Sahabat Nabi yang Monogami
Yang memilih poligami atau yang memilih satu, semua juga menggunakan dalil
TIDAK dipungkiri dalam catatan sejarah mengenai fakta poligami di kalangan sahabat Nabi. Sebagai contoh, empat Khalifah pasca Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), dikenal beristri lebih dari satu (ta’addud/poligami). Namun, ada juga sahabat-sahabat yang sepanjang hayatnya monogami.
Pertama, Abu Darda. Selama hidupnya, sahabat yang dikenal dengan ahli ibadah ini setia dengan satu istri. Beliau baru nikah lagi pasca wafat istrinya dengan wanita yang digelari sebagai Ummu Darda Sughra.
Di kalangan sahabat, beliau makruf sebagai sosok yang bertakwa, hati-hati, sibuk dengan ilmu dan al-Qur`an. Dulunya, sebelum masuk Islam, beliau adalah seorang saudagar. Kemudian, ketika mendapat hidayah Islam, beliau meninggalkan aktivitas lamanya, untuk kemudian fokus pada ibadah.
Kedua, Bilal bin Rabbah. Dalam catatan sejarah, beliau menikah dengan saudari Abdurrahman bin Auf: Halah binti Auf. Meski istrinya tak memiliki anak dari perkawinan ini, Bilal tidak poligami atau mentalaknya. Kondisinya tetap demikian sampai Bilal meninggal dunia saat berjihad di Bumi Syam.
Ketiga, Abu Hurairah. Semasa hidup Nabi, beliau tidak menikah. Aktivitasnya sehari-hari lebih difokuskan pada menuntut ilmu kepada Nabi. Hanya saja, pasca wafatnya Nabi, beliau menikah dengan Surrah binti Ghazwan, saudari Utbah bin Ghazwan. Ini seperti yang dicatat dalam “Siyar A’lam an-Nubala” karya adz-Dzahabi dan “al-Ishaabah” karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Keempat, Ibnu Mas’ud. Selama hidupnya, tidak pernah beristri lain selain Zainab ats-Tsaqafiyah. Di kalangan sahabat, beliau dikenal sebagai ulama yang alim di bidang fikih. Sampai-sampai ada ungkapan, “Carilah ilmu pada empat sahabat: Uwaimir Abi Darda, Salman al-Farasi, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Salam.”
Kelima, Handhalah bin Abi Amir. Beliau menikah dengan Jamilah binti Abdillah bin Ubai bin Salul. Beliau turut serta berjihad di Pertempuran Uhud. Menariknya, saat instuksi jihad dikumandangkan, beliau waktu itu sedang menikmati malam pertama. Belum sempat mandi junub, ia segera bergabung di medan jihad. Akhirnya beliau gugur syahid. Bahkan malaikat pun turut memandikannya karena belum sempat mandi junub.
Dan masih ada yang lainnya, seperti: Julaibib. Bahkan sosok Ali bin Abi Thalib pun, sepanjang hayat Fathimah binti Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermonogami. Demikian juga kalau mau berkaca pada Nabi Muhammad sendiri, yang selama hidup dengan Khadijah tak pernah poligami. Data-data demikian perlu diungkap agar umat bisa adil dalam menilai poligami.
Pada faktanya, sebelum kedatangan Islam, poligami sudah menjadi tradisi. Islam justru memberikan batas proporsional dan syarat-syarat yang ketat bagi orang yang ingin melakukannya. Persoalannya bukan pada poligami atau tidak, namun syarat ketentuan itu sudah memenuhi atau belum.
Dengan demikian, bagi yang hendak berpoligami tidak menggampangkannya dengan alasan sunnah Nabi dan sahabat (padahal misalnya, alasannya sekadar syahwat). Padahal, ada juga sahabat yang tak berpoligami. Kalaupun berpoligami, tentu syarat dan ketentuan berlaku. Bagi yang menolak poligami pun juga perlu berkaca pada dalil kebolehan poligami dan peristiwa itu, bahwa poligami itu tak terlarang selama bisa menunaikan syarat dan kewajiban.
Bila sikap ini yang menjadi titik tolak, maka orang tak gampang melakukan poligami tanpa alasan yang tepat. Di samping itu, tidak gampang menyalahkan orang yang berpoligami dengan alasan perasaan yang tersakiti. Keduanya perlu diletakkan secara proporsional tanpa mengedepankan kepentingan pribadi dan hawa nafsu.*/Mahmud Budi Setiawan
No comments:
Post a Comment