Izzah Politik dan Militer Khilafah Umawiyah
Jika umat Islam mau mendapatkan kembali izzahnya, maka wajib memperkuat sektor politik dan militer
MEMBICARAKAN izzah (kekuatan, kehormatan, kemuliaan) Dinasti Umawiyah (41-132 H/661-750 M), maka sisi politik dan militer menjadi yang paling menonjol. Pada masanya, Islam bukan saja mampu menciptakan stabilitas keamanan melalui kekuatan militer yang disegani dunia, tapi juga memperlus hegemoni wilayahnya menembus Asia, Afrika bahkan Eropa. Di sisi lain, meski sedikit, dinasti ini menjadi embrio bagi kemajuan peradaban di masa Abbasiyah.
Era ini diawali dengan peristiwa yang cukup dramatis. Dua kubu pasukan besar umat Islam (Mu’awiyah Vs Hasan) nyaris bertempur pada 41 Hijriah akibat masalah kekuasaan. Untungnya, Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang waktu itu sebagai pengganti resmi Ali Radhiyallahu ‘anhu, berbesar hati menyerahkan kekuasaannya secara bersyarat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu demi persatuan umat dan tidak terjadi pertumpahan darah.
Peristiwa ini diabadikan sejarah dengan ‘āmu al-jamā’ah’ [tahun persatuan] karena mereka bersama-sama sepakat tunduk pada satu pemimpin (Ibnu katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, VI/244). Dengan demikian, konflik internal yang hampir saja meledak, bisa diredam dengan damai dan bijak.
Tidak seperti pendahulunya, sistem pada daulah ini mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga banyak menuai kritik dari para oposisi. Sistem kekuasaan yang sebelumnya –empat khalifah- menggunakan sistem syura umat Islam, diubah menjadi sistem monarki.
Baca: Peradaban Islam, Sains, dan Khilafah [1]Karena itulah, meski Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berikut pemimpin setelahnya masih menggunakan idiom “khalifah” tetap saja daulah ini subtansinya adalah dinasti. Pusat pemerintahan pun diganti. Kalau sebelumnya di Madinah (pada masa nabi, Abu Bakar, Umar dan Utsman) dan Kufah (pada masa Ali), pada masa Umawiyah diganti ke Damaskus.
Pada masa dinasti ini, hegemoni politik, militer, dan pengaruh di luar jazirah Arab begitu mencengangkan. Meski pada masanya ada pemberontakan-pemberontakan dari ‘alawiyin (anak keturunan atau simpatisan Ali bin Abi Thalib) dan Khawarij, namun itu bisa diatasi dengan baik. Karena itu, selama sembilan puluh dua tahun kekuasaan Dinasti Umawiyah, telah mampu menciptakan stabilitas keamanan yang sangat mengesankan.
Dinasti ini dipimpin oleh 14 khalifah: Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Mu’awiyah, Mu’awiyah bin Yazid, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul ‘Aziz, Yazid bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, Walid bin Yaziz, Yazid bin Walid Ibrahim bin al-Walid, Marwan bin Muhammad (Al-Kahiri, 2013: 189, 190).
Di antara khalifah kenamaan dari era ini seperti: Pertama, Mu’awiyah sang negarawan mumpuni, administator ulung yang membangun basis keamanan kuat dan melanjutkan gerakan futuhat. Kedua, Abdul Malik bin Marwan yang berhasil mengembalikan integritas wibawa dan kekuasaan, menundukkan tentara Romawi, menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi, pencetakan uang dan pembangunan masjid. Ketiga, Walid bin Abdul Malik yang mampu memperluas wilayah sampai ke Asia Tengah, India bahkan Spanyol. Keempat, Umar bin Abdul ‘Aziz yang mampu mensejahterakan dan menegakkan keadilan. Sedemikian adilnya, pada saat itu sampai susah mencari orang yang menerima infak (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala, V/131).
