorang ahli fiqih dari Ahlul Bait.
Yang menarik, ia tidak hanya bergaul dengan kalangan Alawiyin saja tetapi juga dengan semua kalangan. Maka wajar kalau muridnya banyak yang bukan dari kalangan Alawiyin seperti Imam Abu Hanifah dan Sufyan Al-Tsauri.
Tentang kecerdasannya, Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya” (Khoiruddin Al-Zirkily, Al-A’lam).
Meski Imam Zaid dimasukkan sebagai salah satu tokoh Syiah, namun pandangannya sangat berbeda dengan Syiah lainnya. Umumnya kelompok Syiah menempatkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Tetapi Imam Zaid sebaliknya, menentang pendapat tersebut.
Ketika itu sekelompok orang Syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar berkata,“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakr dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakr dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,”Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Sejak saat itulah istilah ‘rafidhah’ digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang Abu Bakr dan Umar. Dan nama ‘zaidiyah’ digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.(Ali bin Ibrahim Al-Halabi, Al-Sirah Al-Halabiyah (2/49).
Karena faktor inilah mazhab ini diterima oleh para ulama Ahlu Sunnah. Mereka sama sekali tidak menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khathtab. Hanya saja lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.(Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami).
Demikian juga dalam masalah nikah mut’ah (kawin kontrak) yang umumnya diakui oleh kalangan Syiah. Zaidiyah ini malah menentang dan tidak membenarkannya sebagaimana Ahlu Sunnah.
Meski secara ushul dekat dengan Ahlu Sunnah, namun beberapa hal cenderung ke Mu’tazilah.
Perbedaan dengan Ahlu Sunnah terjadi dalam masalah furu’iyah seperti mereka tidak mengakui masyru’iyah al-mashu ‘ala al-khuffain (mengusap dua khuf). Juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita kitabiyah, baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan madzhab fiqih Ahli Sunnah membolehkan. Mereka mengharamkan sembelihan selain muslim, sedangkan madzhab fiqih Ahlu Sunnah membolehkan memakan sembelihan Ahli Kitab. (Al-Hafnawi, Al-Fath Al-Mubin fi Ta’riif Musthalah Al-Fuqaha’ wa Al-Ushuliyiin).
Bergeser ke Syiah Imamiyah
Pemikiran Imam Zaid bin Ali dibukukan oleh muridnya bernama Abu Khalid bin Amr bin Khalid Al-Wasithy. Riwayat Haditsnya disebut dengan Majmu’ Al-hadits, sedangkan riwayat fiqih-nya (fatwa dan ijtihad) disebut dengan Majmu’ Al-Fiqh. Kedua kitab induk ini disebut oleh kebanyakan ulama Zaidiyah dengan istilah Al-Majmuu’ Al-Kabiir. Kitab inilah yang akhirnya menjadi rujukan Syiah Zaidiyah. (Muhamad Abu Zahra, Tarihk al-Madzahib al-Islamiyah: 657-658).
Pembahasan kitab ini sama dengan fiqih Mazahib al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) di kalangan Ahlu Sunnah. Karenanya para ulama Ahlu Sunnah menilai bahwa fiqih Zaidiyah hampir sama dengan fikih Mazahib al-Arba’ah, khususnya dalam masalah ibadah dan masalah-masalah yang fardlu.
Dalam melakukan ijitihad, Imam Zaid mendasarkan pada pada al-Quran, al-Sunnah, qiyas dan akal. Juga memasukan istihsan, dan mashlahah al-mursalah kedalam pembahasan qiyas. (Muhamad Abu Zahra, Tarihk al-Madzahib al-Islamiyah: hal.663).
Dalam menerima Hadits, mazhab ini tidak diskriminatif. Mereka tidak mempermasalahkan periwayatan Hadits dari semua shahabat, walaupun tidak mendukung Ali sebagai khalifah. Berbeda dengan madzhab Syiah Imamiyah yang tidak mau menerima riwayat selain dari kalangannya sendiri. Karenanya wajar jika banyak pendapat fiqih Syiah Imamiyah berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah, bahkan dengan madzhab Zaidiyah sekalipun.
Setelah Imam Zaid meninggal metode ini diteruskan oleh murid-muridnya, dan mereka menyebutnya Ushul Aimah al-Zaidiyah atau Ushul al-Fiqh Zaidiyah.
Ijtihad dalam mazhab ini tidak terbatas dilakukan oleh keluarga Husain bin Ali bin Abi Thalib, tetapi juga membolehkan dari keluarga Hasan bin Ali bin Abi Thalib. (Abu Zahra, hal. 667).
Intinya, pintu ijitihad dalam mazhab ini sangat terbuka.
Ulama-ulama yang terkenal dari Mazhab Zaidiyah antara lain: Hasan bin Shalih bin Hay (168 H), Hasan bin Zaid bin Muhammad yang digelari dengan Imam Da’i ila al-Haq (imam pengajak kepada kebenaran) yang juga menjadi raja di Tabaristan pada tahun 250-270 H. Qasim bin Ibrahim al-Alawi dan cucunya al-Hadi Yahya bin Husain bin Qasim, Abu Ja’far al-Muradi (Subhi al-Mahshani, Falsafah al-Tasyri Fi al-Islam: 62).
Selain itu ada Imam Son’ani pengarang kitab Subulus Salam dan muridnya Imam Syaukani dengan karyanya Nailul Author. Kedua kitab tersebut menjadi pegangan di kalangan Ahlu Sunnah.
Pengikut Zaidiyah tersebar di Hijaz, Iraq, Yaman dan sebagian kecil di negeri-negeri Muslim.
Sayangnya, pemikiran ulama mutaqodiminnya tidak diikuti oleh penerusnya. Terbukti pada abad 20-an mereka lebih memilih mendekat ke Syiah Imamiyah daripada ke Ahlu Sunnah.
Inilah yang membuat KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU mewanti-wanti kaum Nahdiyin agar menjauhi Syiah Zaidiyah. Hal ini ditegaskan dalam karyanya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.
Di ketiga kitab itu, Kyai Hasyim sangat gamblang memberikan kritik-kritik terhadap ajaran Syi’ah. Menurutnya, baik Syi’ah Imamiyah maupun Zaidiyyah adalah mazhab yang sesat dan tidak benar.*
Penulis, dosen STAIL Surabaya dan Sekretaris MIUMI Jawa Timur
No comments:
Post a Comment