Jejak Baru di Pulau Buru
Ada tahanan remaja yang terus menangis selama berhari-hari sejak hari pertama tiba di Pulau Buru. Ia tak mau makan, tidak juga mau tidur. "Kerjaannya menangis saja."
Pelabuhan Namlea, Kabupaten Buru, Januari 2019.
APA yang ada di benak Anda ketika mendengar nama Pulau Buru?
Ya, pulau tempat pembuangan para tahanan politik –atau tapol– yang dituding terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejarah mencatat, dalam jeda 1969 hingga 1976, setidaknya ada 12 ribu tapol yang dibuang di pulau ini. Tokoh kiri Pramoedya Ananta Toer, salah satunya. Ia dibuang ke pulau ini pada tahun 1969 dan baru dibebaskan pada tahun 1979.
Dulu, pulau dengan panjang garis pantai 427,2 km ini amat terpencil. Sulit sekali orang menjangkaunya. Begitu juga orang yang sudah terlanjur berada di pulau ini, sulit keluar. Butuh waktu berhari-hari mengarungi lautan untuk sampai ke pulau ini.
Pulau ini memiliki luas sekitar 8.473 km persegi, atau kira-kira satu setengah kali luas Pulau Bali. Di gugusan pulau-pulau di wilayah Maluku, Pulau Buru menempati luas ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara, dan Pulau Seram di Maluku Tengah.
Alam pulau ini merupakan gabungan antara hutan, padang rumput yang diselingi semak belukar (savana), dipadu dengan pegunungan dan perbukitan yang saling bersambungan sehingga membentuk benteng yang sangat pas bila dijadikan “penjara alam”.
Kapal tahanan pertama yang diberangkatkan ke pulau ini mengangkut lebih dari 800 tapol. Satu di antaranya adalah Suradi, laki-laki paruh baya asal Yogyakarta.
Saat berbincang-bincang dengan usai menunaikan shalat Jumat di Pulau Buru akhir Januari lalu, Suradi bercerita bahwa dulu Pulau Buru laksana penjara yang tak bertembok. Isinya hutan belantara.
“Jangankan jalan besar, jalan setapak pun gak ada,” kenang Suradi. Selama bertahun-tahun ia tak bisa keluar dari pulau ini, apalagi pulang menemui keluarganya di Yogyakarta.
Pekerjaan para tahanan sehari-hari, cerita Suradi, adalah membabat hutan, alang-alang, membangun jalan dan bendungan. “Kadang-kadang kami melakukannya dengan tangan kosong,” tutur Suradi lagi.
Cerita yang sama juga diungkap Diro Utomo, kakek berusia 83 tahun asal Boyolali, Jawa Tengah, yang dulu juga dibuang di pulau ini. “Kami dituduh tanpa pernah diadili. Kami dibuang ke pulau ini, disuruh kerja dari pagi sampai malam,” cerita Diro, juga pada akhir Januari lalu.
Banyak tahanan yang merasa tertekan selama dalam masa pembuangan. Bahkan, kata Diro, ada tahanan remaja yang terus menangis selama berhari-hari sejak hari pertama tiba. Ia tak mau makan, tidak juga mau tidur. “Kerjaannya menangis saja.”
Pada Desember 1977 pemerintah membebaskan para tahanan politik ini. Mereka dipersilakan pulang ke kampungnya masing-masing. Namun, bagi yang ingin menetap di Pulau Buru, pemerintah menjanjikan rumah sederhana serta tanah garapan kepada mereka. Pilihan kedua inilah yang diambil Suradi, Diro, dan Harto Wiyono, kakek tujuh cucu asal Solo, Jawa Tengah.
Sayangnya, fasilitas rumah dan lahan yang dijanjikan tersebut tak sama dengan apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Rumah yang mereka terima, menurut Harto, sama sekali tak layak huni. Lahan yang mereka dapatkan, bukan berstatus hak milik, hanya hak garap.
“Saya dan kawan-kawan kecewa. Kami diperlakukan seperti para transmigran. Padahal kami sudah lama ikut membangun pulau ini,” cerita pria berusia 74 tahun ini.
Meski kecewa, Harto, Diro, dan Suradi tetap memilih tinggal di pulau ini. Kebanyakan tapol yang dulu dibuang ke Pulau Buru memang memilih pulang ke kampung halamannya masing-masing. Hanya sebagian kecil yang memilih menetap. Mereka tersebar di beberapa daerah di Pulau Buru. Mereka menikah dan kini telah memiliki anak dan cucu.
Ya, pada akhirnya, Harto, Diro, Suradi, dan rekan-rekannya bisa bertahan di Pulau Buru. Mereka berusaha menghapus jejak-jejak lama yang begitu kelam di pulau ini, menggantinya dengan jejak-jejak yang lebih terang.*
No comments:
Post a Comment