Kelebihan dinasti Mu’awiyah di antaranya yang paling menonjol adalah: Pertama, militer yang kuat sehingga mampu menjaga stabilitas keamanan. Kedua, kekuatan politik yang cemerlang. Ketiga, memperluas gerakan futuhat (pembebasan negeri). Ketiga hal itulah yang menjadi faktor kemajuan Dinasti Umawiyah sehingga mampu menciptakan kesejahteraan pada rakyatnya.
Adapun kekurangan yang paling nampak dari dinasti ini adalah terlampau fokus pada gerakan pembebasarn dan militer sehingga ranah-ranah sains dan peradaban kurang tersentuh dengan baik.Pada masa dinasti ini memang gerakan peradaban yang ditandai dengan kuatnya sektor keilmuan terbilang sangat minim. Satu-satunya yang menonjol adalah dalam bidang sya’ir.
Meski demikian, bukan berarti embrio peradaban tidak ada. Misalnya, dalam bidang ilmu pengobatan dan kimia, ada sosok Khalid yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang kimia, kedokteran dan astrologi (Saefuddin Buchari, 2009: 72).
Tentu ini menjadi embrio gerakan ilmiah yang berkembang pesat di masa dinasti Abbasiyah. Di bidang arsitektur misalnya, Masjid Umawi di Damaskus kemudian monumen Dome of The Rock (Quba ash Shahrah) di Jerusalem (Baitul Maqdis) adalah contoh adiluhung yang menggamarkan capaian Dinasiti Umawiyah di bidang arsitektur.
Bagaimanapun kuatnya dinasti ini, sebagaimana daulah-daulah lainnya juga mengalami kemunduran hingga mengakibatkan kejatuhannya. Hal ini diistilahkan al-Qur`an sebagai sunnah tadāwul (QS. Ali Imran [3] : 140) yang bermakna: hukum penggiliran kekuasaan.
Ali Muhammad Shallabi (2008: II, 568-606) menyebutkan ada tiga belas faktor kejatuhan Dinasti Umawiyah: Pertama, pemberontakan atas gerakan pembaharuan Umar bin Abdul ‘Aziz. Kedua, kezaliman. Ketiga, kemewahan dan terjerembab pada kesenangan hawa nafsu. Keempat, mengenyampingkan pilihan jalur musyawarah. Kelima, sistem peralihan kekuasaan. Keenam, pemberontakan-pemberontakan yang melawan dinasti seperti: pemberontakan Husain bin Ali, Zaid bin Ali bin Husan, dan orang-orang Khawarij. Ketujuh, fanatisme.
Kedelapan, mawali yang berperan banyak di pemerintahan. Mawali (yang kebanyakan non-Arab ini cendrung mendapat perlakuan diskriminatif). Kesembilan, gagal mewujudkan orientasi peradaban. Kesepuluh, konflik internal perebutan kekuasaan. Kesebelas, gagal membentuk tentara disiplin yang loyal terhadap pemerintah. Keduabelas, gagalnya Marwan bin Muhammad dalam menyelamatkan dinasti. Ketiga belas, menyebarnya dakwah (propaganda) Abbasiyah yang kemudian memberontak dan mendirikan dinasti baru.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, pernyataan Hudari Bik ini bisa dijadikan gambaran penting dalam menilai dinasti ini, “Yang paling mengagumkan dari dinasti raksasa ini adalah meskipun diterpa berbagai bencana, fitnah, dan pemberontakan, ia tidak tampak lemah di hadapan umat-umat lain, kecuali pada kesempatan yang sangat jarang sekali.” (Qasim A. Ibrahim & Ahmad Shalih, 2014: 237).
Dari dinasti ini bisa diambil pelajaran: jika umat Islam mau mendapatkan kembali izzahnya, maka wajib memperkuat sektor politik dan militer. Di samping itu, belajar dari kekurangan dinasti ini, kita harus menguatkan perhatian pada sektor keilmuan untuk kebangkitan peradaban Islam.*/Mahmud Budi Setiawan
No comments:
Post a Comment