Peran Wanita dalam Sirah Nabawiyah
Ibnu Hajar (di Fath al-bari) yang mengusulkan agar ada bagi wanita waktu khusus untuk ta`lim
SEBELUM kedatangan Islam, wanita hampir tak memiliki peran. Keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Abu al-Hasan al-Nadawi, ulama kenamaan asal India, dalam buku masyhurnya Mādza Khasira al-`Ālāma binkhiṭāti al-Muslimīn (h. 55) menggambarkan kondisi wanita di masa memilukan itu: “Pada masyarakat jahiliah perempuan rentan (mendapat perlakuan) tak adil dan zalim, hak-haknya dirampas, hartanya diambil, tak mendapat warisan, setelah talak atau ditinggal mati suaminya mereka dihalangi menikah dengan lelaki yang disukai, serta dijadikan sebagai warisan sebagaimana barang atau hewan.”
Saat Islam datang, kegelapan yang menyelimuti wanita menjadi sirna. Mereka seakan terlahir kembali. Hak-haknya dipenuhi, keberadaannya diperhitungkan, bahkan memiliki peran-peran yang tidak kecil. Pada tulisan ini akan dibahas peran wanita dalam sirah nabawiah.
Ada dua fase penting yang menjadi latar untuk menjelaskan peran mereka di masa nabi. Pertama, Fase Makkah. Kedua, Fase Madinah. Bila ditinjau dari sirah nabawiah, pada kedua fase tersebut, wanita sangat berperan aktif. Berikut ini –tanpa bermaksud membatasi- ada beberapa contoh wanita yang akan diangkat:
Fase Makkah
Pada fase Makkah beberapa wanita yang bisa dijadikan contoh adalah:
Pertama, Khadijah binti Khuwailid: di samping sebagai wanita pertama yang masuk Islam, ia juga memainkan peran penting sebagai istri shalihah yang mampu menjadi pendukung (materi maupun rohani), penentram jiwa, penenang hati, mitra dialog asyik, serta pendidik hebat bagi anak-anak nabi. Kehidupannya adalah contoh ideal bagi setiap Muslimah yang berperan sebagai seorang istri.
Kedua, Samiyyah : Ibunda Ammar bin Yasir memerankan peran penting sebagai wanita mujahidah pertama yang dengan ketabahan, kesabaran, dan keyakinannya mengantarkannya pada kemulian syahid. Ia adalah wanita Muslim pertama yang mati fi sabilillah. Darinya Muslimah bisa belajar kemulian wanita bukan berada pada kedudukan dan harta, tetapi pada seberapa tabah memperjuangkan keimanan.
Ketiga, Asma binti Abu Bakar, Dzun Nithaqaini: Berperan penting dalam suksesi hijrah nabi. Ia adalah sosok wanita tangguh. Dalam kondisi hamil tua, menempuh jarak perjalanan sekitar delapan kilo dari Makkah sampai gua Tsur, mendaki gunung, bolak-balik sendirian selama tiga hari berturut-turut untuk mengantarkan bekal makan dan minum, penjaga rahasia, serta menyampaikan kabar terkini terkait perkembangan Makkah. Sosok sepertinya sangat layak untuk diteladani.
Keempat, Istri `Amir bin Rabi`ah: Di samping ikut hijrah ke Habasyah, ia juga memiliki firasat kuat tentang keislaman Umar bin Khattab yang waktu itu masih kafir. Kelima, Ummu Salamah dan Ruqayyah binti Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam: dengan kesabaran tinggi ia mampu berperan baik dalam hijrah ke Habasyah. Dengan begitu telaten dan sabar mereka mampu menjadi teladan bagi setiap Muslimah yang menghendaki kemulian.
Tak hanya itu, Keenam, Fathimah binti Khattab: Wanita tabah dan pemberani, saudara Umar yang mempu mempertahankan keimanannya. Ia berperan besar dalam mengajak suami serta saudaranya dalam memeluk Islam. Sebagai wanita ia pemberani dan gigih dalam perjuangan.
Fase Madinah
Fase Madinah juga tak sepi dari peran wanita. Sebagai contoh: Pertama, Aisyah binti Abu Bakar: Di samping sebagai seorang istri ia juga berperan aktif dalam bidang kelimuan. Hafalan yang begitu kuat memungkinkannya menceritakan peristiwa yang ia alami sejak di Makkah hingga ihwal Rasulullallah ﷺ. Hadits yang diriwayatkan begitu banyak (2210 hadits. Baca: Taisir Musṭalah al-Hadits, 107), pemahaman terkait fikih begitu mendalam, kemampuanya dalam memahami, menganalisa, dan mengambil faidah dari teks al-Qur`an dan Hadits begitu tinggi.
Kedua, Pada Perang Khandaq mereka menyiapkan makanan bagi para sahabat yang sedang menggali parit. Umayyah menceritakan bahwa ada perempuan muda dari Bani Ghifar yang turut serta dalam Perang Khaibar, ia bertugas mengobati luka dan memberi bantuan sesuai kadar kemampuan.
Ketiga, Ummu `Imarah Nasibah binti Ka`ab al-Maziniyah: Saat darurat berpartisipasi dalam medan jihad perang. Dalam perang Uhud ia turut berperang melindungi Rasulullah. Ia bertugas memberi minum para mujahid, bahkan sempat berperang. Dhimrah bin Sa`id –cucu Nasibah- pernah menghitung lukanya sekitar dua belas atau tiga belas luka tusukan (Sirah Nabawiah, Muhammad Shallabi).
Keempat, Ummu Salamah: Pasca perjanjian Hudaibiah berperan penting dalam memberikan pendapatnya kepada nabi terkait para sahabat yang tak segera menjalankan titah nabi. Di sini wanita juga berperan sebagai pihak yang bisa diajak musyawarah dengan suami untuk memecahkan masalah.
Keenam, ada riwayat dari Bukhari dan Muslim yang menjelaskan adanya seorang wanita (ada yang berpendapat: Ummu Sulaim, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar di Fath al-bari) yang mengusulkan agar ada bagi wanita waktu khusus untuk ta`lim. Para istri nabi pun berperan efektif dalam menjelaskan ihwal internal nabi yang perlu diketahui oleh umat. Mereka berperan aktif dalam pemberdayaan wanita.
Bila dirangkum, beberapa peran wanita dalam sirah nabawiah ialah: sebagai istri shalihah, penyokong dakwah, pendidik bagi anak-anaknnya, jihad di medan laga sesuai dengan bidang yang dikuasai, mitra musyawarah suami, dan pemberdayaan wanita sesuai dengan kodratnya. Demikianlah salah satu gambaran penting mengenai peran wanita di sirah nabawiah. Semoga setiap wanita Muslimah, mampu meneladani peran mereka.
Sebagai penutup perlu kiranya dibaca kembali hadits nabi: “Wanita adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi). Mereka sama-sama memiliki peluang sama dalam berperan aktif mengaktualisasikan ketaatan pada Allah sesuai dengan kodrat masing-masing. Lantas apa peran kita?
No comments:
Post a Comment